Naomi yang meronta-ronta sontak terdiam demi mendengarkan rencana yang Dimas pikirkan untuk Pandu dan Maya.
“Rencana apa maksudmu?” tanya Naomi dengan dahi yang berkerut.
“Ayo kita balas perbuatan mereka dengan hal serupa supaya mereka merasakan rasa sakit yang kita alami kalau bisa lebih menyakitkan dari yang kita rasakan—.”
Plak!!!
Satu tamparan lagi-lagi mendarat di wajah Dimas, lengkap sudah kedua pipi Dimas memerah karena tempelengan Naomi.
“Balas mereka dengan selingkuh katamu? Kamu bener-bener hilang akal ya?!” hardik Naomi, ia menatap tidak percaya ke arah Dimas. Bagaimana bisa Dimas berpikir seperti itu?
Namun Dimas bungkam ia tidak menyanggah atau pun menatap wajah Naomi karena ia sendiri tahu bahwa ucapannya tidak masuk akal. Karena Dimas tahu bahwa tidak seharusnya dia berpikir begitu.
“Kalau kita melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan lalu apa bedanya kita dengan mereka?!” Naomi memijat dahinya yang mulai berdenyut lagi, “Kalau kamu mau melakukannya dengan cara seperti itu lakukan saja rencanamu itu sendiri.”
Naomi melepaskan genggaman Dimas dan balik kanan hendak pergi, tapi belum jauh Naomi melangkahkan tiba-tiba tubuhnya kembali tertahan oleh rasa sakit yang menyerang kepalanya. Naomi merasa bumi berputar-putar padahal tidak terjadi gempa bumi. Tubuh Naomi yang limbung akhirnya roboh.
Dimas yang menyadarinya langsung mendekap tubuh Naomi. “NAOMI!! Ada apa denganmu?! Naomi!” Dimas berseru panik seraya mengguncang-guncang tubuh Naomi.
Suara panik Dimas masih terdengar oleh Naomi dengan sisa-sia kesadaran yang ia miliki. Pria itu terdengar cemas.
“NAOMI, SADARLAH!!”
Hingga suara berat pria itu semakin mengecil dan tidak terdengar lagi. Menyisakan gelap dan sunyi.
***
Naomi membuka kelopak matanya, kesadarannya perlahan pulih. Ia mengamati sekelilingnya tapi ada yang aneh. Naomi tidak mengenal tempatnya berbaring saat ini.
Ia pun terperanjat bangkit dari tempat tidur dan langsung melihat logo hotel yang ia datangi semalam, terpampang nyata di depan matanya di atas sebuah handuk kecil yang tergeletak di atas nakas.
Semua ingatannya tentang kejadian semalam sampai ia pingsan berkelebat dengan jelas dan membuat wajahnya pucat seketika.
“Hah?! Aku di kamar hotel?! Apa Dimas....” suara Naomi tertahan begitu ia mengintip tubuhnya di balik selimut.
“Bagaimana kondisimu?” ujar Dimas yang kini sudah berdiri tak jauh dari tempat tidur.
Dengan refleks Naomi menarik kembali selimut dan membalut tubuhnya rapat, memberi pertahanan maksimal kalau-kalau Dimas melakukan sesuatu.
Dimas mengangkat sebelah alisnya dan mendengus kasar. “Kamu bukan tipeku....” ucapan Dimas terhenti, ia menyelidik Naomi dari ujung kepala hingga kaki, lalu menggeleng-geleng seraya mengulas senyum mencibir, “sama sekali bukan seleraku.”
“Lalu kenapa kamu membawaku ke kamar ini?” tanya Naomi ketus.
“Kamu pingsan dan aku pikir kamu butuh untuk berbaring dan pertolongan sesegera mungkin, aku hanya berusaha membantu, tidak perlu salah paham. Lagi pula aku tidak tidur bersamamu.”
Naomi memutar bola matanya lalu tanpa banyak berpikir dengan kasar ia melepas selang infus yang menancap di punggung tangannya.
“Hey! Kamu melukai tanganmu, Nom.”
Dimas berlari dengan cepat mendekati Naomi dan meraih tangan Naomi yang kini sudah mengeluarkan darah segar, tapi Naomi langsung menepis tangan Dimas dan menatapnya dengan galak.
“Jangan menyentuhku!” cetus Naomi lalu ia berjalan melewati Dimas.
Dimas kembali mendengus ia tidak percaya akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Dimas menarik lengan Naomi dan menahannya untuk pergi. Wanita itu tidak bisa lolos begitu saja.
“Tunggu, apa ini sikap yang pantas kamu berikan untuk seseorang yang sudah menolongmu? Bukankah seharusnya kamu berterima kasih padaku?” sindir Dimas.
“Terima kasih? Bukankah sudah jelas kalau kamu sedang melancarkan rencana gilamu itu dengan membawaku ke kamar hotel terus bukti-bukti ini akan kamu berikan pada Pandu supaya dia sakit hati. Supaya dendammu terpenuhi.”
Dimas menganga, membulatkan mulutnya lalu terkekeh. “Bukankah imajinasimu terlalu liar? Untuk apa aku melakukannya?”
“Kalau kamu ga ada niat tertentu, kamu ga akan sewa kamar ini dan bakalan pilih untuk bawa aku ke rumah sakit.”
Naomi rasa sudah cukup berdebat dengan Dimas. Ia pun berlari keluar ruangan, tapi baru saja ia menginjak koridor tubuhnya langsung membeku saat melihat Pandu yang mengenakan topi tengah berjalan seraya memijat-mijat kepalanya.
Dimas yang melihat hal itu dengan cepat mendorong tubuh Naomi ke dinding dan berpose seolah sedang mencium wanita itu dan membenamkan kepala mereka hingga tertutup oleh lengan Dimas.
Naomi yang panik hendak mendorong Dimas, tapi Dimas berhasil menahannya.
“Diamlah atau si brengsek itu akan melihatmu,” bisik Dimas.
Akhirnya Naomi menurut. Pandu hanya melewati keduanya tanpa kecurigaan apa pun lalu menghilang saat memasuki lift yang tak jauh dari posisi Naomi dan Dimas berada.
“Kenapa kamu ceroboh sekali, Nom? Bagaimana kalau dia melihat—.” Cercaan Dimas terhenti saat ia menatap wajah Naomi yang kembali terlihat pilu.
Sungguh Dimas tidak tega melihat Naomi seperti itu karena ia tahu persis bagaimana pahitnya menerima pengkhianatan dari sosok yang paling dipercaya dan dicinta.
Di saat pikiran Naomi melayang tiba-tiba saja Dimas memakaikan sebuah topi di kepala Naomi dan membuat Naomi kembali bersiaga.
“Usahakan jangan sampai berpapasan dengan Pandu atau Maya. Apa rencanamu selanjutnya untuk Pandu lakukan saja semaumu, aku tidak akan ikut campur.”
****
Naomi kembali ke rumah setelah tiga hari tidak pulang. Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah memasuki rumah yang sebelumnya merupakan istana favoritnya itu. Kali ini rumah itu tampak seperti tempat dengan kumpulan kenangan buruk.
Tanpa bertenaga Naomi membuka pintu rumah. Begitu ia tiba sebuah tamparan langsung mendarat di wajahnya hingga membuat Naomi yang masih lemas tersungkur ke lantai.
“Istri macam apa kamu ini? Rumah berantakan dan bau busuk. Dari mana saja kamu?!” hardik Kamila pada menantunya.
Naomi masih terpaku merasakan kepedihan yang menjalari wajah juga hatinya.
“Merawat rumah saja kamu ga becus apalagi merawat anakku?! Sudah aku duga kamu bukan istri yang baik untuk Pandu. Kamu harus ingat aku setuju kamu menikah dengan putraku karena putraku memohon-mohon padaku—.”
“Seharusnya ibu tidak perlu merestui kami dari awal,” celetuk Naomi dengan suara lemah yang langsung membakar amarah Kamila.
Tangan Naomi mengepal kuat hingga buku-buku tangannya memutih, rahangnya mengeras, air matanya jatuh tanpa Naomi sadari. “Brengsek!” Gumam Naomi. “Ayo Nom, kita—.” Dimas yang baru tiba sontak terdiam begitu melihat sikap Naomi. Dimas memerhatikan arah pandangan Naomi dan berusaha mengikutinya. ‘Astaga! Apa yang dia lihat?!’ batin Dimas. Dimas segera mengambil benda pipih canggih itu, tapi Naomi berhasil mencegahnya dan meraih gawai milik Dimas lebih dulu.“Nom....” Ucapan Dimas tertahan karena Naomi mendadak memelototinya, rasa cemas bercampur takut berdesir dari pembuluh darah Dimas. Tanpa banyak berbicara Naomi menarik pria itu keluar dari restoran dan berjalan menuju tempat yang sepi dengan terburu-buru.“Kamu memata-matai mereka?” tanya Naomi. Dimas mengembus napas berat, seperti yang ia duga ternyata benar Naomi melihat pesan dari salah satu temannya yang bekerja di agensi yang sama dengan Pandu dan Maya.Sejak mengetahui perselingkuhan Maya dan Pandu, Dimas menghubu
Maya melirik ke bagian bawah tubuh Pandu sambil tersenyum nakal.Pandu berdecak lalu menarik tangan Maya hingga wanita itu jatuh di pangkuannya. Kemudian ia tatap kedua mata Maya dengan tatapan yang sangat intens, lalu tanpa banyak berbicara Pandu segera melahap bibir seksi milik Maya. Kedua bibir mereka beradu dengan liar. Mereka terhanyut dalam suasana panas itu tanpa memikirkan apa pun dalam benak mereka.Maya mendesah cukup kuat begitu milik Pandu memasuki area tubuh bawahnya. Pandu dengan cepat membekap mulut sahabatnya itu. “Pelankan suaramu atau kita akan ketahuan,” ujar Pandu. “Bagaimana aku bisa memelankan suaraku kalau kamu seliar ini....” Maya kembali mendesah kali ini ia berusaha menahan kuat suaranya agar tidak bergema terlalu kencang. Maya merasakan sesuatu yang berbeda dari pria itu. Pandu melakukannya lebih liar dari yang biasa sering mereka lakukan. Bahkan ia terus mendorong dengan kuat tanpa henti dan membuat Maya semakin hilang akal. “Kamu melakukannya l
“Maukah kamu menemaniku lagi bermain paralayang?”Dimas mengerjap, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Dimas tidak menyangka sama sekali Naomi mau melakukannya lagi, Dimas pikir ini akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya, mengingat wanita itu sangat ketakutan sebelumnya.Senyuman kembali merekah di wajah Dimas, “Tentu saja aku bersedia.”Akhirnya Naomi dan Dimas melakukan paralayang lagi dan untuk yang kedua kalinya Naomi terlihat lebih rileks walaupun tangannya masih mendingin saat mereka hendak meluncur. Dimas sangat puas ternyata usahanya untuk membuat Naomi bersenang-senang tidaklah sia-sia, wanita itu sangat menikmatinya. Mata Naomi tidak lagi terlihat sendu, binarnya kembali seperti sedia kala, seperti yang selama ini selalu Dimas lihat. “Aku pikir kamu tidak akan mau melakukannya lagi.”“Aku menyadarinya, ternyata kamu benar, kalau ini menyenangkan. Aku jadi mengerti semua maksudmu dan sepertinya aku akan ke sini lagi saat pikiranku kacau.”
“Kalau pun aku harus mati karena itu, aku akan tetap melakukannya, Naomi.”Naomi tertegun, lamat-lamat ia menatap kedua mata Dimas dan ada kesungguhan yang terpancar dari sana. Entah itu hanya perasaan Naomi, atau tipuan belaka, atau bisa saja Dimas memang bersungguh-sungguh mengatakannya. Namun anehnya Naomi ingin percaya bahwa pria menyebalkan itu memang bersungguh-sungguh pada perkataannya.“Baiklah,” Naomi akhirnya melunak, “Tidak perlu menganggap serius pembicaraan barusan, aku tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.” Setelah itu mereka memakai alat pengaman dan mendengarkan instruksi yang diberikan selepas semua instruksi di sampaikan oleh pemandu, Naomi dan Dimas bersiap-siap untuk melayang-layang di udara. Naomi beberapa kali menatap gusar daratan di bawah sana. Tangannya mendingin, wajahnya memutih. Dimas yang berada tepat di belakangnya menggenggam erat tangan Naomi. “Aku sudah sering melakukannya, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak peduli kamu hanya asal bicara at
Sejak turun dari bus Naomi terus memandangi empat buah permen yang Dimas berikan untuknya dengan embel-embel hadiah karena leluconnya yang bahkan Naomi pikir itu bukanlah lelucon yang lucu.“Tenang saja, Nom, ini bukan satu-satunya hadiah yang akan kamu terima,” ujar Dimas begitu menyadari bahwa Naomi sejak tadi terdiam karena menatap permen pemberian darinya.“Tidak usah membuat kesimpulan sendiri. Aku tidak memintamu untuk memberi apa pun padaku,” sahut Naomi, “Hanya saja....” lagi-lagi Naomi menghentikan ucapannya.Mendadak Naomi merasa bahwa ia tidak perlu mengatakan yang sedang ada dalam benaknya saat ini dan Naomi pikir Dimas juga tidak perlu mengetahuinya. Apa yang ingin ia katakan bukanlah hal yang penting, malah lebih tepatnya hanya sebuah informasi tidak penting. “Hanya apa? Kenapa kamu tidak menyelesaikan perkataanmu?” desak Dimas yang ternyata sudah menunggu Naomi dengan rasa penasaran yang menggebu. “Bukan sesuatu yang penting, sudahlah ayo kita berjalan lagi. Kam
Tubuh Naomi tiba-tiba membeku, bola mata Dimas yang indah lagi-lagi berhasil menghipnotis Naomi. Naomi rasakan jantungnya mendadak berdegup dengan kencang, perlahan pipinya yang tirus mulai bersemu merah.Embusan napas Dimas yang dapat Naomi rasakan dengan jelas malah membuat perasaannya semakin tidak karuan.Dengan kencang Naomi mendorong tubuh Dimas agar pria itu menjauh darinya. Jika mereka terus bertahan di posisi seperti itu Naomi tidak tahu apa yang akan terjadi pada hatinya. Namun di saat yang sama bus yang mereka naiki mengerem mendadak hingga tubuh Naomi hilang keseimbangan, dengan sigap Dimas langsung menahannya dan berakhir Naomi jatuh di pelukan pria itu. Dalam pelukan Dimas, diam-diam Naomi bisa merasakan degup jantung pria itu. Naomi termenung saat merakan degup demi degup yang ia rasakan dari tubuh Dimas.‘Kenapa jantung Dimas berdetak dengan cepat?’ batin Naomi. Rasa penasaran mendadak terbit. Tapi Naomi tidak membiarkannya bertahan lama, baru sekejap saja ia la
‘Kak sepertinya kakak tidak punya teman laki-laki. Kak Naomi sudah punya pacar ya? Makanya menjauhi para laki-laki itu karena takut pacar kakak cemburu,’ goda Hana. Dengan senyum getir Naomi menjawab, ‘Aku tidak nyaman berada di dekat mereka. Bisa dibilang aku takut.’ Percakapan antara Hana dan Naomi beberapa tahun lalu kembali terputar di benak Hana. Saat itu, mereka sedang duduk di taman kampus dekat gedung fakultas mereka. Hana sedang asyik menatap orang-orang di depannya, entah itu yang sedang bergurau dengan gengnya atau bahkan yang sedang bermesraan. Sedangkan Naomi asyik menuangkan design pakaian yang ada di benaknya ke atas sebuah kertas putih A4. Jujur saja sejak Hana mengenal Naomi, ia tidak pernah melihat kakak tingkatnya itu dekat dengan pria mana pun. Bahkan Naomi jarang sekali berinteraksi dengan kaum adam itu. Komunikasi yang terjalin hanya jika benar-benar membicarakan hal penting selebihnya tidak ada. Sebab itu Hana mengatakan hal itu pada Naomi. Hana juga sem
Belum selesai urusannya dengan Dimas, ia harus memghadapi situasi yang kurang mengenakkan dengan Hana. Tidak berhenti sampai situ kini ibu mertuanya tiba-tiba datang dan sudah hampir tiba di butiknya. Rasanya kepala Naomi mau pecah, tapi bagaimana pun juga ibu mertuanya adalah hal utama yang saat ini paling utama untuk Naomi hindari. Untuk urusan Hana....“Han, kalau ibu bertanya tentangku, katakan saja kalau aku sedang bertemu dengan customer,” perintah Naomi pada Hana dengan terburu-buru. “Aku bisa percaya padamu kan?” Tanpa menunggu jawaban Hana, Naomi segera bergegas pergi dari butik bersama Dimas melalui pintu keluar lain di butik itu. Perasaan Naomi sudah cukup buruk akhir-akhir ini dan ia tidak mau masalah juga kewarasannya semakin memburuk karena ibu mertuanya. Tepat setelah Naomi dan Dimas keluar dari butik, Kamila tiba di butik. Dengan wajahnya yang masam dia mendorong pintu butik dengan kasar. Matanya yang sinis menyapu seluruh ruangan, mencari mang
Tanpa Naomi sadari tiba-tiba saja ia menganggukkan kepalanya seolah menyetujui hal perkataan Dimas.Tentu saja Dimas langsung tersenyum lebar, kedua manik beriris cokelatnya seketika berbinar-binar. “Bagus jika kamu setuju. Kalau begitu besok aku akan menjemputmu pagi-pagi sekali.” Naomi sontak tersentak seolah baru tersadar dari lamunan panjang yang entah akan ia sesali esok hari atau malah akan ia syukuri. Ia mengerjap-ngerjapkan bola matanya berusaha mengembalikan kesadarannya. “Tunggu, Apa maksudmu?!” tanya Naomi bingung.“Selamat malam, Nom.” Alih-alih menjawab pertanyaan Naomi, Dimas malah mengelus lagi pucuk kepala wanita itu kemudian berlalu begitu saja. Naomi yang masih tidak mengerti berusaha mengejar Dimas seraya berseru menuntut penjelasan pria menyebalkan itu, tapi Dimas malah mengabaikannya dan dengan cepat menghilang tanpa mengatakan sepatah kata lagi. “Kenapa dia mau menjemputku besok pagi? Untuk apa?! Kenapa dia selalu tidak jelas kalau b