“Tante itu heran, apa yang dilihat mamamu dari Lita?” Maria langsung membeo ketika ia dan Reno keluar dari kamar inap rumah sakit. Ia akan pergi ke hotel dekat rumah sakit dan menginap di sana. Sementara Reno, hanya akan mengantarkannya sampai bawah dan kembali menemani Fathiya. “Cantik juga nggak, akhlak mines, hamil di luar nikah sama suami orang, terus ... dilihat dari sudut mana aja, Lita itu nggak ada enak-enaknya. Janji sama Tante, jangan pernah dekat-dekat sama saudara tirinya Rindu. Kamu juga tahu, kan, bapaknya itu seperti apa?”
“Iya, Tan.” Reno tidak bisa membantah, karena ia setuju dengan semua ucapan Maria. “Aku juga nggak pernah tertarik sama Lita.”
“Bagus!” Ketika keduanya memasuki lift, Maria mengeluarkan ponselnya dari tas dan melihat daftar nama teman-temannya yang ada di kontaknya. Siapa tahu saja, dengan begini ia mengingat salah satu temannya yang memiliki anak perempuan yang belum menikah. “Nanti, kalau Tante balik ke Jakarta, Tante kenalin sama anak teman-teman Tante ... emm ... siapa, ya, kira-kira?”
“Nggak usah, Tan, nggak usah.” Reno jelas menolak karena ia tidak mau dijodohkan dengan siapa pun. Apalagi jika Maria yang menjadi comblangnya. Semua akan merepotkan dan berada di bawah kendali wanita itu. “Nanti biar aku cari sendiri.”
“Kelamaan,” sahut Maria cepat. “Lebih cepat kamu nikah, lebih cepat juga mamamu pindah ke Jakarta, biar om Abraham nggak terus-terusan khawatir dengan mamamu.”
“Tapi, Tan—”
“Biar mamamu nggak kepikiran papamu terus, Ren,” potong Maria kembali memasukkan ponselnya di tas. “Saking cintanya sama almarhum papamu, mamamu sampai nggak mau balik ke Jakarta karena tiap minggu selalu ngunjungi makamnya.”
“Nanti biar aku paksa mama balik ke Jakarta.”
“Mamamu itu cuma bisa dibujuk dengan calon mantu.” Maria mendadak menatap Reno dari ujung rambut hingga kaki dan baru menyadari sesuatu. “Heh, bukannya teman perempuanmu sama Dewa itu banyak? Masa’ nggak ada yang nyangkut sama sekali dari dulu? Dewa aja sampai sudah dua kali nikah, tapi kamu masih gitu-gitu aja. Jangan sampai jadi joki!”
“Joki?”
“Jomlo sampe aki-aki!” Maria langsung mengetuk-ngetuk dinding lift di sebelahnya. “Amit-amit, Ren! Amit-amit.”
“Nggaklah, Tan, ak—”
“Kamu masih lurus, kan?” putus Maria sambil memicing tajam pada Reno. “Nggak belok ke mana-mana?”
“Ya masih!” Intonasi bicara Reno mulai meninggi karena mengerti dengan maksud Marian.
“Syukurlah.” Maria menghela lega sambil mengusap dada.
Bertepatan dengan itu, lift terbuka dan mereka keluar bersama. “Gimana kalau aku pura-pura punya pacar, Tan? Maksudku, yang penting mama bisa pulang dulu ke Jakarta.”
“Nggak usah pura-pura.” Sambil terus berjalan menuju pintu keluar, Maria tersenyum penuh maksud. “Nanti Tante kenalin sama anak teman Tante. Pokoknya, kamu terima beres dan mamamu pindah ke Jakarta.”
~~~~~~~~~~~~
Lita menghela panjang dengan senyuman saat bisa kembali melihat salah satu pusat perbelanjaan di ibukota. Sejak dinyatakan hamil, Lita tidak pernah lagi menikmati hidup seperti dahulu kala. Ia hanya berada di rumah dan berakhir depresi, hingga pernah melakukan percobaan bùnuh diri.
Bodoh.
Saat itu Lita benar-benar bodoh karena tidak berpikir panjang. Beruntung Tuhan masih memberi kesempatan kedua dan Lita akan memanfaatkan hal tersebut dengan sebaik-baiknya.
“Aku sebenarnya nggak enak sama Rindu,” ujar Lita sambil mendorong stroller memasuki mall. “Dari Tirta belum lahir sampe sekarang, dia masih aja ngasih ini itu. Aku malu, Bu.”
“Nggak usah malu, Rindu itu saudaramu,” ucap Tiara mengingatkan dan sangat berharap keduanya bisa akur seperti sekarang. “Sekarang, Rindu yang bantu kamu sama Tirta. Siapa tahu suatu saat, kamu bisa nolong dia. Yang penting, ibu mau hubungan kalian baik-baik aja. Oia, di lantai berapa restorannya kata Rindu?”
“Lantai empat,” jawab Lita terus berjalan menuju travelator dengan banyak hal yang berputar di kepala. Kira-kira, bantuan seperti apa yang bisa Lita berikan pada Rindu yang sudah memiliki segalanya itu? “Tapi Bu, ini Rindu beneran sendirian?”
“Iya.” Tiara mengangguk. “Pak Dewa lagi ada nemani pak Abraham, karena pak Reno masih di Malaysia. Terus, karena nggak ada bu Maria, makanya dia ngajak kita makan sama jalan-jalan.”
“Enak, ya, jadi Rin ...” Lita mencekal tangan Tiara dan berhenti melangkah. Tatapannya tertuju pada satu titik dengan perasaan geram. “Ibu ... itu ... dia.”
“Dia siapa?” Tatapan Tiara tertuju ke arah pandangan Lita, ketika mereka sudah berada di lantai dua. Lita menatap toko mainan yang tidak terlalu ramai, tetapi Tiara masih bingung dengan maksud putrinya itu. “Siapa, Ta?”
“Bukan siapa-siapa.” Lita menggeleng cepat dan segera menyadarkan diri. Ia menarik Tiara ke travelator berikutnya dan melupakan semua yang dilihatnya barusan.
“Ta? Kamu lihat siapa?” tanya Tiara semakin curiga. Tatapannya sesekali masih melihat ke arah toko mainan yang membuat Tiara bertanya-tanya.
“Bukan siapa-siapa,” ulang Lita melepas tangan Tiara dan mempercepat langkahnya.
“Bapaknya Tirta?” tebak Tiara berhenti melangkah lalu berbalik dan menatap toko mainan tersebut dengan seksama. “Ibu betul, kan? Kamu lihat bapaknya Tirta di sana, kan? Yang mana? Biar I–”
“Tirta nggak punya bapak!” Emosi Lita mendadak mencuat dan ikut berhenti melangkah. Matanya berkaca-kaca, seolah-olah ada luapan emosi yang siap meledak. “Dia cuma punya ibu! Dan aku, ibunya, Bu! Jadi, ayo kita ke atas dan nggak usah lagi bahas orang itu.”
“Aban ... jangan lari di tangga!” Reno sudah melarang, tetapi bocah yang sebentar lagi berusia tiga tahun itu tidak mau mendengarnya. “Kalau jatoh kita nggak jadi ulang tahun.”“Tak jatuh pun.”Reno menarik napas mendengar jawaban Tirta yang berucap dengan logat melayu. Benar-benar mirip Fathiya jika sudah berbicara. Reno tidak heran, karena Tirta memang sering menghabiskan hari-harinya dengan Fathiya. Terlebih lagi, Fathiya benar-benar memanjakan Tirta dan selalu menuruti semua permintaan bocah tersebut. “Hati-hati turunnya,” sambar Lita yang berjalan di belakang Reno dan jauh lebih kalem ketika menghadapi sikap putranya. “Kalau jatuh yang sakit Aban, bukan Ibu tau?”“Tau ...”Reno berdecak dan berhenti di ujung tangga. “Kalau jatuh, bahaya.”Lita menepuk keras bòkong Reno sebelum berhenti di sampingnya. Ia terkekeh, karena Reno sontak melotot padanya. “Tirta sudah—”“Kalau pengen bilang,” putus Reno lalu membalas Lita dengan perlakuan yang sama, hingga Lita memekik lalu terkekeh. “K
“Mutasi?”“Kata bu Debby begitu.” Lita mengangguk untuk menjawab pertanyaan Rindu. Matanya tertuju pada Dewa dan Tirta yang sedang berlatih di dojo. Ia sebenarnya datang untuk memberikan oleh-oleh dari Malaysia dan ngobrol santai dengan Rindu. Namun, ternyata Dewa malah membawa anak-anak ke dojo di belakang rumah.Lita melihat Dewa sibuk mengajari Tirta menendang kick pad yang ada di tangan pria itu. Sementara Dewi, hanya duduk bertepuk tangan dengan tawa geli ketika melihat sepupunya berhasil menendang. Tawa kecil itu selalu pecah, seolah menikmati setiap aksi Tirta yang memang terlihat menggemaskan.Sedangkan di sisi lain, Reno tampak lebih sibuk dengan kameranya. Merekam setiap momen dengan senyum bangga di wajahnya.“Pak Zaldy dimutasi ke Denpasar, tapi naik jadi wakil dirut di sana,” sambung Lita menerangkan. “Jadi ini masih sibuk bolak balik, karena sekalian ngurus pindah sekolah anaknya sama ini itunya. Pantas aja nggak pernah ngerecokin Tirta lagi.”“Emang mau direcokin dia lag
Lita berdiri di balkon hotel, memandang ke luar dengan kekaguman. Pemandangan kota yang megah dan hiruk-pikuk kehidupan malam yang berbeda, membuatnya merasa seolah sedang bermimpi.Ia menoleh ke arah Reno, yang menghampirinya lalu memeluk dari belakang. Rasanya, setiap detik liburan yang dihabiskannya, adalah sesuatu yang luar biasa. Dari pengalaman pertamanya naik pesawat, hingga menjelajahi tempat-tempat baru yang menakjubkan.Mereka sempat dua hari berada di kediaman Fathiya dan sisanya Reno memilih memboyong semua anggota keluarga menginap di hotel. Semua itu dilakukan agar Lita, Tiara, maupun Fandy bisa mendapatkan pengalaman baru.Pada liburan kali ini, Radit tidak bisa ikut karena jatah cutinya dari perusahaan sudah habis. Jadi, pria itu menetap di Jakarta dan tetap menjalankan rutinitasnya seperti biasa.“Aban sudah tidur,” bisik Reno memberitahu tepat di telinga Lita. “Kapan kita tidur?”Lita terkekeh mendengar ajakan Reno. Beberapa hari ini, pria itu memang tidak meminta ja
Meskipun tidak sebesar dan semegah resepsi pernikahan Rindu, bagi Lita, acara pernikahannya memiliki keindahan dan kesempurnaan tersendiri. Dengan dekorasi sederhana nan elegan, suasana yang hangat dan penuh kasih sayang dari keluarga serta teman-teman terdekat, membuat hari itu begitu istimewa."Abang, makasih." Lita berucap pelan sambil menatap Reno, kaki-kakinya bergerak canggung saat mereka berdansa di tengah ruangan. Langkah Lita terasa kaku dan hanya berusaha mengikuti irama. Bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti ke mana langkah Reno membawanya. “Sebenarnya aku pengen nangis, tapi air matanya nggak keluar.”Reno terkekeh pelan mendengar ucapan istrinya. Entah sudah berapa kali, Lita mengucapkan kata terima kasih pada Reno, karena telah mempersiapkan sebuah resepsi pernikahan yang tidak terbayangkan. Padahal, semua ini jauh dari kata mewah seperti pernikahan Rindu, tetapi sikap Litalah yang membuat Reno benar-benar merasa sangat dihargai.“Sebenarnya, aku juga mau minta maaf ka
“Ke Malaysia?” Lita menatap Reno dengan mata membesar, jantungnya berdebar kencang. Bibir Lita bergetar, seiring rasa gugup dan bahagia yang tiba-tiba menyelimuti. Masih mencoba mencerna ucapan Reno, karena tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Maksudnya, kita ... ke Malaysia? Aku sama Tirta ikut?”“Kita semua.” Reno mengangguk lalu menangkup wajah Lita. Namun, kedua tangannya langsung disingkirkan Tirta yang sedang berada di pangkuan Lita. “Ditambah ibu sama Fandy,” ucapnya kembali menangkup wajah Lita, tetapi tangannya kembali ditepis, sehingga Reno dengan sengaja kembali melakukan hal tersebut untuk menggoda Tirta.Lita terkekeh melihat tingkah putranya. “Cemburu dia.”“No no cemburu sama Ayah, tau.” Reno menggeleng saat memberi tahukan hal tersebut pada Tirta. “Nggak boleh! No no.”“Nana!” seru Tirta sambil geleng-geleng.“Iya, nana,” ulang Reno lalu menangkup gemas wajah gembil itu dengan kedua tangan, tetapi Tirta segera memberontak. Namun, sejurus itu Tirta justru
“Bahagia sangat Mama tengok kau setiap hari,” ucap Fathiya sambil melempar pelan sebuah bola pada Tirta, agar batita itu menendangnya. Saat bola itu luput dari tendangan Tirta, Fathiya pun tertawa. “Macam tak ada beban.”“Makasih, Ma.” Reno tidak lagi bisa berkata-kata untuk mengungkapkan kebahagiaannya. Ia merangkul Fathiya dan membiarkan Tirta bermain seorang diri di taman sembari mengawasi. “Maaf, kalau aku nekat nikahin Lita, padahal Mama nggak setuju.”“Dah terjadi, dah,” ucap Fathiya sudah tidak ingin mengungkit masa lalu. “Yang penting kau bahagia, Mama pun bahagia.”“Nggak usah ditanya.” Reno tersenyum kecil. Mengingat bagaimana cara Lita menghormati dan melayaninya. Hampir tanpa cela, karena wanita itu selalu bisa menempatkan diri dan membaca situasi hati Reno. “Aku bahagia.”“Buatkan Tirta adik kalau macam tu.”Reno tertawa kecil, kendati hatinya sedikit tercubit karena permintaan Fathiya. Bukannya tidak mau, tetapi Lita belum siap jika harus hamil lagi ketika Tirta masih but