Share

Budak Cinta Si Tante
Budak Cinta Si Tante
Author: Aldrich Candra

Wanita yang Kucintai

“Aku enggak peduli! Mau kamu masih nikah, mau kamu sudah janda, aku enggak peduli!” Teriakanku menggelegar begitu saja ketika sadari wanita di sisiku telah beranjak.

Anin namanya, sosok wanita dewasa yang masih terlihat cantik menjelang usia empat puluh. Tubuh polos bak jam pasirnya ditutupi selimut yang jelas-jelas menelanjangiku ketika mulai mengambil setiap helai pakaian dari lantai.

Suara serak disertai isakannya menyuarakan, “Aryo ..., aku belum resmi bercerai. Harusnya kamu cari yang seusia kamu. Anggap saja semua yang telah kita lewati hanya sebatas kontrak hubungan kerja.”

Aku mengerjap, tak percaya. Anin menolakku seperti biasa, lagi. Suaranya melemah, seakan dia telah menyerah dengan hubungan kami selama ini.

Padahal beberapa jam lalu Anin katakan membutuhkanku, membuatku luluh untuk kembali bergumul dengannya dalam kamar hotel. Aku bahkan masih ingat lenguhannya yang setiap berhasil mencapai puncak kenikmatan surgawi dunia.

Tidak. Aku memang rela melakukannya, mempermainkan tiap sentuhan yang menyambar gairah terdalam sang pujaan. Aku juga menginginkan dirinya meski tak diminta sekali pun. Kemudian, dia berniat pergi semudah itu?

Brengsek!

“Ayolah! Ini konyol, Tan!” Aku segera bangkit dari ranjang begitu gagal menangkap jemari Anin, meraih tiap helai pakaian milikku untuk dikenakan secara kilat agar mampu mengejar dia yang telah keluar dari ruangan.

“Sial!”

Melirik pada nakas tempat ponselku berada, ternyata dia meninggalkanku lagi bersama amplop cokelat berisi lembaran rupiah di atas nakas. Jumlahnya memang jauh lebih banyak dari biasa. Namun, tetap enggak sebanding dengan yang kurasakan saat ini. Enggak sebanding sama perasaan yang membuncah ketika dia memilih pergi, memorak-porandakan asa yang terlanjur meledak.

“Tante? Anin? Anin!” Aku berteriak sedang dia tidak lagi ada, terduduk di permukaan lantai tepat pada ambang pintu yang telah dilaluinya bersama kekecewaan. Pengakuanku, tidakkah berarti untuknya?

"Perasaanku enggak semurah ini!" Genggamanku pada amplop di pangkuan mengerat. “Kamu dengar, Anin? Aku enggak butuh ini!”

Teriakan hanya sebatas suara tinggi yang tak menembus dinding. Kulemparkan amplop itu ke daun pintu yang telah tertutup hingga isinya bertebaran. Nyatanya, dia hanya datang—membuatku abai dengan harap lepas darinya—ketika butuh dan tak mampu kutolak.

***

“Nabastala!” Teriakan yang terdengar sukses menghentikan jemariku menulis, sebenarnya menyalin ulang penjelasan dosen dari rekaman di ponsel mengenai kekurangan laporan skripsiku. Entah rumus yang digunakan dan relevansinya dengan keadaan siswa di sekolah yang menjadi tujuan penelitian.

Ternyata jadi mahasiswa di tahun terakhir itu sangat-sangat merepotkan. Meski enggak ambil perkuliahan lagi, penelitian memaksaku bolak-balik ke sekolah cuma buat ngecek angket yang tersebar dan memastikan waktu untuk percobaan teknik pembelajaran.

Gadis berpenampilan boyish—kaus berlapis kemeja, lengkap dengan jins dan sepatu kets—yang tadi berteriak melepas pelantang di telinga kananku. Jelas, aku dengar. Telinga kananku hanya ditutup telapak tangan karena teriakannya yang memalukan. Gimana kalau kedengaran mahasiswa yang menggunakan kelas lain?

“Kamu enggak bisa bicara lebih pelan? Kelas di sebelah lagi belajar.” Aku mengumpulkan kertas yang bertebaran di beberapa meja sekaligus karena sempat terkejut dengan suara lantangnya dan menutup tampilan layar ponsel. Sengaja, aku menggunakan kelas kosong untuk merevisi bakal skripsi yang terus mendapat coretan menggunakan rekaman kritikan sebelumnya. Biar enggak ada yang mengintervensi, kayak gadis ini contohnya.

"Kamu dipanggilin dari tadi enggak nyaut. Dicariin dospem, noh!” Kea—mantanku yang jadi teman—menunjuk luar ruangan dari jendela transparan yang membatasi. Suaranya jauh lebih pelan dibanding awal.

Kuhela napas karena harus memasukkan semua bahan dalam tas map. Susunannya masih bisa dibereskan nanti. “Baru ketemu Pak Dandy tadi. Masa dipanggil lagi?” protesku. Salahnya, Kea enggak tahu-menahu.

Kea mengangkat bahu. Biasanya info dari gadis itu selalu up to date kalau soal skripsi. Apalagi kami dibimbing sama satu dospem.

“Bareng lulus, ya,” pesannya tiap kali ketemu saat bimbingan di dekanat, tapi belakangan jadi lebih sering ketemu bahkan ngerjain bareng.

Senyuman Kea tuh manis, dengan gigi kelinci di depan. Kalau kubilang, wajahnya sekilas mirip Nasya Marcella. Cantik. Tingginya sebatas daguku. Aku juga bingung kenapa bisa putus dulu. Nyatanya, memang kami selama ini nyaman terhubung sebatas pertemanan.

Apa, ya? Bisa dibilang enggak canggung untuk bicara atau sibuk menjaga jarak karena perasaan yang berdebar.

Kea menyejajari langkahku melintas di koridor kampus. Ramai di sepanjang jalan setapak pada penghujung sore, mungkin para mahasiswa bersiap untuk kelas malam.

“Yakin harus ketemu Pak Dandy sekarang?”

Kulihat Kea sendiri ragu untuk mengangguk. “Tadi sih diminta temuin beliau. Enggak tau kenapa. Ada yang ketinggalan mungkin.”

Sempat berhenti di depan ruang kesehatan, aku numpang bercermin di depan dinding kacanya. “Masih cakep kan, Ke?” tanyaku seraya melebarkan senyum, memastikan enggak bakal malu-maluin ketemu dosen.

Kalau dilihat lagi, mataku sipit. Kea pernah bilang kayak orang ngantuk. Menang putih doang. Terkadang dia nanya resep bisa putih dan selalu kujawab, “Keturunan.”

Kebiasaan cewek zaman sekarang, terjebak dengan paradigma kalau putih itu cantik. Eh, tapi aku cowok. Masa mau dikatain cantik?

Kea yang turut berhenti, berkelakar, “Kapan lagi kamu enggak narsis?” Dia menggeleng, menertawakan kebiasaanku jika bertemu kaca.

“Ye, namanya seharian enggak pulang. Berantakan kali, Ke.”

Kea tergelak pada tingkahku yang sesekali mengecek aroma tubuh dan merapikan kemeja tanpa malu. “Masih wangi, Bas. Masih.”

Sebenarnya aku lebih suka mengenakan kaus, tapi aturan kampus, terutama fakultas pendidikan, mengharuskan mahasiswa minimal mengenakan pakaian semi-formal.

Di penghujung koridor dekat dekanat, sosok yang berminggu-minggu terakhir kurindukan melintas. Dia selalu menunduk, menghindari tatapan tiap mahasiswa, termasuk denganku. Padahal wajahnya tergolong cantik. Mata lebar, hidung mancung, dan bibir tipis yang tampak menggoda. Untukku. Tingginya enggak jauh beda dengan Kea, sebatas bahuku.

Enggak bakal ada yang nyangka kalau usianya sekitar akhir tiga puluhan. Terlihat begitu tertutup dan dingin dari cara berpakaian yang selalu kelam. Pemilihan sederhananya dari segi riasan menonjolkan kesehatan kulit tanpa kerutnya.

Siapa yang tahu dosen di salah satu fakultas seperti Anindya Betari itu justru membutuhkan kehangatan dari penghibur sepertiku? Tidak ada kesan masalah dari raut wajahnya.

“Bas! Kenapa diam?” protes Kea.

Langkahku berhenti, membiarkan dosen wanita itu melintas lebih dulu. Setelahnya, aku menggeleng, beralasan, “Enggak apa-apa. Pak Dandy nyuruh apa aja tadi?”

Kea meneruskan penjelasannya mengenai konsep penelitian dengan berbagai rumus yang meragukan. Sementara aku memperhatikan kepergian ‘dia’ yang sempat menoleh saat menyadari keberadaanku. Bertemu tatap rasanya membawa angin segar dalam sekejap.

Tanpa sadar, aku menggerakkan bibir membentuk kalimat, “I love you,” dan tersenyum pada Anin.

Wanita itu langsung berbalik dan mempercepat langkah, membuatku ingin tertawa.

“Kamu bilang apa, Bas?” Pertanyaan Kea spontan membuatku sadar dan kembali fokus pada langkah yang hampir menyerempet selokan.

Aku menggeleng. Mungkin harus lebih banyak mendengarkan penjelasan Kea, menyingkirkan perasaan untuk sementara waktu sampai Anin memberi kepastian. Setidaknya, pertemuan terakhir dengan Anin takkan melemahkan. Dia pasti akan menghubungiku lagi nanti. Pasti.

Aku mendengkus, menyadari dia mencariku hanya saat butuh. Ya. Cuma aku yang tahu masalah kehidupan ranjangnya, bukan lelaki lain.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
At Taqwa
ah,, gimana aku gak jatuh... kalo gini Al ?
goodnovel comment avatar
At Taqwa
Al ...... apa semua tokohnya ada benang yang mengaitkan...
goodnovel comment avatar
At Taqwa
aku jadi baca mundur ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status