All Chapters of Budak Cinta Si Tante: Chapter 1 - Chapter 10
30 Chapters
Wanita yang Kucintai
“Aku enggak peduli! Mau kamu masih nikah, mau kamu sudah janda, aku enggak peduli!” Teriakanku menggelegar begitu saja ketika sadari wanita di sisiku telah beranjak.Anin namanya, sosok wanita dewasa yang masih terlihat cantik menjelang usia empat puluh. Tubuh polos bak jam pasirnya ditutupi selimut yang jelas-jelas menelanjangiku ketika mulai mengambil setiap helai pakaian dari lantai. Suara serak disertai isakannya menyuarakan, “Aryo ..., aku belum resmi bercerai. Harusnya kamu cari yang seusia kamu. Anggap saja semua yang telah kita lewati hanya sebatas kontrak hubungan kerja.”Aku mengerjap, tak percaya. Anin menolakku seperti biasa, lagi. Suaranya melemah, seakan dia telah menyerah dengan hubungan kami selama ini. Padahal beberapa jam lalu Anin katakan membutuhkanku, membuatku luluh untuk kembali bergumul dengannya dalam kamar hotel. Aku bahkan masih ingat lenguhannya yang setiap berhasil mencapai puncak kenikmatan surgawi dunia.Tidak. Aku memang rela melakukannya, mempermainka
Read more
Mangsa Baru
Beberapa bulan sebelumnya ....“Aku enggak mau! Kamu ngebawa racun, bukan madu, Mas!”Saat itu, aku mendengar Anin berteriak. Pertama kalinya aku benar-benar melihat dan menyadari keberadaannya di akhir semester ganjil. Secara, kampus itu luas banget. Fakultasnya aja ada lebih dari lima, belum jurusannya, tetapi ... dia dari fakultas yang mana?Di ujung tempat parkir, dia saling berdebat dengan pria tua. Tebakanku mungkin si pria itu suaminya yang berusia sekitar empat atau lima puluh tahun dari kerut dan helai rambut yang memutih. Siapa tahu lebih muda kalau inget banyak orang yang memiliki uban lebih dini.“Mereka enggak malu diliatin orang apa?” Aku mengeluh sambil menyandarkan diri di sisi mobil Kea. Setelah jam ujian pertama, kami sepakat bertemu di pelataran parkir.Kuamati lagi sosok wanita itu. Enggak ada yang spesial. Kurang lebih kayak dosen lain yang berpakaian formal setiap mengajar. Rambut panjang Anin digerai ke depan pundak kanan sekali jemarinya menyugar diiringi air ma
Read more
Namaku Aryo
“Ngeliatin siapa?” tanya wanita yang meliuk-liuk di hadapanku seiring entakan musik yang semakin menggila.“Teman, Tan!” Alasanku ketika menyadari seseorang yang kukenal berada di deretan kursi bar.Ya, aku masih sangat betah memperhatikan setiap perubahan mimik dari wajah tirus dosen wanita yang pernah menerima perlakuan kasar di depanku itu. Anin.Jujur, aku enggak suka kekerasan terhadap wanita. Aku lebih suka memberi pelayanan saling menguntungkan seperti terhadap wanita yang kini dengan beraninya menggesekkan belakang tubuhnya pada bagian tersensitifku ketika DJ yang di atas sana mengganti musik beraliran melow ala-ala biola Titanic.Berasa pengin ngumpat. Anjing! Bangsat! Musik apaan ini?Serius, aku sempat gelagapan terbawa efek alkohol yang masih ingin diguncang.“Kenapa masih dipanggil tante aja? Yang mesra, dong.” Tambah lagi rengekan manja dari wanita yang menarik pergelangan tanganku biar melingkari pinggangnya ini.Emang sih ya ketemu wanita-wanita butuh kasih sayang ini b
Read more
Air Mata Duka
“Kamu lagi?” Anin menghela napas berat begitu menyadari aku berdiri di depannya. Setelah pertengkaran suami istri ke sekian yang tidak sengaja kudengar, wanita itu masih membuatku penasaran. Sore di penghujung Sabtu selalu sepi di lorong menuju kelas. Jarang mahasiswa mengambil kelas akhir pekan. Kalaupun ada, seperti aku yang mengejar tambahan nilai jika dosen meminta. Aku enggak bodoh. Cuma menyukai tantangan, meski jumlah beasiswa tidak seberapa. Bukankah dekat dengan dosen mempermudah koneksi? Terakhir malah ditawarin ngambil beasiswa tugas akhir. Semacam pengajuan di awal semester, lalu dapat transferan ketika lolos. Biasanya bertepatan dengan akhir semester. “Sudah kukatakan, kamu bisa hubungi aku kalau perlu teman.” Aku mengulang perkataan yang sama ke sekian kali saat membantunya berdiri. Lut
Read more
Gairah Angin Malam
“Aku membayarmu cuma buat teman bicara, bukan bercumbu, Aryo.” Sang primadona ruangan malam ini memprotesku. Dia memilih tetap berdiri menghadap dinding kaca, melihat luar ruangan, dibanding duduk di hadapanku. Lucu, sih. Biasanya wanita yang membayarku akan mengambil keuntungan sebanyak mungkin dari pelayanan, terutama karena sentuhanku dianggap sangat melenakan hingga mereka ketagihan. Namun, Anin hanya menekankan teman bicara dalam kontraknya yang baru saja kutandatangani. “Apa bedanya? Harganya sama saja, Sayang. Atau kamu ingin dipanggil dengan kata lain?” Aku menertawakan pilihan Anin setelah menghabiskan kudapan manis. Mungkin cokelat atau kopi, yang jelas seperti ada biskuit lumer di dalam mulutku. “Ini apa namanya?” Aku mengacungkan potongan di atas garpu kecil dalam pegangan yang sekejap berpindah ke mulut. “Tiramisu,” k
Read more
Wajah Kemerahannya
“Sama siapa, Bas?” Dean—teman yang kukenal semenjak menginjak bangku perkuliahan dan terkenal sering bergonta-ganti pasangan—menghampiri. Dia sadar kalau aku berada di tempat yang sama. Padahal sejak awal ngelihat keberadaan Dean dalam klub, aku sudah memilih tempat untuk menyingkir dari keramaian, menemani Anin yang bersandar pada sofa di pojokan setelah minum beberapa tegukan. Lagian, buat apa juga Anin mabuk di tempat seperti ini sendirian setelah menghubungiku? Apa Anin sedang menghadapi masalah lagi? Aku menjawab pertanyaan Dean dengan menggerakkan kepala, menunjukkan wanita di sisi yang telah menutup mata. Tubuh Anin masih mengenakan pakaian formal setelah mengajar tertutupi jaket milikku. Bisa aja kan banyak lelaki yang mengambil kesempatan karena kondisi Anin kalau enggak hubungi aku sejak awal? “Baru lagi?” Dean melepaskan rangkulannya pada gadis yang
Read more
Persetujuan Anin
Kupastikan alamat yang diberikan Anin sesuai dengan rumah di depan mata. Fotonya sama. Rumah dominasi batuan alam dari luar dengan furnitur kursi dan meja rotan yang sudah langka ditemukan pada masa kini, tersusun melingkar di pelataran. Hal moderen yang bisa ditemukan hanya pada sistem keamanan seperti pengunci pintu menggunakan kata sandi dan beberapa kamera pengawas. Anin sudah memberitahu kalau aku bebas masuk, menelisik koridor berlantai vinyl corak kayu yang terlihat sejuk sejak pertama menginjakkan kaki. Seperti yang dia bilang, rumahnya sangat sepi. Beberapa kali Anin bercerita mengenai jarangnya interaksi di dalam rumah. Bangunan besar yang dimilikinya hanya tempat persinggahan di kala istirahat. Harusnya. Apa yang terjadi ketika satu-satunya sandaran Anin, si suami, malah jadi orang yang menciptakan neraka dalam hidupnya? “Enggak perlu buka sepatu, ka
Read more
Ketinggian Menegangkan
“Yo! Balikin!” Wajah Anin tampak panik ketika menyadari ponselnya berada di tanganku. Rengutannya menjadi hiburan tambahan setelah permainan panas kami. Berapa kali? Mungkin tiga atau empat klimaks untukku semenjak tiba di rumah Anin. Langit yang tampak di balik jendela sudah sangat gelap tentunya. Obviously, Anin sangat tidak konvensional. Dia mencoba berbagai macam cara saling memuaskan yang bisa aku tunjukkan. Ah, membayangkannya saja sudah menggelikan untukku. "Balikin ponselku, Yo!" Anin berusaha meski tahu kalau tangan langsingnya itu enggak bakal sampai kalau menggapai dari balik bahuku. “Enggak ....” Membelakangi Anin hanya akan menggesekkan aset kencangnya di punggungku dan semakin mempertegas ereksi yang menyakitiku. Kugigit bibir bawah untuk menahan desahan yang tetap saja lolos. “Ary
Read more
Brengsek yang Dibayar
“Poligami seperti apa yang dimulai dengan perselingkuhan? Kamu pikir aku bodoh dengan syariat?” Anin berteriak. Bisa kudengar suara barang-barang jatuh, atau mungkin dilempar? Suara pria tua yang menjadi suami Anin juga tidak kalah keras. Syukur-syukur rumah Anin tergolong jauh dari para tetangga. Kebiasaan para pemburu nafsu yang setahuku menjadikan landasan agama sebagai dasar pembenaran untuk menambah jumlah istri. Pernah dengar, sih, saat Dean mengundang ustaz untuk pengajian di rumahnya bilang, “Poligami itu dasarnya boleh, tapi menjadi haram ketika berbuat zalim.” Tahu apa sih aku? Jadi menertawakan diri sendiri yang sok tahu. Perbuatanku berkali-kali bersama Anin juga terhitung dosa, bukan? Kalau dalam hukum agamanya Dean, pendosa sepertiku bisa dirajam. Lempar batu sampai mati. Aku berjongkok
Read more
Mantan Pelanggan
Kata orang, move on itu bukan melupakan, tapi menghadapi. Cuma kalau hari-hari ketemu Anin, bagaimana mau move on? Sebenarnya kami beda fakultas, sih. Kebetulan belakangan kami sering berpapasan terus di koridor fakultas. Enggak satu-dua kali dia menemui dosen--yang membimbingku untuk urusan skripsi--dalam kurun waktu seminggu. Masalahnya, beberapa minggu setelah kejadian terakhir, dia memblokir semua kontakku, dari telepon sampai media sosial. Padahal permainan terakhir kali di rumahnya waktu itu sangat menegangkan. Kalau ikut perjanjian, rasanya enggak mungkin menegur Anin langsung di depan umum. Apalagi aku bukan mahasiswa mata kuliah yang diajarkannya. Berbahaya untuk bayaran dalam kontrakku. “Kamu kenal sama ibu tadi?” Pertanyaan Kea menyadarkanku dari lamunan. Padahal cuma karena melihat Anin lewat tanpa menoleh. Terkesan so
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status