Tidak ada rasa takut sekarang, drama pecah botol parfum dan melihat hantu tadi, berhasil menciptakan kesal tersendiri. Siapa pun dia, memang tak ada akhlak.
Kulewati laki-laki berpakaian serba emas yang menyelipkan senjata panah itu, dengan acuh. Masuk kamar dan sebisa mungkin membereskan pecahan kaca serta isinya. Meski ia bersikeras minta maaf, aku tidak peduli.
Namun ....
"Mencari apa? Parfumnya di meja," ucapnya, lantas duduk di tepi ranjang.
Seketika aku menoleh ke arah yang ditunjukkan. Dan, terbelalak keheranan. Botol kaca berisi cairan harum berwarna ungu muda yang tadi pecah, sudah kembali seperti sedia kala. Utuh, berikut isinya.
Beberapa kali mengerjap, hasilnya tidak berubah. Parfum itu memang kembali utuh.
"Kok bisa?" gumamku.
"Mudah saja. Bahkan aku bisa sekejap mata mengantarmu ke kota," jawabnya ringan.
"Kamu ... bisa mengantarku ke kota dengan cepat?" tanyaku. Lenyap sudah kemarahan tadi bersama ... sebut saja keajaiban.
Perasaan manusia memang berubah-ubah lebih cepat dari ombak.
Ia mengangguk.
"Tidak ada yang sulit bagiku, bepergian hanya satu sampai tiga detik. Tapi ... ini alam manusia, Naya. Kita bisa ke mana pun harus sesuai akal manusia," jelasnya panjang lebar tanpa ada ekspresi bercanda. "Setelah magrib kita akan ke kota."
"Caranya?"
Sungguh, pikiranku tidak bisa mencerna dengan baik dan benar apa yang baru saja kudengar. Kejadian demi kejadian terjadi di luar nalar. Bahkan, pertanyaan timbul tenggelam saking banyaknya.
"Katakan pada Bulekmu, teman dari kota menjemput nanti setelah magrib. Namanya Kaivan, dan aku akan datang ke sini dengan mobil mewah."
"Jadi, namamu Kaivan?"
Ia kembali mengangguk, senyum menawan itu juga tercipta seketika.
"Lalu, kamu berasal dari mana?"
"Part cerita ini masih panjang, Naya. Belum saatnya kamu mengetahui semua hal sekarang. Bersabarlah."
"Kalau begitu ..." Aku melogika. Mulai menyadari satu hal lagi, harus ditanyakan sebelum ia menghilang.
"Bukankah tidak ada yang bisa melihatmu selain aku?"
"Iya."
"Lantas, bagaimana Bulek dan Kakek percaya?"
Laki-laki dengan senjata panah terselip di pinggang itu tersenyum, kedua tangannya menyentuh pundakku sehingga kami berhadapan dengan jarak sangat dekat.
"Orang tidak akan bisa melihatku karena pakaian ini, Naya. Tapi, kalau aku berganti baju manusia modern sepertimu, tidak sulit menunjukkan diri pada siapa pun."
Setelah mengiyakan dan memahami penjelasan Kaivan, aku segera ke luar kamar. Menyampaikan kepada Bulek dan Kakek sesuai yang kudengar tadi.
Awalnya Bulek tidak percaya, sebab, aku memang nekat berangkat magrib ke kota. Tapi, penjelasan bahwa temanku mengabari lewat W******p juga mendadak, bisa meredam sedikit keraguan perempuan itu.
Menit demi menit berlalu, adzan magrib pun perlahan selesai dan mengembalikan kesunyian pada tempatnya. Meski desa ini sudah padat rumah rumah penduduk, tapi satu RT yang beranggota tidak lebih dari empat puluh orang, sama saja dengan desa yang rumah satu dengan lainnya sangat jauh.
Terlebih malam hari, orang-orang lebih suka menikmati waktu bersantai bersama keluarga di dalam rumah, daripada mengobrol dengan secangkir kopi pemilik warung. Kalaupun ada, hanya penduduk baru yang belum terbiasa dengan kebiasaan saja.
Terdengar deru mobil yang mendekat ke halaman. Dua lampu depan menyala, tapi tidak mengklakson. Aku, Bulek, dan Kakek memang sudah menunggu di teras.
"Itu dia datang!" tunjukku kepada seseorang yang membuka pintu mobil.
Tersorot lampu teras dan kendaraan roda empat yang dibawa, Kaivan memakai kemeja biru kotak-kotak lengan pendek. Rambut cepak dengan senyum menawan, menjadi pemandangan tersendiri yang berkesan.
Benar-benar tampan.
Namun, laki-laki itu tidak mendekat, hanya bersandar di badan mobil dan mengangguk pada kami bertiga. Dengan alasan diburu waktu, akhirnya aku bisa berpamitan baik-baik untuk secepatnya pergi.
"Kaivan, kenapa tadi tidak ikut pamit?" tanyaku begitu mobil sudah menjauh dari rumah.
"Ada sesuatu yang membuatku tidak bisa menginjak teras rumah itu," jawabnya tenang dari balik kemudi.
"Apa itu?"
"Bunga setaman yang ditanam dekat tiang, mengelilingi rumah joglo Kakekmu"
"Apa tujuannya?"
"Memberi guna-guna pada salah satu pemilik rumah."
"Siapa?"
Kaivan tersenyum menatapku, kelihatan terlalu kepo barangkali.
"Kita pulang mendekati jam 12 malam saja, akan terjawab semua pertanyaanmu," ucapnya yang semakin membuatku tidak mengerti.
"Kaivan, tapi, aku bintang tamu. Jam sembilan atau sepuluh bisa langsung pulang!" Aku masih mencoba bernegosiasi.
"Bisa kan jalan-jalan dulu keliling kota."
"Iya, tapi--"
"Lihat sekelilingmu, Naya!"
Aku langsung mengikuti perintah Kaivan. Dan, alangkah terkejut sekaligus takjub, karena mobil yang kami kendarai tidak lagi melaju di jalan jalan beraspal yang sesekali masih terasa guncangannya. Melainkan terbang.
Iya, mobil ini terbang seperti di film film animasi.
"Jangan membuang tenagamu dengan terus bertanya. Sebentar lagi kita sampai alun-alun dan mendarat. Persiapkan dirimu!" Seperti mengerti isi pikiranku, Kaivan lagi dan lagi langsung memerintah.
Aku hanya mengangguk, menahan perasaan kesal yang tidak mungkin diluapkan. Apa boleh buat, manusia memang ditakdirkan kepo, kan?
Mobil akhirnya mendarat, melaju beberapa menit sampai parkir di tepi jalan raya. Tetapi, setelah aku menutup pintu dari luar, kendaraan mewah itu menghilang.
Memasuki alun-alun, aku langsung menuju tempat di belakang panggung yang sudah disediakan menunggu tampil. Sementara Kaivan, seperti yang kubilang tadi raib entah ke mana.
Melihat keindahan kota Ponorogo dan gemerlap lampu, dengan caranya sendiri mungkin.
°°°°'Selama ini ribuan hari
Kudekat denganmuLewati berbagai hal ku ada di sisimuTanpa kau tahu perasaanku padamu
Sendiri kuberharapMemberi kasih walau tak kembaliI maybe not yours and you're not mine
But I'll be there for you when you need meIt is only meBelieve me girl it's only meYeah it's only meI will always be the one who pull you up
When everybody push you downAnd it's only meBelieve me girl it's only meYeah it's only meSekali pun kau tak pernah perdulikan rasaku
Ku takkan acuhkan dirimuTapi kuharap suatu saat nanti kau tahuSendiri kuberharapMemberi kasih walau tak kembaliAku memang bukan
Rasa yang kau mauNamun ku kan slalu adaUntukmu untukmu'Riuh tepuk tangan dari para penonton di bawah panggung, mengakhiri lagu It's Only Me. Lirik romantis sekaligus kasih tak sampai yang kuciptakan satu minggu lalu, sampai ke hati penonton dengan petikan manis dari gitar ini.
Sangat menakjubkan dan sesuai keinginan.
Aku undur, ke luar dari alun-alun karena seseorang sudah menunggu di bawah rimbun pohon akasia.
"Suaramu bagus, secantik orangnya!" Senyum manis itu mengakhiri pujian.
"Memang aku cantik!" balasku, langsung ditoyor pelan.
Kami lantas berjalan di trotoar menikmati pemandangan kota.
"Apa yang kamu bawa itu, Naya?"
Aku tersenyum jail, rupanya Kaivan mulai kepo.
"Ini gitar. Cara memainkannya ya seperti aku tadi, sebagai musik orang nyanyi!" jelasku.
"Gitar itu mainan?"
"Bukan, tapi alat musik."
"Oo." Kaivan mengangguk mengerti. "Kalau lagu kamu tadi bahasa apa? Sepertinya bukan Indonesia atau Jawa?"
Note: lagu cover Tami Aulia: It's only mePenyanyi Asli Kaleb J"Lagu tadi pakai bahasa Inggris, bahasa asing orang luar negri."Kaivan mengangguk, lebih mengerti mungkin."Kamu pernah menikmati makanan di alam manusia?" Sekarang ganti aku yang bertanya."Belum. Aku hanya mendengar saja," jawabnya."Ayo beli makanan! Pilih saja, aku yang traktir."Sengaja tidak kugunakan kata 'cari makan' nanti kepo lagi. Dan, sebelum Kaivan menjawab apa pun, aku sudah menarik tangannya ke jajaran stand di sekitar alun-alun.Berkeliling, membaca satu per satu spanduk di tenda-tenda penjual makanan, tidak ada yang menarik minatnya. Entah apa makanan laki-laki tampan ini di alamnya. Sampai di depan sebuah gerobak mi ayam, dia mengajak berhenti.Aku yang mengerti maksudnya langsung memesan dua porsi mi ayam dan dua gelas es campur.Hitungan menit menunggu, pesanan kami datang. Tapi, Kaivan justru terlihat bingung."Pakai tangan boleh, Nay?" tanyanya berbisik.Aku menutup mulut seketika, setengah
Apa yang dijelaskan Kaivan hanya sebagian saja kumengerti. Maklum, aku lahir, besar, bahkan merintis karir di Jakarta. Sesekali libur sekolah atau kuliah ke rumah Kakek, bukan membahas ilmu hitam.Namun, aku tidak ingin kepo lagi. Semua kejadian hari ini benar-benar melelahkan. Banyak bicara pasti menguras energi.Segera berkemas. Untung saja aku hanya membawa pakaian beberapa stel, alat make up secukupnya, dan oleh-oleh dari jakarta yang langsung ke tangan Bulek kemarin pagi."Minta izin Kakekmu untuk membawa lampu emasku, Naya," ucap Kaivan sambil menyodorkan segelas air minum.Bukan air putih hasil 'tring' ya, botol minum dan gelas memang aku siapkan di meja samping tempat tidur, berjaga-jaga kalau haus tengah malam.Aku diam saja, melanjutkan minum. Hingga air dalam gelas sisa setengah, Kaivan memintanya."Jangan dihabiskan, aku juga haus!""Apa sih? Kamu kan bisa 'tring' jadi gelas dan air minum!""Trang tring, Trang
Pov Kaivan.Wuiing!Kubawa Naya mendarat tepat di halaman rumahnya. Sebuah bangunan yang tidak terlalu besar, tapi memiliki pot-pot kecil berisi bunga warna warni.Bangunan dengan model serupa ada di kanan, kiri, bahkan depan rumah ini, dibatasi jalan beraspal.'Apa rumah manusia modern memang seperti ini? Padat, sedikit tanaman hijau, dan membosankan'Aku terus menggumam dalam hati, sambil mengamati sekeliling."Hey, ayo masuk!" Dengan wajah kesal, Naya menarik tanganku segera masuk rumah. "Betah sekali di teras, liatin apa, sih?"Wajar jika gadis cantik berbaju tosca dengan hiasan mawar di pundak itu kesal, dipanggil dari tadi aku malah asik sendiri."Ehm, enggak. Aku cuma mengamati rumah-rumah di sekitar sini," jawabku salah tingkah."Ada yang aneh?"Aku lantas duduk di kursi empuk bermotif batik, ada bantal kecil warna senada tergeletak begitu saja."Iya. Rumahnya berbeda dari zamanku."Naya ters
Ucapan Pangeran Nanggala Seta tidak sekadar omong kosong, melainkan benar adanya. Sebulan setelah pengukuhan para Senopati dan beberapa Tumenggung baru, Prabu Dananjaya mengadakan pertemuan agung lagi.Barangkali itu yang dibilang anugerah, hadiah terbesar bagi orang-orang yang bisa menahan diri tidak terbawa amarah. Jabatan Senopati memang lepas dari angan-angan. Tapi siapa sangka, aku justru dikukuhkan menjadi prajurit pengawal pribadi raja, bersama tiga orang lainnya.Kedudukan yang paling tinggi tentu saja, kehormatan tersendiri bisa selalu dekat dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan Sang Prabu.Jika punggawa lain yang memiliki kepentingan dengan raja harus melalui pemeriksaan prajurit jaga, maka tidak bagi kami. Aku dan ketiga orang teman terpilih itu bebas keluar masuk ruang pribadi raja.Namun, kegembiraan hari pengukuhan itu tidak bertahan lama. Takdir benar-benar menyukai kesedihan dan air mata. Tepat menjelang sesi akhir pertemuan agung,
Hingga di hari ke tiga, aku baru berani mengutarakan pertanyaan itu."Ampun, Gusti Dewi. Ampun, Pangeran Nanggala. Bolehkah hamba menanyakan sesuatu?"Wanita cantik berkebaya jingga itu tersenyum ramah. "Sejak kita melarikan diri dari istana, sudah berapa kali kubilang untuk tidak membatasi diri antara kawula dan junjungan, Mahesa?"Aku menunduk. "Maafkan, Gusti Dewi. Tetapi ....""Ini bukan istana, Kakang. Melainkan hutan belantara. Aku, Ibunda, kau, dan Tantri sama derajatnya. Makanan, minuman, maupun alas tidur kita tidak dibedakan." Pangeran Nanggala menengahi. Tubuh ringkihnya yang bersandar di tonggak kayu, sesekali butuh ditopang sang ibu."Tanyakan, Mahesa. Mumpung kita belum melanjutkan perjalanan," lanjut Dewi Gayatri.Memang, selama masa pelarian, kami berempat saling bahu membahu dalam segala hal. Pangeran Nanggala yang sedang sakit pun tidak mau hanya berpangku tangan.Meski begitu, rasa canggung kepada ratu junjungan ter
Pov NayaAku tidak bisa meneruskan pertanyaan. Tiba-tiba otak dipenuhi bayangan seorang wanita bertubuh setengah manusia setengah ular, dengan mahkota emas di kepalanya.Mahkluk siluman dalam film itu, ternyata masih ada di era modern. Bahkan hampir mengambil alih ragaku untuk kepentingan tuannya. Hii."Benar, Naya. Dialah Tantri." Kaivan menjeda bicara, mengambil satu nastar dan dimakan sedikit. "Maka dari itu, dia tidak berani menyerang aku. Setengah ingatannya masih berfungsi baik, sedang setengah lagi tidak bisa mengingat kebaikan.""Kenapa begitu?""Entahlah, mungkin dia salah jalan dan tidak bisa mengendalikan diri. Sehingga yang dominan adalah watak jahat."Aku lalu teringat satu kata di tengah cerita Kaivan tadi. "Oh iya, moksa itu apa?"Laki-laki dari alam lain itu tersenyum simpul. "Moksa terbagi dalam dua pengertian.Pertama: seseorang yang melepaskan keduniawian, untuk mencari tujuan hidup sesungguhnya. Dia seperlunya
Sialnya yang menjawab malah Eva. Sok pede pula."Ya bawa ke kamarlah, Nay. Namanya juga lam--"Tring!Sebelum Eva selesai bicara, lampu tidur itu berkedip-kedip. Cahaya emasnya sontak membuat Eva melepaskan benda itu sambil menjerit histeris.Tidak jatuh, Kaivan sengaja membuat lampu tempat tinggalnya terbang berputar-putar mendekatiku.Hap!Aku berhasil menangkap dengan selamat, langsung mati cahaya lampunya.Eva mundur teratur, wajah cantiknya pias ketakutan."N-nay, itu lampu ada apanya sih? Kok tiba-tiba nyala sendiri, terus tanganku kesetrum. Bisa terbang lagi!" curhat Eva dengan suara gemetar."Rasakan akibatnya!" jawab Kaivan, tentu hanya aku yang bisa mendengar."Ini rumah listrik, Va. Jangan macam-macam lagi kamu!" Aku berusaha mencari jawaban lain yang masuk akal.Tentu saja orang kalau ketakutan, jawaban apa saja menjadi masuk akal."Rumah listrik?""Udah, sana sana tidur. Besok aku
"Kamu tidak ingin membalas sindiran wanita rambut keriting tadi, Naya?"Aku terpaksa berhenti sebentar menata sayuran di kulkas, saat Kaivan tiba-tiba bicara.Dia sejak tadi diam saja, ternyata diam-diam perhatian."Tante Astrid memang begitu, Van. Jago ngomporin orang," jawabku berusaha tidak peduli.Aku tidak ingin terbawa emosi, sampai gagal berpikir waras menata situasi.Laki-laki itu melipat tangan di dada, tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang tidak menyenangkan."Sesekali dia harus diberi pelajaran!" ucapnya penuh penekanan."Aku tidak ingin ribut!" bantahku."Memberi pelajaran kepada seseorang bukan berarti harus turun tangan!""Van, tapi aku--""Naya, dengar." Kaivan bicara semakin serius. "Orang tertindas adakalanya harus cerdas. Seperti Eva tadi, selama ini kamu pasti terlalu baik, minta apa saja iya. Jadinya begitu, dia seolah ratu bersamamu."Benar juga. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku tidak e