Nabastala, seperti langit yang luas dan tinggi. Pria yang menikmati pekerjaannya sebagai penghibur para tante ternyata jatuh hati pada Anin, seorang wanita bersuami di luar lingkarannya. Dia kira semua akan berakhir ketika kontraknya diputuskan sepihak. Namun, kenyataan kehamilan Anin dan perasaan yang menggantung, membuat Nabastala mengambil berbagai risiko. Kehidupannya yang mulai lurus melalui pernikahan bersama Kea atau mengejar pujaan hati?
View MoreāAku enggak peduli! Mau kamu masih nikah, mau kamu sudah janda, aku enggak peduli!ā Teriakanku menggelegar begitu saja ketika sadari wanita di sisiku telah beranjak.
Anin namanya, sosok wanita dewasa yang masih terlihat cantik menjelang usia empat puluh. Tubuh polos bak jam pasirnya ditutupi selimut yang jelas-jelas menelanjangiku ketika mulai mengambil setiap helai pakaian dari lantai.Suara serak disertai isakannya menyuarakan, āAryo ..., aku belum resmi bercerai. Harusnya kamu cari yang seusia kamu. Anggap saja semua yang telah kita lewati hanya sebatas kontrak hubungan kerja.āAku mengerjap, tak percaya. Anin menolakku seperti biasa, lagi. Suaranya melemah, seakan dia telah menyerah dengan hubungan kami selama ini.Padahal beberapa jam lalu Anin katakan membutuhkanku, membuatku luluh untuk kembali bergumul dengannya dalam kamar hotel. Aku bahkan masih ingat lenguhannya yang setiap berhasil mencapai puncak kenikmatan surgawi dunia.Tidak. Aku memang rela melakukannya, mempermainkan tiap sentuhan yang menyambar gairah terdalam sang pujaan. Aku juga menginginkan dirinya meski tak diminta sekali pun. Kemudian, dia berniat pergi semudah itu?Brengsek!āAyolah! Ini konyol, Tan!ā Aku segera bangkit dari ranjang begitu gagal menangkap jemari Anin, meraih tiap helai pakaian milikku untuk dikenakan secara kilat agar mampu mengejar dia yang telah keluar dari ruangan.āSial!āMelirik pada nakas tempat ponselku berada, ternyata dia meninggalkanku lagi bersama amplop cokelat berisi lembaran rupiah di atas nakas. Jumlahnya memang jauh lebih banyak dari biasa. Namun, tetap enggak sebanding dengan yang kurasakan saat ini. Enggak sebanding sama perasaan yang membuncah ketika dia memilih pergi, memorak-porandakan asa yang terlanjur meledak.āTante? Anin? Anin!ā Aku berteriak sedang dia tidak lagi ada, terduduk di permukaan lantai tepat pada ambang pintu yang telah dilaluinya bersama kekecewaan. Pengakuanku, tidakkah berarti untuknya?"Perasaanku enggak semurah ini!" Genggamanku pada amplop di pangkuan mengerat. āKamu dengar, Anin? Aku enggak butuh ini!āTeriakan hanya sebatas suara tinggi yang tak menembus dinding. Kulemparkan amplop itu ke daun pintu yang telah tertutup hingga isinya bertebaran. Nyatanya, dia hanya datangāmembuatku abai dengan harap lepas darinyaāketika butuh dan tak mampu kutolak.***āNabastala!ā Teriakan yang terdengar sukses menghentikan jemariku menulis, sebenarnya menyalin ulang penjelasan dosen dari rekaman di ponsel mengenai kekurangan laporan skripsiku. Entah rumus yang digunakan dan relevansinya dengan keadaan siswa di sekolah yang menjadi tujuan penelitian.Ternyata jadi mahasiswa di tahun terakhir itu sangat-sangat merepotkan. Meski enggak ambil perkuliahan lagi, penelitian memaksaku bolak-balik ke sekolah cuma buat ngecek angket yang tersebar dan memastikan waktu untuk percobaan teknik pembelajaran.Gadis berpenampilan boyishākaus berlapis kemeja, lengkap dengan jins dan sepatu ketsāyang tadi berteriak melepas pelantang di telinga kananku. Jelas, aku dengar. Telinga kananku hanya ditutup telapak tangan karena teriakannya yang memalukan. Gimana kalau kedengaran mahasiswa yang menggunakan kelas lain?āKamu enggak bisa bicara lebih pelan? Kelas di sebelah lagi belajar.ā Aku mengumpulkan kertas yang bertebaran di beberapa meja sekaligus karena sempat terkejut dengan suara lantangnya dan menutup tampilan layar ponsel. Sengaja, aku menggunakan kelas kosong untuk merevisi bakal skripsi yang terus mendapat coretan menggunakan rekaman kritikan sebelumnya. Biar enggak ada yang mengintervensi, kayak gadis ini contohnya."Kamu dipanggilin dari tadi enggak nyaut. Dicariin dospem, noh!ā Keaāmantanku yang jadi temanāmenunjuk luar ruangan dari jendela transparan yang membatasi. Suaranya jauh lebih pelan dibanding awal.Kuhela napas karena harus memasukkan semua bahan dalam tas map. Susunannya masih bisa dibereskan nanti. āBaru ketemu Pak Dandy tadi. Masa dipanggil lagi?ā protesku. Salahnya, Kea enggak tahu-menahu.Kea mengangkat bahu. Biasanya info dari gadis itu selalu up to date kalau soal skripsi. Apalagi kami dibimbing sama satu dospem.āBareng lulus, ya,ā pesannya tiap kali ketemu saat bimbingan di dekanat, tapi belakangan jadi lebih sering ketemu bahkan ngerjain bareng.Senyuman Kea tuh manis, dengan gigi kelinci di depan. Kalau kubilang, wajahnya sekilas mirip Nasya Marcella. Cantik. Tingginya sebatas daguku. Aku juga bingung kenapa bisa putus dulu. Nyatanya, memang kami selama ini nyaman terhubung sebatas pertemanan.Apa, ya? Bisa dibilang enggak canggung untuk bicara atau sibuk menjaga jarak karena perasaan yang berdebar.Kea menyejajari langkahku melintas di koridor kampus. Ramai di sepanjang jalan setapak pada penghujung sore, mungkin para mahasiswa bersiap untuk kelas malam.āYakin harus ketemu Pak Dandy sekarang?āKulihat Kea sendiri ragu untuk mengangguk. āTadi sih diminta temuin beliau. Enggak tau kenapa. Ada yang ketinggalan mungkin.āSempat berhenti di depan ruang kesehatan, aku numpang bercermin di depan dinding kacanya. āMasih cakep kan, Ke?ā tanyaku seraya melebarkan senyum, memastikan enggak bakal malu-maluin ketemu dosen.Kalau dilihat lagi, mataku sipit. Kea pernah bilang kayak orang ngantuk. Menang putih doang. Terkadang dia nanya resep bisa putih dan selalu kujawab, āKeturunan.āKebiasaan cewek zaman sekarang, terjebak dengan paradigma kalau putih itu cantik. Eh, tapi aku cowok. Masa mau dikatain cantik?Kea yang turut berhenti, berkelakar, āKapan lagi kamu enggak narsis?ā Dia menggeleng, menertawakan kebiasaanku jika bertemu kaca.āYe, namanya seharian enggak pulang. Berantakan kali, Ke.āKea tergelak pada tingkahku yang sesekali mengecek aroma tubuh dan merapikan kemeja tanpa malu. āMasih wangi, Bas. Masih.āSebenarnya aku lebih suka mengenakan kaus, tapi aturan kampus, terutama fakultas pendidikan, mengharuskan mahasiswa minimal mengenakan pakaian semi-formal.Di penghujung koridor dekat dekanat, sosok yang berminggu-minggu terakhir kurindukan melintas. Dia selalu menunduk, menghindari tatapan tiap mahasiswa, termasuk denganku. Padahal wajahnya tergolong cantik. Mata lebar, hidung mancung, dan bibir tipis yang tampak menggoda. Untukku. Tingginya enggak jauh beda dengan Kea, sebatas bahuku.Enggak bakal ada yang nyangka kalau usianya sekitar akhir tiga puluhan. Terlihat begitu tertutup dan dingin dari cara berpakaian yang selalu kelam. Pemilihan sederhananya dari segi riasan menonjolkan kesehatan kulit tanpa kerutnya.Siapa yang tahu dosen di salah satu fakultas seperti Anindya Betari itu justru membutuhkan kehangatan dari penghibur sepertiku? Tidak ada kesan masalah dari raut wajahnya.āBas! Kenapa diam?ā protes Kea.Langkahku berhenti, membiarkan dosen wanita itu melintas lebih dulu. Setelahnya, aku menggeleng, beralasan, āEnggak apa-apa. Pak Dandy nyuruh apa aja tadi?āKea meneruskan penjelasannya mengenai konsep penelitian dengan berbagai rumus yang meragukan. Sementara aku memperhatikan kepergian ādiaā yang sempat menoleh saat menyadari keberadaanku. Bertemu tatap rasanya membawa angin segar dalam sekejap.Tanpa sadar, aku menggerakkan bibir membentuk kalimat, āI love you,ā dan tersenyum pada Anin.Wanita itu langsung berbalik dan mempercepat langkah, membuatku ingin tertawa.āKamu bilang apa, Bas?ā Pertanyaan Kea spontan membuatku sadar dan kembali fokus pada langkah yang hampir menyerempet selokan.Aku menggeleng. Mungkin harus lebih banyak mendengarkan penjelasan Kea, menyingkirkan perasaan untuk sementara waktu sampai Anin memberi kepastian. Setidaknya, pertemuan terakhir dengan Anin takkan melemahkan. Dia pasti akan menghubungiku lagi nanti. Pasti.Aku mendengkus, menyadari dia mencariku hanya saat butuh. Ya. Cuma aku yang tahu masalah kehidupan ranjangnya, bukan lelaki lain."Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum penuh pasien seperti ini."Kamu yang bilang?" Sering
“Berhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. “Enggak mau ....”“Geli! Nanti keciprat!” Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.“Kenapa enggak beli aja, sih?” Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalaman, bisa kusentuh puncaknya ya
"Pergi dari sini," desis pria tua beruban yang mencegatku di pintu masuk IGD saat mengiringi brankar dorong Anin. Sosok tidak lebih tinggi dariku itu berkacak pinggang dan membusungkan dada meski berkali-kali kudorong."Enggak bisa gitu dong, Om!" Bagaimana aku enggak protes? Aku yang susah payah membawa Anin dari rumah, malah dia mengusir begitu saja. Apa haknya?"Saya masih suami sah Anin! Kamu yang harusnya pergi dari sini!" Pake ngaku-ngaku lagi. Ke mana aja dia selama ini ketika sang istri mengalami luka fisik dan batin?"Tante enggak bakal pernah mau terima Om kembali!"Bisa dibilang kedua tanganku sudah mengepal di sisi badan meski tahu kekuatanku enggak bakal mungkin menandinginya dari pukulan-pukulan yang pernah suami Anin itu layangkan. Hanya susunan kata protes yang harus diredam karena keberadaan kami di tempat umum pe
āBerhenti, Yo," protes Anin ketika sentuhanku menjalar ke depan perutnya.Aku menggeleng, menikmati tiap jengkal aroma di sepanjang lengannya yang terjangkau. āEnggak mau ....āāGeli! Nanti keciprat!ā Ocehannya terdengar manja. Sesekali dia mengacungkan sutil panas ke arahku. Kejam.Masih kupeluk dia dari belakang. Sesekali kutenggelamkan ciuman di ceruk lehernya yang nyaman, enggak peduli kesibukan Anin menggoreng ayam dengan minyak panas. Rambut diikat tinggi dan terusan putih selutut bertali yang dikenakannya benar-benar menggoda, terutama karena peluh yang masih meninggalkan jejak pergumulan kami sebelumnya di seluruh permukaan kulit Anin mencetak lekuknya dengan sempurna. Seksi.āKenapa enggak beli aja, sih?ā Tanganku merambat naik menyusuri sepasang gundukan di depan tubuhnya, terasa jauh lebih padat dari biasa. Tanpa dalama
"Rese lo nanyain kabar Anin di depan Kea!" Aku jelas protes dengan candaan enggak lucunya Dean abis dia berantem mulut sama Kea. Padahal aku aja baru selesai nego sama Kea mengenai pembicaraan tentang si tante biar enggak berlarut-larut.Kea ampe pamit balik duluan, batal deh rencana mau malam mingguan. Kali kan dapet yang panas kalau jalan bareng macam cari tempat makan soto atau sup. Enggak mungkin banget ngajak Kea mabuk. Bisa gagal lamaran entar kalau ketahuan bapaknya."Bukannya lo lagi pendekatan sama Anin?" Dean menghindari tonjokanku. Bukan pukulan serius, cuma kebiasaan jika manusia satu ini bisa jadi sasaran samsak hidup buat aku dan Kea kalau lagi suntuk.Dia menunjuk tangga menuju 'rumah pohon', mengisyaratkan aku untuk mengikutinya naik dan berhenti di satu sisi pagar yang menunjukkan keramaian kafe. Bangunan kayu di belakang kafe yang bertopang pa
āKamu enggak pulang? Ibu nanyain aku terus.ā Kea mengadu lagi padaku, padahal belum juga duduk manis pada kursi kosong di seberangnya.Kami sepakat bertemu di salah satu kafe Dean yang baru buka, lagi. Dean ini kebanyakan buka tempat nongkrong kayak punya rupiah enggak ada limitnya. Bukan rooftop seperti kafe-kafe yang aku desain sebelumnya, melainkan taman di pertengahan kota yang kontras dengan segala kerumitan di sekitar. Tempat ini jauh lebih kecil, tapi memanfaatkan konsep alam. Pohon-pohon teduh di pinggiran dengan akar menggantung yang digantungi lampu-lampu berwarna. Meja dan kayu dari potongan pohon yang dipernis. Suasana di sini lebih nyaman untuk mengistirahatkan mata dari penatnya kesibukan dunia kerja.āAku baru dari rumah malahan abis pulang kerja. Ibu enggak bilang apa-apa soal kamu pas aku mampir tadi, makanya aku kaget diajak ketemuan," alasanku setelah mendaratkan pantat di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments