Share

Air Mata Duka

“Kamu lagi?”

Anin menghela napas berat begitu menyadari aku berdiri di depannya. Setelah pertengkaran suami istri ke sekian yang tidak sengaja kudengar, wanita itu masih membuatku penasaran.

Sore di penghujung Sabtu selalu sepi di lorong menuju kelas. Jarang mahasiswa mengambil kelas akhir pekan. Kalaupun ada, seperti aku yang mengejar tambahan nilai jika dosen meminta.

Aku enggak bodoh. Cuma menyukai tantangan, meski jumlah beasiswa tidak seberapa.

Bukankah dekat dengan dosen mempermudah koneksi? Terakhir malah ditawarin ngambil beasiswa tugas akhir. Semacam pengajuan di awal semester, lalu dapat transferan ketika lolos. Biasanya bertepatan dengan akhir semester.

“Sudah kukatakan, kamu bisa hubungi aku kalau perlu teman.” Aku mengulang perkataan yang sama ke sekian kali saat membantunya berdiri. Lututnya bertemu lantai, terluka. Tidak terlindungi rok yang sedikit tersingkap.

Anin mengangkat wajah, menggeleng tanpa bicara seolah tidak perlu. Dia merapikan penampilan, masih menjaga jarak dan menolak sentuhan dariku semenjak perkenalan di klub malam lalu.

Aku menjilat bibir yang terasa kering seketika, menelan saliva secara paksa. Seolah mendadak kehabisan kata. Padahal niatnya cuma mau nolongin.

Iya. Bisa dibilang aku menawarkan diri pada kasus yang sama berulang kali. Ketemu wanita patah hati, dan terlihat butuh bahu untuk bersandar.

Sayang, pasangan mereka seringkali memilih menginjak harga diri seorang wanita. Padahal kalau paham setiap kode ranjau yang ditebar, tidak akan ada yang namanya perselingkuhan.

Hal yang sering terjadi dalam hubungan, tidak pekanya pasangan dengan perubahan seorang wanita ketika mengorbankan diri. Tidak sedikit kepercayaan diri mereka dilukai. Apalagi dengan poligami tak berdasar yang diminta suami Anin.

Lucu aja gitu. Harusnya suami Anin merasa nyaman. Istrinya masih tetap cantik meski enggak bisa dibilang muda lagi. Itu pandanganku, enggak tahu lelaki lain. Apalagi melihat penampilan Anin yang ditunjang barang branded.

Dugaan sementara mungkin karena suami tidak tahan dengan gaya hidup sang istri, tapi sepertinya bukan juga. Enggak ada bahasan seperti itu dalam pertengkaran mereka.

Ah, Nabas enggak boleh kepo! ucapku dalam hati, sekadar membatasi diri tetap pada tujuan. Kehangatan dan lembaran rupiah.

Dia akan bercerita—atau bahkan bercinta—jika mau nanti.

Kuikuti langkahnya menuju sisi lain pelataran parkir dan menemukan mobil jenis sedan metalik moderen yang menyala ketika Anin menekan remote kuncinya.

Anin sempat diam setelah duduk di kursi kemudi. Dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki seolah menyelidik.

“Aryo, kan?”

Ah, dia mengingat nama yang pernah kukatakan. Aku spontan mengangguk, mencoba tersenyum sambil bersandar pada bodi mobilnya.

“Masuk?”

Entah bertanya atau memberi izin. Aku mengitari mobil, masuk pada pintu berlawanan.

Wanita akhir tiga puluhan itu ternyata menerima ajakan untuk sekadar bicara. Kami berhenti di salah satu kafe pinggir pantai setelah menyusuri jalan beraspal.

Letaknya tidak jauh, sekitar tiga puluh menit dari kampus jika macet. Soalnya pakai kendaraan roda empat milik Anin. Kalau pakai motor bisa lebih cepat.

Tidak ramai. Hanya ... suasana kafe bertema bold itu menyediakan pemandangan laut yang damai di akhir senja jika memilih meja outdoor.

Lagi musim kayaknya tema kayu-kayuan untuk tatanan interior-eksterior tempat umum semacam kafe. Aku bahkan sempat iseng mengetuk, menebak jenis kayu yang menjadi bahan meja. Warnanya gelap beralur.

“Cuma Aryo aja?”

Aku mengangguk. Tidak mungkin memberi nama asli apalagi lengkap. Ini hanya bersenang-senang, memanfaatkan duka orang lain untuk mendapatkan yang dicari.

Anin menarik kursi di hadapanku dan mulai membuka lembaran menu yang diberikan pelayan, membolak-balik tapi sulit menentukan. “Pesen, Yo. Pilih aja.”

“Bayarannya?” Aku pura-pura terkejut begitu melihat buku menu yang Anin sodorkan.

“Pesan aja.”

Sempat mendengkus, merasa lucu. Pola yang selalu sama ketika mengajak calon mangsa untuk pertama kali.

Setelah memastikan beberapa hidangan yang Anin setujui, dia beranjak mendekati pagar pembatas. Kayu lagi, tapi kokoh. Kalau jatuh tinggal berenang.

“Enggak ikut makan, Tan?”

Dia menggeleng. Tidak juga protes ketika kupanggil ‘Tan’. Padahal bisa aja bukan tante, tapi setan.

Apaan coba?

“Aryo, kan?”

Aku mengangguk, masih memperhatikan dia yang berdiri membelakangi. Bodohnya mengangguk padahal enggak dilihat.

“Kamu mengajak berteman biasa? Atau semacam teman kencan bayaran?” tebak Anin, langsung tepat sasaran tanpa basa basi.

Kukeluarkan sebatang tembakau dari kotak putih di saku. Sekadar menyalakan untuk mengurangi ketegangan. Sesekali kuhisap untuk mengulur waktu sampai dia berbalik dan melihatku.

“Tante bisa bayar. Kalau mau. Aku sih enggak nolak.”

Anin tertawa, terdengar meremehkan setelah mendapat jawaban yang mungkin terlalu santai dan terus terang. Aku hanya mengikuti gayanya yang tanpa basa basi.

“Aku masih terikat pernikahan.”

“Terus?”

“Aku tidak tertarik dengan hubungan seksual.”

Mengejutkan. Tantangan yang menarik untuk ditaklukkan.

“Kamu bisa bercerita banyak hal. Aku bisa jadi pendengar.”

Anin menertawakanku, lagi. “Apa bedanya dengan teman yang tidak dibayar?”

“Aku tidak membantah. Asal dibayar.”

Raut wajahnya langsung berubah. Seolah menarik napas sedalam mungkin sebelum menutup mata. Kurasa dia berusaha mengambil keputusan dengan tenang.

“Pakai perjanjian?”

“Kalau Tante perlu dalam waktu lama.”

Tunggu. Aku belum mempertimbangkan yang ini. Biasanya pelangganku hanya minta menemani makan, ngobrol, atau sekadar one night stand.

Apa aku terlalu terbawa pembicaraan?

Ah, ikuti aja dulu.

“Berarti nanti kuhubungi lagi.”

Aku mengangguk, mengiakan. Mungkin bakal mempertimbangkan lagi.

“Aturannya dari aku, kan?”

Aku ngikut aja. Males banyak mikir. Kalau sesuai bisa deal. Kalau enggak kan tinggal nolak.

Pelayan yang datang menyerahkan segelas minuman jernih berpadu mint lebih dulu pada Anin. Segelas lagi diletakkan pada meja di depanku. Aromanya cukup kuat. Manis, jeruk nipis yang asam, segarnya mint dan es batu.

“Bebas cerita?”

“Aku mendengarkan, Tan.” Kuangkat gelas di tangan, menandakan dia bisa mulai.

Tentu saja aku mendengarkan. Kali aja Anin bertanya. Semacam mendengarkan perkuliahan, tapi ini lebih menarik daripada sinetron azab yang sering Ibu tonton.

“Dia bilang enggak bisa berdiri kalau enggak main sama wanita itu.”

Ah, kalimat yang sangat menarik. Ceritanya yang mengalir, membuatku tergelak ketika menyesap lime mojito di tangan. Hampir tersedak jika tidak segera berhenti. Anin mengucapkannya terlalu frontal, mungkin karena kesal.

Bagaimana enggak terkejut? Enggak berdiri melihat Anin yang sempurna?

Mustahil. Luar biasa. Aku aja nahan-nahan biar enggak kepancing. Memang sesuatu yang tidak halal selalu dihiasi keindahan, mencari alibi hanya untuk menemukan nafsu di luar pernikahan.

Seingatku, beberapa wanita menceritakan hal serupa. Banyak faktor yang membuat seorang lelaki tidak menikmati percintaan di atas ranjang--enggak harus di ranjang sebenarnya, aku cukup menikmati bermain di tempat terbuka, sesuai permintaan--tetapi membayangkan sensasi dengan lubang lain bisa merusak ekspektasi di depan pasangan.

Anin tampak tidak peduli dengan reaksiku. Dia bahkan berbalik, bertahan di pinggiran batas laut, menatap sudut cakrawala. Bibirnya mengerucut kesal.

Kuabaikan hidangan yang baru tersaji di atas meja untuk memeluknya dari belakang.

Seharusnya Anin menolak jika memang kuat menghadapi kisah yang terlewati. Namun, pegangannya pada batas kayu mengerat. Seolah menahan perih yang tak mampu diungkap.

Aku menunggu kelanjutan cerita ketika dia menjadi bisu atas perlakuan. “Kenapa? Apa lagi katanya? Menurutku, kamu sempurna.” Aku memaksa jemarinya untuk berpegang, hanya padaku. Tak peduli meski kuku-kukunya menancap pada permukaan kulit.

Aroma menguar dari permukaan lehernya, begitu manis, menenangkan. Seolah berpadu sempurna dengan minuman yang memenuhi bibirnya. “Wangi.” Seperti aroma cokelat yang panas ketika disesap?

Ah, aku jadi ingin merasakannya.

Kisah Anin pun berlanjut, mengalir bersama air mata duka. Kisah yang selalu mewarnai awal hubungan kerja yang kutawarkan. Kurasa, aku akan menyukai kelanjutannya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nietha
hmmm suka ceritanya, tapi gimana yae, kayk pembaca di buat jdi aryo gitu, kalo cowo sih mu ngkin bisa meresapi, tpi q cewek mna bisa imajinasi ke aryo, padahal suka banget novelnya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status