"Lagu tadi pakai bahasa Inggris, bahasa asing orang luar negri."
Kaivan mengangguk, lebih mengerti mungkin.
"Kamu pernah menikmati makanan di alam manusia?" Sekarang ganti aku yang bertanya.
"Belum. Aku hanya mendengar saja," jawabnya.
"Ayo beli makanan! Pilih saja, aku yang traktir."
Sengaja tidak kugunakan kata 'cari makan' nanti kepo lagi. Dan, sebelum Kaivan menjawab apa pun, aku sudah menarik tangannya ke jajaran stand di sekitar alun-alun.
Berkeliling, membaca satu per satu spanduk di tenda-tenda penjual makanan, tidak ada yang menarik minatnya. Entah apa makanan laki-laki tampan ini di alamnya. Sampai di depan sebuah gerobak mi ayam, dia mengajak berhenti.
Aku yang mengerti maksudnya langsung memesan dua porsi mi ayam dan dua gelas es campur.
Hitungan menit menunggu, pesanan kami datang. Tapi, Kaivan justru terlihat bingung.
"Pakai tangan boleh, Nay?" tanyanya berbisik.
Aku menutup mulut seketika, setengah mati menahan agar tidak terbahak-bahak di depan banyak orang.
"Begini," terangku. Menuang sambal, saos, kecap. Masing-masing sedikit ke mangkok dan mengaduknya. Meletakkan sendok di tangan kiri dan garpu ke tangan kanan, lantas menyuap. "Cara makan seperti aku."
Kaivan menurut, copy paste apa yang kulakukan setelah bumbu pelengkap mi ayam kucampurkan.
Aku ingin jail niatnya, membiarkan laki-laki alam lain ini menuang sendiri sambal, saos dan kecap. Tapi, rasa tidak tega tiba-tiba menghampiri.
Alam manusia sama seperti alam Kaivan, ada rasa malu sekaligus kejadian tidak diinginkan sebagai akibat dari sebab. Dan, aku tidak ingin dia ditertawakan orang.
"Hahaa, Masnya ini lucu banget e. Ganteng kok ndak bisa makan mi ayam!"
Kang penjual yang rupanya sejak tadi memerhatikan, terbahak setelah meledek. Kontan saja hal itu membuat semua orang melihat ke arah Kaivan. Pandangan serta senyum mereka pun mencibir.
Aku langsung berdiri, menatap penjual itu dengan tajam.
"Maaf, Kang. Kami memang orang pelosok. Tidak pernah tahu makanan enak kalau tidak ke kota. Tapi, kami bukan orang miskin. Masih sanggup kok membayar makanan dan minuman ini berapa pun harganya!" Aku langsung mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu dari dompet, memberikan pada penjual sok kota itu, lalu mengajak Kaivan pergi.
Bagiku, makanan selezat apa pun akan hambar, kalau penjual atau yang memasaknya julid.
"Kita makan di tempat lain. Dan, jangan sekali-kali ikut mengucapkan kekesalan pada orang itu, Van," ucapku saat kami sudah menjauh.
Kaivan bukan manusia, dia memiliki kesaktian dan kemarahan yang bisa saja menjadi kemungkinan terburuk bagi orang biasa, sampai beberapa waktu.
Kaivan mengerti maksudku, dia mengiyakan dan mengajak ke tempat lain.
"Beli es krim, mau?" tawarku saat kami berada di depan sebuah pusat perbelanjaan.
"Tidak, tidak. Nanti kamu malu lagi gara-gara aku," tolaknya sedih.
"Kaivan, jangan begitu. Aku tidak merasa malu, karena kamu memang tidak tahu. Dan, kamu nanti bisa melihat kemudian mencontohku makan es krim." Aku berusaha menenangkan serta membesarkan hatinya.
"Baiklah, tapi kita agak menjauh dari keramaian," pintanya.
"Iya, beres!"
Aku langsung mengajaknya masuk pusat perbelanjaan, menawari berkeliling tapi segera ditolak. Ya sudah, jadinya beli es krim saja.
Setelah membayar apa yang dicari, kami segera meninggalkan tempat itu. Mengajak Kaivan ke tempat yang tidak terlalu banyak orang, sehingga saat makan es krim tidak ada yang lirik-lirik julid sekaligus kepo.
"Van, tadi saat di pusat perbelanjaan, kenapa tidak mau diajak berkeliling?" tanyaku.
"Aku melihat 'mereka' yang bisa jadi membahayakan keselamatanmu, Naya," jawabnya, sekilas saja menatapku.
Aku mengerti artinya. 'mereka' adalah mahkluk tidak kasat mata yang bisa saja jail. Sudah lumrah di tempat-tempat berkumpulnya orang. Tetapi, kenapa Kaivan mengatakan hanya berbahaya bagiku? Kenapa dia tidak?
"Naya." Kaivan menatapku dalam, membuyarkan dari pertanyaan pertanyaan tadi. "Mereka bisa merasakan bahwa aku tetap senopati agung, orang yang mengawal dan dekat dengan raja. Apa pun pakaian yang kukenakan, sembah dan penghormatan itu tetap berlaku."
Tuh kan, bisa mengeja pikiran.
"Namun, tidak denganmu. Kamu manusia yang tetap memiliki batas keberanian, Naya," lanjutnya, beranjak dari duduk setelah es krim kami habis.. "Ayo kita pulang! Sekarang ganti aku yang mengajakmu jalan-jalan."
"Apa sudah jamnya? Lalu ... lalu, mana mobilmu?"
Cling!
Kaivan kembali ke wujud semula. Memakai ikat kepala emas dan pakaian hitam yang sebagian juga bertabur emas. Senjata panah terselip di pinggang sebagaimana panglima perang.
"Kita tidak naik mobil, tapi terbang!" serunya, merangkul tubuhku dan kami melesat ke langit.
Selama perjalanan lewat jalur langit (tidak salah, kan. Ada jalur darat, laut dan ... yang benar itu langit) aku mati kata ketakutan.
Bagaimana kalau jatuh? Bagaimana kalau menabrak awan? Langit malam sebenarnya gelap sekali, lampunya cuma ada di kamera film.
"Jangan melihat ke bawah sana, Naya. Aku akan sering membawamu terbang seperti ini dalam keadaan keadaan tertentu!" Kaivan memperingatkan, karena sekali sekali aku masih melihat ke bawah dan takut sendiri.
"Van, aku takut," rengekku. Semakin erat memeluknya.
"Tenanglah, sebentar lagi kita turun. Persiapkan dirimu untuk melihat hal berbahaya lagi, Naya."
Benar saja, tidak lama setelah Senopati agung alam lain itu mengatakan demikian, kami meluncur turun. Aku memejamkan mata, teramat takut.
"Buka matamu, dan lihat yang di bawah pohon itu," bisik Kaivan.
Menurut, aku segera membuka mata dan mendapati sedang bersembunyi di balik semak belukar. Sementara tidak jauh di depan itu, seorang laki-laki tua berpakaian serba hitam komat-kamit di depan sebuah nampan kecil yang tengahnya ada wadah dari tanah.
Benda itu berasap.
Kalau tidak salah lihat, nampan berisi sesajen. Dan yang berasap di tengahnya pasti dupa.
"Sedang apa orang itu?" tanyaku berbisik.
"Meminta bantuan roh jahat, untuk mengirim guna-guna pada Bulekmu," jawab Kaivan berbisik pula.
Apa? Bulek? Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan kejombloan akut adik bungsu Ayahku.
"Kamu mau apa, Van?" tanyaku kembali tidak mengerti. Sebab jari telunjuk dan jari tengah laki-laki disampungku ini menunjuk ke arah dupa.
"Tenang dan lihatlah," tukasnya.
Tring!
Tiba-tiba kembang sesaji dan dupa menjadi sampah. Masih dalam nampan dan berasap, tapi baunya sangit.
"Ayo pulang, sebelum ketahuan!"
Kaivan merangkul tubuhku, sebelah tangannya terletak di depan dada. Lalu ....
Cling!
Aku sudah berada di dalam kamar, dengan Kaivan yang berdiri tidak jauh dariku. Beberapa saat saling pandang, kami lantas terbahak-bahak membayangkan kejadian barusan.
"Van, Van. Kira-kira dukun tadi gimana, ya?" tanyaku kepo.
"Jelas dongkol. Karena sajennya berubah jadi sampah dan dihajar habis-habisan sama roh jahat. Dianggap sudah mempermainkannya. Hahaha!" jelas Kaivan.
Aku jadi membayangkan dukun itu menjadi bulan-bulanan tuannya.
"Lalu, apa rencana kamu selanjutnya, Van?"
"Besok pagi kamu harus pulang. Seseorang yang terlanjur membaca mantra dan gagal, mantra itu akan menyerang dirinya sendiri. Mahkluk mahkluk kiriman pun berbalik minta imbalan nyawa. Dan, aku Berfirasat besok ada seseorang yang membongkar benda-benda 'tanaman' di rumah ini."
Apa yang dijelaskan Kaivan hanya sebagian saja kumengerti. Maklum, aku lahir, besar, bahkan merintis karir di Jakarta. Sesekali libur sekolah atau kuliah ke rumah Kakek, bukan membahas ilmu hitam.Namun, aku tidak ingin kepo lagi. Semua kejadian hari ini benar-benar melelahkan. Banyak bicara pasti menguras energi.Segera berkemas. Untung saja aku hanya membawa pakaian beberapa stel, alat make up secukupnya, dan oleh-oleh dari jakarta yang langsung ke tangan Bulek kemarin pagi."Minta izin Kakekmu untuk membawa lampu emasku, Naya," ucap Kaivan sambil menyodorkan segelas air minum.Bukan air putih hasil 'tring' ya, botol minum dan gelas memang aku siapkan di meja samping tempat tidur, berjaga-jaga kalau haus tengah malam.Aku diam saja, melanjutkan minum. Hingga air dalam gelas sisa setengah, Kaivan memintanya."Jangan dihabiskan, aku juga haus!""Apa sih? Kamu kan bisa 'tring' jadi gelas dan air minum!""Trang tring, Trang
Pov Kaivan.Wuiing!Kubawa Naya mendarat tepat di halaman rumahnya. Sebuah bangunan yang tidak terlalu besar, tapi memiliki pot-pot kecil berisi bunga warna warni.Bangunan dengan model serupa ada di kanan, kiri, bahkan depan rumah ini, dibatasi jalan beraspal.'Apa rumah manusia modern memang seperti ini? Padat, sedikit tanaman hijau, dan membosankan'Aku terus menggumam dalam hati, sambil mengamati sekeliling."Hey, ayo masuk!" Dengan wajah kesal, Naya menarik tanganku segera masuk rumah. "Betah sekali di teras, liatin apa, sih?"Wajar jika gadis cantik berbaju tosca dengan hiasan mawar di pundak itu kesal, dipanggil dari tadi aku malah asik sendiri."Ehm, enggak. Aku cuma mengamati rumah-rumah di sekitar sini," jawabku salah tingkah."Ada yang aneh?"Aku lantas duduk di kursi empuk bermotif batik, ada bantal kecil warna senada tergeletak begitu saja."Iya. Rumahnya berbeda dari zamanku."Naya ters
Ucapan Pangeran Nanggala Seta tidak sekadar omong kosong, melainkan benar adanya. Sebulan setelah pengukuhan para Senopati dan beberapa Tumenggung baru, Prabu Dananjaya mengadakan pertemuan agung lagi.Barangkali itu yang dibilang anugerah, hadiah terbesar bagi orang-orang yang bisa menahan diri tidak terbawa amarah. Jabatan Senopati memang lepas dari angan-angan. Tapi siapa sangka, aku justru dikukuhkan menjadi prajurit pengawal pribadi raja, bersama tiga orang lainnya.Kedudukan yang paling tinggi tentu saja, kehormatan tersendiri bisa selalu dekat dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan Sang Prabu.Jika punggawa lain yang memiliki kepentingan dengan raja harus melalui pemeriksaan prajurit jaga, maka tidak bagi kami. Aku dan ketiga orang teman terpilih itu bebas keluar masuk ruang pribadi raja.Namun, kegembiraan hari pengukuhan itu tidak bertahan lama. Takdir benar-benar menyukai kesedihan dan air mata. Tepat menjelang sesi akhir pertemuan agung,
Hingga di hari ke tiga, aku baru berani mengutarakan pertanyaan itu."Ampun, Gusti Dewi. Ampun, Pangeran Nanggala. Bolehkah hamba menanyakan sesuatu?"Wanita cantik berkebaya jingga itu tersenyum ramah. "Sejak kita melarikan diri dari istana, sudah berapa kali kubilang untuk tidak membatasi diri antara kawula dan junjungan, Mahesa?"Aku menunduk. "Maafkan, Gusti Dewi. Tetapi ....""Ini bukan istana, Kakang. Melainkan hutan belantara. Aku, Ibunda, kau, dan Tantri sama derajatnya. Makanan, minuman, maupun alas tidur kita tidak dibedakan." Pangeran Nanggala menengahi. Tubuh ringkihnya yang bersandar di tonggak kayu, sesekali butuh ditopang sang ibu."Tanyakan, Mahesa. Mumpung kita belum melanjutkan perjalanan," lanjut Dewi Gayatri.Memang, selama masa pelarian, kami berempat saling bahu membahu dalam segala hal. Pangeran Nanggala yang sedang sakit pun tidak mau hanya berpangku tangan.Meski begitu, rasa canggung kepada ratu junjungan ter
Pov NayaAku tidak bisa meneruskan pertanyaan. Tiba-tiba otak dipenuhi bayangan seorang wanita bertubuh setengah manusia setengah ular, dengan mahkota emas di kepalanya.Mahkluk siluman dalam film itu, ternyata masih ada di era modern. Bahkan hampir mengambil alih ragaku untuk kepentingan tuannya. Hii."Benar, Naya. Dialah Tantri." Kaivan menjeda bicara, mengambil satu nastar dan dimakan sedikit. "Maka dari itu, dia tidak berani menyerang aku. Setengah ingatannya masih berfungsi baik, sedang setengah lagi tidak bisa mengingat kebaikan.""Kenapa begitu?""Entahlah, mungkin dia salah jalan dan tidak bisa mengendalikan diri. Sehingga yang dominan adalah watak jahat."Aku lalu teringat satu kata di tengah cerita Kaivan tadi. "Oh iya, moksa itu apa?"Laki-laki dari alam lain itu tersenyum simpul. "Moksa terbagi dalam dua pengertian.Pertama: seseorang yang melepaskan keduniawian, untuk mencari tujuan hidup sesungguhnya. Dia seperlunya
Sialnya yang menjawab malah Eva. Sok pede pula."Ya bawa ke kamarlah, Nay. Namanya juga lam--"Tring!Sebelum Eva selesai bicara, lampu tidur itu berkedip-kedip. Cahaya emasnya sontak membuat Eva melepaskan benda itu sambil menjerit histeris.Tidak jatuh, Kaivan sengaja membuat lampu tempat tinggalnya terbang berputar-putar mendekatiku.Hap!Aku berhasil menangkap dengan selamat, langsung mati cahaya lampunya.Eva mundur teratur, wajah cantiknya pias ketakutan."N-nay, itu lampu ada apanya sih? Kok tiba-tiba nyala sendiri, terus tanganku kesetrum. Bisa terbang lagi!" curhat Eva dengan suara gemetar."Rasakan akibatnya!" jawab Kaivan, tentu hanya aku yang bisa mendengar."Ini rumah listrik, Va. Jangan macam-macam lagi kamu!" Aku berusaha mencari jawaban lain yang masuk akal.Tentu saja orang kalau ketakutan, jawaban apa saja menjadi masuk akal."Rumah listrik?""Udah, sana sana tidur. Besok aku
"Kamu tidak ingin membalas sindiran wanita rambut keriting tadi, Naya?"Aku terpaksa berhenti sebentar menata sayuran di kulkas, saat Kaivan tiba-tiba bicara.Dia sejak tadi diam saja, ternyata diam-diam perhatian."Tante Astrid memang begitu, Van. Jago ngomporin orang," jawabku berusaha tidak peduli.Aku tidak ingin terbawa emosi, sampai gagal berpikir waras menata situasi.Laki-laki itu melipat tangan di dada, tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang tidak menyenangkan."Sesekali dia harus diberi pelajaran!" ucapnya penuh penekanan."Aku tidak ingin ribut!" bantahku."Memberi pelajaran kepada seseorang bukan berarti harus turun tangan!""Van, tapi aku--""Naya, dengar." Kaivan bicara semakin serius. "Orang tertindas adakalanya harus cerdas. Seperti Eva tadi, selama ini kamu pasti terlalu baik, minta apa saja iya. Jadinya begitu, dia seolah ratu bersamamu."Benar juga. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku tidak e
Pulang dari rumah anaknya Tante Astrid, aku tidak boleh diantar asistennya lagi. Kaivan tidak suka ada laki-laki terlalu good looking mendekatiku. Begitu katanya.Di jalan ternyata dia menagih penjelasan apa arti antisipasi, baper, dan julid. Biar tidak disangka orang gila karena ngomong sendirian sepanjang jalan, aku terpaksa memutar otak, pura-pura menelpon untuk memberi penjelasan.Sampai di rumah kukira sudah, rupanya masih ada pertanyaan lagi."Nay, greentea itu apa?"Baru satu detik duduk, sudah ditodong jawaban."Teh hijau!" jawabku langsung.Kaivan terlihat berpikir. "Teh? Kok anak tadi nggak makan teh, ya ..."Aku yang hendak membuka Instagram jadi urung, memilih mengintrogasi jin tampan ini. Jangan-jangan ada yang salah."Emang kamu tadi liat apa, Van?" tanyaku serius. Langsung menaruh handphone di meja."Anak kecil makan sesuatu yang bungkusnya ada tulisan greentea, tapi bukan teh," jawabnya bingung."M