Share

Pulang

Apa yang dijelaskan Kaivan hanya sebagian saja kumengerti. Maklum, aku lahir, besar, bahkan merintis karir di Jakarta. Sesekali libur sekolah atau kuliah ke rumah Kakek, bukan membahas ilmu hitam.

Namun, aku tidak ingin kepo lagi. Semua kejadian hari ini benar-benar melelahkan. Banyak bicara pasti menguras energi.

Segera berkemas. Untung saja aku hanya membawa pakaian beberapa stel, alat make up secukupnya, dan oleh-oleh dari jakarta yang langsung ke tangan Bulek kemarin pagi.

"Minta izin Kakekmu untuk membawa lampu emasku, Naya,"  ucap Kaivan sambil menyodorkan segelas air minum.

Bukan air putih hasil 'tring' ya, botol minum dan gelas memang aku siapkan di meja samping tempat tidur, berjaga-jaga kalau haus tengah malam.

Aku diam saja, melanjutkan minum. Hingga air dalam gelas sisa setengah, Kaivan memintanya.

"Jangan dihabiskan, aku juga haus!"

"Apa sih? Kamu kan bisa 'tring' jadi gelas dan air minum!"

"Trang tring, Trang tring. Itu namanya nggak usaha!"

Ya sudahlah, air minum di gelasku terlanjur direbut dan habis terminum.

"Naya, bagaimana soal permintaanku tadi?" Rupanya Kaivan tidak amnesia, setelah men-tring gelas dari tangannya sampai kembali ke meja.

"Kamu mau ikut aku?"

Kaivan mengangguk. "Aku menyukaimu sejak menyelamatkan sukmamu dalam mimpi itu, Naya. Kamu ... mirip sekali dengan adikku yang sudah meninggal ratusan tahun lalu."

Deg!

Aku mirip adiknya yang sudah meninggal? Ratusan tahun lalu?

Sungguh, rasa kantuk yang semula datang bersama kesal karena perebutan gelas air minum tadi, lenyap berganti penasaran. Aku ingin bertanya banyak hal sekarang juga.

"Siapa nama adikmu? Dan, dia meninggal karena apa?"

Kaivan menghela napas berat. Ah, entahlah dia bernapas atau tidak, yang pasti dadanya naik turun seperti orang menahan kesedihan teramat sangat.

"Namanya Ayu Rahastri. Dia meninggal dalam sebuah pertempuran besar mempertahankan kerajaan. Maaf, Naya. Aku berjanji akan menceritakan padamu besok, butuh waktu lama." Kaivan tertunduk, jarinya mengusap mata yang sudah berkaca-kaca.

Aku menepuk pundaknya pelan, memberi kekuatan sekaligus menghibur kesedihannnya. "Sudahlah, aku tidak memaksamu cerita sekarang, kok. Istirahat saja, kamu pasti lelah."

"Oh iya, soal tadi ... Aku akan berusaha membujuk Kakek. Berdoa saja supaya lampu emas itu boleh kubawa," lanjutku.

Kaivan mengangguk, senyum manis berusaha tercipta simetris di bibirnya.

"Kamu tidak tidur?" tanyanya.

"Sudah jam satu, tersisa tiga jam lagi subuh. Besok saja tidur kalau sudah di rumah," balasku.

"Mau aku menceritakan kenapa mimpimu selalu sama, dan kenapa aku yang menolongmu?"

"Boleh!"

"Mimpi terjebak kabut yang kamu alami bukan suatu kebaikan, Naya." Entah kenapa, sekarang Kaivan memelankan suara seolah takut ada pihak ketiga yang menguping pembicaraan kami. "Dukun tadi menanam dua buntalan kain berisi kembang setaman, di antara benda guna-guna lain. Satu untuk Bulekmu, satunya untukmu."

"Untuk Bulek Siti, jelas supaya hatinya terikat pada dukun itu, dan menolak semua laki-laki. Sedangkan untukmu, sosok siluman ular sudah dipersiapkan untuk menempati ragamu. Begitu sukmamu terjebak di alam mimpi, raga ini kosong. Ia akan menempati sebagai wadak, terus merayu Siti supaya jatuh cinta pada dukun itu."

"Lalu, kenapa jin itu tidak bisa mencelakai kamu, Van?"

"Ia rakyat yang tidak akan berani lancang padaku!"

"Jadi ... jadi ..."

"Iya. Ia dari kerajaan Sang Prabu, yang entah karena suatu sebab atau kemauan sendiri, memilih dunia manusia ini."

Kaivan tiba-tiba menatapku lekat, sangat dalam sampai aku salah tingkah.

"Jangan dibiasakan berpikir macam-macam sebelum tidur. Tidak baik. Sedih boleh, tapi apa gunanya menyesali orang tua yang bercerai dan sudah memilih jalan hidup masing-masing? Sekarang kamu punya teman dekat, Naya. Cerita, mengeluh pada Tuhanmu lalu aku."

Aku menunduk, menyadari kesalahan yang hampir saja merenggut nyawaku. Ternyata putus asa dan selalu berpikir kematian, bisa dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk tujuan tertentu. Dan, laki-laki baik ini tahu semuanya.

"Maaf, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi," tukasku.

Selanjutnya kami menghabiskan sisa malam dengan cerita-cerita ringan. Kaivan sesekali men-tring beberapa oleh-oleh khas Ponorogo yang kuminta, besok tidak ada kesempatan mampir ke kota untuk beli.

°°°°

Suara adzan subuh menyudahi obrolan kami, Kaivan segera pamit masuk lampu. Sedangkan aku bersiap sholat subuh, lanjut membantu Bulek masak untuk sarapan.

Momen ini kugunakan sebaik mungkin untuk berpamitan pulang. Awalnya Bulek keberatan dengan alasan masih kangen. Tapi, setelah kutunjukkan jadwal manggung di handphone, mau tidak mau wanita berbaju putih kebiruan itu mengiyakan.

Pun Kakek. Butuh waktu lama untuk merayu supaya diizinkan pulang. Dan, sekali lagi jadwal manggung membuat beliau setengah hati melepasku.

"Kek, lampu emas di meja kamar Naya itu, boleh ya Naya bawa," pintaku saat kami berempat minum kopi di dapur.

Jangan tanya Nenek, secangkir teh untuk orang pikun lebih dari cukup membuat bicaranya ke mana-mana.

"Untuk apa, Naya? Lampu tidur seperti itu tidak akan berarti untukmu, di Jakarta banyak yang lebih bagus," jawab Kakek, lantas 

Tertawa pelan.

"Naya tertarik dengan benda itu. Boleh ya, Kek. Naya janji akan merawatnya hati-hati dan tidak bakal hilang," rayuku.

"Biar saja dibawa to, Pak. Toh di sini juga untuk apa?" Bulek Siti yang sejak tadi menyimak permohonanku, akhirnya ikut menjawab.

Akhirnya Kakek menyetujui. Doamu terkabul, Van.

Gegas aku ke kamar, mengetuk lampu tidur berwarna keemasan itu sampai Kaivan ke luar. Mengatakan kepadanya bahwa benda unik rumahnya itu boleh kubawa.

Saking senangnya, Kaivan sampai berjanji mengantarku pulang lewat jalur langit, alias terbang. Terserah sajalah, aku mau sarapan.

Kutinggalkan laki-laki tampan yang tengah bergembira hati itu, menuju dapur untuk menikmati makan terakhir masakan Bulek Siti. Tidak ada percakapan menarik, kecuali pesan-pesan penting mereka; kalau sudah sukses jangan sombong, ingat orang tua meski sempatnya berkunjung cuma sebentar.

Sekarang, di sinilah aku. Terbang dari Ponorogo ke Jakarta,  bersama seorang laki-laki tampan dari masa ratusan tahun lalu. Entah alam apa yang mempertemukan dan membuat kami dekat seperti ini.

"Sudah tidak takut jatuh, Naya?" seru Kaivan di antara deru angin.

Sesekali dia menghindari pesawat terbang, yang membuatku nyaris terpelanting.

"Tidak, karena langitnya terang!" balasku.

Kami kembali diam, menikmati gumpalan-gumpalan awan putih yang semakin indah terkena sinar matahari. Dari celahnya, langit kebiruan menambah serasi.

Benar-benar ciptaan paripurna Yang Maha Menyukai keindahan.

"Van, kalau kita mendarat nanti, apa tidak menjadi tontonan orang banyak?" tanyaku, sebelah tangan membenahi tas kecil berisi lampu tidur. "Kan viral orang bisa terbang tanpa bantuan alat canggih."

"Viral itu apa?" Kaivan justru balik bertanya.

Menyebalkan sekali!

"Terkenal!" jawabku singkat.

"Tentu saja tidak, aku sudah menyamarkan pandangan manusia dari kita. Orang-orang tidak bisa melihat kita sampai mendarat di depan rumah!"

Aku hendak menjawab, tapi Kaivan buru-buru memberi perintah. "Bersiap, Naya. Kita akan mendarat. Pegang erat tas kecil itu, di dalam lampu tidur ada barang-barangmu!"

"Iya, baik!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status