Share

Namaku Aryo

“Ngeliatin siapa?” tanya wanita yang meliuk-liuk di hadapanku seiring entakan musik yang semakin menggila.

“Teman, Tan!” Alasanku ketika menyadari seseorang yang kukenal berada di deretan kursi bar.

Ya, aku masih sangat betah memperhatikan setiap perubahan mimik dari wajah tirus dosen wanita yang pernah menerima perlakuan kasar di depanku itu. Anin.

Jujur, aku enggak suka kekerasan terhadap wanita. Aku lebih suka memberi pelayanan saling menguntungkan seperti terhadap wanita yang kini dengan beraninya menggesekkan belakang tubuhnya pada bagian tersensitifku ketika DJ yang di atas sana mengganti musik beraliran melow ala-ala biola Titanic.

Berasa pengin ngumpat. Anjing! Bangsat! Musik apaan ini?

Serius, aku sempat gelagapan terbawa efek alkohol yang masih ingin diguncang.

“Kenapa masih dipanggil tante aja? Yang mesra, dong.” Tambah lagi rengekan manja dari wanita yang menarik pergelangan tanganku biar melingkari pinggangnya ini.

Emang sih ya ketemu wanita-wanita butuh kasih sayang ini bisa banget ngisi pundi-pundi uangku. Kadang ngeselin, kadang permintaannya aneh-aneh, tapi aku juga butuh mengeluarkan kebutuhan biologis yang sangat primitif tanpa harus bertanggung jawab.

Enggak mau kalah manja, aku beralasan, “Perlu ditambah limitnya, Tante.”

Inilah pekerjaanku selama beberapa tahun terakhir. Penghibur dari teman ngobrol sampai lawan beradu gairah di atas ranjang. Oh, tidak hanya ranjang. Aku bisa diajak berpesta juga, pesta dalam tanda kutip yang kerap diadakan para orang kaya gila yang rela menggelontorkan cuan seharga rumah atau bahkan penjualan hotel mewah.

“Aman ….” Si Tante mengeluarkan ponselnya, menampilkan aplikasi transaksi bank yang bersiap mengirimkan sejumlah uang. “Nomer rekening kamu masih yang dulu, kan?”

Kueratkan pegangan di depan perutnya seraya meletakkan dagu pada lekukan leher yang terekspos sambil berbisik, “Tau aja deh, Tan--”

“Eh?” Dia terkejut, seperti orang yang tersengat aliran listrik tetapi tidak mampu lepaskan diri.

“Iya, Manis.” Sengaja kutanggapi godaan sebelumnya dari tante ini dengan memberi kemauan hasratnya. “Perlu dirasain sekarang?”

Kujalarkan kecupan-kecupan ringan hingga bertemu belakang telinganya seraya menempelkan bukti gairah pada belahan di belakang tubuhnya.

“Kamu maunya buru-buru terus …," keluh si tante.

Ya, siapa yang mau berlama-lama merangkai kata hanya untuk kesenangan palsu? Lebih cepat membuatnya lelah, lebih cepat urusan kami selesai.

“Biar bisa lama-lama di kamar, lah.” Kulepaskan pelukan dan membalik posisi klienku kali ini. Setengah memohon, “Mau, ya? Udah on ini," kepalaku mengangguk, meminta dia lakukan hal yang sama seraya menuntun tangan lembutnya pada gundukan di bagian depan celanaku.

“Mesum, deh!” ejeknya, meski tetap saja tanganku yang kemudian berpindah dalam pegangannya ditarik keluar dari kerumunan lantai dansa.

Kuberatkan langkah, sengaja, biar dia menoleh sebentar padaku ketika kami berada di lorong menuju gedung parkir seberang klub. “Ke mana, Sayang?”

“Kejutan buat kamu.” Kedipan sebelah mata dari wanita itu sebenarnya tidak berpengaruh padaku. Meski kerut tidak terlihat, mungkin dia melakukan berbagai perawatan yang mengencangkan kulit, jelas sekali rangka pembentuk wajahnya menegaskan usia yang tidak lagi muda.

Tapi …, kejutan? Wah, apa nih? “Enggak usah berlebihan, Tante.”

Merendah untuk meroket kata teman satu kelasku di salah satu mata kuliah setiap mendengar celotehan dosen yang selalu merasa usahanya kurang untuk mencapai posisi yang sekarang. Butuh pujian. Beda sih kalau aku, lebih ke butuh tambahan bayaran.

“Nah, kan. Masih juga dipanggilin tante mulu.” Si tante malah protes, “Aku kan belum tua-tua banget.”

“Tante itu enggak tua,” cuma emang lebih tua lebih dua puluh tahunan, “tapi kalau kedengeran orang lain, nanti Tante juga yang malu.”

Aku beneran ingin ketawa, tapi ingat kalau dia atm berjalanku beberapa bulan terakhir ini ... harus dibaik-baikin banget.

Jadilah aku mengusap pipi wanita di hadapanku ini yang terasa tebal oleh riasan padat seraya merangkul bahunya, menepuk pelan seolah menenangkan. Biar dia enggak jadi termehek-mehek.

Wanita mana yang enggak suka diperlakukan lembut seperti ini?

“Kamu yang nyetir.” Mungkin ingin membuatku merasa bersalah, si tante berlagak menangis sesenggukan saat menyodorkan salah satu remote pengunci mobil dari dalam tas tangannya. Bibirnya masih juga maju sampai perlu kukecup biar dia meengangguk malu.

Hafal banget reaksinya.

Hitunglah tiga bulan terakhir harus menemani sesi mabuk atau bahkan pesta si tante yang rutin, minimal dua kali seminggu. Katanya sih efek dari perjodohan paksa, tidak cocok, tetapi tidak bisa bercerai.

“Tan ….” Kutanggapi pemberian pengunci mobilnya dengan menekan tombol pembuka yang menunjukkan letak roda empat itu dan mengembalikan ke tangan dia.

“Apa?” tanya si tante yang malah melongo. Harusnya dia enggak minum alkohol tadi biar enggak bego.

Sudah berkali-kali aku bilang, “Kalau aku bisa nyetir, udah aku terima mobil pemberian Tante tempo hari.”

“Tante kan sudah nyuruh kamu ikut kursus atau apalah itu namanya. Tagihannya kasih ke Tante.”

Bukan cuma tentang belajar menyetir, tetapi memiliki kendaraan tanpa pekerjaan pasti hanya akan menjadi pertanyaan berbagai pihak. Apalagi Ibu, yang jelas-jelas tinggal serumah denganku.

Mau beralasan apa? Seniman? Ngepet? Marketing online?

“Nanti aku pikirin lagi, deh.” Aku menggeleng, menggiringnya menuju mobil, dan membukakan pintu sampai si tante duduk di bangku pengemudi sementara aku menempati sampingnya.

Sepanjang jalan digunakan klienku satu ini untuk curhat mengenai anak-anaknya yang mulai besar, dari urusan sekolah enggak beres sampai kasus kekerasan yang menjadi tanggung jawabnya seorang diri. Jangan tanya di mana suaminya, pasti diceritain kalau suami hanya bertugas mencari nafkah di luar rumah dan cuma tahu semua urusan rumah diselesaikan istrinya.

Di mana sih yang enggak? Aku bakal ngedukung banget kalau aja si tante milih cerai tanpa takut kehilangan harta. Toh, kebahagiaan enggak harus punya segalanya.

Tapi kata Tante tuh, "Beda, Yo. Nangis dalam keterbatasan yah cuma bisa diem. Nangis di tengah kekayaan masih bisa shopping, makan enak, liburan, dan banyak hal lainnya."

Satu hal yang aku sadari, Tante melajukan mobilnya ke area kompleks bangunan baru di tengah kota yang belum pernah aku datangi. “Kita ke mana ini?” tanyaku penasaran.

Jalanan masuk dari samping kompleks dihiasi dinding penuh lukisan grafiti bertemakan hiburan. Aku pernah lihat di beberapa medsos yang menunjukkan tempat wisata baru.

Kalau aku bilang sih ini konsepnya justru lebih mirip tempat wisata di luar negeri, bukan khasnya daerah sini yang semakin lama menghilang. Seperti kampung terapung yang tergantikan deretan mal dan apartemen, lalu rumah-rumah panggung yang semakin rapuh dan menghilang dari sejarah.

“Apartemen.” Tante baru menjawab setelah mobil miliknya turun ke basemen parkir di bawah gedung hunian bertingkat milik salah satu perusahaan swasta pengelola minyak di kota ini.

“Iya, aku tahu ini apartemen. Tapi--” 

"Ikut aja!" Tante keluar mobil lebih dulu, lalu memaksaku mengikutinya masuk lift di dekat roda empatnya diparkir.

Mulutku dibungkam oleh ciuman manis begitu berada di dalam sangkar baja.

Ya, manis. Minuman beralkohol yang tadi diminum si tante masih berjejak dalam rongga mulutnya. Aku suka ketika lidahnya menjelajah untuk kuisap.

Tidak tinggal diam, jemariku meremas kedua benda kencang yang ditopang kacamata berbusa di depan tubuhnya. Awal yang lembut, lalu semakin menguat.

Sial! Aku terbangunkan dengan cepat.

Tante malah lepaskan tautan lidahnya dan tersenyum menggoda dengan menggantungkan tangannya di bahuku.

Napasku sangat tidak teratur, terengah-engah akibat sentuhan lambatnya di sekujur tubuh. Masalahnya, ini tempat umum, siapa saja leluasa masuk dan melihat kami.

"Tan, jangan di sini!" Aku menolak, menghalau ciuman basahnya di kulit telingaku. Belum lagi tangannya menyelip antara kain celana dan kulit pinggangku, menggesek kejantanan yang semakin mengembang maksimal.

Parah! Aku perlu jepitan yang sangat hangat, lembab, basah, licin, apalah namanya yang bisa ngeluarin cairan di bawah sini.

“Kamu tadi bilang udah enggak sabaran?”

Baru aku sadari kalau klienku sudah berjongkok di depan ritsleting terbuka dan mengeluarkan isinya.

“Uh, Tan ….” Seketika aku mendongak, menopang diri dengan berpegangan pada baja melintang di sepanjang pinggiran lift.

Mataku terasa berkabut sementara milikku berkedut hebat dalam pijatan dan isapan bergantian yang sangat luar biasa. Beberapa kali aku menutup mata, lalu membuka hanya untuk melirik perlakuan si tante yang semakin liar.

Sedikit lagi. Ledakan itu hampir sampai.

“Nanti dulu," putus si tante.

Anjing! Dikit lagi. Kenapa enggak diselesaikan sekalian?

“Nanggung ini, Sayang!” Aku menahan diri untuk tidak berteriak, melotot, atau bisa saja mengamuk di tempat. Umpatanku tertahan sampai harus menggigit lidah biar tidak lepas kendali.

Wanita tua itu malah meledekku dengan gelak tawanya, tanpa menutup ritsletingku dia berlari keluar dari pintu lift yang terbuka.

“Sayang?” Terus kupanggil seraya mengejar langkah cepatnya yang memperolok-olokku.

Lorong yang kami lalui memang sepi, mungkin karena melewati tengah malam. Tetap saja aku was-was.

Ritsletingku masih terbuka karena harus mengejarnya. Enggak mungkin ditutup terburu-buru, isinya bisa kejepit.

Sementara itu si tante masih menggoda dengan mengeluarkan isi branya sesekali diiringi ajakan mendekat. Huh, salah apa aku, Tuhan? Kenapa harus dapet klien yang otaknya setengah, setengahnya lagi ngerjain mulu kayak gini?

Dan, dia menghilang di ujung lorong. Pintu terakhir lebih tepatnya.

"Tante? Aku pulang aja ini, ya?" Ketukanku tidak dijawab. Bodohnya, aku mengabaikan tombol bel dan memutar kenop pintu.

Masuk ke dalam, ruangan yang memuat ranjang pasangan di pertengahan langsung menyapa penglihatan. Unit berukuran studio ini sudah lengkap dengan fasilitas televisi dan berbagai kabinet penyimpanan, juga meja pantri di sudut.

"Tan?" Kupanggil sekali lagi karena mendapati ruangan yang aku masuki benar-benar kosong.

“Baa!!!”

Punggungku ditimpa beban yang langsung mengalungi leher. Kedua kakinya menggantung di pinggangku dari belakang.

“Ngerjain banget ini, ya!” Aku juga melupakan letak kamar mandi yang bersebelahan dengan pintu masuk. Ternyata dia di sana tadinya.

Kugelitik si tante sambil menjatuhkan punggung di permukaan ranjang. Setelah bisa berbalik, aku langsung menurunkan gaun si tante dan menggeser penutup dari dua benda yang kemudian kuraup bergantian dengan beringas.

“Aryo! Geli!” keluh wanita di bawah kuasaku. “Geli! Beneran!”

Geli katanya? Kalau geli, kenapa semakin disodorkan?

Aku turun, menaikkan gaun yang menutupi kakinya hingga kain mengilap itu terkumpul di pinggang.

“Enggak mau lanjut?” tanyaku sambil menyelipkan jari tengah melalui samping penutup miliknya yang hanya berupa kain tipis dan sempit.

“Enggak!" Napasnya turut terengah, mendesah, melenguh, memekik hebat ketika cairan hangat yang keluar dari belahannya menuruni jariku.

Melihatnya mencengkeram kain seprai bahkan bantal di atas sana ketika mencapai pelepasan memberiku sensasi menyenangkan. Semacam prestasi awal seorang lelaki meski belum mencapai hidangan utama.

"Enggak apa, Tante?" Kugesekkan ketegangan hasil kejailannya tadi ke belahan yang telah siap dimasuki.

Si tante mulai meracau, menggeleng, mengacak setiap benda yang mampu digapainya sementara aku memelintir puncak dadanya bergantian.

Dia akhirnya meringis, melihatku dengan gairah yang kembali bangkit. "Enggak mau berhenti!”

***

Di saat yang lain, aku menemukan Anin beberapa kali beredar di dunia malam. Mungkin dia sekadar mengikuti temannya yang lebih dulu masuk dan mencari tempat duduk. Masih sangat jelas kuingat wajah Anin beberapa hari sebelumnya di pelataran parkir kampus ketika menoleh padaku.

Kali ini, kening Anin mengerut saat bertemu tatap. Aku spontan lemparkan senyum seakan pernah akrab, seenggaknya berkenalan meski lupa dengan namanya. Ingin lontarkan kata serupa yang diucap suami Anin, tetapi ragu masih memenuhi dada.

Aku menunggu bersama seorang gadis yang lebih dulu mendekat, mengajakku bicara mengenai event mural di salah satu sudut kota. Pakaiannya yang kurang bahan terkadang sesekali ditarik untuk memancing perhatian. Menarik, tapi aku lebih penasaran dengan seorang wanita yang ditinggalkan temannya di meja lain. Meski jauh lebih tertutup dengan pakaian kerja, kesedihan wanita itu bagai hidangan yang menggairahkan.

Biasanya aku lebih suka bicara dengan wanita yang jauh lebih dewasa. Selain mendapat ragam kisah, pekerjaan beragam dari para tante bisa memperluas wawasanku tentang dunia menengah ke atas yang mungkin tidak kudapatkan jika menolak pekerjaan sebagai penghibur. Tiga keuntungan sekaligus; uang, koneksi, dan kepuasan.

Gadis di hadapanku bukan salah satu pelanggan. Dia menghampiriku hanya karena tampan. Kata yang kerap kudengar semenjak di sekolah menengah. Kata yang juga menjebakku untuk memanfaatkan banyak hal dari para pengucapnya.

"Lo bisa kenalan sama berbagai seniman lokal entar. Pastiin datang, ya," katanya setelah bertukar kontak.

Tentu senyumanku bisa diobral ke mana-mana selama tidak terikat hubungan, termasuk pada gadis di hadapan yang langsung berjingkrak. "Of course. Kalau gue bawa teman, enggak masalah, kan?"

Pertanyaan barusan seketika lunturkan mimik senangnya, berganti rengutan kesal. "Siapa?"

"Adalah temen gue. Biasanya dia doyan ikut acara ginian." 

Tau yang kupikirkan kalau berhubungan dengan para wanita cantik? Si playboy kampus yang rajin banget cari teman tidur, Dean. Baru juga dipikir, orangnya sudah menghampiri dan memberi tos tinggi. Untung posturku lebih tinggi dari Dean ketika berdiri.

"Udah lama?" Dean menyesap minuman dari gelas tinggi milikku tanpa izin. Kebiasaan.

Kualihkan tatapan dari bola mata yang memutar ke arah keramaian lantai dansa seraya mengisap batang nikotin di tangan. "Baru."

Musik yang semakin mengentak ternyata membuat pengunjung menggila di sana, tidak dengan wanita yang kuperhatikan. Dia masih duduk dan memutar gelas dalam pegangan. Mungkin melarikan diri dari rutinitas, melihat canggung bahasa tubuhnya.

"Siapa, nih?" Pertanyaan Dean mengambil alih atensiku untuk memperhatikan si gadis berpakaian kurang bahan.

"Kenalan aja dulu." Kuentaskan sisa puntung rokok pada asbak yang tersedia dan turun dari kursi. "Gue mau ke sana."

Memberi isyarat jari pada gadis di dekatku untuk menunggu dan dibalas dengan anggukan, kemudian aku mendekati wanita yang sedari awal membuatku lebih tertarik—Anin. 

Luka dari tatapannya dalam tiap pertemuan memancing rasa ingin tahuku untuk menyentuhnya. Wanita seperti apa yang bisa ditinggalkan?

Kebanyakan pelanggan yang melarikan diri padaku dan berani membayar tinggi karena tidak mendapatkan kepuasan dari sang suami. Entah waktu yang tidak tersedia di tengah kesibukan pekerjaan atau mungkin keberadaan wanita lain yang membuat mereka saling berbalas dendam.

Menarik. Aku bisa menunjukkan kehebatanku dalam memuaskan dan dipuaskan, tentu saja. Salah satu penyebab para wanita dewasa itu kembali padaku karena aku bisa menunjukkan kalau mereka masih menggairahkan. Tidak sedikit tante yang merasa minder karena suaminya mencari wanita lain dengan dalih kepuasan.

"Sendiri?" tanyaku setelah berada di hadapan wanita yang kutuju sambil berkacak pinggang, memperlihatkan kelebihan dari parasku melalui pemangkasan jarak dengan sekali melangkah.

Anin menggeleng lalu menunduk, cukup menjawab pertanyaanku tanpa kata. Sembab di bawah matanya masih kentara meski ditutupi riasan yang menurutku ... masih berantakan. Tatapannya jatuh pada pinggiran gelas dalam pegangan jemari lentiknya, lagi. Dia tuh kayak ... ngapain sih datang ke tempat kayak gini?

"Ada masalah?" 

Kutelisik setiap ciri yang membentuk wajahnya. Alis cenderung lurus dan menurun di akhir, bibir tipis bersapu pewarna bata, tulang pipi yang tinggi membentuk bingkai menyudut di dagu. Cantik. Kalau boleh menebak bentuk tubuh di balik seragam kerjanya, aku akan dengan senang hati melucuti keseluruhan penutupnya.

Anin menggeleng lagi. Sesekali anggukannya mengikuti musik yang mengentak. Jemarinya berpindah, bergerak mengetuk meja kaca. Terlihat sekali kecanggungan dari netranya yang tidak tenang—menghindari sorotan tatapanku. Lebih kaku lagi dari sebelum menyapa.

Aku mengambil kursi berseberangan, sekadar menandai kalau Anin tidak sendiri jika ada yang ingin mendekat. Teman wanita yang bersamanya juga belum memberi tanda akan kembali.

Enggak salah, kan? Siapa tahu ada pemain lain yang mengincar wanita seperti Anin. Selera pakaian kerjanya saja tampak mahal, bagaimana dengan isi dompetnya. Hanya ... ujung-ujung kuku Anin tampak seperti patah. Pekerja berat? Jika iya, bisa jadi tenaganya jauh lebih kuat dari pelanggan biasa.

"Entar kamu pulang sendiri?"

Bola matanya sempat memutar ke atas, seolah berpikir. Apa karena pertanyaanku? Dia masih juga tidak memberi jawab.

Sesekali Anin mengecek layar ponsel yang menyala di permukaan meja. Hanya melihat tanpa menyentuh. Apa dia menunggu seseorang? Kalau iya, berarti aku kedahuluan berpikir bisa mendapatkan kehangatannya.

Tidak boleh. Aku harus bisa mengambil perhatiannya kali ini. Menumpu kedua lengan pada meja yang menjadi pembatas kami, "Aryo," jemariku terulur di depan gelas lebarnya, menunggu jawaban selain gelengan.

Jelas sekali dia tidak bisu saat menyerapahi si pria tua yang mengaku sebagai suaminya beberapa hari silam. Kenapa kali ini malah mengabaikanku?

Sikap diamnya membuatku menghela napas panjang dengan jelas. Setidaknya dia harus memperhatikan gerakanku yang terlihat kecewa ketika menarik kembali uluran tak berbalas. Aku penasaran.

Anin mendengkus. Sudut bibir kanannya naik seolah meremehkan. Dia berseloroh, "Siapa yang percaya kalau itu nama aslimu?" Kebisuannya berubah ketus sebelum menenggak minuman bening kecokelatan di depan.

Aku jelas terkekeh. Bukan soal nama asli atau palsu. Hanya, ekspresi yang ditunjukkan setiap kelopak matanya turun membuatku berimajinasi.

"Anggap saja begitu. Kalau nama palsu, bukannya harus lebih keren?"

Aku tak menunggu lagi. Ponsel di atas meja telah berpindah dalam genggamanku ketika dia lalai. "Apa harus selalu basa basi kalau mau kenalan? Aku enggak punya bahan pembicaraan yang menarik, nih."

Tak peduli ia terkejut—turun dari kursi—bahkan hampir merebut jika tak kujauhkan. Kutekan sederet nomor untuk disimpan lalu mengembalikannya dengan cepat. "Ini."

Singkat. Ponsel dalam saku celanaku bergetar, menunjukkan nomor yang terhubung ketika kukeluarkan. Anin segera meraih ponselnya, menatap layar menyala yang masih menampakkan kontakku.

Aku berdiri—menghampiri tubuhnya sesaat—sekadar berbisik, "Hubungi aku kalau perlu teman," dalam tanda kutip.

Yakin jika dia tertegun dan memikirkan berulang kali, sentuhan napasku pada daun telinga wanita itu seharusnya memberi kesan, seperti pada wanita lain yang kerap terpesona. 

Terutama ketika dia terpejam mendesah, tanpa reaksi penolakan ketika jemariku bermain sesaat di pangkal lengannya, kukatakan, "Aku menginginkanmu."

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status