Share

Pulang

last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-31 21:06:19

Apa yang dijelaskan Kaivan hanya sebagian saja kumengerti. Maklum, aku lahir, besar, bahkan merintis karir di Jakarta. Sesekali libur sekolah atau kuliah ke rumah Kakek, bukan membahas ilmu hitam.

Namun, aku tidak ingin kepo lagi. Semua kejadian hari ini benar-benar melelahkan. Banyak bicara pasti menguras energi.

Segera berkemas. Untung saja aku hanya membawa pakaian beberapa stel, alat make up secukupnya, dan oleh-oleh dari jakarta yang langsung ke tangan Bulek kemarin pagi.

"Minta izin Kakekmu untuk membawa lampu emasku, Naya,"  ucap Kaivan sambil menyodorkan segelas air minum.

Bukan air putih hasil 'tring' ya, botol minum dan gelas memang aku siapkan di meja samping tempat tidur, berjaga-jaga kalau haus tengah malam.

Aku diam saja, melanjutkan minum. Hingga air dalam gelas sisa setengah, Kaivan memintanya.

"Jangan dihabiskan, aku juga haus!"

"Apa sih? Kamu kan bisa 'tring' jadi gelas dan air minum!"

"Trang tring, Trang tring. Itu namanya nggak usaha!"

Ya sudahlah, air minum di gelasku terlanjur direbut dan habis terminum.

"Naya, bagaimana soal permintaanku tadi?" Rupanya Kaivan tidak amnesia, setelah men-tring gelas dari tangannya sampai kembali ke meja.

"Kamu mau ikut aku?"

Kaivan mengangguk. "Aku menyukaimu sejak menyelamatkan sukmamu dalam mimpi itu, Naya. Kamu ... mirip sekali dengan adikku yang sudah meninggal ratusan tahun lalu."

Deg!

Aku mirip adiknya yang sudah meninggal? Ratusan tahun lalu?

Sungguh, rasa kantuk yang semula datang bersama kesal karena perebutan gelas air minum tadi, lenyap berganti penasaran. Aku ingin bertanya banyak hal sekarang juga.

"Siapa nama adikmu? Dan, dia meninggal karena apa?"

Kaivan menghela napas berat. Ah, entahlah dia bernapas atau tidak, yang pasti dadanya naik turun seperti orang menahan kesedihan teramat sangat.

"Namanya Ayu Rahastri. Dia meninggal dalam sebuah pertempuran besar mempertahankan kerajaan. Maaf, Naya. Aku berjanji akan menceritakan padamu besok, butuh waktu lama." Kaivan tertunduk, jarinya mengusap mata yang sudah berkaca-kaca.

Aku menepuk pundaknya pelan, memberi kekuatan sekaligus menghibur kesedihannnya. "Sudahlah, aku tidak memaksamu cerita sekarang, kok. Istirahat saja, kamu pasti lelah."

"Oh iya, soal tadi ... Aku akan berusaha membujuk Kakek. Berdoa saja supaya lampu emas itu boleh kubawa," lanjutku.

Kaivan mengangguk, senyum manis berusaha tercipta simetris di bibirnya.

"Kamu tidak tidur?" tanyanya.

"Sudah jam satu, tersisa tiga jam lagi subuh. Besok saja tidur kalau sudah di rumah," balasku.

"Mau aku menceritakan kenapa mimpimu selalu sama, dan kenapa aku yang menolongmu?"

"Boleh!"

"Mimpi terjebak kabut yang kamu alami bukan suatu kebaikan, Naya." Entah kenapa, sekarang Kaivan memelankan suara seolah takut ada pihak ketiga yang menguping pembicaraan kami. "Dukun tadi menanam dua buntalan kain berisi kembang setaman, di antara benda guna-guna lain. Satu untuk Bulekmu, satunya untukmu."

"Untuk Bulek Siti, jelas supaya hatinya terikat pada dukun itu, dan menolak semua laki-laki. Sedangkan untukmu, sosok siluman ular sudah dipersiapkan untuk menempati ragamu. Begitu sukmamu terjebak di alam mimpi, raga ini kosong. Ia akan menempati sebagai wadak, terus merayu Siti supaya jatuh cinta pada dukun itu."

"Lalu, kenapa jin itu tidak bisa mencelakai kamu, Van?"

"Ia rakyat yang tidak akan berani lancang padaku!"

"Jadi ... jadi ..."

"Iya. Ia dari kerajaan Sang Prabu, yang entah karena suatu sebab atau kemauan sendiri, memilih dunia manusia ini."

Kaivan tiba-tiba menatapku lekat, sangat dalam sampai aku salah tingkah.

"Jangan dibiasakan berpikir macam-macam sebelum tidur. Tidak baik. Sedih boleh, tapi apa gunanya menyesali orang tua yang bercerai dan sudah memilih jalan hidup masing-masing? Sekarang kamu punya teman dekat, Naya. Cerita, mengeluh pada Tuhanmu lalu aku."

Aku menunduk, menyadari kesalahan yang hampir saja merenggut nyawaku. Ternyata putus asa dan selalu berpikir kematian, bisa dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk tujuan tertentu. Dan, laki-laki baik ini tahu semuanya.

"Maaf, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi," tukasku.

Selanjutnya kami menghabiskan sisa malam dengan cerita-cerita ringan. Kaivan sesekali men-tring beberapa oleh-oleh khas Ponorogo yang kuminta, besok tidak ada kesempatan mampir ke kota untuk beli.

°°°°

Suara adzan subuh menyudahi obrolan kami, Kaivan segera pamit masuk lampu. Sedangkan aku bersiap sholat subuh, lanjut membantu Bulek masak untuk sarapan.

Momen ini kugunakan sebaik mungkin untuk berpamitan pulang. Awalnya Bulek keberatan dengan alasan masih kangen. Tapi, setelah kutunjukkan jadwal manggung di handphone, mau tidak mau wanita berbaju putih kebiruan itu mengiyakan.

Pun Kakek. Butuh waktu lama untuk merayu supaya diizinkan pulang. Dan, sekali lagi jadwal manggung membuat beliau setengah hati melepasku.

"Kek, lampu emas di meja kamar Naya itu, boleh ya Naya bawa," pintaku saat kami berempat minum kopi di dapur.

Jangan tanya Nenek, secangkir teh untuk orang pikun lebih dari cukup membuat bicaranya ke mana-mana.

"Untuk apa, Naya? Lampu tidur seperti itu tidak akan berarti untukmu, di Jakarta banyak yang lebih bagus," jawab Kakek, lantas 

Tertawa pelan.

"Naya tertarik dengan benda itu. Boleh ya, Kek. Naya janji akan merawatnya hati-hati dan tidak bakal hilang," rayuku.

"Biar saja dibawa to, Pak. Toh di sini juga untuk apa?" Bulek Siti yang sejak tadi menyimak permohonanku, akhirnya ikut menjawab.

Akhirnya Kakek menyetujui. Doamu terkabul, Van.

Gegas aku ke kamar, mengetuk lampu tidur berwarna keemasan itu sampai Kaivan ke luar. Mengatakan kepadanya bahwa benda unik rumahnya itu boleh kubawa.

Saking senangnya, Kaivan sampai berjanji mengantarku pulang lewat jalur langit, alias terbang. Terserah sajalah, aku mau sarapan.

Kutinggalkan laki-laki tampan yang tengah bergembira hati itu, menuju dapur untuk menikmati makan terakhir masakan Bulek Siti. Tidak ada percakapan menarik, kecuali pesan-pesan penting mereka; kalau sudah sukses jangan sombong, ingat orang tua meski sempatnya berkunjung cuma sebentar.

Sekarang, di sinilah aku. Terbang dari Ponorogo ke Jakarta,  bersama seorang laki-laki tampan dari masa ratusan tahun lalu. Entah alam apa yang mempertemukan dan membuat kami dekat seperti ini.

"Sudah tidak takut jatuh, Naya?" seru Kaivan di antara deru angin.

Sesekali dia menghindari pesawat terbang, yang membuatku nyaris terpelanting.

"Tidak, karena langitnya terang!" balasku.

Kami kembali diam, menikmati gumpalan-gumpalan awan putih yang semakin indah terkena sinar matahari. Dari celahnya, langit kebiruan menambah serasi.

Benar-benar ciptaan paripurna Yang Maha Menyukai keindahan.

"Van, kalau kita mendarat nanti, apa tidak menjadi tontonan orang banyak?" tanyaku, sebelah tangan membenahi tas kecil berisi lampu tidur. "Kan viral orang bisa terbang tanpa bantuan alat canggih."

"Viral itu apa?" Kaivan justru balik bertanya.

Menyebalkan sekali!

"Terkenal!" jawabku singkat.

"Tentu saja tidak, aku sudah menyamarkan pandangan manusia dari kita. Orang-orang tidak bisa melihat kita sampai mendarat di depan rumah!"

Aku hendak menjawab, tapi Kaivan buru-buru memberi perintah. "Bersiap, Naya. Kita akan mendarat. Pegang erat tas kecil itu, di dalam lampu tidur ada barang-barangmu!"

"Iya, baik!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Cinta Biasa   Pulang

    Dengan berat hati, akhirnya aku mengangguk. Antara cinta dan nyawa, tentu prajurit akan memilih nyawa.Nyawa bisa digunakan untuk menghimpun kebaikan terus menerus. Sementara cinta, akan banyak menuntut pengorbanan yang entah apa artinya. Lagi pula Naya belum tentu mau denganku.Kebahagiaan? Mungkin iya jika aku masih manusia. Tapi akan menjadi lain jika memaksa menyatukan kodrat yang tidak semestinya. Jin dan manusia terikat pernikahan. Penderitaan satu sama lain yang ada.Sekarang, kesadaranku akan hal itu dipulihkan kembali."Saya bersedia melepas Naya dan menjalani kodrat serta kewajiban saya, Kiai," ucapku lemah.Jujur saja, ulu hatiku nyeri sekarang. Serasa ditekan lancip ujung tombak panas. Aku bahkan mengerjap, hampir saja jatuh butiran butiran air mata.Lemah, ya? Coba kamu yang jadi aku."Kuatkan hatimu, Ngger. Paksa untuk ikhlas. Sang pencipta sudah menjanjikan kebaikan yang jauh lebih baik bagi orang-orang yang ikhlas," nasehat Tabib Narapadya lagi.Aku hampir-hampir tidak

  • Bukan Cinta Biasa   Luka Dalam yang Menyiksa

    Pertarungan dengan tabib Tuge Lan Ba Ta memang berhasil kumenangkan. Semula baik-baik saja, tapi semakin hari tubuhku melemah merasakan persendian yang sakitnya kadang menimbulkan gigil panas dingin.Iya, efek jangka panjang rupanya bukan saja terjadi pada penyakit manusia. Aku pun mengalami.Naya, jangan ditanya khawatirnya sekarang. Meski kata cinta belum bisa terucap, tapi perhatian yang dia berikan lebih dari cukup untuk menentramkan hati.Jika tidak berada rumah, maka rentetan pesan WhatsApp akan menuntut jawaban. Menanyakan makan, sakit, atau minta dibelikan apa sepulang kerja. Ah, andai tidak sakit, aku juga tidak mau menjadi laki-laki lembek begini.Tuk! Tuk! Tuk!Aku terkesiap dari lamunan, susah payah bangun dari tempat tidur demi menyambut siapa pengetuk lampu barusan.Tuk! Tuk! Tuk!Bukan Naya, tidak ada panggilan seperti biasa. Energinya pun berbeda. Lebih lembut sekaligus menentramkan, tanda pemiliknya benar-benar memiliki nurani bersih sepanjang usianya.Aku buru-buru

  • Bukan Cinta Biasa   Tabib Tuge Lan Ba Ta

    Cling!Sosok itu menembus pintu, kemudian berdiri tegak di hadapanku. Pakaian, jenggot, dan rambut putihnya mencerminkan sosoknya yang dituakan pada satu wilayah tertentu.Jin kan bisa berubah menjadi apa saja sesuai keinginannya, termasuk orang renta. Meski kami tetap saja menolak tua dan mati."Silakan duduk, Tuan. Ada kepentingan apa dengan saya?"Aku langsung mempersilakan dan bertanya tanpa basa-basi setelah kami sama-sama membungkuk sebentar untuk memberi salam hormat. Dia jin, mau disuguhi apa selain kemenyan? Sedangkan di sini langka mencari yang seperti itu. Adanya teh, kopi, kue, dan buah-buahan dalam kulkas.Kakek tua itu melihat Naya sekilas, kemudian bicara dengan raut sungkan. "Maaf, apa Anakmas bisa menjauhkan gadis itu lebih dulu?Energi manusia dan jin berbeda. Saya takut nanti kenapa kenapa."Aku mengangguk cepat, buru-buru mengangkat tubuh gadisku untuk dipindahkan ke kamar tidurnya. Tidak tega men-tring pamer kepandaian, soalnya cinta.Lagi pula, tidak baik juga al

  • Bukan Cinta Biasa   Kerja Bakti

    Hujan akhirnya mereda, banjir pun surut perlahan. Satu per satu warga kompleks kembali dari pengungsian, membersihkan rumah sekaligus menyelamatkan apa yang masih bisa digunakan.Naya kembali tersenyum cerah, tidak ada uring-uringan dadakan karena kemauan ke luar rumah kupenuhi. Tapi, lihat saja dua atau tiga hari lagi, kalau jawaban cinta masih belum kuterima, kompleks ini akan menjadi saingan danau Toba.Iya, hujan dan banjir hanya kubuat berhenti sementara. Hanya demi menghilangkan persepsi 'laki-laki tidak peka'Namun, jauh di dalam hati aku tetap menagih janji."Van, kamu mau nggak nemenin aku?"Naya tiba-tiba saja muncul mengagetkan. Ah bukan, aku saja yang salah akhir-akhir ini sering melamun."Iya, boleh!!" jawabku penuh semangat. "Memangnya mau ke mana?""Lihat kerja bakti!"Aku tercengang, kepala jadi pening mendadak karena dipaksa berpikir mendadak juga.Kerja bakti itu apa? Jenis pekerjaan baru yang digaji minyak goreng untuk meringankan beban warga negara Indonesia?Kan k

  • Bukan Cinta Biasa   Banjir Buatan

    Hujan deras selama empat malam tiga hari, belum ada tanda-tanda berhenti. Langit sesekali menampakkan biru cerah lengkap dengan mataharinya. Tapi, hanya hitungan menit.Mendung kembali menebal, dan tumpah ruah menjadi gemericik yang sekali waktu diselingi angin atau petir.Semua orang menatap tidak menentu dari balik kaca jendela rumah masing-masing. Gelisah memikirkan nasib baju kotor, merutuk tidak bisa leluasa ke luar rumah, tapi menyimpan perasaan was-was begitu besar.Aku tahu semuanya, aku bisa merasakan campuran energi mereka. Tetapi, niatku sudah bulat untuk tidak menghentikan semuanya.Selama Naya masih berkeras hati mengulur jawaban pernyataan cintaku, seluruh warga kompleks perumahan terkena musibah pun aku tidak peduli. Yang salah itu Naya, yang bisa menghentikan amarahku tentu hanya dia."Van, sampai kapan kamu akan membuat hujan terus menerus?"Naya mengusik kegiatanku melukis, sambil meletakkan satu gelas kopi yang masih mengepulkan asap di meja. Dia lantas menarik kurs

  • Bukan Cinta Biasa   Sean Pengganggu

    "Van, tapi kodrat kamu tetap jin! Bagaimanapun juga asal mulanya!"Eh, berani membantah dia. Untung sayang, kalau tidak, sudah aku tring jadi Spongebob sekarang."Masa bodoh!" sengitku. "Yang aku tahu hanya kita menikah, atau kompleks perumahan ini hancur kena musibah!"Naya terdiam, tidak sanggup lagi membantah mungkin saja. Dan, aku yakin dia pasti berusaha keras bisa mencintaiku setelah ini.Wanita memang adakalanya sedikit dibentak, supaya berpikir ulang untuk macam-macam. "Jangan, Naya! Jangan sampai jatuh cinta sama dia!"Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah teriakan. Sosok berkaos hitam gambar tengkorak itu berapi-api melakukan upaya pencegahan.Dia mendekat, hingga berdiri beberapa tindak di hadapan Naya."Jangan, Naya. Kamu jangan sampai jatuh cinta sama Kaivan. Dia itu jin jahat, bisa-bisa kamu tertular berbuat kejahatan!"Shit! Dikira aku penyebar virus omikron apa?Namun, aku memilih diam. Tidak menanggapi arwah transparan yang sedang berusaha mempengaruhi Naya. Sebab ap

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status