“Aku enggak peduli! Mau kamu masih nikah, mau kamu sudah janda, aku enggak peduli!” Teriakanku menggelegar begitu saja ketika sadari wanita di sisiku telah beranjak.
Anin namanya, sosok wanita dewasa yang masih terlihat cantik menjelang usia empat puluh. Tubuh polos bak jam pasirnya ditutupi selimut yang jelas-jelas menelanjangiku ketika mulai mengambil setiap helai pakaian dari lantai.Suara serak disertai isakannya menyuarakan, “Aryo ..., aku belum resmi bercerai. Harusnya kamu cari yang seusia kamu. Anggap saja semua yang telah kita lewati hanya sebatas kontrak hubungan kerja.”Aku mengerjap, tak percaya. Anin menolakku seperti biasa, lagi. Suaranya melemah, seakan dia telah menyerah dengan hubungan kami selama ini.Padahal beberapa jam lalu Anin katakan membutuhkanku, membuatku luluh untuk kembali bergumul dengannya dalam kamar hotel. Aku bahkan masih ingat lenguhannya yang setiap berhasil mencapai puncak kenikmatan surgawi dunia.Tidak. Aku memang rela melakukannya, mempermainkan tiap sentuhan yang menyambar gairah terdalam sang pujaan. Aku juga menginginkan dirinya meski tak diminta sekali pun. Kemudian, dia berniat pergi semudah itu?Brengsek!“Ayolah! Ini konyol, Tan!” Aku segera bangkit dari ranjang begitu gagal menangkap jemari Anin, meraih tiap helai pakaian milikku untuk dikenakan secara kilat agar mampu mengejar dia yang telah keluar dari ruangan.“Sial!”Melirik pada nakas tempat ponselku berada, ternyata dia meninggalkanku lagi bersama amplop cokelat berisi lembaran rupiah di atas nakas. Jumlahnya memang jauh lebih banyak dari biasa. Namun, tetap enggak sebanding dengan yang kurasakan saat ini. Enggak sebanding sama perasaan yang membuncah ketika dia memilih pergi, memorak-porandakan asa yang terlanjur meledak.“Tante? Anin? Anin!” Aku berteriak sedang dia tidak lagi ada, terduduk di permukaan lantai tepat pada ambang pintu yang telah dilaluinya bersama kekecewaan. Pengakuanku, tidakkah berarti untuknya?"Perasaanku enggak semurah ini!" Genggamanku pada amplop di pangkuan mengerat. “Kamu dengar, Anin? Aku enggak butuh ini!”Teriakan hanya sebatas suara tinggi yang tak menembus dinding. Kulemparkan amplop itu ke daun pintu yang telah tertutup hingga isinya bertebaran. Nyatanya, dia hanya datang—membuatku abai dengan harap lepas darinya—ketika butuh dan tak mampu kutolak.***“Nabastala!” Teriakan yang terdengar sukses menghentikan jemariku menulis, sebenarnya menyalin ulang penjelasan dosen dari rekaman di ponsel mengenai kekurangan laporan skripsiku. Entah rumus yang digunakan dan relevansinya dengan keadaan siswa di sekolah yang menjadi tujuan penelitian.Ternyata jadi mahasiswa di tahun terakhir itu sangat-sangat merepotkan. Meski enggak ambil perkuliahan lagi, penelitian memaksaku bolak-balik ke sekolah cuma buat ngecek angket yang tersebar dan memastikan waktu untuk percobaan teknik pembelajaran.Gadis berpenampilan boyish—kaus berlapis kemeja, lengkap dengan jins dan sepatu kets—yang tadi berteriak melepas pelantang di telinga kananku. Jelas, aku dengar. Telinga kananku hanya ditutup telapak tangan karena teriakannya yang memalukan. Gimana kalau kedengaran mahasiswa yang menggunakan kelas lain?“Kamu enggak bisa bicara lebih pelan? Kelas di sebelah lagi belajar.” Aku mengumpulkan kertas yang bertebaran di beberapa meja sekaligus karena sempat terkejut dengan suara lantangnya dan menutup tampilan layar ponsel. Sengaja, aku menggunakan kelas kosong untuk merevisi bakal skripsi yang terus mendapat coretan menggunakan rekaman kritikan sebelumnya. Biar enggak ada yang mengintervensi, kayak gadis ini contohnya."Kamu dipanggilin dari tadi enggak nyaut. Dicariin dospem, noh!” Kea—mantanku yang jadi teman—menunjuk luar ruangan dari jendela transparan yang membatasi. Suaranya jauh lebih pelan dibanding awal.Kuhela napas karena harus memasukkan semua bahan dalam tas map. Susunannya masih bisa dibereskan nanti. “Baru ketemu Pak Dandy tadi. Masa dipanggil lagi?” protesku. Salahnya, Kea enggak tahu-menahu.Kea mengangkat bahu. Biasanya info dari gadis itu selalu up to date kalau soal skripsi. Apalagi kami dibimbing sama satu dospem.“Bareng lulus, ya,” pesannya tiap kali ketemu saat bimbingan di dekanat, tapi belakangan jadi lebih sering ketemu bahkan ngerjain bareng.Senyuman Kea tuh manis, dengan gigi kelinci di depan. Kalau kubilang, wajahnya sekilas mirip Nasya Marcella. Cantik. Tingginya sebatas daguku. Aku juga bingung kenapa bisa putus dulu. Nyatanya, memang kami selama ini nyaman terhubung sebatas pertemanan.Apa, ya? Bisa dibilang enggak canggung untuk bicara atau sibuk menjaga jarak karena perasaan yang berdebar.Kea menyejajari langkahku melintas di koridor kampus. Ramai di sepanjang jalan setapak pada penghujung sore, mungkin para mahasiswa bersiap untuk kelas malam.“Yakin harus ketemu Pak Dandy sekarang?”Kulihat Kea sendiri ragu untuk mengangguk. “Tadi sih diminta temuin beliau. Enggak tau kenapa. Ada yang ketinggalan mungkin.”Sempat berhenti di depan ruang kesehatan, aku numpang bercermin di depan dinding kacanya. “Masih cakep kan, Ke?” tanyaku seraya melebarkan senyum, memastikan enggak bakal malu-maluin ketemu dosen.Kalau dilihat lagi, mataku sipit. Kea pernah bilang kayak orang ngantuk. Menang putih doang. Terkadang dia nanya resep bisa putih dan selalu kujawab, “Keturunan.”Kebiasaan cewek zaman sekarang, terjebak dengan paradigma kalau putih itu cantik. Eh, tapi aku cowok. Masa mau dikatain cantik?Kea yang turut berhenti, berkelakar, “Kapan lagi kamu enggak narsis?” Dia menggeleng, menertawakan kebiasaanku jika bertemu kaca.“Ye, namanya seharian enggak pulang. Berantakan kali, Ke.”Kea tergelak pada tingkahku yang sesekali mengecek aroma tubuh dan merapikan kemeja tanpa malu. “Masih wangi, Bas. Masih.”Sebenarnya aku lebih suka mengenakan kaus, tapi aturan kampus, terutama fakultas pendidikan, mengharuskan mahasiswa minimal mengenakan pakaian semi-formal.Di penghujung koridor dekat dekanat, sosok yang berminggu-minggu terakhir kurindukan melintas. Dia selalu menunduk, menghindari tatapan tiap mahasiswa, termasuk denganku. Padahal wajahnya tergolong cantik. Mata lebar, hidung mancung, dan bibir tipis yang tampak menggoda. Untukku. Tingginya enggak jauh beda dengan Kea, sebatas bahuku.Enggak bakal ada yang nyangka kalau usianya sekitar akhir tiga puluhan. Terlihat begitu tertutup dan dingin dari cara berpakaian yang selalu kelam. Pemilihan sederhananya dari segi riasan menonjolkan kesehatan kulit tanpa kerutnya.Siapa yang tahu dosen di salah satu fakultas seperti Anindya Betari itu justru membutuhkan kehangatan dari penghibur sepertiku? Tidak ada kesan masalah dari raut wajahnya.“Bas! Kenapa diam?” protes Kea.Langkahku berhenti, membiarkan dosen wanita itu melintas lebih dulu. Setelahnya, aku menggeleng, beralasan, “Enggak apa-apa. Pak Dandy nyuruh apa aja tadi?”Kea meneruskan penjelasannya mengenai konsep penelitian dengan berbagai rumus yang meragukan. Sementara aku memperhatikan kepergian ‘dia’ yang sempat menoleh saat menyadari keberadaanku. Bertemu tatap rasanya membawa angin segar dalam sekejap.Tanpa sadar, aku menggerakkan bibir membentuk kalimat, “I love you,” dan tersenyum pada Anin.Wanita itu langsung berbalik dan mempercepat langkah, membuatku ingin tertawa.“Kamu bilang apa, Bas?” Pertanyaan Kea spontan membuatku sadar dan kembali fokus pada langkah yang hampir menyerempet selokan.Aku menggeleng. Mungkin harus lebih banyak mendengarkan penjelasan Kea, menyingkirkan perasaan untuk sementara waktu sampai Anin memberi kepastian. Setidaknya, pertemuan terakhir dengan Anin takkan melemahkan. Dia pasti akan menghubungiku lagi nanti. Pasti.Aku mendengkus, menyadari dia mencariku hanya saat butuh. Ya. Cuma aku yang tahu masalah kehidupan ranjangnya, bukan lelaki lain.Beberapa bulan sebelumnya ....“Aku enggak mau! Kamu ngebawa racun, bukan madu, Mas!”Saat itu, aku mendengar Anin berteriak. Pertama kalinya aku benar-benar melihat dan menyadari keberadaannya di akhir semester ganjil. Secara, kampus itu luas banget. Fakultasnya aja ada lebih dari lima, belum jurusannya, tetapi ... dia dari fakultas yang mana?Di ujung tempat parkir, dia saling berdebat dengan pria tua. Tebakanku mungkin si pria itu suaminya yang berusia sekitar empat atau lima puluh tahun dari kerut dan helai rambut yang memutih. Siapa tahu lebih muda kalau inget banyak orang yang memiliki uban lebih dini.“Mereka enggak malu diliatin orang apa?” Aku mengeluh sambil menyandarkan diri di sisi mobil Kea. Setelah jam ujian pertama, kami sepakat bertemu di pelataran parkir.Kuamati lagi sosok wanita itu. Enggak ada yang spesial. Kurang lebih kayak dosen lain yang berpakaian formal setiap mengajar. Rambut panjang Anin digerai ke depan pundak kanan sekali jemarinya menyugar diiringi air ma
“Ngeliatin siapa?” tanya wanita yang meliuk-liuk di hadapanku seiring entakan musik yang semakin menggila.“Teman, Tan!” Alasanku ketika menyadari seseorang yang kukenal berada di deretan kursi bar.Ya, aku masih sangat betah memperhatikan setiap perubahan mimik dari wajah tirus dosen wanita yang pernah menerima perlakuan kasar di depanku itu. Anin.Jujur, aku enggak suka kekerasan terhadap wanita. Aku lebih suka memberi pelayanan saling menguntungkan seperti terhadap wanita yang kini dengan beraninya menggesekkan belakang tubuhnya pada bagian tersensitifku ketika DJ yang di atas sana mengganti musik beraliran melow ala-ala biola Titanic.Berasa pengin ngumpat. Anjing! Bangsat! Musik apaan ini?Serius, aku sempat gelagapan terbawa efek alkohol yang masih ingin diguncang.“Kenapa masih dipanggil tante aja? Yang mesra, dong.” Tambah lagi rengekan manja dari wanita yang menarik pergelangan tanganku biar melingkari pinggangnya ini.Emang sih ya ketemu wanita-wanita butuh kasih sayang ini b
“Kamu lagi?”Anin menghela napas berat begitu menyadari aku berdiri di depannya. Setelah pertengkaran suami istri ke sekian yang tidak sengaja kudengar, wanita itu masih membuatku penasaran.Sore di penghujung Sabtu selalu sepi di lorong menuju kelas. Jarang mahasiswa mengambil kelas akhir pekan. Kalaupun ada, seperti aku yang mengejar tambahan nilai jika dosen meminta.Aku enggak bodoh. Cuma menyukai tantangan, meski jumlah beasiswa tidak seberapa.Bukankah dekat dengan dosen mempermudah koneksi? Terakhir malah ditawarin ngambil beasiswa tugas akhir. Semacam pengajuan di awal semester, lalu dapat transferan ketika lolos. Biasanya bertepatan dengan akhir semester.“Sudah kukatakan, kamu bisa hubungi aku kalau perlu teman.” Aku mengulang perkataan yang sama ke sekian kali saat membantunya berdiri. Lut
“Aku membayarmu cuma buat teman bicara, bukan bercumbu, Aryo.” Sang primadona ruangan malam ini memprotesku. Dia memilih tetap berdiri menghadap dinding kaca, melihat luar ruangan, dibanding duduk di hadapanku.Lucu, sih. Biasanya wanita yang membayarku akan mengambil keuntungan sebanyak mungkin dari pelayanan, terutama karena sentuhanku dianggap sangat melenakan hingga mereka ketagihan. Namun, Anin hanya menekankan teman bicara dalam kontraknya yang baru saja kutandatangani.“Apa bedanya? Harganya sama saja, Sayang. Atau kamu ingin dipanggil dengan kata lain?” Aku menertawakan pilihan Anin setelah menghabiskan kudapan manis. Mungkin cokelat atau kopi, yang jelas seperti ada biskuit lumer di dalam mulutku.“Ini apa namanya?” Aku mengacungkan potongan di atas garpu kecil dalam pegangan yang sekejap berpindah ke mulut.“Tiramisu,” k
“Sama siapa, Bas?” Dean—teman yang kukenal semenjak menginjak bangku perkuliahan dan terkenal sering bergonta-ganti pasangan—menghampiri. Dia sadar kalau aku berada di tempat yang sama.Padahal sejak awal ngelihat keberadaan Dean dalam klub, aku sudah memilih tempat untuk menyingkir dari keramaian, menemani Anin yang bersandar pada sofa di pojokan setelah minum beberapa tegukan. Lagian, buat apa juga Anin mabuk di tempat seperti ini sendirian setelah menghubungiku? Apa Anin sedang menghadapi masalah lagi?Aku menjawab pertanyaan Dean dengan menggerakkan kepala, menunjukkan wanita di sisi yang telah menutup mata. Tubuh Anin masih mengenakan pakaian formal setelah mengajar tertutupi jaket milikku. Bisa aja kan banyak lelaki yang mengambil kesempatan karena kondisi Anin kalau enggak hubungi aku sejak awal?“Baru lagi?” Dean melepaskan rangkulannya pada gadis yang
Kupastikan alamat yang diberikan Anin sesuai dengan rumah di depan mata. Fotonya sama. Rumah dominasi batuan alam dari luar dengan furnitur kursi dan meja rotan yang sudah langka ditemukan pada masa kini, tersusun melingkar di pelataran. Hal moderen yang bisa ditemukan hanya pada sistem keamanan seperti pengunci pintu menggunakan kata sandi dan beberapa kamera pengawas.Anin sudah memberitahu kalau aku bebas masuk, menelisik koridor berlantai vinyl corak kayu yang terlihat sejuk sejak pertama menginjakkan kaki. Seperti yang dia bilang, rumahnya sangat sepi.Beberapa kali Anin bercerita mengenai jarangnya interaksi di dalam rumah. Bangunan besar yang dimilikinya hanya tempat persinggahan di kala istirahat. Harusnya. Apa yang terjadi ketika satu-satunya sandaran Anin, si suami, malah jadi orang yang menciptakan neraka dalam hidupnya?“Enggak perlu buka sepatu, ka
“Yo! Balikin!” Wajah Anin tampak panik ketika menyadari ponselnya berada di tanganku. Rengutannya menjadi hiburan tambahan setelah permainan panas kami.Berapa kali? Mungkin tiga atau empat klimaks untukku semenjak tiba di rumah Anin. Langit yang tampak di balik jendela sudah sangat gelap tentunya.Obviously, Anin sangat tidak konvensional. Dia mencoba berbagai macam cara saling memuaskan yang bisa aku tunjukkan.Ah, membayangkannya saja sudah menggelikan untukku."Balikin ponselku, Yo!" Anin berusaha meski tahu kalau tangan langsingnya itu enggak bakal sampai kalau menggapai dari balik bahuku.“Enggak ....” Membelakangi Anin hanya akan menggesekkan aset kencangnya di punggungku dan semakin mempertegas ereksi yang menyakitiku. Kugigit bibir bawah untuk menahan desahan yang tetap saja lolos.“Ary
“Poligami seperti apa yang dimulai dengan perselingkuhan? Kamu pikir aku bodoh dengan syariat?” Anin berteriak. Bisa kudengar suara barang-barang jatuh, atau mungkin dilempar?Suara pria tua yang menjadi suami Anin juga tidak kalah keras. Syukur-syukur rumah Anin tergolong jauh dari para tetangga.Kebiasaan para pemburu nafsu yang setahuku menjadikan landasan agama sebagai dasar pembenaran untuk menambah jumlah istri. Pernah dengar, sih, saat Dean mengundang ustaz untuk pengajian di rumahnya bilang, “Poligami itu dasarnya boleh, tapi menjadi haram ketika berbuat zalim.”Tahu apa sih aku?Jadi menertawakan diri sendiri yang sok tahu. Perbuatanku berkali-kali bersama Anin juga terhitung dosa, bukan? Kalau dalam hukum agamanya Dean, pendosa sepertiku bisa dirajam. Lempar batu sampai mati.Aku berjongkok