Share

Berita Besar

"Guys guys… aku punya berita besar!" Rizki mulai bicara.

"Apaan sih?" tanya Lili tentu saja segera ingin tahu.

"Kata Agus, Viki sama Arum kemaren dateng bareng liat anak-anak main bola!" Rizki sedikit berbisik dengan ekspresi wajah yang sangat intens.

"Eh serius? Astaga!" kata Uli membulatkan mata bahkan berdiri dari kursinya menghampiri Rizki untuk mendengar lebih banyak.

“Serius! Banyak kok saksinya,” Rizki masih menggebu.

"Semakin terbuka aja ya mereka? Enggak habis pikir deh!" kata Lili menyilangkan tangan di depan dadanya.

"Apaan sih? Ngomongin Arum ya?" Tri tiba-tiba ikut bicara yang hanya diangguki oleh teman-temannya.

"Beneran kok itu. Aku malah liat sendiri kemaren di lapangan. Cuman Arum emang enggak liat aku. Aku datang cuman kasih konsumsi sama air mineral aja terus pergi lagi," kata Tri santai.

"Wah, saksi kunci nih!" celetuk Uli.

"Jadi menurut kalian, mereka emang ada hubungan?" tanya Asti yang akhirnya penasaran juga.

"Ya kita pikir bareng-bareng aja sih sekarang, kalo emang enggak ada apa-apa, enggak mungkin lah mereka jalan bareng. Si Viki kan itungannya enggak ada hubungan kerjaan langsung sama kita. Ya mereka emang lagi deket aja," Tri berteori.

"Iya juga sih," Uli singkat menimpali.

"Ya, beritanya emang lagi hot banget! Udah jadi rahasia umum lah. Apalagi makin hari justru kayanya makin kebuka semua," Rizki bicara lagi.

"Ya kenapa mereka enggak jujur aja sih? Jadi kan orang-orang enggak ghibah terus?" Asti mencoba mencari jawaban.

"Ya enggak mungkin lah mau jujur, Ti. Secara enggak langsung bererarti kan mereka membenarkan kalo cerainya Arum sama Mas Pras emang karena pebinor itu si Viki!" kata Uli sedikit emosi.

"Ya mereka berani jalan bareng juga berarti emang sedikit banyak juga mulai membuka diri kan sama status hubungan mereka," jelas Rizki.

"Hehehe. Sampe Rizki sama Tri turun tangan ikut ngegosip nih berita santer banget!" kata Asti melihat kedua pria itu bersemangat.

Siang itu, HRD ramai dengan pembahasan Arum dan Viki yang mulai berani jalan berdua ke acara kantor. Ucapan mereka memang benar, gosip ini masih merupakan gosip paliang panas di kantor saat ini. Rizki dan Tri, dua sosok laki-laki di HRD yang memang biasanya lebih cenderung cuek dan lebih fokus pada pekerjaan bahkan sampai ikut memantau. Bukan berarti mereka tidak pernah membicarakan orang lain, hanya saja mereka membicarakan semua seperlunya. Kalau Asti, Lili, dan Uli, sebagai wanita memang sudah naluriah mereka untuk bergosip. Apa lagi ini mengenai teman terdekat yang bekerja satu ruangan dengan mereka. Tidak mungkin mereka tidak update.

Malam harinya seperti biasa Viki mengantar Arum pulang. Selalu menyempatkan makan malam dulu sebelum tiba di rumah Arum. Kali ini pilihan mereka jatuh pada mi ayam dan es kelapa muda. Viki jadi ingat juga ada kabar gembira yang ingin dia sampaikan pada Arum.

"Kamu masih inget brosur perumahan yang kamu kasih itu?" tanya Viki di sela makan malam mereka.

"Masih lah. Kenapa?" tanya Arum.

"Akhirnya kebeli juga. Hehehe. Ini masih proses pengajuan KPR sih. Cuman prosesnya di kantor sendiri jadi pasti acc kan. Hehehe," tawa Viki terlihat bangga.

"Eh beneran akhirnya? Bagus deh kalo gitu," Arum senyum senang.

"Aku juga udah cerita sama bapak ibu. Mereka juga seneng. Katanya kapan-kapan jadi bisa main ke Malang," ceritanya lagi.

"Ya harus lah kalo itu. Akhirnya kamu dengerin saran aku juga," celetuk Arum.

"Aku kan emang selalu dengerin kamu. Hehehe. Terus tadi gimana?" tanya Viki lagi.

"Apaan yang gimana sih?" Arum malah balik tanya.

"Iya itu katanya si Agus cerita-cerita ke temen kamu di HRD kalo kita habis keluar," tanya Viki.

"Iya kayanya anak-anak HRD juga udah pada tau. Cuman enggak ada yang berani tanya langsung aja. Mereka juga udah pada denger kok yang kasus aku sempat di panggil Pak Yos buat di interogasi itu, tapi ya udah lah aku mah cuekin aja," Arum terdengar jauh lebih santai kini.

“Iya emang harus gitu, Ay. Telinga harus tebel,” Viki memberi saran.

"Lagian itu enggak cuman temen HRD aku aja deh kayanya yang tahu. Ya emang udah kemana-mana tuh berita. Tadi aku aja enggak sengaja denger Mila sama Suri dari akunting ngomongin itu juga," curhat Arum kembali mengingat.

"Hm, sebegitunya ya. Agus tuh cowok tapi mulutnya lemes banget ya? Aku jadi ngerasa kaya artis gitu banyak yang ngomongin," Viki sedikit emosi.

"Yah anggap aja kita emang artis. Kita yg diomongin kan lumayan luntur dosa. Mereka yang ngomongin ya nambah dosa," kata Arum santai.

"Iya sih. Lama-lama mereka juga bakal berhenti sendiri kan!" Viki bicara lagi.

"Ya udah lah, ayo lanjut pulang!" ajak Arum yang sudah menghabiskan makanan dan segera membayar lalu lanjut pulang dengan sepeda Viki.

Kenapa bukan Viki yang bayar makanan mereka? Bagi Arum memang tidak ada salahnya bergantian membayar makanan saat dia sedang bersama pasangan. Kadang Arum yang membayar dan kadang Viki yang membayar. Toh mereka menjalani hubungan berdua. Lalu kenapa hanya pria yang wajib membayar. Bukan hanya pada pasangan, Arum memang biasa melakukan hal yang sama pada teman-temannya. Bahagia rasanya melihat orang-orang bahagia karena perbuatan kecil seerti mentraktir makan. Arum memang seloyal itu.

Sampai di rumah Arum. Siapa sangka sang mama masih duduk di depan teras mungkin memang menunggunya. Mama Arum memang tahu kalau Arum akhir-akhir ini sering pulang dengan laki-laki yang sama, tapi belum pernah bicara lebih lanjut sebelum sang anak yang memutuskan untuk bercerita. Siapa sangka malam ini akhirnya mereka bertemu.

"Kenapa masih di luar, Ma?" Arum bergerak mencium tangan sang mama.

“Enggak ada kok. Ya cuman bosen di dalem panas,” sedikit alasan dari Mama Arum.

Otomatis Viki mengikuti di belakangnya. Menyalami mama Arum untuk pertama kalinya sebagai pacar. Mata mama Arum tentu tidak bisa lepas dari pengamatannya pada pria yang dibawa putrinya itu.

"Viki, Tante," kenalnya.

"Owh ya Viki. Temen Arum ya?" tanya mama Arum yang memang sudah tak lagi muda.

"Iya, Tante. Saya temen Arum," jawab Viki super ramah.

"Makasih udah nganterin Arum pulang ya. Iya sudah tante masuk dulu. Arum, kamu suruh masuk dulu Viki. Buatin minum biar enggak seret-seret banget," kata Mama Arum yang juga tak kalah ramahnya dengan sang putri.

"Eh, enggak usah tante tadi sudah makan kok sama Arum. Mau lanjut dulu aja," elak Viki sopan.

"Owalah kok buru-buru? Ya udah ati-ati kalo gitu ya," kata Mama Arum yang tersenyum saat punggung tangannya kembali dicium.

Setelah kepergian Viki, tentu saja Arum dan mamanya masuk ke dalam rumah. Mendudukkan diri di ruang tamu melepas tas ransel juga kaos kaki. Hari ini memang sedikit melelahkan bagi Arum karena Pak Yos terus menerus memberinya tambahan pekerjaan. Sesekali meregangkan kedua tangan juga kepala yang terasa kaku. Jelly yang melihat Arum, segera beranjak naik pula ke kursi di sebelah Arum. Meminta untuk dibelai kepalanya.

"Tumben belum tidur jam segini, Ma? Aku mah enggak percaya kalo Mama nungguin aku," selidik Arum.

"Iya, masih belum bisa tidur. Di dalem juga panas tadi pengen cari angin seger makanya keluar. Tadi juga ada Bu Sugeng dateng nganter pesenan kue jadi sekalian deh ngobrol,” kata Mama Arum yang hanya dijawab anggukan saja.

"Temenmu tadi itu kok masih muda banget kayanya. Kaya masih kecil ya?" tanya sang mama.

"Iya, Ma emang masih kecil. Selisih lima tahun lebih muda dari aku," jawab Arum sekenanya.

"Yakin pacaran sama yang umurnya yang lebih muda? Kemaren aja yang seumuran gagal ini malah lebih muda?" selidik sang mama.

"Yang bilang pacaran ini sapa toh, Ma? Orang cuman temenan!" jawab Arum santai.

"Ya mamamu ini meskipun sudah tua, tapi ya ngerti lah mana temen mana pacar Arum," ucap sang mama setengah menggoda.

"Iya emang kenapa juga kalo lebih muda? Dia yang mau kok sama aku. Lagian juga ya, Ma usia ini kan enggak mempengaruhi kedewasaan seseorang. Lagian dia udah 25  tahun kok, Ma. Enggak semuda itu juga," Arum coba membela diri.

"Tuh kan bener pacaran? Gitu tadi kok enggak ngaku,” tentu saja tebakannya benar. “Ya kalo dari mama sih terserah. Mama kan cuman bilang aja supaya kamu lebih ati-ati lagi,” kata Mama Arum.

“Iya, Ma, Aru ngerti kok,” jawabnya berusaha menyudahi pembicaraan ini.

“Ya udah kalo gitu istirahat sekarang. Besok pagi masih harus kerja lagi kan?” Mama Arum memilih untuk mengalah dan beranjak masuk ke kamarnya.

Mama Arum sangat tahu watak keras sang anak. Apa yang dia anggap benar maka akan terus diperjuangkan. Kalau Arum sudah berkehendak, apapun yang akan dia katakan sebagai mama pasti ditolak mentah-mentah. Tentu saja dia sangat paham karena sifat Arum persis sekali dengan dirinya. Sama-sama keras kepala dan biasanya sang suaminya lah yang menjadi penengah. Berhubung sang suami sudah tidak ada lagi di dunia, maka pergi lebih baik untuk menghindari pertengkaran.

Mama pasti lagi kangen sama papa. Papa sehat kan disana, Pa? Papa seneng kan disana? Sekarang tinggal Arum sama mama aja disini, Pa. Arum harus dan berusaha ngejagain mama. Arum janji enggak akan marah-marah lagi sama mama. Arum enggak akan ngedebat mama lagi. Sebisa mungkin ngedengerin nasehat mama. Sebisa mungkin nurut sama mama. Doain kita terus dari sana ya, Pa.

Arum tahu mamanya itu kemungkinan besar sedang merindukan almarhum papanya. Hati Arum menghangat rindu pada sang ayah. Sang ayah adalah sosok yang sangat dekat dengannya. Cinta pertamanya, pelabuhan hatinya, juga pendingin emosinya. Seorang pekerja keras yang merupakan panutannya dalam bekerja. Sang ayahnya lah yang mengantarkannya kesana kemari untuk melamar pekerjaan dulu kala. Ayahnya lah yang paling bahagia saat dia mendapat pekerjaan pertamanya sebagai HRD di sebuah rumah sakit swasta. Ayahnya juga yang mengantarkannya pertama kali datang bekerja di sana.

Rindu pada sang ayah entah mengapa membuatnya ikut teringat pada Pras. Arum jadi ingat memori saat sang ayah meninggal, saking terpukulnya Arum hanya pingsan seharian. Bahkan ketika sadar pun Arum tak ingin pulang ke rumahnya. Hanya berdiam diri di rumah tetangga. Terlalu takut menerima kenyataan bahwa sang ayah telah tiada. Arum tidak bisa melakukan apa-apa selama proses pemakaman sang ayah. Hanya Pras yang membantu ibunya yang saat itu sebetulnya juga sama lemahnya. Pras yang repot kesana kemari. Pras yang mengurus ini itu. Pras juga sibuk bolak balik untuk menenangkan Arum dan ibunya sekaligus.

"Yang kuat, Dek. Yang ikhlas. Yang sabar. Kalo kamu kaya gini terus mama gimana?" katanya saat itu berusaha menguatkan sedangkan Arum masih larut dalam kesedihannya.

"Mama kasian tuh di sebelah sendirian. Anaknya kan cuman kamu aja. Kamu malah milih di sini," bujuk Pras saat itu yang tidak bisa berbuat banyak.

Akhirnya setelah sekitar enam jam semenjak pingsan pertama, Arum kembali ke rumah. Tentu setelah proses pemakaman selesai hingga dia tidak perlu melihat jasad papanya. Menangis berpelukan dengan sang mama, hal yang sebenarnya cukup jarang mereka lakukan. Arum ingat akhirnya hanya bisa menyandarkan tubuhnya di pelukan sang suami yang tak meninggalkannya sedikitpun. Menyambut lautan pelayat yang terus berdatangan.

"Kenapa malah jadi inget sama Mas Pras sih? Astagaaaa!" Arum merutuki otaknya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status