Share

BAB 6

Naomi yang meronta-ronta sontak terdiam demi mendengarkan rencana yang Dimas pikirkan untuk Pandu dan Maya.

“Rencana apa maksudmu?” tanya Naomi dengan dahi yang berkerut.

“Ayo kita balas perbuatan mereka dengan hal serupa supaya mereka merasakan rasa sakit yang kita alami kalau bisa lebih menyakitkan dari yang kita rasakan—.”

Plak!!!

Satu tamparan lagi-lagi mendarat di wajah Dimas, lengkap sudah kedua pipi Dimas memerah karena tempelengan Naomi.

“Balas mereka dengan selingkuh katamu? Kamu bener-bener hilang akal ya?!” hardik Naomi, ia menatap tidak percaya ke arah Dimas. Bagaimana bisa Dimas berpikir seperti itu?

Namun Dimas bungkam ia tidak menyanggah atau pun menatap wajah Naomi karena ia sendiri tahu bahwa ucapannya tidak masuk akal. Karena Dimas tahu bahwa tidak seharusnya dia berpikir begitu.

“Kalau kita melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan lalu apa bedanya kita dengan mereka?!” Naomi memijat dahinya yang mulai berdenyut lagi, “Kalau kamu mau melakukannya dengan cara seperti itu lakukan saja rencanamu itu sendiri.”

Naomi melepaskan genggaman Dimas dan balik kanan hendak pergi, tapi belum jauh Naomi melangkahkan tiba-tiba tubuhnya kembali tertahan oleh rasa sakit yang menyerang kepalanya. Naomi merasa bumi berputar-putar padahal tidak terjadi gempa bumi. Tubuh Naomi yang limbung akhirnya roboh.

Dimas yang menyadarinya langsung mendekap tubuh Naomi. “NAOMI!! Ada apa denganmu?! Naomi!” Dimas berseru panik seraya mengguncang-guncang tubuh Naomi.

Suara panik Dimas masih terdengar oleh Naomi dengan sisa-sia kesadaran yang ia miliki. Pria itu terdengar cemas.

“NAOMI, SADARLAH!!”

 Hingga suara berat pria itu semakin mengecil dan tidak terdengar lagi. Menyisakan gelap dan sunyi.

***

Naomi membuka kelopak matanya, kesadarannya perlahan pulih. Ia mengamati sekelilingnya tapi ada yang aneh. Naomi tidak mengenal tempatnya berbaring saat ini.

Ia pun terperanjat bangkit dari tempat tidur dan langsung melihat logo hotel yang ia datangi semalam, terpampang nyata di depan matanya di atas sebuah handuk kecil yang tergeletak di atas nakas.

Semua ingatannya tentang kejadian semalam sampai ia pingsan berkelebat dengan jelas dan membuat wajahnya pucat seketika.

“Hah?! Aku di kamar hotel?! Apa Dimas....” suara Naomi tertahan begitu ia mengintip tubuhnya di balik selimut.

“Bagaimana kondisimu?” ujar Dimas yang kini sudah berdiri tak jauh dari tempat tidur.

Dengan refleks Naomi menarik kembali selimut dan membalut tubuhnya rapat, memberi pertahanan maksimal kalau-kalau Dimas melakukan sesuatu.

Dimas mengangkat sebelah alisnya dan mendengus kasar. “Kamu bukan tipeku....” ucapan Dimas terhenti, ia menyelidik Naomi dari ujung kepala hingga kaki, lalu menggeleng-geleng seraya mengulas senyum mencibir, “sama sekali bukan seleraku.”

“Lalu kenapa kamu membawaku ke kamar ini?” tanya Naomi ketus.

“Kamu pingsan dan aku pikir kamu butuh untuk berbaring dan pertolongan sesegera mungkin, aku hanya berusaha membantu, tidak perlu salah paham. Lagi pula aku tidak tidur bersamamu.”

Naomi memutar bola matanya lalu tanpa banyak berpikir dengan kasar ia melepas selang infus yang menancap di punggung tangannya.

“Hey! Kamu melukai tanganmu, Nom.”

Dimas berlari dengan cepat mendekati Naomi dan meraih tangan Naomi yang kini sudah mengeluarkan darah segar, tapi Naomi langsung menepis tangan Dimas dan menatapnya dengan galak.

“Jangan menyentuhku!” cetus Naomi lalu ia berjalan melewati Dimas.

Dimas kembali mendengus ia tidak percaya akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Dimas menarik lengan Naomi dan menahannya untuk pergi. Wanita itu tidak bisa lolos begitu saja.

“Tunggu, apa ini sikap yang pantas kamu berikan untuk seseorang yang sudah menolongmu? Bukankah seharusnya kamu berterima kasih padaku?” sindir Dimas.

“Terima kasih? Bukankah sudah jelas kalau kamu sedang melancarkan rencana gilamu itu dengan membawaku ke kamar hotel terus bukti-bukti ini akan kamu berikan pada Pandu supaya dia sakit hati. Supaya dendammu terpenuhi.”

Dimas menganga, membulatkan mulutnya lalu terkekeh. “Bukankah imajinasimu terlalu liar? Untuk apa aku melakukannya?”

“Kalau kamu ga ada niat tertentu, kamu ga akan sewa kamar ini dan bakalan pilih untuk bawa aku ke rumah sakit.”

Naomi rasa sudah cukup berdebat dengan Dimas. Ia pun berlari keluar ruangan, tapi baru saja ia menginjak koridor tubuhnya langsung membeku saat melihat Pandu yang mengenakan topi tengah berjalan seraya memijat-mijat kepalanya.

Dimas yang melihat hal itu dengan cepat mendorong tubuh Naomi ke dinding dan berpose seolah sedang mencium wanita itu dan membenamkan kepala mereka hingga tertutup oleh lengan Dimas.

Naomi yang panik hendak mendorong Dimas, tapi Dimas berhasil menahannya.

“Diamlah atau si brengsek itu akan melihatmu,” bisik Dimas.

Akhirnya Naomi menurut. Pandu hanya melewati keduanya tanpa kecurigaan apa pun lalu menghilang saat memasuki lift yang tak jauh dari posisi Naomi dan Dimas berada.

“Kenapa kamu ceroboh sekali, Nom? Bagaimana kalau dia melihat—.” Cercaan Dimas terhenti saat ia menatap wajah Naomi yang kembali terlihat pilu.

Sungguh Dimas tidak tega melihat Naomi seperti itu karena ia tahu persis bagaimana pahitnya menerima pengkhianatan dari sosok yang paling dipercaya dan dicinta.

Di saat pikiran Naomi melayang tiba-tiba saja Dimas memakaikan sebuah topi di kepala Naomi dan membuat Naomi kembali bersiaga.

“Usahakan jangan sampai berpapasan dengan Pandu atau Maya. Apa rencanamu selanjutnya untuk Pandu lakukan saja semaumu, aku tidak akan ikut campur.”

****

Naomi kembali ke rumah setelah tiga hari tidak pulang. Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah memasuki rumah yang sebelumnya merupakan istana favoritnya itu. Kali ini rumah itu tampak seperti tempat dengan kumpulan kenangan buruk.

Tanpa bertenaga Naomi membuka pintu rumah. Begitu ia tiba sebuah tamparan langsung mendarat di wajahnya hingga membuat Naomi yang masih lemas tersungkur ke lantai.

“Istri macam apa kamu ini? Rumah berantakan dan bau busuk. Dari mana saja kamu?!” hardik Kamila pada menantunya.

Naomi masih terpaku merasakan kepedihan yang menjalari wajah juga hatinya.

“Merawat rumah saja kamu ga becus apalagi merawat anakku?! Sudah aku duga kamu bukan istri yang baik untuk Pandu. Kamu harus ingat aku setuju kamu menikah dengan putraku karena putraku memohon-mohon padaku—.”

“Seharusnya ibu tidak perlu merestui kami dari awal,” celetuk Naomi dengan suara lemah yang langsung membakar amarah Kamila.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status