Share

Mangsa Baru

Beberapa bulan sebelumnya ....

“Aku enggak mau! Kamu ngebawa racun, bukan madu, Mas!”

Saat itu, aku mendengar Anin berteriak. Pertama kalinya aku benar-benar melihat dan menyadari keberadaannya di akhir semester ganjil. Secara, kampus itu luas banget. Fakultasnya aja ada lebih dari lima, belum jurusannya, tetapi ... dia dari fakultas yang mana?

Di ujung tempat parkir, dia saling berdebat dengan pria tua. Tebakanku mungkin si pria itu suaminya yang berusia sekitar empat atau lima puluh tahun dari kerut dan helai rambut yang memutih. Siapa tahu lebih muda kalau inget banyak orang yang memiliki uban lebih dini.

“Mereka enggak malu diliatin orang apa?” Aku mengeluh sambil menyandarkan diri di sisi mobil Kea. Setelah jam ujian pertama, kami sepakat bertemu di pelataran parkir.

Kuamati lagi sosok wanita itu. Enggak ada yang spesial. Kurang lebih kayak dosen lain yang berpakaian formal setiap mengajar. Rambut panjang Anin digerai ke depan pundak kanan sekali jemarinya menyugar diiringi air mata. Bikin aku terenyuh juga, tapi bisa lakuin apa?

Suasana masih terlalu ramai untuk jadi tontonan. Beberapa mahasiswa sesekali memperhatikan, lebih banyak lagi yang hanya berlalu. Kalau boleh nebak, mungkin bukan pertama kali untuk mereka bertengkar di depan umum dari intonasi yang terlontar.

Lama menjadi penonton, kakiku mengetuk pijakan. Waktu terasa lama. Bosan. Kulirik kotak rokok dan menghitung. Habis dua batang isapan tembakau hanya untuk menunggu Kea dan mendapat tontonan garing kayak pasangan suami istri itu. Kotak rokok di tanganku ini lucu juga ternyata, masang foto kanker tenggorokan, tapi tetap saja ada yang beli. Pada cari mati kayaknya yang ngisap. Aku juga.

Jika tinggal puntungnya, kugesek sisa bara di ujung sol sepatu, lalu masuk lagi dalam kotak. Buang sampah sembarangan di sini tuh dendanya bisa sampai lima puluh juta, tapi buang asap sembarangan bebas masalah.

Pas noleh ke arah wanita yang bertengkar tadi, tatapannya yang sempat berhenti padaku seolah meminta tolong, terlihat menyedihkan. Kutelisik lagi wajah Anin yang begitu sendu karena aliran air mata. Aku baru ingat, Anin mengajar di salah satu fakultas yang berbeda denganku.

At least, aku pernah bertemu dengannya saat jadi volunteer tes UKBI, Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia, yang kekurangan peserta. Posisinya tepat di kursi sebelah ketika minjam pulpenku yang enggak pernah dikembalikan. Ya, tes gabungan antara mahasiswa dan jajaran dosen sebagai percobaan awal.

Akhirnya pria tua yang menjadi biang keributan di area parkir ini pergi setelah lama berlutut. Sepertinya tidak kunjung mendapat jawaban memuaskan dari pasangannya. Minta maaf seperti apa yang berdalih menyalahkan si wanita dengan berbagai kekurangan hanya untuk perizinan menikah lagi? Dari sikap sampai urusan ranjang pun diumbar di depan umum seperti tadi. Kebayang banget gimana malunya kalau jadi Anin.

Cokot-nya si suami ngalahin ibu-ibu tukang gosip.

Lucu. Wanita mana di zaman ini yang setuju poligami? Kalau bisa, mereka tentu ingin dunia bahkan Tuhan memberi keadilan dengan memberi kesetaraan hak dalam berpasangan.

Aku menertawakan pemikiran yang melintas. Akibat gabut, nih. Rasa bosan ini terasa akan membunuhku. Bolak balik merentangkan tangan atau berpindah posisi berdiri, tetap membuat tatapanku kembali beralih pada sosok wanita yang memilih tetap diam menunduk.

Dia tampak menyerah berlagak kuat dengan terus berdiri. Syukur Anin mengenakan celana panjang. Kalau berjongkok pakai rok, mungkin aku bakal curi-curi ngintip juga.

Sol sepatuku mulai bergeser, ingin menghampiri meski ragu. Namun ....

“Bas! Lama?” Panggilan Kea mengejutkan. Seperti biasa, dia memukul pundakku dengan keras. Sudah kukatakan bukan, dia memang enggak cocok jadi pacar. Kea terlalu aktif untuk diajak romantisan. Perlakuannya padaku enggak ada lembut-lembutnya.

Sejauh ini, enggak bisa diajak naik ranjang meski kadang aku cuma becandaan soal friend for benefit. Hubungan pertemanan saling menguntungkan dalam kepuasan gairah? Enggak mempan. Kea selalu mengingatkanku pesan dari bapaknya yang kolot itu.

"Kalau mau buat anak itu abis nikah, Bas!"

Zaman gini? Mungkin Kea hanya menutup mata dari kebiasaan teman-teman di sekitar kami yang sebenarnya sangat terang-terangan bicara mengenai kebiasaan ranjang. Apalagi kalau ada yang nyebut-nyebut alat kelamin pas saling manggil teman di kelas dulu. Dia yang paling dulu tutup telinga.

Aku melihat lagi ke arah Anin dari kejauhan. Saat itu, aku lupa namanya. Hanya sempat melambaikan tangan dan mengangguk ketika sorot tajam dari mata kelamnya menyadari kehadiranku. Kesan awal, mata sendu berbalut air mata miliknya terlihat menarik. Mungkin, aku sudah melebarkan garis bibir, meski sekadar tersenyum.

Untuk apa? Enggak tahu.

Apa aku tertarik? Iya, aku tertarik.

Atau sekadar euforia mendapat mangsa baru? Enggak tahu juga. Mungkin hanya penasaran.

Kunaikkan bahu sesaat begitu sadari pertanyaanku hanya sekadar monolog lepas yang tidak butuh jawaban. Di sisiku, Kea selalu mendampingi meski tidak ada lagi hubungan di luar pertemanan. Ingin berharap lebih, tetapi asa yang terbentang di hadapan semakin memupuskan.

Bisakah dia menerima kehidupan yang aku jalani kini jika kesempatan untuk hubungan kami terbuka lagi? Wanita mana yang bisa menerima sisi gelap pasangan ketika hubungan normal yang kami jalani dulunya saja diwarnai perbedaan?

"Ke?" tanyaku ketika sadari Kea membanting pintu mobil setelah masuk.

Dia menurunkan jendela di samping bangku penumpang dan berteriak memerintah, "Masuk, Bas!"

Kea sedang cemburu? Biasanya gitu, sih. Meski putus, aku cukup tahu gimana dia ngebalas pesan-pesan para cewek di kelas yang bertukar nomor di ponselku. Apa, ya? Aku masih biasa memberi kuasa buat dia megang ponselku kalau lagi bareng.

Kalau ponselku buat kerja, beda lagi. Dia enggak tau.

"Ibu yang tadi cantik, ya." Sengaja emang kupanasin begitu ngelihat rautnya yang kesal dan mengerucutkan bibir sepanjang menyetir keluar dari pelataran parkir kampus. Belum termasuk gayanya yang mempermainkan pedal gas dan rem secara brutal.

"Naksir?" tanya Kea setelah mengembuskan napas dan menutup mata. Kami menunggu lampu merah yang menghentikan laju mobilnya berganti.

"Iya, aku naksir."  Jawabanku ditanggapi dengan klakson kencang yang ditekannya berkali-kali. Aku benar kali ini. "Ke?"

"Bas, tadi itu suaminya. Masa kamu mikir mau naksir istri orang?" Kea menyorot tajam ke arahku, lalu kembali pada kemacetan yang mengular. Lampu hijau cepat berganti ke warna kuning, kemudian merah lagi saat kami belum mencapai jalur zebra. "Kenapa pake macet segala, sih?"

"Aku becanda kali, Ke. Pengin tau aja reaksi kamunya gimana." Aku menaikkan kedua kaki pada dasbor dan menurunkan sandaran bangku. Sekali lirik dan bertemu tatap dengan sang pengemudi, kuselorohkan tanya, Cemburu, ya?"

"Kagak!" Meski menolak, raut Kea menegaskan jika dia masih punya perasaan padaku. Hati ini juga.

Namun, siapa yang tahu kelak aku akan benar-benar jatuh hati terhadap sosok wanita seperti Anin? Kerapuhan Anin seolah membutuhkan keberadaanku untuk tetap di sisinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status