"Jangan, Larry!" pekik Camelia melarang Larry berbuat lebih jauh padanya.
Dia berusaha menghimpun tenaga lalu menyalurkannya dalam bentuk sebuah dorongan kuat pada bagian dada Larry yang terkejut oleh dorongan cepat Camelia.
Tak ayal, pria itu jatuh terjerembab juga.
Kesempatan itu kemudian Camelia gunakan untuk lari, kabur, dari kamar Larry. Camelia ingin menangis, tapi ia mencoba menahannya sekuat tenaga. Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk menangis dan menjadi cengeng. Yang terpenting sekarang, Camelia harus segera keluar dari vila ini.
Camelia lalu teringat Ben, tapi ia baru sadar jika ponselnya tertinggal di asrama.
Entah karena kurang fokus atau apa, Camelia tidak sadar jika ada seorang pemuda yang tetiba muncul dari salah satu kamar kemudian menyambar tangannya cepat.
"Ternyata kau cantik juga, Camelia," ujar pemuda itu dengan pandangan terarah pada bagian dada Camelia yang terbuka dan menampakkan tanda kemerahan.
"Kau semakin seksi dengan jejak kemerahan itu."
Dalam satu sentakan kuat, pemuda itu mampu membuat tubuh Camelia mendekat padanya. Camelia menjerit.
Ia berusaha meminta tolong dengan suara sekencang-kencangnya. Terlebih ketika satu tangan pemuda itu menarik bagian tengah kemejanya. Membuat seluruh kancing kemejanya terlepas kemudian berhamburan. Camelia refleks menyilangkan kedua tangan di depan dada. Meskipun ia masih mengenakan pakaian dalam, tapi tetap saja ia malu karena ini adalah pertama kalinya ia setengah telanjang di depan laki-laki.
Camelia kembali memekik, mengatakan jangan dengan suaranya yang melengking bercampur rasa takut. Dalam hati Camelia mengutuk situasi ini, suara musik yang berdentam keras membuat jeritannya seolah menguap begitu saja.
"Stop! Jangan! Berhenti kataku!" Kali ini Camelia berusaha bersikap tegas demi menakuti pemuda yang nekat hendak menyentuhnya lebih jauh. Pemuda itu berhenti sejenak, tapi bukan karena takut melainkan tertawa terbahak dengan nada meremehkan.
"Tidak perlu sok suci, Camelia. Bukankah kau sudah memulai permainan tadi? Ini buktinya."
Pemuda itu mengelus tanda kemerahan di dada Camelia dengan gerakan sensual. Camelia refleks mundur, tapi tangannya yang masih dalam genggaman pemuda itu langsung ditarik.
"Aku tidak menyangka bahwa gadis pendiam sepertimu ternyata liar juga."
Sebuah penghakiman yang tidak menyenangkan untuk didengar.
Camelia gemetar, antara amarah dan takut yang melebur jadi satu. Ia hampir saja putus asa dan menyerah, namun hatinya menolak. Seolah mendapat dorongan semangat satu kali lagi, Camelia kembali berteriak sekuat tenaga. Mencoba mengadu kekuatan suaranya dengan musik yang terus mengentak.
"Siapa pun di luar sana, tolong aku!" Camelia langsung meringis karena pergelangan tangannya dicengkeram semakin erat.
"Larry, Larry, tolong aku!" Pemuda itu tertawa ketika mendengar Camelia menyebut nama Larry.
"Oh, ternyata kau bersama Larry sebelumnya. Tidak buruk, meskipun aku sebenarnya enggan memakai bekas Larry. Kau tahu kenapa? Larry itu maniak. Dia mengencani gadis yang berbeda setiap malam. Kurasa sekarang pun dia sedang asyik bergumul dengan gadis yang pastinya tidak seperti kamu."
Ingin rasanya Camelia merobek mulut pemuda itu. Apa katanya tadi, bekas Larry? Dirinya bukan barang dan dia bukan bekas siapa pun. Camelia masih suci. Dia masih perawan, meskipun dadanya menyimpan jejak isapan panas Larry.
Pemuda itu kembali menarik Camelia hingga akhirnya jatuh ke dalam pelukannya. Camelia terus meronta. Ia kembali memanggil nama Larry.
"Berhenti mengganggu Camelia!" Suara tegas Larry muncul setelah pintu kamar dibuka paksa. Camelia langsung menangis. Hatinya lega melihat Larry ada di depannya.
"Lepaskan Camelia!" Tekan Larry sambil merangsek masuk. Pemuda yang masih menahan Camelia dalam pelukannya itu pun terbahak.
"Tumben kau mencari lagi gadis yang sudah pernah kau tiduri, Larry." Sindiran pemuda itu kembali membuat telinga Camelia panas, tapi tidak ada gunanya marah di situasi sekarang. Yang terpenting ia bisa segera lepas dari pemuda menyeramkan ini.
"Itu bukan urusanmu. Berikan Camelia padaku. Aku belum selesai dengannya." Larry terdengar menurunkan tekanan suaranya. Bersamaan dengan itu Camelia merasakan genggaman di tangannya sedikit melonggar. Kesempatan itu tidak Camelia sia-siakan. Dengan satu entakan kuat, Camelia berhasil melepaskan diri. Camelia lalu berlari ke arah Larry sambil menangis. Larry menundukkan kepalanya, melihat Camelia yang menyandarkan kepala pada dadanya. Naluri melindungi membuat Larry melingkarkan lengannya ke tubuh Camelia untuk memberikan rasa aman yang jelas dibutuhkan gadis itu.
"Ayo!" bisik Larry sambil membimbing Camelia keluar kamar.
Camelia tahu ke mana ia akan diajak oleh Larry. Tentu saja kembali ke kamar Larry, tapi kali ini Camelia tetap bergeming. Camelia juga seolah tidak kuasa menolak ajakan Larry ke kamarnya.
Di dalam kamar, Camelia segera melepaskan diri dari pelukan Larry sambil tak henti mengucap terima kasih.
"Kemejaku rusak. Seluruh kancingnya lepas."
Keluhan Camelia membuat Larry tersenyum. Pandangan Larry sejak tadi tidak lepas dari bagian depan tubuh Camelia yang terlihat dari balik kemeja yang terbuka karena hilang seluruh kancingnya. Gadis itu begitu mengkhawatirkan kemejanya yang tidak lagi berkancing, tapi Camelia lupa bahwa sejak tadi ia tetap membiarkan kemejanya terbuka.
"Aku akan meminjamkan kemeja milikku nanti," hibur Larry sambil terus mempertahankan fokus pandangannya, "tapi aku minta imbalan.”
Kening Camelia mengernyit. Benak gadis itu dijejali banyak pertanyaan tentang imbalan apa yang kira-kira diminta Larry. Untuk beberapa saat yang cukup lama, baik Camelia maupun Larry seolah enggan untuk membuka mulut.
“Kamu tidak bertanya tentang imbalan yang kuminta?” Pertanyaan Larry terdengar sebagai bentuk arogansi di telinga Camelia.
Gadis itu hendak menggeleng, tapi ia kemudian berpikir. Dengan berpura-pura tahu imbalan yang diminta Larry, bukankah Camelia akan terlihat bodoh. Camelia tidak mau terlihat bodoh, terutama di depan Larry.
“Kuharap itu bukan imbalan yang akan sulit kupenuhi.”
Pernyataan diplomatis Camelia langsung disambut tawa oleh Larry. “Tergantung. Aku tidak yakin bahwa imbalan yang kuminta terlalu sulit untuk kamu penuhi,” ujar Larry sengaja bicara dengan berbelit-belit. Ia ingin tahu, sejauh mana Camelia akan sabar menghadapinya.
“Cukup katakan saja, apa yang kamu mau.” Camelia terlihat mulai tidak sabar. Lagi-lagi, Larry kembali tertawa. Kali ini sura tawa Larry terdengar lebih keras. Dan Camelia justru semakin kesal karenanya. Camelia kembali berkata, mendesak Larry untuk segera mengatakan permintaannya.
“Kamu yakin mampu memenuhinya?” Larry menatap tajam Camelia. Wajahnya yang masih memerah, kini berubah sangat serius. Camelia gugup. Larry terlihat tidak sedang bermain-main.
“Akan kucoba.” Camelia ragu sehingga ia memilih jawaban yang menurutnya aman.
“Aku minta kamu menjawab pasti, Camelia. Kamu bersedia memenuhinya atau tidak?” Desakan Larry membuat Camelia harus berpikir cepat.
“Ya, aku pasti memenuhinya.”
Salah satu sudut bibir Larry sedikit naik. Ada kepuasaan yang Larry perlihatkan pada wajahnya. “Terima kasih, Camelia. Aku hanya menginginkan satu hal sebagai imbalan."
"Apa?"
"Tubuhmu, my buddy....”
“Ehm,” David sengaja berdeham dengan suara keras. Dan itu cukup membuat teman-temannya berhenti tertawa sehingga suasana kembali hening.“Kau ingin mengatakan sesuatu?” tanya Gio. Memang hanya Gio yang hafal segala tindak-tanduk teman-temannya, termasuk kebiasaan-kebiasaan kecil mereka.“Ya. Aku ingin mengumumkan siapa pemenang tantangan ini. Kurasa kalian semua sudah tahu siapa pemenangnya,” ujar David kemudian menjeda kalimatnya. Gio mendesah dengan suara keras. Merasa jengah dengan sikap David yang terkesan mengulur waktu.“Tentu saja kami tidak tahu. Kenapa kamu tidak langsung saja menyebutkan nama pemenangnya, Dave,” ujar Gio kesal. Ruang virtual langsung berubah senyap.“Pemenangnya adalah Larry, tapi,” lanjut David yang membuat teman-temannya selain Larry urung bersorak karena kalimat yang menggantung. Larry yang sejak tadi lebih banyak diam, tampak semakin waspada. Sorot matanya yang tajam dan terarah pada David, seolah mampu menembus layar komputer kemudian melukai David.“Ta
Tubuh Camelia menegang tatkala Larry mengisap kuat puncak payudaranya. Sementara kedua tangan laki-laki itu menangkup sepasang payudara Camelia. Camelia jelas menggelinjang karenanya. Sepasang kaki jenjangnya bergerak acak sejak tadi, menimbulkan gesekan dengan permukaan ranjang.Tangan Larry lalu bergerak turun sambil membelai lembut permukaan kulit Camelia. Bagaimana Larry bisa lepas dari Camelia jika gadis itu begitu sempurna. Satu tangan berhenti di bagian perut Camelia. Tangan lainnya terus bergerak turun menuju pangkal paha.Camelia semakin intens meracau juga mendesah. Ini semua karena Larry yang bermain-main dengan lipatan sensitif tubuhnya. Camelia bisa merasakan jemari Larry yang membelai sekaligus menjelajah bibir bawahnya, mencari-cari bagian yang akan dimainkan dengan jemarinya. Camelia mengerang. Bibir seksinya terus membisikkan nama Larry.“Bagaimana aku bisa bosan jika kamu selalu seperti ini, Camelia?” Pertanyaan retoris Larry langsung lenyap seperti tertiup angin.“L
Camelia memandangi ponsel Larry yang baru saja diletakkannya di atas meja kecil di samping tempat tidur. Sejak beberapa saat yang lalu, benda pipih itu sukses mengejutkannya. Membuatnya berkali-kali mengatakan tidak mungkin, meskipun itu di dalam hati. Camelia tidak menyangka bahwa Larry memanfaatkannya untuk hal yang tidak bisa diterima akal. Sebuah hal sinting, yakni ikut serta dalam sebuah tantangan gila. Larry membuat keputusan tanpa melibatkannya, tanpa mendengar pendapatnya terlebih dahulu.Pikiran Camelia seolah melangkah lebih jauh, membawanya pada bayangan-bayangan yang tak urung membuatnya bergidik hingga Camelia sampai pada suatu simpulan bahwa Larry tidak pernah menghargainya. Dan lebih jauh, bukan mustahil jika Larry tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Menyadari hal terakhir yang terlintas di benaknya, wajah Camelia pun berubah sendu. Menunggu sambil mengharapkan cinta Larry bukanlah keputusan final yang akan dia ambil. Camelia akan menunjukkan pada Larry tentan
Camelia mengunci mulutnya rapat-rapat meskipun dagunya terasa sakit. Ia tidak mau meminta belas kasihan pada Larry. Camelia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia masih bisa menahan rasa sakit itu sekaligus yakin bahwa Larry tidak akan bertindak semakin jauh.“Mengganti dirimu dengan gadis lain itu urusanku, Camelia. Kamu cukup fokus pada tugasmu,” tegas Larry. Camelia masih bergeming, tapi untunglah cengkeraman Larry perlahan mengendur.Larry kembali melanjutkan kegiatannya menggosok punggung Camelia. Mata Larry tidak bisa lepas dari punggung Camelia yang putih bersih. Lekukan tubuh gadis itu juga begitu indah sehingga membuat Larry tidak tahan untuk tidak mengambil gambar bagian belakang tubuh Camelia yang telanjang.Larry meraih ponselnya lalu membuka fitur kamera. Dengan sedikit mencondongkan tubuhnya ke belakang, Larry membidik objek indah di depannya. Otak Larry langsung merangkai aktivitas-aktivitas selanjutnya yang akan ia lakukan. Tentu saja Larry akan mengunggah foto itu pada a
“Itu bukan keberuntungan, huh,” cibir Ben. Camelia tertawa. Ia bukannya tidak tahu bahwa Ben sedang marah, tapi tidak ada gunanya juga marah, bukan. Semua sudah terjadi dan menyesal sudah sangat terlambat.“Aku memang sengaja memilih kata beruntung untuk menghibur diriku, Ben. Meskipun apa yang kamu pikirkan benar bahwa tidak ada keberuntungan seperti yang kualami.” Respons Camelia justru semakin membuat Ben sedih. Mereka berdua kemudian memilih untuk menikmati pesanan mereka, es kopi dan roti isi. Ben sesekali melirik Camelia. Gadis itu memakan roti isinya dengan lahap. Camelia menghabiskan roti isinya sebelum Ben. Ben menduga Camelia belum makan sedari pagi.“Kamu lapar?” tanya Ben sambil menyedot es kopi miliknya. Camelia mengangguk tanpa ragu. Gadis itu kemudian tersipu malu karena terlalu cepat menghabiskan roti isi.“Kamu tidak sarapan di hotel tadi?” tanya Ben lagi. Camelia menggeleng. Sebenarnya ia kelaparan, tapi selera makannya langsung hilang setelah insiden Larry memberiny
Ben melihat Camelia berlari menuju tangga. Sambil berusaha menjaga jarak, Ben membuntuti Camelia. Ternyata gadis itu menuju ruang kelas yang akan mereka tempati pada jam kuliah berikutnya. Ben menahan langkahnya, berusaha membuat dirinya tidak ketahuan. Begitu pintu ruang kelas tertutup. Ben segera mendekat. Di depan pintu, Ben memasang telinga, berusaha mendengarkan sekecil apapun suara yang berasal dari dalam ruang kelas.Ben mendengar suara isakan Camelia. Gadis itu menangis. Ben ingin segera menghambur masuk lalu menenangkan Camelia. Ia tidak tahu, kali ini apa lagi yang menimpa Camelia. Ben tadi hanya sempat melihat Camelia keluar dari kantin sambil berlari. Sebelum membuntuti Camelia, Ben melongok ke dalam kantin. Ada Larry dan Rosaline di sana. Mungkin mereka berdua yang menyebabkan Camelia menangis.Pintu dibuka Ben dengan penuh kehati-hatian. Ia tidak ingin mengejutkan Camelia. Ben tidak mendapati sosok Camelia setelah memindai seluruh ruangan. Kursi-kursi itu sepenuhnya koso
Camelia nelangsa. Ternyata Larry memperlakukannya sebagai wanita yang bisa dibeli. Apa yang tadi laki-laki itu katakan? Membeli rasa malu? Andai Larry mengklarifikasinya lebih dulu pada Camelia, maka Camelia dengan senang hati akan menjelaskannya.Terlepas dari rasa malu yang dikeluhkan Camelia, sebenarnya Camelia menginginkan perlakuan Larry yang berbeda padanya. Camelia pernah mendengar bahwa Larry tidak pernah menyentuh gadis-gadis yang ia kencani di apartemennya. Lalu sekarang? Ternyata Camelia sama saja dengan para gadis itu, sama-sama bukan yang teristimewa.Air mata Camelia menitik, tapi bibir gadis itu menyunggingkan senyuman. Sebuah senyuman miris. Camelia menertawakan dirinya sendiri. Ternyata perasaannya yang dalam pada Larry tidak pernah terbaca oleh laki-laki itu."Kuharap itu cukup," imbuh Larry. Camelia cepat mengusap pipinya. Gadis itu mencoba menguatkan dirinya juga hatinya. Camelia mengamati Larry yang mengambil sepatunya. Larry duduk di single chair kemudian memasan
Camelia menoleh ke samping kirinya, ke arah Larry yang masih memperdengarkan dengkuran halus, pertanda laki-laki itu masih terlelap. Senyum di wajah Camelia pun terbit. Dalam hati, gadis itu tidak percaya bahwa ternyata Larry bisa kelelahan juga. Tadinya, sempat terlintas dalam benak Camelia kalau Larry mungkin saja mengonsumsi obat-obatan sebelum mereka berhubungan intim tadi, tapi dengan cepat pula dugaan itu ditepis Camelia.Tentu saja itu tidak mungkin karena Larry bukanlah tipikal laki-laki yang menyukai hal-hal instan. Menurut Larry—seperti yang diingat Camelia–mengonsumsi apa pun untuk mendapat manfaat secara instan dapat merusak tubuh. Waktu itu Camelia hanya menanggapi ucapan Larry dengan senyuman, merasa bahwa itu bukanlah hal yang besar, tapi setelah apa yang mereka lakukan tadi, Camelia jadi memuji prinsip hidup yang dipegang Larry.Larry memang kuat dan perkasa, Camelia tahu itu. Dua hal itu juga yang membuat para gadis menyukai Larry. Bahkan, tidak jarang Camelia mende
Puas.Hanya satu kata itu yang kini tengah bersarang di otak serta hati Larry. Semua ini karena apa yang baru saja Larry lakukan bersama Camelia. Larry tahu bahwa ini bukanlah kali pertama ia berhubungan intim dengan Camelia. Namun sensasi “bermain” dengan posisi Camelia di atasnya sungguh menakjubkan. Camelia yang terlihat lepas serta menikmati permainan yang dikendalikannya secara penuh, membuat Larry terhanyut dalam semangat serta gairah membara gadis itu. Kamu memang tidak pernah gagal dalam memuaskanku, Camelia. Lagi-lagi, pujian Larry hanya tertahan di dalam hati laki-laki itu.Woman on top. Larry berusaha menjejalkan salah satu gaya bercinta itu dalam folder ingatannya. Itu adalah posisi yang disukai Camelia, menurut pengakuannya. Posisi yang juga menjadi angan-angan paling liar gadis itu.Larry menyaksikan Camelia yang masih terus bergerak di atasnya. Gadis itu terlihat masih berusaha mendaki puncak kenikmatannya. Dalam posisi seperti ini, Larry hanya bisa memandangi Camelia