Beranda / Romansa / Brother Luck(not) / The Half of Happiness

Share

The Half of Happiness

Penulis: Susi_miu
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-18 15:49:41

Oh My. 

It’s real?

I can’t believe it!

Setelah dua bulan lalu menerima kelulusan. Mom dan dad akhirnya sepakat bahwa aku akan melanjutkan studiku di Harvard University. Beruntungnya aku diterima di salah satu fakultas di sana, Harvard Graduate School of Design. Oh, aku sudah tidak sabar membayangkan akan menjadi mahasiswa ajaran baru.

“Bridgette, what’s going on? Apa yang membuatmu berteriak?” tanya mom di depan pintu kamarku.

Cepat-cepat kuambil laptopku, memperlihatkan layar monitor yang tertera tulisan di sana.

Tanpa kuminta, mom membacanya dengan saksama. Tak lama kemudian mom tersenyum dan memberikan kecupan lembut di keningku.

“I’m so proud of you, Honey.”

“Thanks mom. I love you.”

“Me too. So, wanna help me? Kita akan membuat perayaan untukmu.

“Tidak perlu, Mom. Ini akan sangat merepotkan.”

“Kau meragukan mom, ehm?”

“Bukan begitu, maksudku—“ 

Ucapanku terpotong dan tertahan di udara. Mom menarik tanganku menuju dapur. Tidak butuh waktu lama, dapur yang tadinya bersih berubah menjadi menjadi cukup berantakan.

                                                                                                                         ***

“Mom, Dad, aku temui Axe dulu.”

Mom mengangguk pelan. Selain aku, tatapan mom juga terlihat penuh tanda tanya saat Axe tiba-tiba pergi setelah makan malam selesai. Aku rasa, ada sesuatu yang Axe sembunyikan. Ntahlah, rasanya tidak ada yang salah dari ucapan mom. Sebelumnya mom sempat membuka suara perihal alasan lain dari acara makan malam yang sedikit berbeda kali ini. Tapi sepertinya berkat ucapan mom, mood Axe ikut berubah. Wajahnya mendadak dingin dan tatapannya menajam. Aku sempat melihat Axe mengepalkan tangannya, seolah ada emosi yang tak bisa dia luapkan. Apa Axe marah aku akan kuliah di Harvard? Tapi kenapa?”

“Axe, apa kau di dalam?”

Menunggu cukup lama. Aku rasa jika menunggu sedikit lagi pun pintu itu tidak akan terbuka. Terlebih di dalam sana begitu hening, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Apa mungkin Axe tidak ada di dalam? Tapi bagaimana bisa? Sedangkan aku menyusulnya setelah beberapa menit Axe meninggalkan ruang makan.

“Axe, there you are?” Lagi, aku masih berusaha menunggu tanggapannya. Tapi tanganku semakin gatal untuk memutar knop pintu. Tidak. Aku tidak bermaksud lancang. Kau tahu? Aku hanya sedikit khawatir. Seperti ada yang mengganggu hatiku melihat sikap Axe tadi.

Saat memasuki ruangan besar itu. Hal yang pertama kali kudapatkan adalah kegelapan. Angin dari luar masuk, membiarkan dingin menguasai tubuhku. Sambil meraba dinding, aku mencari saklar lampu dan menekannya.

Ruangan seketika menerang. Berikutnya yang kulihat adalah Axe tertidur memunggungiku dengan selimut menutup hampir seluruh tubuhnya.

Aku mendekat, sebelumnya kututup lebih dulu jendela yang terbuka lebar itu, lalu duduk di sisi ranjang. Oh, kalau boleh jujur. Aku masih tidak percaya jika aku memiliki saudara laki-laki setampan Axe. Dia sangat luar biasa, sungguh. Meski terkadang aku tidak mengerti dengan perubahan sikapnya yang begitu kilat.

Aku yakin akan sangat merindukan pria di hadapanku. Beberapa bulan lalu kami baru saja dipertemukan dan nanti kami akan berpisah. Pekan depan aku akan terbang ke New York. Memulai hidup baru menjadi gadis mandiri.  Ya, aku akan tinggal di asrama selama menjadi mahasiswi di Harvard. Senang dan sedih menguasai seisi hatiku. Aku tidak sanggup meninggalkan kota kelahiranku, London. Tapi aku harus bagaimana, masa depanku ada di tanganku, ‘kan?

“Apa yang kau lakukan di sini?” Suara serak dan dalam Axe membuatku tersadar.

“Apa aku membangunkanmu? Kalau begitu aku akan keluar,” bisikku pelan seraya berdiri.

“Temani aku.” Axe menahan pergelangan tanganku. Matanya menatapku serius, seolah menginsyaratkan dia tak ingin dibantah

“Kalau kau kesepian. Cari pasangan saja,” candaku yang tak pernah melihatnya bersama satu wanita pun selain aku dan mom.

“Aku hanya tertarik padamu.”

Eh. Pipiku tiba-tiba memanas.

“Aku bercanda.”

Sialan Axe. Bukannya membuatku tenang, aku rasa pipiku menjadi semakin merah. Apakah dia memang senang menjahili orang seperti itu. Tapi menurutku dia tidak sedang becanda padaku. Suaranya jelas datar, tidak ada nada kegelian di sana. Tentu saja aku bisa membedakan mana seseorang yang sedang menyatakan lelucon dan mana yang tidak.

“Pergilah. Aku butuh istirahat.”

“Kau mengusirku?”

“Apa kau berubah pikiran?”

“Tadi kau memintaku menemanimu,” lanjutku lagi.

“Ya,” jawab Axe sambil membalikkan tubuhnya membelakangiku. Baiklah. Sepertinya kali ini Axe moodnya benar-benar tidak bagus. Dia benar-benar berubah pikiran, tak ingin diganggu dan tak ingin aku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
cerita ini menggambarkan kehidupan cinta yang aneh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Brother Luck(not)   Sekuel

    Hai, Kak. Selamat pagi. Mohon maaf setelan catatan penulis ini bukan update chapter Brother Luck(not) ya. Aku mau kasih tahu kalau sekuel sudah bisa dibaca lewat aplikasi Goodnovel. Yuk, mampir dan bantu aku dengan vote dan komen kalian😇 Boleh berikan review kalau suka ya. Kalian masih bisa ketemu Axelle🤭 But, he's not a main character anymore ya. Udah diganti Om T😅 Di sana para karakter penuh dengan misteri. Aku sudah up empat chapter. Kuy, merapat💃💃💃 migrain bareng aku lagi😁 besok aku akan double update juga. Berikan dukungan kalian buat Rose dan T😁 Btw, ada bab yang tidak ada di sini aku jelaskan di sana. Sebelumnya terima kasih banyak, sudah baca dan support karya pertamaku di sini. I love you guys❤❤❤

  • Brother Luck(not)   Extra Part

    Several months later... Aku dengan tangan terinfus menatap Axe, di sampinnya terdapat Oracle, sedang berjalan menghampiriku. Dia membawa seorang bayi di dalam dekapan. Kepalanya terus menunduk memperhatikan wajah anak perempuan kami tanpa henti. Senyum sempurna melengkapi kebahagiaan Axe. Usahanya melayaniku saat sedang mengidamkan sesuatu berbuah manis, dia akhirnya dipertemukan secara langsung bersama anaknya.Aku ingat pernah memaksa Axe membuatkanku roti canai, makanan khas Asia, dengan tangannnya sendiri. Axe bisa memasak, tidak tahu dengan makanan sejenis itu, tapi subuh – subuh buta aku tetap mendorongnya bangun untuk menjadi koki dadakan demi keinginan anaknya.Butuh perjuangan membangunkan Axe saat dia sedang lelah – lelahnya setelah menyentuhku tanpa henti. Salahnya sendiri tidak pernah puas. Aku mana tahu kalau anaknya tiba – tiba menginginkan sesuatu.Meski dengan terpaksa, Axe tetap menjalankan kewajibannya. Waktu itu, dengan mata setengah terbuka

  • Brother Luck(not)   Epilogue

    Aku menatap cincin yang tersemat kembali di tanganku dengan senyum haru dan bahagia. Janji suci atas nama Axe sudah kuucapkan. Tersisa satu lagi, tapi Axe tak kunjung melakukannya. Dia hanya menatapku dengan mata berbinar bahagia, seperti seorang idiot yang mendadak menjadi seorang jutawan.Dia mau tunggu apa lagi?Sampai aku memulai lebih dulu? Yang benar saja!“Kau membuat semua orang menunggumu terlalu lama,” kataku pelan dan nyaris berbisik.“Yakin?” tanya Axe memastikan. Dia mengangkat sebelah alis menatapku curiga. “Mereka atau kau yang sebenarnya sudah tidak sabar?” lanjutnya lagi dengan senyum menggoda.“Terserah kau saja, Axe.”Aku langsung berpaling menatap wajah – wajah di sana. Orang – orang penting di hidupku berkumpul dalam satu frame. Ada Oracle, mom, dad, ayah dan ibu mertuaku, serta Rose yang begitu cantik dengan balutan dress hitam. Di sampingnya ada Theo yang selalu menguntit ke mana pun Rose pergi. Aku rasa pertanyaan Axe waktu itu sangat

  • Brother Luck(not)   Marry Him

    Kau tahu ada apa dengan gugurnya bunga mawar? Karena saat pertama kali mekar, dia terlalu indah. -Theodore Witson. -------------------------------- “Rose, sekali lagi terima kasih. Aku tidak tahu akan jadi seperti apa hidupku tanpa bantunmu.” Kupeluk erat – erat tubuh wanita cantik, yang saat ini membalas kehangatan dariku.“Sama – sama,” bisik Rose sembari mengusap naik turun pundakku pelan.“Harus dengan cara apa aku membayar semua kebaikanmu selama ini?”Aku tak tahan lagi sampai yakin suaraku terdengar getir. Tidak tega rasanya mengambil Oracle dari Rose. Tapi harus bagaimana? Jika aku membiarkan Oracle bersama Rose, anak itu akan kehilangan figur keluarga lengkap. Axe pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia sudah terpisah dari Oracle sejak Oracle sendiri masih dalam kandungan, mana mungkin pria itu mau merelakan Oracle. Dan kalau harus jujur, aku juga menginginkan Oracle. Meski rasa bersalah pada Rose akan jauh lebih be

  • Brother Luck(not)   Love is Love

    “Sudah siap?” Aku menoleh ke samping mendengar pertanyaan Axe.Dari bandara Kanada, kami langsung melaju menuju apartement Rose. Saat ini aku dan Axe masih berada di dalam mobil yang terparkir di basement.Dia bertanya apakah aku sudah siap ... jawabanku tidak. Aku tidak sanggup harus menerima penolakan Oracle, saat dia melihatku ada di hadapannya. Seperti kata Axe waktu itu, dia akan mengajakku menjemput Oracle setelah semuanya selesai.Ya, semua telah selesai terhitung sudah tiga minggu berlalu pembalasan dendam Axe.Paman Danial akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum seberat – beratnya selama 35 tahun penjara. Perlindungan dari perdana mentri atas dirinya tidak berlaku, karena bukti – bukti sudah di depan mata. Terlebih Paman Danial semakin diberatkan oleh kehadiran para tawanan yang Axe bebaskan sebagai saksi di pengadilan.Waktu itu, persidangan berlangsung selama kurang lebih dua minggu. Tidak ada penyangkalan dan uji banding membuat semuanya

  • Brother Luck(not)   Hello Daddy

    “Awas, Axe!”Dor!Aku memeluk Axe seerat mungkin, menjadikan tubuhku sebagai tameng untuknya. Dia pernah membiarkan peluru menggigit tubuhnya karena kesalahanku. Sekarang aku ingin melakukan hal yang sama, mengorbankan diri untuk orang yang kucintai.Bunyi tembakan memberi jeda untukku bernapas. Seharusnya aku sudah merasakan panas yang menjalar oleh peluru itu. Tapi sampai saat ini semua masih terasa aman. Aku tidak mengerti, tubuhku baik – baik saja tanpa alasan.“Lain kali jangan lakukan hal ini. Jangan melindungiku. Aku bisa menjaga diri sendiri. Apa yang akan terjadi padamu jika aku tidak cepat?”Tubuhku dilepas paksa dan baru kusadari senjata Axe mengeluarkan asap saat dia menurunkan tangannya.Apa yang telah kulewatkan?Cepat – cepat aku berbalik. Sedikit tak percaya mendapati Arthur tergeletak di lantai dengan mata terbuka dan peluru yang menancap tepat di dahinya.“Aku tidak ingin membunuh. Tapi membiarkan dirimu ditembak adalah kesalahan palin

  • Brother Luck(not)   Kidnapped

    Sebuah belaian terasa kasar, menarik kembali jiwa yang sempat hilang dari tubuh. Aku mengerjap, membuka mata secara perlahan. Tempat yang seharusnya berupa alam bebas tergantikan oleh tembok – tembok bercak putih. Aku seperti berada di sebuah kamar dengan langit – langit dihias lampu kuning.Satu pertanyaan menyentak isi kepala. Siapa yang membawaku ke sini?“Akhirnya kau sadar.”Suara serak itu menarik perhatianku menatap ke samping.Dia...Kenapa aku bisa bersamanya?“Kau semakin cantik dan berisi. Aku sangat suka.”Nada puas terdengar dari suara serak seorang pria yang pernah kutemui beberapa kali. Bahkan waktu itu nyaris menjadi suamiku, Arthur.“Kau kaget melihatku. Kenapa. Takut?”Arthur terkekeh. Tangan yang terulur hendak mengelus kepalaku tertahan di udara saat aku bergerak cepat, beringsut menjauhinya. Apa maunya membawaku ke tempat seperti ini? tanyaku sembari menatap penuh waspada seringai kejam di wajah Arthur.Dia sangat berbed

  • Brother Luck(not)   Bomb Exploison

    Author’s pov....Mata heterochormia dilapisi lensa kontak lunak itu menatap tajam bagian samping gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ada tiga lantai, masing – masing memiliki penjagaan ketat. Bentuknya juga seperti labirin dengan jalur berliku – liku dan beberapa jalan dibuat buntu. Bagi seseorang yang awam, mungkin akan tersesat di tempat itu.Sebelum masuk, Axe harus memastikan penjaga di pintu depan sedang lengah agar dia bisa melakukan serangan dari belakang. Kakinya melangkah pelan. Menyembulkan kepala sedikit, mencari waktu paling tepat untuk mengokang senjata kedap suara di tangan.Belum saatnya. Dua penjaga di sana masih sigap menghisap cerutu dan mengembuskan asapnya ke udara. Axe akan menunggu salah satu dari mereka masuk, untuk menyerang yang lainnya. Dia tidak ingin menimbulkan kehebohan di bagian luar. Menyerang satu per satu adalah pilihan tepat.Selama kegiatan aksi belum dimulai. Seharusnya

  • Brother Luck(not)   Loosing

    Pandanganku lurus, menatap tanpa arti beberapa orang berbentuk tim—sedang berpencar ke berbagai hancurnya sisi gedung. Hampir dua jam, mereka belum juga menemukan keberadaan Axe. Tidak tahu mereka mencari sampai ke seluruh reruntuhan atau tidak. Sementara malam sudah semakin larut, akan sulit melakukan pencarian.Sempat ada beberapa hal yang membuat tim berdebat, salah satunya tangan yang kutemukan. Sebagian besar dari mereka beropini bahwa sisa dari tubuh Axe hancur tercerai berai, sulit untuk diidentifikasi. Tapi yang lain, terutama aku, masih percaya adanya potongan tubuh Axe karena ledakan itu.Sebenarnya mereka menemukan dua atau tiga kerangka kaki, milik orang lain. Kata Hema, ada beberapa pengawal Paman Danial yang berada di lantai tiga sedang menikmati pesta. Kemungkinan kerangka itu milik mereka.“Kita tidak menemukan apa pun di sini.”Tim dari kubu A berteriak, mungkin lelah—bekerja untuk sesuatu bersifat sia – sia. Seperti

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status