Day after day.
Week after week.
Month after month.
Banyak perubahan setelah kedatangan Axe. Kehidupan keluargaku terasa lengkap. Aku masih tidak menyangka kenyataan bahwa aku memiliki saudara laki-laki.
Kucoba tanyakan ini pada mom bagaimana semua terasa masuk akal. Di usia kami saat ini, kenapa kami baru dipertemukan. Seharusnya sedari dulu kami bersama, saling berbagi kasih sayang. Saling mengerti karakter masing-masing dan saling melindungi.
Nyatanya, aku maupun Axe tidak seperti itu. Dia begitu menutup diri, walau begitu dia tidak lagi mengasingkan dirinya di dalam kamar. Aku cukup bersyukur akan hal itu, setidaknya aku bisa mengenalnya meskipun dia seperti buku tebal. Aku harus membacanya lembar demi lembar, agar aku tahu akan ada apa di halaman berikutnya. Tapi mom tak pernah mau memberitahuku alasan sebenarnya keberadaan Axe yang tak bersama kami sejak dia kecil.
Sayangnya mom lupa bagaimana aku. Jika tidak ada jawaban memuaskan, aku akan mencari tahunya sendiri.
“Hai, Axe. Mau temani aku belanja? Ada beberapa buku yang mau kubawa pulang, dan ya ... temanku berulang tahun lusa. Aku juga ingin membelikannya kado.”
Tidak ada jawaban darinya, kulihat Axe sedang fokus mengulik laptop. Akhir-akhir ini dia terlihat sibuk setelah beberapa bulan lalu dad mengajarinya serta memberinya kepercayaan mengurus perusahaan. Dad bilang Axe sangat cerdas, jadi tidak butuh waktu lama baginya untuk mempelajari itu semua.
“Sepertinya kau sibuk. Maaf ya.”
Baru beberapa langkah aku meninggalkannya. Kurasakan telapak tangan kiriku terisi penuh oleh Axe. Dia melangkah di sampingku. Tatapannya fokus ke depan. Aku penasaran bagaimana bibirnya melengkung sempurna.
Selama ini, selama tinggal bersamanya, aku tak pernah melihatnya tersenyum apalagi tertawa. Jujur saja, dia begitu misterius. Ntahlah. Mungkin dia butuh waktu lebih lama untuk beradaptasi.
“Where we go?” Suara serak dan dalam Axe menyandarkanku, sepertinya dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu.
“Kita akan ke perpustakaan di pusat kota, setelah itu kita akan pergi ke toko pakaian. Aku ingin memilih beberapa dress musim panas untuk Aklena.”
Tidak ada jawaban darinya. Seperti biasa, perjalanan kami hanya diselimuti keheningan. Meskipun dingin, terkadang Axe memperlakukanku dengan lembut. Seperti yang dia lakukan saat menautkan telapak tangannya di tanganku. How sweet.
***
“Apa kau sudah selesai?”
Jika kalian berpikir Axe yang menelponku. Jawabannya adalah benar. Sesampai di perpustakaan tadi dia menemaniku. Sesekali membaca buku di sana. Dia begitu tenggelam dengan buku di tangannya, hingga tak menyadari bahwa aku telah menyelesaikan kebingunganku memilih beberapa buku untuk kubawa pulang.
Berbeda dengan di perpustakaan. Saat kami tiba di toko pakaian, Axe memilih menungguku di parkiran, di dalam mobilnya. Aku berusaha memaksanya masuk. Tapi rasanya dia jauh lebih keras kepala.
“Ya. Aku sedang menuju tempat parkir.”
Setelah membayar belanjaanku. Buru-buru aku melangkah keluar. Sialnya hal itu justru membuatku tidak melihat sekitar.
Seseorang tiba - tiba berteriak marah ke arahku, aku hanya bisa mengucap kata maaf karena aku tahu akulah pihak bersalah di sini. Sayangnya kata maaf saja rasanya tidak cukup. Seseorang itu, sebut saja pria berbadan besar itu menatapku sengit. Lalu berteriak marah lagi ke arahku.
“Apa kau tidak punya mata? Apa kau tidak bisa berjalan dengan benar? Kau lihat, ponselku hancur karena kecerobohanmu.”
“Maaf, Tuan. Saya akan ganti rugi. Katakan saja berapa harganya.”
“Orang kaya, heh?” tanyanya mendekat.
Seketika alam bawah sadarku mengingatkan, bahwa aku harus menyelematkan diriku dari tatapan tajamnya, pria itu seperti punya niat buruk terhadapku.
Tapi ntah kenapa tubuhku membeku. Aku tidak bisa memberi perlawanan. Nyaliku ciut saat dia menggenggam erat kedua tanganku, bahkan kantong kertas belanjaanku terjatuh begitu saja. Aku berusaha berteriak meminta tolong. Sialnya, suaraku terasa tercekat.
“Sepertinya akan menyenangkan menikmati tubuh kecilmu ini,” bisiknya sensual. Bibirnya mulai mendekat dan aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, yang bisa kulakukan hanya berharap Axe datang menolongku.
“Let her go.”
Oh, God. Syukurlah. Aku mengenal betul suara serak dan dalam itu. Thanks, Axe. Kau datang tepat waktu.
“Jangan ikut campur urusanku. Pergilah!”
“Urusanmu? Kau sudah berani menyentuh milikku. Apa aku harus diam?” tanya Axe dengan nada tenang.
Milikku? Kata itu seolah menari-nari di atas kepalaku. Apa maksudnya? Axe sedang tidak bercanda bukan? Atau mungkin Axe hanya ingin orang itu benar-benar melepaskanku?
"I told you. Let her go."
"Dia harus membayar kerugianku."
"Berapa?"
"Aku tidak butuh uang. I want her. I want to drink her. Dia sangat cantik. What you think? Apa kau mau memberikannya pada--"
Aku tidak memotong ucapan pria itu. Semua terasa begitu cepat. Berikutnya yang kutahu, Axe sudah menghajar pria berengsek itu. Tak ada ampun, Axe terus memukulnya hingga pria itu terjengkang cukup jauh. Sempat ada perlawanan darinya. Tapi hanya satu pukulan yang berhasil menyentuh sudut bibir Axe.
Aku meringis melihat keadaan mereka. Bukannya apa. Minggu lalu aku memberikan jas abu yang kubeli khusus untuk Axe. Dan hari ini jas itu rusak, bagian lengannya koyak hampir menyentuh pundak.
Sayang sekali. Seharusnya aku tidak meminta Axe menemaniku jika akhirnya seperti ini. Aku sungguh tidak suka keributan.
"Axe, stop it!"
"Akh!"
Tubuhku terdorong jauh ketika berusaha menjauhkan keduanya. Sontak suaraku menarik perhatian Axe, buru-buru dia menghampiriku.
"Are you oke?" tanyanya cemas.
"Ya." Terlihat kelegaan di mata Axe.
Bukankah dia begitu peduli padaku?
"You bleeding." Aku menyentuh sudut bibirnya dan itu berhasil membuat Axe menatapku penuh, lalu tangannya tiba - tiba meraih tanganku. Tak lama kemudian matanya terpejam meresapi tanganku di rahangnya.
"Hei, Axe. Are you okay?"
Seakan tersadar, Axe langsung membuka mata kembali menatapku.
"Ya," jawabnya cepat.
"Urusan kita belum selesai. Jika aku bertemu denganmu lagi. Akan kubuat kau menyesali perbuatanmu hari ini." Pria itu melangkah pergi. Aku hampir tak percaya apa yang Axe lakukan padanya. Wajahnya benar-benar babak belur, tidak sebanding dengan apa yang dia berikan pada Axe.
"Ayo kita pergi." Tanpa menghiraukan pria berengsek itu. Axe menarik tanganku menuju ke arah parkiran kami.
Sebelum tubuhku benar-benar ditelan mobil, aku melihat pria itu masih di tempatnya. Tersenyum sinis sembari menatap aku dan Axe. Matanya menyiratkan bahwa dia tidak membual tentang ucapannya tadi. Aku merasa kejadian hari ini seperti sudah direncanakan. Ntahlah, mungkin saja itu hanya perasaanku. Jadi lupakan.
***
"Could you promise me?" ucapku beberapa saat setelah kami sampai, yang mana hal itu langsung membuat Axe menatapku tajam.
Aku tak peduli. Fokusku saat ini hanya pada lukanya. Ya, setiba di rumah, aku dengan cepat menarik Axe ke dapur. Mengambil handuk kecil dan membersihkan darahnya. Saat ini posisi kami masih sama. Axe berdiri sedangkan aku duduk di meja bar.
Merasa tak ada jawaban. Kutatap wajah tampannya dan kembali bersuara, "berjanjilah kau tak akan seperti tadi. Jangan memukuli orang lagi." Aku masih sabar menunggu, meski belum ada jawaban darinya.
Ini yang aku benci dari Axe. Dia tidak banyak bicara.
"Dengar. Aku ingin kau berjanji padaku. Kalau tidak aku aka--"
"Apa?" potongnya cepat.
"Menciummu seperti ini." Kedua tanganku meraih rahang Axe cepat. Kudekatkan bibirku pada bibirnya, Kukecup pelan dan berulang-ulang sebagai bentuk kasih sayang.
Terlihat Axe berusaha menahanku, meski tidak benar – benar melakukannya.
"Baiklah. Tapi jika suatu saat aku tidak bisa menepati janjiku. Maka, kau akan menghentikanku seperti yang kau lakukan tadi," ujarnya sambil menyentuh bibir bawahku. Tatapannya menyiratkan sesuatu yang tak bisa kuartikan.
Ini juga pertama kalinya dia bicara panjang lebar padaku. Sesuatu yang baru, sesuatu yang bahkan tak pernah kupikirkan. Padahal aku tak punya maksud apa – apa selain mengecup sekilas bibirnya, sebuah ciuman yang artinya aku menyayanginya sebagai seorang kakak.
Apa ini artinya Axe sudah membuka diri, tanyaku dalam hati.
Oh My. It’s real? I can’t believe it! Setelah dua bulan lalu menerima kelulusan. Mom dan dad akhirnya sepakat bahwa aku akan melanjutkan studiku di Harvard University. Beruntungnya aku diterima di salah satu fakultas di sana, Harvard Graduate School of Design. Oh, aku sudah tidak sabar membayangkan akan menjadi mahasiswa ajaran baru. “Bridgette, what’s going on? Apa yang membuatmu berteriak?” tanya mom di depan pintu kamarku. Cepat-cepat kuambil laptopku, memperlihatkan layar monitor yang tertera tulisan di sana. Tanpa kuminta, mom membacanya dengan saksama. Tak lama kemudian mom tersenyum dan memberikan kecupan lembut di keningku. “I’m so proud of you, Honey.” “Thanks mom. I love you.” “Me too. So, wanna help me? Kita akan membuat perayaan untukmu. “Tidak perlu, Mom. Ini akan sangat merepotkan.” “Kau meragukan mom, ehm?” “Bukan begitu, maksudku—“ Ucapanku terpoto
Today is Saturday. Berarti sudah enam hari berlalu dan sejak kejadian malam itu. Malam di mana Axe mengusirku, aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku di sana, di kamarnya. Bahkan enam hari penuh itu pula aku tidak bertemu dengannya. Saat pagi Axe selalu pergi lebih dulu meninggalkan sarapan bersama, dan malamnya dia pulang begitu larut. Axe seperti menghindariku, seakan bertemu denganku bukan bagian dari kegiatannya lagi. Aku sendiri berusaha terlihat tidak peduli. Lagipula apa salahku padanya? Kenapa sikapnya berubah pesat. Yang kutahu, selama ini dia tidak pernah mengatakan bahwa dia keberatan dengan keberangkatanku ke New York besok. Semoga saja tebakanku tidak benar kalau dia agak tidak setuju tentang keputusanku dan mom maupun dad. Sayangnya, mom dan dad tak bisa menemaniku besok. Kemarin pagi mereka berpamitan ke hotel Paman Luke, yang ada di Bristol merayakan hari pernikahannya dengan kekasihnya, Denisa. Paman Luke adalah kerabat dekat sekalig
5 years later Aku menarik napas dalam – dalam. Berusaha menenangkan diriku. Ini adalah hari ke delapan aku bekerja di sini. Pintu bertuliskan kata ‘Direktur Utama’ seolah memaksa jantungku memompa lebih cepat. Tidak tahu apa yang akan didiskusikan oleh Mr. Witson, aku dipanggil ke ruangannya tepat setelah jam makan siang selesai. Yang lebih mendebarkan adalah aku hanya asisten pengganti, sementara asisten dulu mengambil cuti melahirkan. Ya, mungkin sekitar satu tahun penuh sesuai kontrak kerjaku. “Masuk!” Suara bariton itu mempersilakanku membuka pintu kaca. Aku masuk dengan kegugupan penuh. Pasalnya Mr. Witson orang yang begitu dingin dan tak tersentuh. Matanya saat ini menatapku tajam, aku merasa seluruh tubuhku dikuliti hanya dengan indera penglihatnya itu. “Duduklah.” Aku tersenyum kikuk begitu mendapati suaranya yang agak melembut. “Ada apa, Si—“ Ah. Aku menipiskan bibirku, belum menyelesaikan kalimatku tapi
“Do you remember I was the first for you, baby girl?” Sayup – sayup terdengar bisikan kasar di telingaku. Aku berusaha memahami situasi saat ini. Terbangun dengan keadaan seseorang melingkarkan tangannya di pinggulku bukan hal yang pernah kupikirkan. Aku berusaha menahan napas, suara serak dan dalam itu mengingatkanku pada satu nama. Nama yang tak pernah aku ingin ingat. “I miss you.” Sontak aku bangun dan melepaskan diriku darinya. Kesalahan apa yang pernah kulakukan kemarin sampai harus melihatnya di sini. Di tempat yang bahkan kurang lebih baru satu hari aku menempatinya. Aku bangkit dari posisiku, turun dari kasur king size di kamar hotel ini. Langkahku mundur saat melihatnya mendekat ke arahku. “Bagaimana bisa kau di sini?” tanyaku hampir berupa bisikan. “Pergi!” pekikku saat dia meraih kedua tanganku. Aku mencoba melepaskannya, meskipun itu sia – sia. Tubuhnya terlalu menjulang, aku tak punya cukup tenaga melawannya.
Aku memeluk tubuhku erat, sesekali menggosok kulitku kasar. Tidak peduli bahwa saat ini aku menggigil penuh, bunyi derasnya shower pun tidak lagi penting. Rasanya aku ingin mati mengingat hidupku yang tak lagi berarti. Duniaku kembali hancur dalam satu hari, setelah bertahun-tahun aku menata hati untuk mengikhlaskan kesalahan itu. Pria yang tak pernah kuharapkan datang kembali merusak segalanya. Aku sungguh membencinya. Kenapa aku ditakdirkan bertemu dengannya? Kenapa hidup rasanya tidak adil bagiku. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk berdamai dengan masa lalu. Dan sekarang dia dengan sesuka hatinya merenggut kedamaian sementara itu. Sunguh, aku tak mau sampai benihnya ada di tubuhku. Lebih baik aku mati. Lagipula aku sudah tak bernilai. Tak ada gunanya bertahan. Ya. Seharusnya aku sudah menenggelemkan tubuhku di bath up. Tapi tatapan membunuh itu menatap ke arahku. Ntah kapan dia ada di situ. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin dia pergi. Benar saja. Ha
Setengah jam perjalanan di dalam jet pribadinya terasa seperti hampir satu tahun. Apakah memang seperti itu rasanya berada di dekat orang yang kau benci? Waktu terasa berputar lebih lama. Apalagi setiap gerak – gerikmu menjadi sebuah tontonan mengasyikan baginya. Ah. Siapa lagi kalau bukan Axe yang aku maksud. Bahkan sampai sekarang dia tidak melepaskan tanganku dari genggamannya walau kami sudah berada di dalam mobil. Tapi meskipun begitu, aku tahu saat ini Axe sedang tidur. Dengkuran kecil darinya membuktikan itu semua.“Wajahmu sangat familiar. Apa aku mengenalmu?” Itu pertanyaan dariku untuk tangan kanan Axe yang saat ini sedang fokus menyetir. Ketika bertemu dengannya pertama kali, aku merasa aku sangat mengenalnya. Pelawakannya yang tinggi langsing, kira – kira postur tubuhnya hampir seperti Axe. Hanya saja Axe sedikit lebih tinggi darinya. Aku langsung teringat pada seseorang. Mungkin, ‘kah?“Ya, Nona. Saya Edward.”Boo
Aku duduk terdiam di ranjang besar meratapi nasibku yang kurang beruntung. Axe berhasil memaksaku ke mansionnya. Di sini lah aku akhirnya. Terdampar di kamar yang semua dindingnya bercat putih. Beberapa lukisan tergantung di sana. Aku menghela napas kasar, menyesali janji yang kubuat hingga aku harus menepatinya. Axe memang sialan. Dia sangat licik dan kejam. Aku sudah seperti seorang tawanan dibuatnya. Bahkan di kamarku tidak ada jendela. Hanya ada beberapa ventilasi udara, itu pun lubangnya kecil untuk melarikan diri. Aku ingat betul bagaimana letak mansion miliknya. Sepanjang perjalanan kami memasuki hutan yang sangat dalam. Benar. Mansion ini berada di tengah hutan, jauh dari peradaban kota. Ntah apa tujuannya membawaku ke tempat seperti ini. Aku yakin. Mansion ini adalah tempat persembunyiannya. Sebab, di tengah perjalanan tadi. Axe sempat membawaku ke Penthouse-nya. Mengambil beberapa barangnya yang tertinggal. “Nona, tuan sudah menunggu untuk makan mal
Aku membuka mataku dan mendapati hari mulai siang, terlihat dari jam dinding yang menunjukkan pukul 10.30 am. Aku mengusap wajahku kasar, tidak biasanya terlelap begitu dalam. Beberapa saat kusadari tanganku sudah tidak terikat. Bahkan sudah terlilit perban karena sepertinya aku terluka saat mencoba melepaskan diri. Tapi yang menjadi pertanyaanku adalah, siapa yang mengobatiku?Axe?Apa mungkin. Aku tidak percaya. Bisa saja pria itu meminta Edward yang melakukannya.Aku turun dari ranjang. Tak mau memikirkan hal yang tidak penting. Pikiranku lelah. Lebih baik membersihkan diriku sekarang. Aku bisa saja memancing kemarahan pria kejam itu jika hanya menangis dan menangis. Sejujurnya, aku lelah memberontak jika hasil yang kudapati dari pemberontakanku tidak ada. Percuma, bukan?Usai urusan pribadiku selesai. Aku tak sengaja melihat sepucuk surat terletak di atas nakas. Dahiku mengerut heran, bukankah jika ada yang ingin Axe sampaikan. Dia bisa mengirim p