Share

Dark Side

Today is Saturday.

Berarti sudah enam hari berlalu dan sejak kejadian malam itu. Malam di mana Axe mengusirku, aku tak pernah lagi menginjakkan kakiku di sana, di kamarnya. Bahkan enam hari penuh itu pula aku tidak bertemu dengannya.

Saat pagi Axe selalu pergi lebih dulu meninggalkan sarapan bersama, dan malamnya dia pulang begitu larut. Axe seperti menghindariku, seakan bertemu denganku bukan bagian dari kegiatannya lagi.

Aku sendiri berusaha terlihat tidak peduli. Lagipula apa salahku padanya? Kenapa sikapnya berubah pesat. Yang kutahu, selama ini dia tidak pernah mengatakan bahwa dia keberatan dengan keberangkatanku ke New York besok. Semoga saja tebakanku tidak benar kalau dia agak tidak setuju tentang keputusanku dan mom maupun dad.

Sayangnya, mom dan dad tak bisa menemaniku besok. Kemarin pagi mereka berpamitan ke hotel Paman Luke, yang ada di Bristol merayakan hari pernikahannya dengan kekasihnya, Denisa. Paman Luke adalah kerabat dekat sekaligus partner bisnis dad. Dia begitu baik dan perhatian. Aku yakin kekasihnya akan sangat beruntung memiliki paman Luke sebagai suaminya.

 “Ya, mom. ada apa?”

Pafahal kami baru saja tidak bertemu kurang lebih satu hari dan mom sudah menelponku untuk yang ketiga kalinya. How possessif she is?

“Honey, apa Axe sudah pulang?”

Aku melirik jam di ponselku. Memutar bola mata dan menghela napas pelan. Sekarang baru pukul sembilan malam. Tidak  mungkin bagi Axe ada di rumah. Sudah kukatakan, belakangan ini pria itu banyak berubah. Mungkin nanti aku harus bicara padanya.

“Belum, Mom. Memangnya ada apa?”

Terdengar helaan napas dari sebrang sana. Mom sepertinya sedang berpikir sebelum menjawab pertanyaanku. “Ponselnya tidak bisa dihubungi. Ntahlah. Rasanya mom begitu khawatir pada kakakmu. Mom takut dia melakukan hal-hal gila.” Aku bisa mendengar dengan jelas nada takut mom ketika bicara padaku. Mungkinkah benar Axe dalam bahaya? Insting seorang ibu tak pernah salah, ‘kan?

“Tenanglah, Mom. Axe baik-baik saja. Kalau dia pulang, aku akan memberitahu mom.”

“Baiklah, Honey. Mom percaya padamu. Suruh dia hubungi mom kalau bisa.”

“Ya, Mom. Tenang saja.”

Bruk!

Baru saja aku menyudahi panggilan mom. Pintu kamarku tiba-tiba terbuka paksa, menampilkan sesosok pria tampan yang baru saja kami bicarakan. Tidak rapi seperti biasa. Kini jas kerja Axe tak lagi di tubuhnya, hanya kemeja putih yang tangannya tergulung sampai ke atas lengan. Dia berjalan sempoyongan ke arahku. Tatapannya juga tidak fokus, sesekali dia memejamkan mata, seolah ingin mengambil kesadaran yang tertinggal.

“Don’t leave me!” ucapannya terdengar menyerupai bisikan. Aku bahkan melihat kesedihan yang begitu kentara di sana.

“Don’t leave me, please!” Lagi, kali ini aku bisa merasakan nada frustrasi Axe. Tidak lagi melangkah, sekarang dia menjulang tinggi di depanku. Bau alkohol menguar begitu saja saat dia menunduk dan mendekatkan wajahnya ke arahku. 

“You still wanna leave me, em?”  bisiknya sensual disusul gigitan kecil di telingaku.

Sontak aku mendorongnya menjauh. Agak tidak menyangka apa yang dia lakukan padaku.

“What’s wrong with you, huh?” tanyaku sedikit emosi. Pasalnya Axe mencoba mencium pipiku.

“Kau mabuk!” Aku terus mendorongnya. Berusaha terbebas darinya yang saat ini berhasil mengurungku dengan kedua tangan.

Spontan aku menendang perut Axe hingga dia mundur begitu jauh.

Melihat ada kesempatan, aku segera bangkit. Berlari ke arah di mana jalan keluar terletak.

Sial. Pintu kamarku terkunci. Bunyi gemerincing dari arah Axe berhasil menarik perhatianku. Axe dengan senyum sinisnya memperlihatkan beberapa anak kunci yang ada di tangannya.

Aku baru menyadari sesuatu, dia sudah merencakan hal ini. Itu sebabnya semua kejadian memilukan ini seolah mendukung kegiatannya.

“Kembalikan kunci kamarku!” Aku mendekat ke arahnya, berusaha meraih yang aku butuhkan saat ini. Tapi tidak semudah itu. Axe sangat tinggi, aku tak bisa mencapai tangannya.

“I want you,” ucapnya serak. Membuat mataku membola penuh. Apa maksudnya?

“Like that asshole said, I want her, I want to drink her. Ya, me too. I want you. I want to drink you. What you think, Bri? Would you—“

Plak!

Jika kalian bertanya apakah aku menamparnya. Benar. Aku menamparnya. Mulut kurang ajarnya memang harus dihajar. Bisa-bisanya Axe bicara begitu padaku. Aku adik perempuannya. Bagaimana bisa dia mempertaruhkan harga diriku dengan otaknya yang serendah selangkangan?

“Don’t you dare—“ Kalimatku terpotong oleh cekikan tangan Axe di leherku.

Mataku mengerjap, mencoba meraih sisa napas yang mendadak hilang.

“Ax—“ Aku berusaha memanggil namanya. Syukurlah akhirnya dia sadar dan melepaskan cekikan tangannya. Mata Axe menatapku nyalang, seakan ingin membakarku hidup-hidup. Sayangnya, tidak ada yang bisa kulakukan selain menghirup oksigen sebanyak mungkin. 

“Jangan pernah menolakku!” tegas Axe. Dia menarik lenganku dan mendorongku ke ranjang. Dalam sekali sentakkan bajuku terkoyak olehnya, mengekspos sebagian tubuhku yang tidak bersalah.

Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa menangis saat Axe mulai menjamah seinci demi seinci tubuhku. Sesekali aku berusaha menolak. Tapi, dia kembali mencekikku setiap kali aku mencoba melawannya. Ntah apa yang terjadi pada Axe saat ini. Dia yang kukenal begitu pemalu kemarin mendadak berubah menjadi iblis jelmaan manusia. Sakit yang dia berikan tak lagi menjadi masalah besar bagiku, yang aku mau hanya satu. Dia menyelesaikan kegiatan gilanya terhadapku, di mana aku akan menunggunya lelah. Setelah itu aku bisa pergi diam-diam.

Aku bersumpah tak mau melihat wajahnya lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
kekesalan menandakan ada kebencian
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status