Share

Mangsa Baru

last update Huling Na-update: 2021-08-26 20:56:12

Beberapa bulan sebelumnya ....

“Aku enggak mau! Kamu ngebawa racun, bukan madu, Mas!”

Saat itu, aku mendengar Anin berteriak. Pertama kalinya aku benar-benar melihat dan menyadari keberadaannya di akhir semester ganjil. Secara, kampus itu luas banget. Fakultasnya aja ada lebih dari lima, belum jurusannya, tetapi ... dia dari fakultas yang mana?

Di ujung tempat parkir, dia saling berdebat dengan pria tua. Tebakanku mungkin si pria itu suaminya yang berusia sekitar empat atau lima puluh tahun dari kerut dan helai rambut yang memutih. Siapa tahu lebih muda kalau inget banyak orang yang memiliki uban lebih dini.

“Mereka enggak malu diliatin orang apa?” Aku mengeluh sambil menyandarkan diri di sisi mobil Kea. Setelah jam ujian pertama, kami sepakat bertemu di pelataran parkir.

Kuamati lagi sosok wanita itu. Enggak ada yang spesial. Kurang lebih kayak dosen lain yang berpakaian formal setiap mengajar. Rambut panjang Anin digerai ke depan pundak kanan sekali jemarinya menyugar diiringi air mata. Bikin aku terenyuh juga, tapi bisa lakuin apa?

Suasana masih terlalu ramai untuk jadi tontonan. Beberapa mahasiswa sesekali memperhatikan, lebih banyak lagi yang hanya berlalu. Kalau boleh nebak, mungkin bukan pertama kali untuk mereka bertengkar di depan umum dari intonasi yang terlontar.

Lama menjadi penonton, kakiku mengetuk pijakan. Waktu terasa lama. Bosan. Kulirik kotak rokok dan menghitung. Habis dua batang isapan tembakau hanya untuk menunggu Kea dan mendapat tontonan garing kayak pasangan suami istri itu. Kotak rokok di tanganku ini lucu juga ternyata, masang foto kanker tenggorokan, tapi tetap saja ada yang beli. Pada cari mati kayaknya yang ngisap. Aku juga.

Jika tinggal puntungnya, kugesek sisa bara di ujung sol sepatu, lalu masuk lagi dalam kotak. Buang sampah sembarangan di sini tuh dendanya bisa sampai lima puluh juta, tapi buang asap sembarangan bebas masalah.

Pas noleh ke arah wanita yang bertengkar tadi, tatapannya yang sempat berhenti padaku seolah meminta tolong, terlihat menyedihkan. Kutelisik lagi wajah Anin yang begitu sendu karena aliran air mata. Aku baru ingat, Anin mengajar di salah satu fakultas yang berbeda denganku.

At least, aku pernah bertemu dengannya saat jadi volunteer tes UKBI, Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia, yang kekurangan peserta. Posisinya tepat di kursi sebelah ketika minjam pulpenku yang enggak pernah dikembalikan. Ya, tes gabungan antara mahasiswa dan jajaran dosen sebagai percobaan awal.

Akhirnya pria tua yang menjadi biang keributan di area parkir ini pergi setelah lama berlutut. Sepertinya tidak kunjung mendapat jawaban memuaskan dari pasangannya. Minta maaf seperti apa yang berdalih menyalahkan si wanita dengan berbagai kekurangan hanya untuk perizinan menikah lagi? Dari sikap sampai urusan ranjang pun diumbar di depan umum seperti tadi. Kebayang banget gimana malunya kalau jadi Anin.

Cokot-nya si suami ngalahin ibu-ibu tukang gosip.

Lucu. Wanita mana di zaman ini yang setuju poligami? Kalau bisa, mereka tentu ingin dunia bahkan Tuhan memberi keadilan dengan memberi kesetaraan hak dalam berpasangan.

Aku menertawakan pemikiran yang melintas. Akibat gabut, nih. Rasa bosan ini terasa akan membunuhku. Bolak balik merentangkan tangan atau berpindah posisi berdiri, tetap membuat tatapanku kembali beralih pada sosok wanita yang memilih tetap diam menunduk.

Dia tampak menyerah berlagak kuat dengan terus berdiri. Syukur Anin mengenakan celana panjang. Kalau berjongkok pakai rok, mungkin aku bakal curi-curi ngintip juga.

Sol sepatuku mulai bergeser, ingin menghampiri meski ragu. Namun ....

“Bas! Lama?” Panggilan Kea mengejutkan. Seperti biasa, dia memukul pundakku dengan keras. Sudah kukatakan bukan, dia memang enggak cocok jadi pacar. Kea terlalu aktif untuk diajak romantisan. Perlakuannya padaku enggak ada lembut-lembutnya.

Sejauh ini, enggak bisa diajak naik ranjang meski kadang aku cuma becandaan soal friend for benefit. Hubungan pertemanan saling menguntungkan dalam kepuasan gairah? Enggak mempan. Kea selalu mengingatkanku pesan dari bapaknya yang kolot itu.

"Kalau mau buat anak itu abis nikah, Bas!"

Zaman gini? Mungkin Kea hanya menutup mata dari kebiasaan teman-teman di sekitar kami yang sebenarnya sangat terang-terangan bicara mengenai kebiasaan ranjang. Apalagi kalau ada yang nyebut-nyebut alat kelamin pas saling manggil teman di kelas dulu. Dia yang paling dulu tutup telinga.

Aku melihat lagi ke arah Anin dari kejauhan. Saat itu, aku lupa namanya. Hanya sempat melambaikan tangan dan mengangguk ketika sorot tajam dari mata kelamnya menyadari kehadiranku. Kesan awal, mata sendu berbalut air mata miliknya terlihat menarik. Mungkin, aku sudah melebarkan garis bibir, meski sekadar tersenyum.

Untuk apa? Enggak tahu.

Apa aku tertarik? Iya, aku tertarik.

Atau sekadar euforia mendapat mangsa baru? Enggak tahu juga. Mungkin hanya penasaran.

Kunaikkan bahu sesaat begitu sadari pertanyaanku hanya sekadar monolog lepas yang tidak butuh jawaban. Di sisiku, Kea selalu mendampingi meski tidak ada lagi hubungan di luar pertemanan. Ingin berharap lebih, tetapi asa yang terbentang di hadapan semakin memupuskan.

Bisakah dia menerima kehidupan yang aku jalani kini jika kesempatan untuk hubungan kami terbuka lagi? Wanita mana yang bisa menerima sisi gelap pasangan ketika hubungan normal yang kami jalani dulunya saja diwarnai perbedaan?

"Ke?" tanyaku ketika sadari Kea membanting pintu mobil setelah masuk.

Dia menurunkan jendela di samping bangku penumpang dan berteriak memerintah, "Masuk, Bas!"

Kea sedang cemburu? Biasanya gitu, sih. Meski putus, aku cukup tahu gimana dia ngebalas pesan-pesan para cewek di kelas yang bertukar nomor di ponselku. Apa, ya? Aku masih biasa memberi kuasa buat dia megang ponselku kalau lagi bareng.

Kalau ponselku buat kerja, beda lagi. Dia enggak tau.

"Ibu yang tadi cantik, ya." Sengaja emang kupanasin begitu ngelihat rautnya yang kesal dan mengerucutkan bibir sepanjang menyetir keluar dari pelataran parkir kampus. Belum termasuk gayanya yang mempermainkan pedal gas dan rem secara brutal.

"Naksir?" tanya Kea setelah mengembuskan napas dan menutup mata. Kami menunggu lampu merah yang menghentikan laju mobilnya berganti.

"Iya, aku naksir."  Jawabanku ditanggapi dengan klakson kencang yang ditekannya berkali-kali. Aku benar kali ini. "Ke?"

"Bas, tadi itu suaminya. Masa kamu mikir mau naksir istri orang?" Kea menyorot tajam ke arahku, lalu kembali pada kemacetan yang mengular. Lampu hijau cepat berganti ke warna kuning, kemudian merah lagi saat kami belum mencapai jalur zebra. "Kenapa pake macet segala, sih?"

"Aku becanda kali, Ke. Pengin tau aja reaksi kamunya gimana." Aku menaikkan kedua kaki pada dasbor dan menurunkan sandaran bangku. Sekali lirik dan bertemu tatap dengan sang pengemudi, kuselorohkan tanya, Cemburu, ya?"

"Kagak!" Meski menolak, raut Kea menegaskan jika dia masih punya perasaan padaku. Hati ini juga.

Namun, siapa yang tahu kelak aku akan benar-benar jatuh hati terhadap sosok wanita seperti Anin? Kerapuhan Anin seolah membutuhkan keberadaanku untuk tetap di sisinya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Budak Cinta Si Tante   Suami Anin

    "Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum penuh pasien seperti ini."Kamu yang bilang?" Sering

  • Budak Cinta Si Tante   Anin Pingsan

    “Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalaman, bisa kusentuh puncaknya ya

  • Budak Cinta Si Tante   Suami Anin

    "Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum pe

  • Budak Cinta Si Tante   Anin Pingsan

    “Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalama

  • Budak Cinta Si Tante   Rencana Tuhan

    "Rese lo nanyain kabar Anin di depan Kea!" Aku jelas protes dengan candaan enggak lucunya Dean abis dia berantem mulut sama Kea. Padahal aku aja baru selesai nego sama Kea mengenai pembicaraan tentang si tante biar enggak berlarut-larut.Kea ampe pamit balik duluan, batal deh rencana mau malam mingguan. Kali kan dapet yang panas kalau jalan bareng macam cari tempat makan soto atau sup. Enggak mungkin banget ngajak Kea mabuk. Bisa gagal lamaran entar kalau ketahuan bapaknya."Bukannya lo lagi pendekatan sama Anin?" Dean menghindari tonjokanku. Bukan pukulan serius, cuma kebiasaan jika manusia satu ini bisa jadi sasaran samsak hidup buat aku dan Kea kalau lagi suntuk.Dia menunjuk tangga menuju 'rumah pohon', mengisyaratkan aku untuk mengikutinya naik dan berhenti di satu sisi pagar yang menunjukkan keramaian kafe. Bangunan kayu di belakang kafe yang bertopang pa

  • Budak Cinta Si Tante   Katakan Cemburu

    “Kamu enggak pulang? Ibu nanyain aku terus.” Kea mengadu lagi padaku, padahal belum juga duduk manis pada kursi kosong di seberangnya.Kami sepakat bertemu di salah satu kafe Dean yang baru buka, lagi. Dean ini kebanyakan buka tempat nongkrong kayak punya rupiah enggak ada limitnya. Bukan rooftop seperti kafe-kafe yang aku desain sebelumnya, melainkan taman di pertengahan kota yang kontras dengan segala kerumitan di sekitar. Tempat ini jauh lebih kecil, tapi memanfaatkan konsep alam. Pohon-pohon teduh di pinggiran dengan akar menggantung yang digantungi lampu-lampu berwarna. Meja dan kayu dari potongan pohon yang dipernis. Suasana di sini lebih nyaman untuk mengistirahatkan mata dari penatnya kesibukan dunia kerja.“Aku baru dari rumah malahan abis pulang kerja. Ibu enggak bilang apa-apa soal kamu pas aku mampir tadi, makanya aku kaget diajak ketemuan," alasanku setelah mendaratkan pantat di

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status