“Huuu ...” Ledekan tersebut kompak terlontar dari mulut Dewa dan Riko. Kemudian, disusul dengan tawa karena Reno telah kalah telak di depan Lita. Wanita itu baru saja pergi dan tenggelam di balik pintu rumah Dewa dengan hentakan kaki yang kasar.
“Pak Reno nggak cocok jadi pemeran antagonis,” celetuk Riko melepas pengait besi yang menyangga kap mobil, lalu menutup mesinya. “Jadi, kalem aja, Pak. Nggak usah digalak-galakin.”
“Dia lagi stres, Rik,” sambar Dewa lalu duduk pada sudut mobilnya. Ia masih saja terkekeh, karena mengingat Reno yang terdiam di hadapan Lita. “Sudah diburu-buru nikah sama mamanya. Kita tunggu aja undangannya sebentar lagi.”
“Undangan kepala lo, Wa.” Reno ikut menjatuhkan bokongnya di samping Dewa. “Minggu depan, mamamu sudah buat jadwal makan malam sama anak temannya.”
“Berarti pak Dewa betul,” ujar Riko sedikit bergeser lalu duduk pada pembatas carport. “Kita tinggal tunggu undangan bentar lagi.”
Reno mendengkus kasar saat melihat Riko. “Lo pikir, nikah segampang itu?”
“Gampang,” timpal Dewa enteng. “Tinggal duduk di depan penghulu, terus ijab kabul. Sah! Terus mamamu tinggal duduk diam nunggu cucu.”
“Padahal kalau sama Lita, bu Fathiya bisa langsung dapat cu—”
“Lo aja yang nikah sama Lita!” potong Reno dengan hati yang semakin panas. Apalagi ketika kedua pria yang sedang bersamanya kembali tertawa meledeknya.
“Kalau saya, mau-mau aja punya istri dua, Pak,” sahut Riko di antara kekehannya. “Tapi, nggaklah. Nanti disunat dua kali sama yang di rumah. Tamat riwayat.”
Lagi-lagi Reno mendengkus. “Preman takut istri.”
“Whooo ...” Riko bangkit sembari tertawa. Sepertinya Reno lupa, kalau preman yang sebenarnya kini tengah duduk di sebelahnya. Preman berdasi, yang selalu mendapatkan semua hal tanpa harus mengotori tangannya sendiri. “Pak Dewa, saya nggak ikut-ikut. Mau pulang dulu.”
“Yo!” Dewa melambai sekilas pada Riko yang sudah berjalan menghampiri motor sport-nya. “Untung berretaku ada di dalam,” gumam Dewa menyebutkan salah satu jenis senjata yang dimilikinya.
Reno mendelik seraya bangkit menatap Dewa. Ia tidak memusingkan ucapan sepupunya, karena mereka akan selalu menganggap hal itu sebagai angin lalu.
“Kamu nyimpan berreta di rumah? Nggak ketahuan Rindu?” cecar Reno.
Dewa berdecak lalu beranjak pergi meninggalkan Reno. “Kalau Rindu tahu, artinya kamu yang bocorin. Awas aja!”
~~~~~~~~~~~~~
“Malam ...” Lita mengira, Tiara dan yang lainnya berada di belakang seperti kata Dewa. Namun, semua orang ternyata sedang bersantai di ruang keluarga.
Lita terpaksa menyematkan senyum karena melihat Fathiya. Padahal, hatinya tengah kesal sepenuh hati pada Reno. Mungkin, emosi Lita tidak akan bergejolak seperti sekarang, jika kemarin ia tidak bertemu dengan pria yang telah mencampakkannya. Akan tetapi, Lita tidak bisa menghindari takdir dan hal tersebut telah membuka sebuah luka yang sudah berusaha ia tutup mati-matian.
“Lembur, Ta?” tanya Rindu yang duduk melantai di samping Fathiya.
“Iya.” Lita mengangguk. Menghampiri Tiara dan mencium tangan wanita itu lebih dulu. Dulu, Lita mana pernah melakukan hal tersebut pada Tiara. Ia pulang pergi sesuka hati dan hanya menyampaikan maksudnya melalui lisan. Bahkan, terkadang Lita hanya berteriak dari pintu lalu berlari keluar dari rumah. “Biasa akhir bulan.”
Setelah selesai menyalami ibunya, Lita menghampiri Fathiya dan melakukan hal yang sama. Wanita itu tengah menggendong Dewi, sementara Tirta sudah tertidur pulas pada sebuah ayunan elektrik di samping Rindu. “Apa kabar, Tan? Sehat aja, kan?”
“Sihatlah,” jawab Fathiya sambil mengusap-usap kening Dewi yang tidak kunjung tidur sejak tadi. “Tante tengok, awak makin langsing, je. Diet, ke?”
“Keseringan begadang, Tan,” ujar Lita sambil menjauh untuk menghampir putranya. Tanpa ingin menunggu lama, Lita mengangkat Tirta dengan perlahan lalu menggendongnya. “Lumayan sudah turun enam kilo.” Seraya berdiri dan masih tersenyum, Lita menatap ibunya. “Ayo pulang, Bu. Besok aku berangkat pagi-pagi banget. Masih banyak kerjaan soalnya.”
“Tak makan malam dulu, ke?” Fathiya menampilkan wajah kecewa.
“Sudah, di kantor, Tan,” ujar Lita memberi alasan. Semakin cepat ia pergi dari rumah Rindu, semakin cepat pula Lita menata emosinya. “Barang-barangnya Tirta sudah di tas semua, Bu?”
“Sudah,” jawab Tiara sembari bangkit dan menyambar kain jarik yang tergeletak di samping Rindu. Melihat wajah lelah Lita, Tiara tidak akan mencegah kepulangan mereka ke rumah. Putri sambungnya itu pasti ingin segera mandi dan beristirahat agar bisa kembali bekerja dengan stamina yang baik. “Sini, Tirta biar sama Ibu.”
“Tolong gendong sebentar,” pinta Lita sembari menyerahkan Tirta dengan perlahan. “Aku mau pesan taksi.”
“Ngapain pesan taksi, Ta,” ujar Rindu segera bangkit, lalu mengambil alih putrinya dari gendongan Fathiya karena wanita itu sepertinya juga ingin berdiri. “Biar sopirku yang antar.”
“Nggak usah, Rin,” tolak Lita sudah mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi transportasi online. “Aku naik taksi aja, ya. Nggak enak ngerepotin kamu terus.”
“Betul yang Rindu cakap, tu,” sambar Fathiya seraya menghampiri Tiara, agar bisa melihat Tirta sebelum bayi tampan itu kembali pulang. “Tak payah order teksi.”
“Nggak papa, Tan.” Lita mengayunkan ponselnya sekilas dan menggeleng pada Rindu. “Ini sudah dapat.”
“Cancel, je!” seru Fathiya ketika melihat Reno dan Dewa baru memasuki ruang keluarga. “Biar Reno yang bawa awak pulang.” Telunjuk Fathiya mengarah cepat pada putranya yang tampak bingung. “Ren, tolong hantar Bu Tiara balek. Selepas tu, awak pegi balik rumah, sebab Mama nak tidur sini.”
“Apa ...
“Aban ... jangan lari di tangga!” Reno sudah melarang, tetapi bocah yang sebentar lagi berusia tiga tahun itu tidak mau mendengarnya. “Kalau jatoh kita nggak jadi ulang tahun.”“Tak jatuh pun.”Reno menarik napas mendengar jawaban Tirta yang berucap dengan logat melayu. Benar-benar mirip Fathiya jika sudah berbicara. Reno tidak heran, karena Tirta memang sering menghabiskan hari-harinya dengan Fathiya. Terlebih lagi, Fathiya benar-benar memanjakan Tirta dan selalu menuruti semua permintaan bocah tersebut. “Hati-hati turunnya,” sambar Lita yang berjalan di belakang Reno dan jauh lebih kalem ketika menghadapi sikap putranya. “Kalau jatuh yang sakit Aban, bukan Ibu tau?”“Tau ...”Reno berdecak dan berhenti di ujung tangga. “Kalau jatuh, bahaya.”Lita menepuk keras bòkong Reno sebelum berhenti di sampingnya. Ia terkekeh, karena Reno sontak melotot padanya. “Tirta sudah—”“Kalau pengen bilang,” putus Reno lalu membalas Lita dengan perlakuan yang sama, hingga Lita memekik lalu terkekeh. “K
“Mutasi?”“Kata bu Debby begitu.” Lita mengangguk untuk menjawab pertanyaan Rindu. Matanya tertuju pada Dewa dan Tirta yang sedang berlatih di dojo. Ia sebenarnya datang untuk memberikan oleh-oleh dari Malaysia dan ngobrol santai dengan Rindu. Namun, ternyata Dewa malah membawa anak-anak ke dojo di belakang rumah.Lita melihat Dewa sibuk mengajari Tirta menendang kick pad yang ada di tangan pria itu. Sementara Dewi, hanya duduk bertepuk tangan dengan tawa geli ketika melihat sepupunya berhasil menendang. Tawa kecil itu selalu pecah, seolah menikmati setiap aksi Tirta yang memang terlihat menggemaskan.Sedangkan di sisi lain, Reno tampak lebih sibuk dengan kameranya. Merekam setiap momen dengan senyum bangga di wajahnya.“Pak Zaldy dimutasi ke Denpasar, tapi naik jadi wakil dirut di sana,” sambung Lita menerangkan. “Jadi ini masih sibuk bolak balik, karena sekalian ngurus pindah sekolah anaknya sama ini itunya. Pantas aja nggak pernah ngerecokin Tirta lagi.”“Emang mau direcokin dia lag
Lita berdiri di balkon hotel, memandang ke luar dengan kekaguman. Pemandangan kota yang megah dan hiruk-pikuk kehidupan malam yang berbeda, membuatnya merasa seolah sedang bermimpi.Ia menoleh ke arah Reno, yang menghampirinya lalu memeluk dari belakang. Rasanya, setiap detik liburan yang dihabiskannya, adalah sesuatu yang luar biasa. Dari pengalaman pertamanya naik pesawat, hingga menjelajahi tempat-tempat baru yang menakjubkan.Mereka sempat dua hari berada di kediaman Fathiya dan sisanya Reno memilih memboyong semua anggota keluarga menginap di hotel. Semua itu dilakukan agar Lita, Tiara, maupun Fandy bisa mendapatkan pengalaman baru.Pada liburan kali ini, Radit tidak bisa ikut karena jatah cutinya dari perusahaan sudah habis. Jadi, pria itu menetap di Jakarta dan tetap menjalankan rutinitasnya seperti biasa.“Aban sudah tidur,” bisik Reno memberitahu tepat di telinga Lita. “Kapan kita tidur?”Lita terkekeh mendengar ajakan Reno. Beberapa hari ini, pria itu memang tidak meminta ja
Meskipun tidak sebesar dan semegah resepsi pernikahan Rindu, bagi Lita, acara pernikahannya memiliki keindahan dan kesempurnaan tersendiri. Dengan dekorasi sederhana nan elegan, suasana yang hangat dan penuh kasih sayang dari keluarga serta teman-teman terdekat, membuat hari itu begitu istimewa."Abang, makasih." Lita berucap pelan sambil menatap Reno, kaki-kakinya bergerak canggung saat mereka berdansa di tengah ruangan. Langkah Lita terasa kaku dan hanya berusaha mengikuti irama. Bergerak ke kiri dan ke kanan mengikuti ke mana langkah Reno membawanya. “Sebenarnya aku pengen nangis, tapi air matanya nggak keluar.”Reno terkekeh pelan mendengar ucapan istrinya. Entah sudah berapa kali, Lita mengucapkan kata terima kasih pada Reno, karena telah mempersiapkan sebuah resepsi pernikahan yang tidak terbayangkan. Padahal, semua ini jauh dari kata mewah seperti pernikahan Rindu, tetapi sikap Litalah yang membuat Reno benar-benar merasa sangat dihargai.“Sebenarnya, aku juga mau minta maaf ka
“Ke Malaysia?” Lita menatap Reno dengan mata membesar, jantungnya berdebar kencang. Bibir Lita bergetar, seiring rasa gugup dan bahagia yang tiba-tiba menyelimuti. Masih mencoba mencerna ucapan Reno, karena tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Maksudnya, kita ... ke Malaysia? Aku sama Tirta ikut?”“Kita semua.” Reno mengangguk lalu menangkup wajah Lita. Namun, kedua tangannya langsung disingkirkan Tirta yang sedang berada di pangkuan Lita. “Ditambah ibu sama Fandy,” ucapnya kembali menangkup wajah Lita, tetapi tangannya kembali ditepis, sehingga Reno dengan sengaja kembali melakukan hal tersebut untuk menggoda Tirta.Lita terkekeh melihat tingkah putranya. “Cemburu dia.”“No no cemburu sama Ayah, tau.” Reno menggeleng saat memberi tahukan hal tersebut pada Tirta. “Nggak boleh! No no.”“Nana!” seru Tirta sambil geleng-geleng.“Iya, nana,” ulang Reno lalu menangkup gemas wajah gembil itu dengan kedua tangan, tetapi Tirta segera memberontak. Namun, sejurus itu Tirta justru
“Bahagia sangat Mama tengok kau setiap hari,” ucap Fathiya sambil melempar pelan sebuah bola pada Tirta, agar batita itu menendangnya. Saat bola itu luput dari tendangan Tirta, Fathiya pun tertawa. “Macam tak ada beban.”“Makasih, Ma.” Reno tidak lagi bisa berkata-kata untuk mengungkapkan kebahagiaannya. Ia merangkul Fathiya dan membiarkan Tirta bermain seorang diri di taman sembari mengawasi. “Maaf, kalau aku nekat nikahin Lita, padahal Mama nggak setuju.”“Dah terjadi, dah,” ucap Fathiya sudah tidak ingin mengungkit masa lalu. “Yang penting kau bahagia, Mama pun bahagia.”“Nggak usah ditanya.” Reno tersenyum kecil. Mengingat bagaimana cara Lita menghormati dan melayaninya. Hampir tanpa cela, karena wanita itu selalu bisa menempatkan diri dan membaca situasi hati Reno. “Aku bahagia.”“Buatkan Tirta adik kalau macam tu.”Reno tertawa kecil, kendati hatinya sedikit tercubit karena permintaan Fathiya. Bukannya tidak mau, tetapi Lita belum siap jika harus hamil lagi ketika Tirta masih but