Share

Kecoa

Author: Navira Sema
last update Last Updated: 2021-04-12 22:41:32

Pagi, seperti biasa, Filza memasak. Juga seperti bisa, Satria hendak pergi begitu saja.

"Mas, mau ke mana?"

"Makan di luar."

"Di sini aja, Mas. Mas masih belum sembuh total."

"Aku gak papa. Jangan ganggu aku!"

Filza tak berani membantah. Dia membiarkan Satria keluar. Tapi bukan Filza namanya jika membiarkan begitu saja Satria keluar sendirian. Filza mengikutinya dari belakang.

Memaksakan diri menjadi sifat Satria sejak dulu. Dia harus mengakui bahwa sekarang rasa tubuhnya ingin ambruk. Tepat di depan pintu warung, Satria benar-benar ambruk. Semua yang berada di sekitar langsung mengerumuni Satria. Filza lari setelah memarkirkan sepeda motor.

"Mas, Mas bangun!" Filza berusaha menyadarkan Satria.

Beberapa menit setelah itu, Satria membuka mata. Di rumah sakit lagi dirinya saat ini. Pandangannya melayang pada sosok Biha di samping kanan dan Filza di samping kiri.

"Satria, Kamu kok bisa jadi gini, sih? Pasti dia yang gak becus ngerawat Kamu, ya?" Tanya Biha ketus.

Filza tersinggung. Benar-benar tersinggung. Rasanya ingin pergi saja dari sana.

"Gak papa, Tan. Aku yang maksa keluar. Sekarang aku mau pulang aja. Gak papa, kan?"

"Biar aku yang tanya ke dokter dulu." Ucap Filza.

"Gak perlu. Saya sudah tanya dan Satria boleh pulang. Tapi Kamu ingat satu hal, jangan mencoba keluar rumah lagi sebelum benar-benar sembuh!" Ucap Biha sambil menatap Satria kesal.

"Iya."

Di rumah, Satria mulai kebingungan. Dia tak mu memakan masakan istrinya, tapi dia lapar juga tidak boleh keluar. Sampai akhirnya Filza duduk di sampingnya membawakan seporsi menu sarapan yang sempat terlewatkan.

"Mas, makan dulu, ya!" Filza tersenyum manis.

"Aku mau pesen makanan aja." Jawaban yang baru saja dia temukan.

"Kenapa, sih? Aku sudah masak capek-capek." Merasa kecewa.

"Jangan paksa aku!"

Jadilah pagi ini Satria kedatangan kurir pengantar sarapannya. Mungkin besok dan seterusnya juga begini. Tidak mau ambil pusing, Filza memakan seporsi menu sarapan yang tadi dia berikan untuk Satria.

Setelah selesai dengan urusan sarapan itu, Filza kembali berhadapan dengan Satria. Rasanya kaku sekali. Tak ada kedekatan di antara keduanya.

"Mas, aku mau ke sekolah dulu. Mas jangan keluar, ya! Kalau ada butuh apa, Mas bisa telpon aku."

"Jangan ngatur!"

Ya sudahlah. Filza tak mau berurusan lebih panjang lagi. Lebih lama seperti ini membuatnya lelah.

Pulang mengajar, Filza setia menemani Satria duduk di sofa ruang keluarga. Satria membaca koran sedangkan Filza menonton acara televisi.

"Mas, mau aku buatkan apa?" Tanya Filza hati-hati.

"Gak."

"Ayolah, Mas!"

"Aku bilang enggak!"

"Mas kenapa sih? Mas gak mau apa percaya sama aku sedikit aja?"

"Percaya sama pembunuh? Jangan ngayal!" Sontak pergi begitu saja menuju kamarnya.

Filza tak fokus lagi menonton acara televisi. Dia memilih mematikan televisi itu dan masuk kamar juga.

Di kamarnya, Satria masih belum bisa tidur. Dia memandangi langit kamarnya dengan tatapan kosong.

"Lama-lama aku gak tahan ngadepin Si Pembunuh itu." Gumamnya dengan perasaan yang sudah jelas marah.

Pagi, pintu rumah diketuk dari luar. Filza yang membuka. Dilihatnya sosok pria dengan membawa sekotak yang entah isinya apa.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Filza bingung mau merespon apa.

"Ini pesanan Pak Satria." Memberikan kotak itu.

"E ... makasih."

"Ya, sama-sama."

Filza tak mau lancang membuka kotak itu. Dia memberikan benda itu pada Satria. Ternyata isinya menu sarapan untuk suaminya.

"Loh, Mas. Aku sudah masakin buat Kamu." Ucap Filza sedikit gusar.

"Udah aku bilang, kan? Aku makan di luar. Telinganya mana?"

Filza terkejut. Dia berusaha meredam api di hatinya yang membawa air mata ke kelopak matanya sendiri. Ditahan kuat-kuat agar tak jatuh.

Filza duduk sendirian di ruang makan. Lagi-lagi dia membayangkan Satria duduk di hadapannya tengah menyantap sarapan buatannya. Gembira rasanya walau itu hanya hayalan.

Suara benturan sendok dan piring membuat Filza tersadar, kembali ke dunia nyata. Satria sudah selesai makan. Dia meletakkan piring yang dia gunakan tadi ke tempat pencucian piring. Tangan Filza menghentikannya.

"Mas, biar aku aja."

Tanpa sepatah katapun, Satria menjauh. Lalu duduk kembali di tempatnya semula.

Filza diam-diam melihat chatnya yang tidak dibalas Satria sama sekali sejak dia menikah. Sengaja melihat foto Satria. Filza jadi senyum-senyum sendiri. Sekejap kemudian dia menyadari bahwa itu percuma. Senyum tak akan mengembalikan Satria yang dulu. Bahkan tidak adanya dirinya di sini tidak akan mengubah Satria.

Hari ini Filza bisa santai. Hari Minggu kesempatannya menemani Satria di rumah. Bukannya senang dengan adanya Filza di sampingnya, Satria malah muak. Bahkan secara terang-terangan dia bilang, "Kamu ke mana, kek! Yang penting jauh dari aku. Muak ketemu Kamu, tau gak?"

Apa yang dilakukan Filza setelah ucapan Satria tadi? Filza memilih diam di kamar sambil sesekali mengintip Satria yang duduk di sofa ruang keluarga.

"Gini banget, ya? Rasanya punya status tapi enggak dilihat." Gumamnya pada dirinya sendiri.

Mengatakan itu, membuat hatinya semakin remuk. Mungkin bukan remuk lagi, tapi hancur. Sayangnya Filza masih sangat mencintai Satria. Tidak bisa meninggalkan Satria begitu saja.

Masih jam sembilan pagi, bosan mulai mengarungi Filza. Dia keluar, bermaksud ke dapur mencari sesuatu yang bisa dimakan. Baru saja membuka toples camilan, suara teriakan Satria sungguh membuatnya lari cepat ke kamar Satria.

"Ada apa, Mas?" Tanya Filza panik, apalagi saat melihat Satria berdiri di atas ranjang.

"Itu ...." Menunjuk seekor kecoa di samping bantalnya yang tergeletak di lantai.

Muka panik Filza hilang, digantikan tawanya yang mengisi kamar Satria.

"Kok ketawa?" Tanya Satria geram.

"Sama kecoa aja takut." Berusaha menahan tawanya.

Satria langsung diam. Dia menatap Filza kesal lalu membuang muka. Tawa Filza semakin membahana. Tawanya tak bisa ditahan lagi. Satria malah terpaku, dia memandang wajah istrinya yang ceria. Bahkan matanya tidak berkedip untuk beberapa saat. Sampai akhirnya Filza menyadari tatapan aneh suaminya.

"Mas? Mas? Mas?!"

"Eh, apa?" Satria tersadar.

"Kamu kenapa?"

"Eng ... enggak papa." Satria terkejut melihat kecoa itu lagi.

"K ... kenapa masih ada di sana?" Menunjuk kecoa.

"Eh, maaf. Aku usir dia dulu, ya. Setidaknya enggak ganggu Kamu lagi." Sambil menahan tawa.

Setelah kecoa itu pergi dari kamar dan rumah mereka, Satria baru mau turun dari ranjang.

"Udah, sana keluar!" Usir Satria.

"Iya, Mas."

Raut wajah Filza yang tadinya gembira jadi muram lagi. Tentu saja mengusir kecoa bukan menjadi alasan Satria berubah.

Filza kembali ke kamarnya. Baru saja duduk, kepala Satria celingukan di tepi pintu kamarnya.

"Mas, masuk aja!"

"Kamu ikut aku!"

Mereka ke kamar Satria. Bingung, Filza mencoba mencerna sikap Satria.

"Mas, mau ngapain?"

"Apa masih ada kecoa yang lain?"

"Hah?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Aku   Soto

    Mulutnya tertutup rapat. Tentu saja pertanyaan Qirana tidak bisa dijawabnya. Sudahlah, aku akan kembali bekerja.” Abidah bermaksud menghindari percakapan lebih lanjut.Tepat saat Abidah sampai di lantai dasar kantor saat jam bekerjanya berakhir, terdengar gemericik air yang dengan cepat berubah menjadi hujan deras. Abidah menghembuskan napas berat dan secepatnya berlari menghampiri angkot yang biasanya. Dari jendela angkot dia melihat Bayu tengah mengobrol bersama seorang wanita, kira-kira seusia dirinya.“Oh, sudah punya pacar ya? Tapi, sepertinya Wanita itu tidak asing.” tebak Abidah sembarangan. Angkot itu melaju tidak peduli sepasang mata Abidah yang masih terpaku melihat dua orang di seberang jalan.Malam, Abidah baru saja sampai di rumah. Sudah satu jam setengah dia habiskan untuk membeli makan malam. Baru saja mengucap salam dan membuka pintu, raut wajahnya yang datar tiba-tiba terkejut. “Sandra?”Wanita itu duduk di sofa tepat di samping Filza. Abidah memeluknya erat. Sandra t

  • Bukan Aku   Kopi

    Seorang pria yang bertugas sebagai mc memulai tugasnya. Diawali pembukaan, sambutan dari pemilik acara itu, dilanjutkan dengan lain sebagaimnya. Uniknya, dalam suatu kesempatan, diadakan sesi tanya jawab, tentu itu hanya untuk memeriahkan pesta saja.“kamu punya pacar?” Pertanyaan itu dilontarkan seorang wanita yang usianya hampir sama seperti Filza. Namanya Aminah, ibunda dari Bayu sendiri.Sontak semua orang yang ada di pesta itu melihat ke arah pintu masuk. Aminah datang dengan sebuah kotak indah yang dia pegang. Senyumannya masih belum memudar. Tiga detik kemudian Lila datang dan langsung memberikan bingkisan kecil kepada Bayu.“Selamat ulang tahun Kakakku yang tampan!” Teriak Lila yang membuat Aminah langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir sambil memanggilnya lembut.“Lila ….” Gadis remaja itu nyengir. Sadar kalau semua mata tengah menatapnya.“Buka dong!” Lila meletakkan kedua tangannya di belakang badan. Menunjuk bingkisan itu dengan isyarat kedua alisnya.Menuruti pe

  • Bukan Aku   Datang ke Ulang Tahun Bayu

    Suara ketikan terdengar hampir di semua meja di sekeliling Abidah. Gadis itu tampak tidak peduli, melanjutkan Langkah ke meja kerjanya. Sesaat kemudian terdengar suara mesin pencetak yang tengah bekerja mencetak file penting. Di antara kesibukan orang-orang di sana, dia melihat Bayu yang tengah melintas. “Dia lagi.” Gumam Abidah tidak suka. Abidah merasa aneh saat teman-teman kerjanya malah memberikan sapaan sopan kepada Bayu, tampak seperti menyapa atasan mereka. Abidah berpikir untuk apa mereka memberi sapaan begitu sopan pada orang seketus Bayu. Gadis itu hanya tidak mengerti siapa sebenarnya Bayu. “Eh, Kamu ini, bersikaplah sopan pada Pak Bos! Kamu malah memandanginya begitu.” Qirana menyenggol lengan gadis itu. “Pak Bos?” Tanya Abidah bingung. “Iya. Oh, Kamu mungkin belum tahu. Beliau itu pemilik perusahaan ini.” Penjelasan Qirana membuat Abidah sedikit kaget. “Apa?” Abidah masih tidak percaya. Alih-alih menjawab, Qirana hanya mengangguk lalu pergi. Abidah masih sedikit ter

  • Bukan Aku   Bertemu Lagi

    Jantungnya berdegup kencang, dia gugup. Seorang wanita berdiri karena mendengar namanya dipanggil. Lalu wanita tersebut masuk ke ruangan yang memang membuat gugup orang-orang di hadapannya. Abidah mengangkat ponselnya hingga layar dari ponsel itu menyala. Ternyata sudah satu jam dia menunggu gilirannya tiba.Singkatnya, hari demi hari berlalu hingga pada suatu malam, Abidah baru saja pulang dari pusat perbelanjaan. Dia membeli benda-benda yang mugkin akan membantunya dalam bekerja di perusahaan itu. Ya, dia diterima bekerja di sana. Filza mengusap-usap pundak Abidah sambil tersenyum.***Mukena itu baru saja dilipat rapi oleh pemiliknya. Tidak menunggu waktu lama, Abidah sudah siap dengan pakaian yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Dia berdiri di depan cermin sambil memandangi penampilan barunya. Terdengar suara pintu dibuka.“Apa mama harus selalu mengingatkanmu agar berangkat lebih awal? Mau sampai kapan?” Tanya Filza dengan setengah senyum.Abidah meraih tas di atas ranjang lal

  • Bukan Aku   Abidah pulang

    “Tapi, ngapain Kamu tanya itu?” Abidah sedikit heran.“Enggak papa, Cuma penasaran aja.” Hana cemas melihat tatapan Abidah yang masih mengisyaratkan kebingungan.“Bayu itu temanku sejak kecil. Jadi gak salah kan, kalau aku tanya soal itu?” Hana berusaha meyakinkan Abidah bahwa itu bukan pertanyaan aneh.Benar saja, Abidah menangguk tanda setuju. Tidak lama setelah itu Abidah memutuskan untuk pulang. Di sisi lain, di rumahnya Bayu memofuskan pandangannya pada layer televisi sambil menikmati kopi hangat buatannya sendiri. Ruangan itu terlihat sepi karena memang hanya Bayu yang tinggal di sana. Di usianya yang masih muda, dia bisa membangun rumah masa depannya. Rumah itu dia persiapkan untuk masa tuanya yang rencananya akan dihuni bersama istri dan anak-anaknya kelak. Sayangnya sampai sekarang dia masih jomblo.Berita di televisi menghentikan pergerakan tangannya yang tengah memegang cangkir kopi. Berita tentang pengusaha sukses yang ditipu rekan kerjanya sendiri. Pengusaha sukses yang d

  • Bukan Aku   Kapan Nikah?

    Salah satu tangan Abidah berhasil menarik perhatian Bayu. Dengan cekatan Bayu meraih tangan gadis itu dan memegangnya erat. Tangan kirinya berhasil memeluk batu besar, berusaha bertahan dari arus sungai.“Tolong! Tolong! Tolong!” Teriak Bayu berharap ada yang mendengar.Dua orang pria dan seorang wanita yang tidak sengaja lewat di dekat sungai mendengar teriakan Bayu. Mereka langsung mendekat ke arah sungai. Melihat Bayu yang tengah kesulitan, dua pria itu mulai turun ke sungai, sementara wanita itu hanya bisa berdiri cemas di tepi sungai. Usaha mereka membuahkan hasil. Bayu dan Abidah berhasil keluar dari sungai dibantu dua pria tadi. Bayu berusaha menyadarkan Abidah yang masih pingsan. Abidah terbatuk, dia mulai sadar. Matanya menangkap wajah cemas Bayu dan yang lain.“Bagaimana? Kamu tidak apa-apa?” Tanya Bayu.Abidah belum sempat menjawab, “kita bawa saja Abidah ke rumah Nenek Arini.” Kata wanita di samping Bayu.Tidak menunggu Abidah menjawab pertanyaannya, Bayu mulai berbalik ba

  • Bukan Aku   Di Balik Sikapnya

    Tidak lama setelah itu, Abidah muncul sambil membawa tiga cangkir teh hangat yang baru dia buat. Meletakkan secangkir teh di hadapan Bayu. Abidah duduk di samping Arini, ikut bergabung dalam percakapan. Bayu mulai menyeruput teh sampai akhirnya Abidah membuka pembicaraan.“Nek, kenapa Nenek tidak beli obat saja? Kenapa mesti capek-capek meracik sendiri?” Tanya Abidah heran.“Itu obat herbal racikan sendiri. Nenek tidak punya uang untuk membeli obat di apotek. Lagian, nenek masih ingin mengikuti tradisi desa ini, yaitu meracik obat herbal sendiri. Itu sudah dilakukan di desa ini dari dulu.” Jawan Arini santai.“Nek, kalau Nenek butuh obat, Nenek bisa panggil saya. Saya akan belikan obat untuk Nenek, jangan khawatir tentang biayanya.” Bayu menimpali.Abidah sedikit terkejut. Ternyata pria dingin dan kaku seperti Bayu juga punya sisi baik dalam dirinya.“Terimakasih atas perhatianmu, Nak. Kamu memang pria yang baik.” Arini tersenyum penuh arti.***Abidah tengah membantu Arini memasak.

  • Bukan Aku   Dia Cukup Merepotkan

    Mereka melanjutkan jalan. Abidah memerhatikan sekelilingnya. Sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka dan angin yang kadang berhembus. Karena Bayu yang daritadi belum berhenti, Abidah malah berpikir negatif. Dia takut kalau ternyata Bayu menipunya.“Kenapa belum sampai-sampai?” Tanya Abidah, sedikit takut.“Diam dan ikuti saja.” Jawab Bayu dingin.“Kamu gak lagi nipu aku, kan? Jangan macam-macam ya!” Abidah semakin merasa takut tanpa alasan.“Itu ide bagus,” balas Bayu tanpa melihat ke arah Abidah sedikitpun.Abidah mendengus. Bayu mulai mendengar suara aliran air, dia tahu ada sungai di sekitar sini. Tanpa ragu dia mulai mendekat. Abidah terpesona melihat pemandangan di depannya. Aliran air yang bersih dan jernih, sampai terlihat dasarnya yang berisi bebatuan. Abidah mendekat ke arah aliran air tersebut.“Airnya jernih sekali,” ucap Abidah sambil menoleh ke belakang, ke arah Bayu yang tadi sempat tertinggal. Abidah kaget karena Bayu tidak ada di belakangnya.“Bayu!” Abidah me

  • Bukan Aku   Obat Herbal

    Mata Abidah menyelidik, berusaha mencari tahu apa yang terjadi, membuat Hana makin menyembunyikan wajahnya. Merasa Hana sedang tidak ingin diganggu, Abidah berpaling ke arah luar. Terlihat Laili berdiri tegak di pintu kelas. Gadis kecil itu berhasil menemukan apa yang dia cari. Abidah menghampirinya, mengajaknya duduk di kursi kayu dekat dengan ruang kelas tiga.“Bagaimana hari-harimu di panti?’” Tanya Abidah lembut.“Sepi,” jawab Laili masih dengan muka imutnya.“Eh, kenapa sepi?” Tanya Abidah heran.“Gak ada Kakak cantik,” Laili tersenyum manis. Gadis kecil tersebut mulai terbiasa memanggil Abidah dengan sebutan Kakak Cantik.Abidah ikut tertawa sambil mengacak-acak pelan kepala Laili. Sekejap setelah itu, seorang pria paruh baya melintas di depan sekolah sambil mendorong gerobak. Abidah mengejar pria itu, hingga berhasil membuat gerobak tersebut berhenti. Abidah memanggil Laili. Masih dengan wajah polos, laili berlari ke arah Abidah.“Pak, bakso dua porsi.” Pesan Abidah yang langsu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status