Share

BC ~ 6

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2024-09-23 12:02:32

Akhirnya, Reno berhasil membujuk Fathiya kembali ke Jakarta setelah dua minggu berada di Malaysia. Tentunya dengan bantuan Maria, yang mengatakan akan menjodohkan Reno dengan anak perempuan temannya. Mereka sudah mengatur jadwal dan akan melakukan sebuah kencan setelah Fathiya kembali ke Jakarta.

Jadi, di sinilah Fathiya sekarang. Berada di rumah putranya dengan seorang suster yang akan membantu dengan segala sesuatunya.

“Bawa mama ke rumah Rindu pagi esok,” pinta Fathiya setelah selesai makan malam. “Mama nak jumpa Dewi.”

Reno mengangguk. Mereka tengah bersantai di ruang keluarga dan sedang membicarakan beberapa hal. “Biar aku telpon Dewa bentar lagi.”

“Untuk ape?”

“Cuma mau ngecek, besok Rindu ada di rumahnya sendiri atau di rumah tante Maria.”

“Kesian Rindu,” ucap Fathiya geleng-geleng. “Semoga dia dapat bersabar dengan mertua macam tante kau, tu.”

Reno terkekeh karena sudah paham dengan sifat Maria yang sangat cerewet itu. Rindu saja tidak bisa berkata tidak dan mengelak, ketika Maria yang memberi nama pada putri pertamanya. Rindu pasrah dan tidak bisa membantah.

“Semua orang kalau di depan tante Maria pasti jadi sabar, Ma,” ucap Reno. “Mereka cuma bisa diam dan nggak berani ngapa-ngapain.”

“Iyelah tu.” Fathiya ikut tertawa. “Eh tapi, mama nak juga jumpe Tirta. Apa kabar budak tu ye? Mesti besar, kan?”

“Ma ... anak, bayi.” Reno sedikit meluruskan. “Kita sudah di Jakarta, jadi, tak, kan, Mama tak ingat bahasa sendiri, kan, kan?”

"Tak lupa, cuma perlu membiasakan diri."

Reno mengangguk kecil dan tersenyum. “Aku telpon Dewa dulu, mama istirahatlah.”

“Kejap lagi, I need something to do.”

Reno menatap sang mama yang beranjak pergi ke dapur, sambil memanggil asisten rumah tangga. Karena itulah, Reno meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di sampingnya lalu menelepon Dewa.

“Wa, mamaku mau ketemu Dewi,” ujar Reno tanpa basa basi ketika sepupunya baru menerima panggilannya. “Rindu besok di rumahmu, atau di rumah mamamu?”

“Ada di rumah,” jawab Dewa. “Datanglah. Besok juga ada ibunya Rindu ke sini bawa Tirta. Tante Fathiya pasti juga mau ketemu Tirta, kan?”

Reno mengumpat saat mendengar Dewa terkekeh untuk meledeknya di seberang sana. Sepupunya itu pasti sudah mendengar dari Maria, jika Fathiya sebenarnya menyukai Lita. Namun, karena Reno tidak ingin membahas hal tersebut, maka ia segera mengakhiri panggilannya.

“Oke, Wa, see you besok!”

~~~~~~~~~~~~~~

“Kamu langsung pulang aja, Will,” titah Reno ketika mobilnya berhenti tepat di depan teras rumah Dewa. “Nanti biar sopirnya Dewa yang antar aku pulang.”

“Siap, Ndan!”

Tepat setelah Reno keluar dan menutup pintu mobil, Willy berlalu. Menyisakan Reno yang menatap malas pada Dewa yang berdiri di depan garasi bersama Riko.

“Tante Fathiya mau tidur di sini,” ujar Dewa. “Susternya sudah datang dan bawa obatnya sekalian. Jadi kamu pulang aja.”

“Kenapa nggak ada yang bilang sama aku?” Reno menghampiri Dewa yang sepertinya sedang mengecek mesin mobil.

“Malas.”

“Mobil baru lagi, Wa?” tanya Reno mengelilingi mobil klasik yang baru dilihatnya dengan perlahan

“Sudah seminggu.”

“Rindu nggak marah?”

“Mana mungkin bisa marah, Pak,” celetuk Riko lalu terkekeh. “Sogokannya banyak.”

“Dasar ISTI,” ledek Reno lalu bertolak pinggang di samping Dewa. Baru saja mulutnya hendak berceletuk, suara deritan pintu pagar yang kembali bergeser membuat semua orang berbalik. “Lita?” bisik Reno pada Dewa. “Ngapain dia ke sini?”

“Anaknya masih di dalam sama bu Tiara,” balas Dewa tidak kalah pelan, lalu kembali melihat mesin yang barunya.

“Kenapa nggak bilang dari tadi?” tanya Reno lalu berdecak kecil

“Nggak penting,” balas Dewa. “Kenapa ju—”

“Malam pak Dewa,” sapa Lita berhenti sebentar di sisi carport. “Pak Reno, bang Riko.”

“Malam,” balas Dewa dan Riko bersamaan, tetapi tidak dengan Reno.

“Langsung masuk aja, Ta,” titah Dewa melirik sekilas pada Lita, lalu kembali fokus pada mobilnya. “Ibu sama Rindu di belakang.”

“Makasih.” Lita mengangguk canggung lalu bergegas pergi karena tidak nyaman dengan tatapan Reno.

Sebenarnya, apa yang tengah dipikirkan pria itu, sampai-sampai melihat Lita dengan tatapan kesal. Sependek pengetahuan Lita, kinerjanya di perusahaan juga baik-baik saja. Ditambah, Lita juga tidak pernah bertemu muka dengan Reno setelah hari itu. Jadi, tidak ada alasan bagi pria itu untuk menatapnya demikian, karena Lita tidak memiliki kesalahan apa pun.

“Eh, Ta!” panggil Reno tiba-tiba dan hal tersebut membuat fokus Dewa dan Riko tertuju ke arahnya.

Lita yang baru menaikkan satu kakinya di tangga teras, kemudian berbalik. Ada apa lagi sekarang?

“Pak Reno manggil saya?”

“Ya.” Reno mengangguk, karena mulutnya sudah tidak tahan untuk meluapkan rasa kesal yang bersemayam di dada. “Jangan karena mamaku baik sama kamu juga Tirta, kamu jadi besar kepala. Tahu diri dan jangan ngelunjak.”

Lita menarik napas panjang. Sejak melihat pria yang tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya kemarin siang, emosi Lita kembali bergolak. Perasaannya campur aduk dan sudah berusaha menenangkan diri sejak kemarin. Namun, ucapan Reno barusan benar-benar memancing emosi yang sudah berusaha ia pendam.

“Ngelunjak bagaimana maksudnya?” Lita menghampiri Reno sambil menyingsingkan lengan kemejanya satu per satu.

“Ngelunjak ...’ Reno mengumpat saat tubuhnya didorong dari belakang oleh Dewa. Namun, Reno dengan cepat menahan langkahnya agar tidak bertabrakan dengan Lita.

“Iya!” Lita yang kesal, dengan berani mengangkat wajah menantang Reno. Menurut Lita, ini adalah masalah keluarga dan bukan masalah perusahaan. Untuk itulah, Lita tidak lagi segan menghadapi pria itu. “Ngelunjak yang bagaimana maksudnya?”

“Jangan pernah akting, minta dikasihani dan minta ini itu sama mamaku.” Reno sampai tidak bisa berpikir karena terkejut Lita bisa menjawabnya seperti sekarang.

Lita tersenyum miring ketika berhenti di hadapan Reno. Ia tidak menyalahkan pria itu, karena sifat Lita dahulu kala benar-benar buruk. Jadi, wajar bila Reno memiliki pemikiran seperti itu.

“Nggak akan,” Lita menjawab tegas sekaligus kesal dengan sikap Reno. Namun, nyalinya mendadak ciut ketika menatap Dewa yang berada di belakang pria itu. Karena itulah, ucapan yang baru keluar dari mulut Lita tidak selantang tadi.

“Oke! Aku pegang omonganmu,” ucap Reno dengan jemawa. “Sekarang—”

“Mulai besok, saya nggak ngebolehin ibu bawa Tirta main ke sini.” Lita hanya ingin cari aman dan tidak mau masalahnya menjadi panjang. “Atau, lebih tepatnya saya nggak akan ngebolehin ibu saya atau Tirta ketemu dengan tante Fathiya. Jadi, mulai sekarang pak Reno nggak usah khawatir dan berburuk sangka, karena saya jamin semuanya aman terkendali sesuai permintaan Bapak.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
menghakimi lita karena masalalunya padahal lita ga ganggu hidup reno
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
Renoooo.. mulutmu loh lemess kek emak²..
goodnovel comment avatar
Reni
Kirain tadi mau digampar, udah nyingsingin lengan baju iya kan, wkwkwk....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bukan Cinderella   BC ~ 70 [FIN]

    “Aban ... jangan lari di tangga!” Reno sudah melarang, tetapi bocah yang sebentar lagi berusia tiga tahun itu tidak mau mendengarnya. “Kalau jatoh kita nggak jadi ulang tahun.”“Tak jatuh pun.”Reno menarik napas mendengar jawaban Tirta yang berucap dengan logat melayu. Benar-benar mirip Fathiya jika sudah berbicara. Reno tidak heran, karena Tirta memang sering menghabiskan hari-harinya dengan Fathiya. Terlebih lagi, Fathiya benar-benar memanjakan Tirta dan selalu menuruti semua permintaan bocah tersebut. “Hati-hati turunnya,” sambar Lita yang berjalan di belakang Reno dan jauh lebih kalem ketika menghadapi sikap putranya. “Kalau jatuh yang sakit Aban, bukan Ibu tau?”“Tau ...”Reno berdecak dan berhenti di ujung tangga. “Kalau jatuh, bahaya.”Lita menepuk keras bòkong Reno sebelum berhenti di sampingnya. Ia terkekeh, karena Reno sontak melotot padanya. “Tirta sudah—”“Kalau pengen bilang,” putus Reno lalu membalas Lita dengan perlakuan yang sama, hingga Lita memekik lalu terkekeh. “K

  • Bukan Cinderella   BC ~ 69

    “Mutasi?”“Kata bu Debby begitu.” Lita mengangguk untuk menjawab pertanyaan Rindu. Matanya tertuju pada Dewa dan Tirta yang sedang berlatih di dojo. Ia sebenarnya datang untuk memberikan oleh-oleh dari Malaysia dan ngobrol santai dengan Rindu. Namun, ternyata Dewa malah membawa anak-anak ke dojo di belakang rumah.Lita melihat Dewa sibuk mengajari Tirta menendang kick pad yang ada di tangan pria itu. Sementara Dewi, hanya duduk bertepuk tangan dengan tawa geli ketika melihat sepupunya berhasil menendang. Tawa kecil itu selalu pecah, seolah menikmati setiap aksi Tirta yang memang terlihat menggemaskan.Sedangkan di sisi lain, Reno tampak lebih sibuk dengan kameranya. Merekam setiap momen dengan senyum bangga di wajahnya.“Pak Zaldy dimutasi ke Denpasar, tapi naik jadi wakil dirut di sana,” sambung Lita menerangkan. “Jadi ini masih sibuk bolak balik, karena sekalian ngurus pindah sekolah anaknya sama ini itunya. Pantas aja nggak pernah ngerecokin Tirta lagi.”“Emang mau direcokin dia lag

  • Bukan Cinderella   BC ~ 68

    Lita berdiri di balkon hotel, memandang ke luar dengan kekaguman. Pemandangan kota yang megah dan hiruk-pikuk kehidupan malam yang berbeda, membuatnya merasa seolah sedang bermimpi.Ia menoleh ke arah Reno, yang menghampirinya lalu memeluk dari belakang. Rasanya, setiap detik liburan yang dihabiskannya, adalah sesuatu yang luar biasa. Dari pengalaman pertamanya naik pesawat, hingga menjelajahi tempat-tempat baru yang menakjubkan.Mereka sempat dua hari berada di kediaman Fathiya dan sisanya Reno memilih memboyong semua anggota keluarga menginap di hotel. Semua itu dilakukan agar Lita, Tiara, maupun Fandy bisa mendapatkan pengalaman baru.Pada liburan kali ini, Radit tidak bisa ikut karena jatah cutinya dari perusahaan sudah habis. Jadi, pria itu menetap di Jakarta dan tetap menjalankan rutinitasnya seperti biasa.“Aban sudah tidur,” bisik Reno memberitahu tepat di telinga Lita. “Kapan kita tidur?”Lita terkekeh mendengar ajakan Reno. Beberapa hari ini, pria itu memang tidak meminta ja

  • Bukan Cinderella   BC ~ 67

    Meskipun tidak sebesar dan semegah resepsi pernikahan Rindu, bagi Lita, acara pernikahannya memiliki keindahan dan kesempurnaan tersendiri. Dengan dekorasi sederhana nan elegan, suasana yang hangat dan penuh kasih sayang dari keluarga serta teman-teman terdekat, membuat hari itu begitu istimewa."Abang, makasih." Lita berucap pelan sambil menatap Reno, kaki-kakinya bergerak canggung saat mereka berdansa di tengah ruangan. Langkah Lita terasa kaku dan hanya berusaha mengikuti irama. Bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti ke mana langkah Reno membawanya. “Sebenarnya aku pengen nangis, tapi air matanya nggak keluar.”Reno terkekeh pelan mendengar ucapan istrinya. Entah sudah berapa kali, Lita mengucapkan kata terima kasih pada Reno, karena telah mempersiapkan sebuah resepsi pernikahan yang tidak terbayangkan. Padahal, semua ini jauh dari kata mewah seperti pernikahan Rindu, tetapi sikap Litalah yang membuat Reno benar-benar merasa sangat dihargai.“Sebenarnya, aku juga mau minta maaf ka

  • Bukan Cinderella   BC ~ 66

    “Ke Malaysia?” Lita menatap Reno dengan mata membesar, jantungnya berdebar kencang. Bibir Lita bergetar, seiring rasa gugup dan bahagia yang tiba-tiba menyelimuti. Masih mencoba mencerna ucapan Reno, karena tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Maksudnya, kita ... ke Malaysia? Aku sama Tirta ikut?”“Kita semua.” Reno mengangguk lalu menangkup wajah Lita. Namun, kedua tangannya langsung disingkirkan Tirta yang sedang berada di pangkuan Lita. “Ditambah ibu sama Fandy,” ucapnya kembali menangkup wajah Lita, tetapi tangannya kembali ditepis, sehingga Reno dengan sengaja kembali melakukan hal tersebut untuk menggoda Tirta.Lita terkekeh melihat tingkah putranya. “Cemburu dia.”“No no cemburu sama Ayah, tau.” Reno menggeleng saat memberi tahukan hal tersebut pada Tirta. “Nggak boleh! No no.”“Nana!” seru Tirta sambil geleng-geleng.“Iya, nana,” ulang Reno lalu menangkup gemas wajah gembil itu dengan kedua tangan, tetapi Tirta segera memberontak. Namun, sejurus itu Tirta justru

  • Bukan Cinderella   BC ~ 65

    “Bahagia sangat Mama tengok kau setiap hari,” ucap Fathiya sambil melempar pelan sebuah bola pada Tirta, agar batita itu menendangnya. Saat bola itu luput dari tendangan Tirta, Fathiya pun tertawa. “Macam tak ada beban.”“Makasih, Ma.” Reno tidak lagi bisa berkata-kata untuk mengungkapkan kebahagiaannya. Ia merangkul Fathiya dan membiarkan Tirta bermain seorang diri di taman sembari mengawasi. “Maaf, kalau aku nekat nikahin Lita, padahal Mama nggak setuju.”“Dah terjadi, dah,” ucap Fathiya sudah tidak ingin mengungkit masa lalu. “Yang penting kau bahagia, Mama pun bahagia.”“Nggak usah ditanya.” Reno tersenyum kecil. Mengingat bagaimana cara Lita menghormati dan melayaninya. Hampir tanpa cela, karena wanita itu selalu bisa menempatkan diri dan membaca situasi hati Reno. “Aku bahagia.”“Buatkan Tirta adik kalau macam tu.”Reno tertawa kecil, kendati hatinya sedikit tercubit karena permintaan Fathiya. Bukannya tidak mau, tetapi Lita belum siap jika harus hamil lagi ketika Tirta masih but

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status