Oh My.
It’s real?
I can’t believe it!
Setelah dua bulan lalu menerima kelulusan. Mom dan dad akhirnya sepakat bahwa aku akan melanjutkan studiku di Harvard University. Beruntungnya aku diterima di salah satu fakultas di sana, Harvard Graduate School of Design. Oh, aku sudah tidak sabar membayangkan akan menjadi mahasiswa ajaran baru.
“Bridgette, what’s going on? Apa yang membuatmu berteriak?” tanya mom di depan pintu kamarku.
Cepat-cepat kuambil laptopku, memperlihatkan layar monitor yang tertera tulisan di sana.Tanpa kuminta, mom membacanya dengan saksama. Tak lama kemudian mom tersenyum dan memberikan kecupan lembut di keningku.
“I’m so proud of you, Honey.”
“Thanks mom. I love you.”
“Me too. So, wanna help me? Kita akan membuat perayaan untukmu.
“Tidak perlu, Mom. Ini akan sangat merepotkan.”
“Kau meragukan mom, ehm?”
“Bukan begitu, maksudku—“
Ucapanku terpotong dan tertahan di udara. Mom menarik tanganku menuju dapur. Tidak butuh waktu lama, dapur yang tadinya bersih berubah menjadi menjadi cukup berantakan.
***
“Mom, Dad, aku temui Axe dulu.”
Mom mengangguk pelan. Selain aku, tatapan mom juga terlihat penuh tanda tanya saat Axe tiba-tiba pergi setelah makan malam selesai. Aku rasa, ada sesuatu yang Axe sembunyikan. Ntahlah, rasanya tidak ada yang salah dari ucapan mom. Sebelumnya mom sempat membuka suara perihal alasan lain dari acara makan malam yang sedikit berbeda kali ini. Tapi sepertinya berkat ucapan mom, mood Axe ikut berubah. Wajahnya mendadak dingin dan tatapannya menajam. Aku sempat melihat Axe mengepalkan tangannya, seolah ada emosi yang tak bisa dia luapkan. Apa Axe marah aku akan kuliah di Harvard? Tapi kenapa?”“Axe, apa kau di dalam?”
Menunggu cukup lama. Aku rasa jika menunggu sedikit lagi pun pintu itu tidak akan terbuka. Terlebih di dalam sana begitu hening, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Apa mungkin Axe tidak ada di dalam? Tapi bagaimana bisa? Sedangkan aku menyusulnya setelah beberapa menit Axe meninggalkan ruang makan.
“Axe, there you are?” Lagi, aku masih berusaha menunggu tanggapannya. Tapi tanganku semakin gatal untuk memutar knop pintu. Tidak. Aku tidak bermaksud lancang. Kau tahu? Aku hanya sedikit khawatir. Seperti ada yang mengganggu hatiku melihat sikap Axe tadi.
Saat memasuki ruangan besar itu. Hal yang pertama kali kudapatkan adalah kegelapan. Angin dari luar masuk, membiarkan dingin menguasai tubuhku. Sambil meraba dinding, aku mencari saklar lampu dan menekannya.
Ruangan seketika menerang. Berikutnya yang kulihat adalah Axe tertidur memunggungiku dengan selimut menutup hampir seluruh tubuhnya.
Aku mendekat, sebelumnya kututup lebih dulu jendela yang terbuka lebar itu, lalu duduk di sisi ranjang. Oh, kalau boleh jujur. Aku masih tidak percaya jika aku memiliki saudara laki-laki setampan Axe. Dia sangat luar biasa, sungguh. Meski terkadang aku tidak mengerti dengan perubahan sikapnya yang begitu kilat.
Aku yakin akan sangat merindukan pria di hadapanku. Beberapa bulan lalu kami baru saja dipertemukan dan nanti kami akan berpisah. Pekan depan aku akan terbang ke New York. Memulai hidup baru menjadi gadis mandiri. Ya, aku akan tinggal di asrama selama menjadi mahasiswi di Harvard. Senang dan sedih menguasai seisi hatiku. Aku tidak sanggup meninggalkan kota kelahiranku, London. Tapi aku harus bagaimana, masa depanku ada di tanganku, ‘kan?
“Apa yang kau lakukan di sini?” Suara serak dan dalam Axe membuatku tersadar.
“Apa aku membangunkanmu? Kalau begitu aku akan keluar,” bisikku pelan seraya berdiri.
“Temani aku.” Axe menahan pergelangan tanganku. Matanya menatapku serius, seolah menginsyaratkan dia tak ingin dibantah
“Kalau kau kesepian. Cari pasangan saja,” candaku yang tak pernah melihatnya bersama satu wanita pun selain aku dan mom.
“Aku hanya tertarik padamu.”
Eh. Pipiku tiba-tiba memanas.
“Aku bercanda.”
Sialan Axe. Bukannya membuatku tenang, aku rasa pipiku menjadi semakin merah. Apakah dia memang senang menjahili orang seperti itu. Tapi menurutku dia tidak sedang becanda padaku. Suaranya jelas datar, tidak ada nada kegelian di sana. Tentu saja aku bisa membedakan mana seseorang yang sedang menyatakan lelucon dan mana yang tidak.
“Pergilah. Aku butuh istirahat.”
“Kau mengusirku?”
“Apa kau berubah pikiran?”
“Tadi kau memintaku menemanimu,” lanjutku lagi.
“Ya,” jawab Axe sambil membalikkan tubuhnya membelakangiku. Baiklah. Sepertinya kali ini Axe moodnya benar-benar tidak bagus. Dia benar-benar berubah pikiran, tak ingin diganggu dan tak ingin aku.
Today is Saturday. Berarti sudah enam hari berlalu dan sejak kejadian malam itu. Malam di mana Axe mengusirku, aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku di sana, di kamarnya. Bahkan enam hari penuh itu pula aku tidak bertemu dengannya. Saat pagi Axe selalu pergi lebih dulu meninggalkan sarapan bersama, dan malamnya dia pulang begitu larut. Axe seperti menghindariku, seakan bertemu denganku bukan bagian dari kegiatannya lagi. Aku sendiri berusaha terlihat tidak peduli. Lagipula apa salahku padanya? Kenapa sikapnya berubah pesat. Yang kutahu, selama ini dia tidak pernah mengatakan bahwa dia keberatan dengan keberangkatanku ke New York besok. Semoga saja tebakanku tidak benar kalau dia agak tidak setuju tentang keputusanku dan mom maupun dad. Sayangnya, mom dan dad tak bisa menemaniku besok. Kemarin pagi mereka berpamitan ke hotel Paman Luke, yang ada di Bristol merayakan hari pernikahannya dengan kekasihnya, Denisa. Paman Luke adalah kerabat dekat sekalig
5 years later Aku menarik napas dalam – dalam. Berusaha menenangkan diriku. Ini adalah hari ke delapan aku bekerja di sini. Pintu bertuliskan kata ‘Direktur Utama’ seolah memaksa jantungku memompa lebih cepat. Tidak tahu apa yang akan didiskusikan oleh Mr. Witson, aku dipanggil ke ruangannya tepat setelah jam makan siang selesai. Yang lebih mendebarkan adalah aku hanya asisten pengganti, sementara asisten dulu mengambil cuti melahirkan. Ya, mungkin sekitar satu tahun penuh sesuai kontrak kerjaku. “Masuk!” Suara bariton itu mempersilakanku membuka pintu kaca. Aku masuk dengan kegugupan penuh. Pasalnya Mr. Witson orang yang begitu dingin dan tak tersentuh. Matanya saat ini menatapku tajam, aku merasa seluruh tubuhku dikuliti hanya dengan indera penglihatnya itu. “Duduklah.” Aku tersenyum kikuk begitu mendapati suaranya yang agak melembut. “Ada apa, Si—“ Ah. Aku menipiskan bibirku, belum menyelesaikan kalimatku tapi
“Do you remember I was the first for you, baby girl?” Sayup – sayup terdengar bisikan kasar di telingaku. Aku berusaha memahami situasi saat ini. Terbangun dengan keadaan seseorang melingkarkan tangannya di pinggulku bukan hal yang pernah kupikirkan. Aku berusaha menahan napas, suara serak dan dalam itu mengingatkanku pada satu nama. Nama yang tak pernah aku ingin ingat. “I miss you.” Sontak aku bangun dan melepaskan diriku darinya. Kesalahan apa yang pernah kulakukan kemarin sampai harus melihatnya di sini. Di tempat yang bahkan kurang lebih baru satu hari aku menempatinya. Aku bangkit dari posisiku, turun dari kasur king size di kamar hotel ini. Langkahku mundur saat melihatnya mendekat ke arahku. “Bagaimana bisa kau di sini?” tanyaku hampir berupa bisikan. “Pergi!” pekikku saat dia meraih kedua tanganku. Aku mencoba melepaskannya, meskipun itu sia – sia. Tubuhnya terlalu menjulang, aku tak punya cukup tenaga melawannya.
Aku memeluk tubuhku erat, sesekali menggosok kulitku kasar. Tidak peduli bahwa saat ini aku menggigil penuh, bunyi derasnya shower pun tidak lagi penting. Rasanya aku ingin mati mengingat hidupku yang tak lagi berarti. Duniaku kembali hancur dalam satu hari, setelah bertahun-tahun aku menata hati untuk mengikhlaskan kesalahan itu. Pria yang tak pernah kuharapkan datang kembali merusak segalanya. Aku sungguh membencinya. Kenapa aku ditakdirkan bertemu dengannya? Kenapa hidup rasanya tidak adil bagiku. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk berdamai dengan masa lalu. Dan sekarang dia dengan sesuka hatinya merenggut kedamaian sementara itu. Sunguh, aku tak mau sampai benihnya ada di tubuhku. Lebih baik aku mati. Lagipula aku sudah tak bernilai. Tak ada gunanya bertahan. Ya. Seharusnya aku sudah menenggelemkan tubuhku di bath up. Tapi tatapan membunuh itu menatap ke arahku. Ntah kapan dia ada di situ. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin dia pergi. Benar saja. Ha
Setengah jam perjalanan di dalam jet pribadinya terasa seperti hampir satu tahun. Apakah memang seperti itu rasanya berada di dekat orang yang kau benci? Waktu terasa berputar lebih lama. Apalagi setiap gerak – gerikmu menjadi sebuah tontonan mengasyikan baginya. Ah. Siapa lagi kalau bukan Axe yang aku maksud. Bahkan sampai sekarang dia tidak melepaskan tanganku dari genggamannya walau kami sudah berada di dalam mobil. Tapi meskipun begitu, aku tahu saat ini Axe sedang tidur. Dengkuran kecil darinya membuktikan itu semua.“Wajahmu sangat familiar. Apa aku mengenalmu?” Itu pertanyaan dariku untuk tangan kanan Axe yang saat ini sedang fokus menyetir. Ketika bertemu dengannya pertama kali, aku merasa aku sangat mengenalnya. Pelawakannya yang tinggi langsing, kira – kira postur tubuhnya hampir seperti Axe. Hanya saja Axe sedikit lebih tinggi darinya. Aku langsung teringat pada seseorang. Mungkin, ‘kah?“Ya, Nona. Saya Edward.”Boo
Aku duduk terdiam di ranjang besar meratapi nasibku yang kurang beruntung. Axe berhasil memaksaku ke mansionnya. Di sini lah aku akhirnya. Terdampar di kamar yang semua dindingnya bercat putih. Beberapa lukisan tergantung di sana. Aku menghela napas kasar, menyesali janji yang kubuat hingga aku harus menepatinya. Axe memang sialan. Dia sangat licik dan kejam. Aku sudah seperti seorang tawanan dibuatnya. Bahkan di kamarku tidak ada jendela. Hanya ada beberapa ventilasi udara, itu pun lubangnya kecil untuk melarikan diri. Aku ingat betul bagaimana letak mansion miliknya. Sepanjang perjalanan kami memasuki hutan yang sangat dalam. Benar. Mansion ini berada di tengah hutan, jauh dari peradaban kota. Ntah apa tujuannya membawaku ke tempat seperti ini. Aku yakin. Mansion ini adalah tempat persembunyiannya. Sebab, di tengah perjalanan tadi. Axe sempat membawaku ke Penthouse-nya. Mengambil beberapa barangnya yang tertinggal. “Nona, tuan sudah menunggu untuk makan mal
Aku membuka mataku dan mendapati hari mulai siang, terlihat dari jam dinding yang menunjukkan pukul 10.30 am. Aku mengusap wajahku kasar, tidak biasanya terlelap begitu dalam. Beberapa saat kusadari tanganku sudah tidak terikat. Bahkan sudah terlilit perban karena sepertinya aku terluka saat mencoba melepaskan diri. Tapi yang menjadi pertanyaanku adalah, siapa yang mengobatiku?Axe?Apa mungkin. Aku tidak percaya. Bisa saja pria itu meminta Edward yang melakukannya.Aku turun dari ranjang. Tak mau memikirkan hal yang tidak penting. Pikiranku lelah. Lebih baik membersihkan diriku sekarang. Aku bisa saja memancing kemarahan pria kejam itu jika hanya menangis dan menangis. Sejujurnya, aku lelah memberontak jika hasil yang kudapati dari pemberontakanku tidak ada. Percuma, bukan?Usai urusan pribadiku selesai. Aku tak sengaja melihat sepucuk surat terletak di atas nakas. Dahiku mengerut heran, bukankah jika ada yang ingin Axe sampaikan. Dia bisa mengirim p
“Ya, Tuan.”“Nona belum sadar, Tuan.”“Baik, Tuan.”Sayup – sayup terdengar suara berat menjadi alarm pagi bagiku. Aku membuka mata dan langsung menyadari bahwa aku sudah berada di kamarku. Kepalaku terasa sedikit pusing, beberapa potongan kejadian semalam melesak mengingatkanku pada sosok yang marah kemarin malam, Axe. Ke mana dia sekarang? Bukankah aku seharusnya melihat kembali kondisi Axe saat mendengar kekacauan yang ditimbulkannya? Lalu bagaimana bisa aku berada di sini. Terbangun dalam keadaan kacau begini?“Selamat sore, Nona. Anda ingin makan apa?” Suara berat tadi mengangetkanku.“Ed, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku tak percaya. Kutarik selimut yang menutup, memastikan pakaianku masih aman di tempatnya. Syukurlah, tidak ada yang kurang di tubuhku.“Tuan meminta saya menjaga Anda, Nona.”“Memangnya aku kenapa?”“Semalam Anda pingsan,