“Oh. Astaga. Jadi pria itu kakakmu, Bridgette?"
Aku meringis mendengar nada tak percaya yang Rose lontarkan. Dia tampak syok mengetahui kenyataan itu. Kenyataan bahwa pria yang bersamaku dan begitu lengket bersama Oracle adalah pria yang sudah menghamiliku lima tahun lalu—kakakku sendiri.Tentu saja Rose tahu siapa Axe dan apa status hubungan kami. Dia satu – satunya orang yang kuberitahu saat tak ada siapa pun yang bisa kupercaya di dunia ini. Jangan tanya seperti apa reaksi Rose saat kuceritakan permasalahan hidupku padanya. Dia begitu sakit membayangkan seorang pria seperti Axe benar – benar ada dan secara tidak langsung masuk ke dalam kehidupannya.“Kenapa kau bisa bersamanya, Bridgette?” tanyanya setengah mendesah.“Ceritanya panjang.” Aku menghela napas sejenak. Mungkin sudah takdirku seperti ini, aku bisa apa?“Kau tidak ingin pergi darinya?” bisik Rose hati – hati. Matanya bergerak cep“Tapi sepertinya tuan sedang tidur, Nona,” lanjutnya sukses membuat langkah kakiku terhenti.“Apa Axe tidur bersama Oracle?”“Ya, Nona,” jawabnya membuatku dan Rose kompak saling melirik.“Buka saja pintunya, Bridgette,” ucap Rose mulai tak sabar.Aku menarik napas dalam – dalam memantapkan hati membuka pintu mobil. Kira – kira seperti apa pose mereka saat sedang tidur bersama? Apa mereka akan terlihat sama miripnya ketika mata mereka terbuka, atau justru sebaliknya?Membayangkan hal itu, perasaan asing tiba – tiba menyergap dadaku. Aku tidak tahu. Haruskah aku sedih atau senang menyadari bahwa Axe dan Oracle begitu mudah akrab. Tapi aku tak bisa bohong kalau di lubuk hatiku paling dalam, terbesit sebuah harapan yang dilambungkan setinggi angkasa.Aku ingin suatu saat nanti bisa jujur pada Oracle siapa aku sebenarnya. Selama ini yang dia ketahui adalah Rose ibunya, bukan aku. Aku juga kasihan padanya, sejak kecil dia tidak pernah merasakan kehadiran seorang a
“Biar aku yang gendong.” Axe menarik paksa tubuh Oracle dari dekapanku, membuat rasa kosong menyelimuti ketika tubuh kecil Oracle sudah berpindah ke tangan ayahnya.Tadinya aku ingin protes, tapi karena kami sedang berjalan di lobi hotel. Aku mengurungkan niatku dan membiarkan Axe melangkah lebih dulu meninggalkanku. Punggung tegap Axe terlihat semakin jauh karena langkah lebarnya tak pernah terjeda.Axe terlihat sedang berburu waktu. Memangnya dia akan ke mana setelah ini? Batinku terus bertanya – tanya.Dengan cepat aku mengejar jejaknya yang kini tampak memasuki kamar hotel. Setiap gerakan yang Axe ciptakan terlihat aneh bagiku, atau itu hanya perasaanku? Aku segera menggeleng lalu mendorong pintu yang nyaris tertutup.Napasku terembus cukup lega melihat Axe sudah memindahkan tubuh kecil Oracle ke atas kasur, tidurnya masih senyenyak saat di mobil. Sama sekali tidak terganggu dari perpindahan satu ke perpindahan lain.“Ada ap
“Jadi aku harus memanggil om apa?” tanya Oracle begitu polosnya saat kami sedang jalan bersisian menuju kamar hotel yang kami tempati.“You can call me daddy.”“Daddy?” tanya Oracle kembali seakan memastikan kebenaran dari perkataan Axe.“Ya,” jawab Axe cepat. Pria itu masih setia menggandeng tangan kecil Oracle sembari menuntunnya melangkah.“Aunty. May I?” Kali ini Oracle beralih padaku. Tatapan penuh harap darinya berhasil memporak – porandakan isi hatiku. Kenapa rasanya sakit sekali melihat Oracle berharap agar bisa memanggil Axe dengan sebutan daddy. Sungguh. Dia membuatku merasa seperti orang jahat karena telah memisahkannya dari ayah kandungnya sendiri.“Aunty, kenapa diam? Apa aku boleh memanggil om ganteng dengan sebutan daddy?”Aku tersenyum kecil dan mengangguk sebagai jawaban. Tak ada yang bisa kukatakan selain hanya mengiyakan. Aku segera menghapus air mata yang n
Siapa dia?Mataku terus memperhatikan langkah tak terjamah itu. Semakin lama semakin dekat. Aku yakin napasku mulai tercekat. Wajah pria itu sama sekali tak terlihat, membuatku agak menyesal sudah mematikan seluruh lampu di kamar ini.Aku berusaha mencerna situasi di sini. Perlahan tapi pasti, tanganku bergerak mengambil ponsel dan menyalahkan senter. Cepat – cepat kuarahkan sinar dari ponselku ke arah pria itu. Hal yang tak lain membuatnya segera mengangkat tangan menutup wajah, terganggu akan silauannya cahaya.“Turn it off!” serunya tak suka bersamaan dengan hidupnya lampu di ruangan ini, dia yang menekan saklar lampu.Axe!Mataku seketika membulat mendapati wajah yang sedari tadi kukhawatirkan. “Ke mana saja kau, Axe?” tanyaku tak peduli tatapan tajam darinya. Ada sedikit kelegaan di hatiku melihat kondisinya. Aku senang bahwa Axe baik – baik saja.“Bukan urusanmu!” hardiknya sembari melangkah me
Sedikit terperangah aku melihatnya memegang pisau dapur berukuran sedang. Jangan bilang Axe akan—membuktikan kalimatnya di kamar mandi tadi. Aku benar – benar tak habis pikir.“Jangan lakukan ini!” Langkahku sudah pasti semakin mundur menyadari jarak kami semakin menipis.“Pergi!” pekikku nyaris seperti orang gila. Dadaku naik turun merasa sesak melihat kilatan tak kenal ampun di matanya. Benarkah yang di depanku saat ini adalah Axe? Aku menggeleng sebagai jawaban untuk diriku sendiri. Tentu saja, manusia seperti dirinya hanya satu di muka bumi ini.Degh!Bunyi suara tertahan membuat jantungku seketika bertalu. Celakalah, tak ada lagi ruang gerak bagiku. Aku terkunci dengan tubuh tertahan oleh pantry. “ Berhenti di situ!” seruku berusaha meraih apa saja yang masih tersisa di sana, barangkali para koki meninggalkan beberapa sisa bahan makanan yang bisa kugunakan melempar wajah Axe.“Stop, Axe!” Tangi
“Aunty.”Panggilan kecil disusul kecupan lembut di pipi samar – samar membuatku membuka mata. Senyumku merekah mendapati Oracle sedang duduk manis di hadapanku.“Good morning, Aunty,” sapanya sukses menimbulkan rasa hangat di dada. Senang rasanya bisa terbangun di samping Oracle seperti ini.“Good morning, Oracle,” balasku sembari mencubit pipinya pelan.“Daddy di mana, aunty? Aku tidak melihatnya.”Hatiku mendadak buram mendengar nama itu, nama yang membuatku sulit tidur hampir semalaman. Napasku terembus kasar dan kutatap wajah polos Oracle dalam – dalam.“Daddy tidur bersama Om Edward di kamar lain,” jawabku asal. Aku bahkan tidak tahu Axe ada di mana sekarang. Firasatku mengatakan dia berada di kamar lain meskipun kemungkinannya kecil.“Daddy sibuk, ya, Aunty?”“Iya, sayang. Sambil nunggu daddy, sebaiknya kita siap – siap buat ketemu momy. Oracl
Sedari sore, hingga sekarang sudah larut malam. Ponselku terus bergetar dan menampilkan beberapa notifikasi pesan yang terus kuabaikan. Aku tak berniat mengangkat panggilan atau sekadar membaca isi pesan. Ponselku kubiarkan berada di atas nakas, tak sekalipun aku meliriknya. Sudah bisa kutebak kalau pelakunya tak lain tak bukan adalah Axe. Siapa lagi yang memiliki nomor baruku selain dia dan Edward. Benar. Axe memang memberikan ponsel untukku, tapi dengan catatan aku harus memakai sim card yang dia berikan padaku. Sehingga beberapa kontak lama yang kupunya tak bisa kusimpan. Jangankan punya orang lain, nomor mom dan dad saja aku tak punya. Itu sebabnya, aku tak menghubungi mereka padahal dulu satu – satunya keinginanku saat pertama kali berada di bawah tahanan Axe adalah menghubungi mereka.Lagipula seharusnya Axe tak perlu menghubungiku karena jelas dia tahu aku berada di mana mengingat alat pelacak yang ada di tubuhku. Ingat apa yang pernah Edward katakan padaku?N
“Bridgette!”Mataku mengerjap samar mendengar ketukan pintu kamar. Sudah jam berapa ini? Pertanyaan itu berhasil membuat tubuhku sendiri bergerak cepat, hingga kini posisiku menjadi duduk dengan dada naik turun tak beraturan.Semalam begitu mudahnya aku jatuh tertidur di luar keinginan. Maksudku, kemarin malam aku berniat memastikan keberadaan Axe setelah 10 menit mematikan seluruh lampu agar dia berpikir aku benar – benar tak memedulikannya. Aku memang sengaja agar dia kembali ke hotel dan beristirahat di tempatnya. Sayangnya aku justru tertidur sebelum dua menit pertama setelah berbaring di atas ranjang. Sekarang risikonya, jantungku harus berdebar mempertanyakan keberadaannya.Dengan cepat kakiku melangkah menuju jendela. Kutarik gorden hingga silau pagi sedikit membuatku menghindar. Sepertinya aku kesiangan.Kucari – cari keberadaan Axe dan menemukannya masih berdiri di sana. Benarkah apa yang kulihat? Kucubit lenganku sejenak dan apa yang ada di hadapanku tak beruba