Share

MENGGANGGU

Author: Ahgisa
last update Last Updated: 2023-01-29 20:00:37

Embun memandangi foto pernikahan Samudera dan mendiang menantunya yang terpajang di sudut meja ruang keluarga. Senyuman di bibirnya terlihat getir kala menatap foto yang menampakkan kebahagiaan bertahun-tahun lalu.Tak ada yang menyangka bahwa beberapa bulan setelah foto itu diambil, hidup mereka tak lagi sama.

Enam tahun kejadian itu berlalu, tapi Samudera, putra bungsunya, masih berkutat dengan masa lalunya. Seolah tak mau beranjak dari sana.

“Apa kabar menantu dan cucu Mama? Kalian senang disana?" ucap Embun yang kini sudah mengusap lembut foto Tania yang terlihat cantik dengan gaun mewah yang memperlihatkan perut buncit Tania.

"Tan, bantu Mama bujuk Sam. Mama benar-benar kasihan liat dia sendirian. Kamu tahu kan, hidupnya seperti robot, Tan. Kantor, rumah, gitu terus. Mungkin sekarang dia gak kerasa kesepian. Tapi, menua sendirian pasti sangat sepi, Tan. Mama–"

"Ma," sapa Samudera memotong ucapan Embun.

Laki-laki dengan tubuh jangkung itu kini sudah berada di belakang tubuh Mamanya. Senyuman getir terlukis jelas di wajah tampannya.

Embun hanya memandang wajah anaknya sekilas. Ia segera mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Menatap kosong bunga-bunga yang tumbuh subur di halaman rumahnya.

Embun tak mau berbicara apapun saat ini. Bujukannya untuk menyuruh Samudera menikah membuat lidahnya kelu. Entah sudah berapa kali Embun berusaha untuk meluluhkan hati Samudera. Agar anak semata wayangnya itu mau membuka hatinya kembali. Tapi, hasilnya masih saja nihil.

Embun menyadari bahwa Samudera bukan lagi anak-anak. Tak perlu ia membujuk Samudera berulang kali untuk keinginannya yang hingga saat ini tak dikabulkan putra semata wayangnya.

"Mama akhir-akhir ini banyak diemin aku lho," bujuk Samudera sambil memeluk ibunya dari belakang.

Embun masih enggan mengeluarkan suara. Ia tahu, berdebat dengan bungsunya hanya akan menambah kejengkelan dalam hatinya. Samudera yang keras kepala, tak akan mudah untuk diluluhkan hatinya jika soal pendamping hidup.

Embun tahu betul, bagaimana cinta anaknya kepada menantunya. Laki-laki itu belum pernah membuka hatinya pada wanita lain. Jatuh cinta pertamanya adalah menantunya. Pasti sulit untuk menyisihkan ruang hati Sam untuk wanita lain.

"Mama segitu pengennya punya menantu perempuan lagi sampe ikut bujuk-bujuk istri aku. Cemburu nanti dia, Ma."

"Mama kenal sama Tania lebih lama dari kamu. Mama yakin kebahagiaan kamu, itu juga kebahagiaan Tania," jawab Embun dingin.

"Tania itu cemburuan, Ma. Mama gak tau itu," kenang Sam dengan senyum tipis. Ia berusaha bertingkah lucu walaupun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat.

Benar saja, hal itu membuat emosi Embun tersulut. Wanita paruh baya itu menghela nafas kasar. Embu menatap nanar ke dalam mata Samudera.

"Sam, ikhlasin Tania. Mama mohon! Mama yakin, dia juga mau kamu happy!"

"Ma, aku happy! Who said I'm not happy?" tegas Samudera.

"Sam, Mama ini Mama kamu–"

"Ya Mama emang Mama aku, terus? Ma, Samudera itu udah gede. Ruby-nya Sam aja udah masuk TK. Sam itu–"

"Sam, dia anak Kakakmu. Kamu itu sehat. You can have your own, Nak. Ruby punya Mama dan Papanya. Kamu gak bisa terus-terusan ikut mencampuri urusan ruby, Sam!" ujar Embun yang kini sudah menghadap Samudera. Menatap lekat penuh harap bungsunya sambil mengusap lembut pipi yang dipenuhi cambang tipis itu.

Kata-kata Embun terasa menusuk di hatinya. Seolah mengingatkan bahwa statusnya kini bukanlah orang tua. Ingatannya tentang Sania Putih Adnan, anaknya, terasa menyayat hatinya. Setelah sekian tahun ia menganggap Ruby seperti anaknya sendiri, baru kini ia ditentang atas pemikirannya. Tidakkah mereka tahu bagaimana rasanya tak menyandang status apapun setelah kehilangan anak dan istrinya, selain status duda.

Samudera berlalu begitu saja dari hadapan Embun. Ia berjalan cepat menuju kamarnya. Tak peduli dengan panggilan Mamanya yang terdengar panik. Sam memilih tetap berjalan menjauh dan menutup pintu kamar dengan kekuatan penuh.

BRAK!

Suara debuman pintu itu benar-benar memekakkan telinga. Membuat siapa saja yang mendengar akan berjengit kaget. Begitu juga Embun yang meluruh ke lantai karena hatinya yang makin hancur melihat tingkah Samudera. Ia yakin hubungannya dengan Samudera tak akan baik-baik saja mulai sekarang.

Apa yang dikatakan Embun memang tak salah. Ruby bukanlah anaknya. Ia tak berhak banyak hal untuk mengatur Ruby. Tapi selama ini, Kakak-kakaknya tak pernah sekalipun melarang Sam untuk ikut mengatur Ruby.

Kini mendengar kata-kata Mamanya. Ia merasa tersakiti oleh penggalan kalimat tentang mencampuri urusan orang.

Sam duduk di meja kerja yang ada di kamar itu. Ia memandang foto usg empat dimensi itu dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Put, Papa kangen kamu–" ucap Samudera tercekat. Ia kini tengah menangis lirih sambil memeluk foto itu.

Putih, panggilan kesayangan Samudera untuk gadis mungilnya yang tak sempat ia sentuh. Hanya tendangan kecil melalui perut Tania yang bisa ia rasakan. Namun sentuhan itu, begitu terkenang di pikiran Samudera. Ia masih bisa mengingat bagaimana rasanya.

"Kenapa Papa gak ikut kalian? Papa kangen Putih, kangen kamu juga, Tan. Gimana bisa aku diminta menjaga orang lain, kalau hatiku saja masih gak rela aku bagi," ucap Samudera pilu.

Samudera mendekap erat foto usg itu. Ia beranjak menuju kasur, lalu meringkuk. Bagai anak kecil menangis tak dibelikan permen. Ia menangis sesenggukan. Hingga rasa lelah mendera tubuhnya. Membuat ia tak lagi sadar, bahwa sedikit demi sedikit matanya terpejam. Hingga akhirnya, dengkuran halus terdengar dengan tubuh yang masih meringkuk dan juga foto yang didekap erat di dadanya.

Tok.. Tok.. Tok..

Ketukan pintu itu berhasil membuat Samudera terbangun. Matanya terasa berat untuk terbuka. Mungkin karena efek bengkak akibat tangisnya tadi.

Tok.. Tok.. Tok..

“Sam, buka. Gue mau ngomong dulu sama lo,” ucap seseorang dari balik pintu. Samudera yakin itu Kakaknya, Berlian.

Walau enggan, ia tetap melangkahkan kakinya menuju pintu kamarnya.

Wanita dengan bayi mungil bernama Amethyst itu merangsek masuk ke dalam kamar Sam.

"Lo berantem apa sama Mama? Mama nangis dari tadi gak mau berhenti," ucap Lian tanpa melihat ke arah Samudera. Ia malah dengan santai meletakkan putri kecilnya di kasur king size milik Samudera. 

Sebelum meletakkan Amethyst Lavelle yang akrab dipanggil Elle, Lian melihat ke arah kasur dan juga bantal Sam. Ada lingkaran besar dengan warna yang lebih gelap. Seketika itu ia juga tahu, bahwa pertengkaran ini mulai serius. 

Samudera telah lama tak menangis. Kali ini, baik Mamanya dan Adiknya benar-benar sudah sama-sama kelewatan atas kekeras kepalaan mereka.

"Sam, dengerin apa kata Mama. Kalau lo gak mau dengerin, minimal lo maklumin omongan Mama."

"Jadi menurut Kakak, gue terlalu ikut campur untuk urusan Ruby? Kenapa lo gak pernah bilang sama gue, Kak? Kenapa baru sekarang?" tanya Samudera tajam.

Ruby? Otak Lian berpikir keras karena gadis kecilnya terseret masalah ini. Lian menatap adiknya sesekali sambil mencerna kata-kata Sam.

"Lo tau kan, buat gue Ruby pengganti Putih Kak. Ruby bisa buat gue bahagia. Kenapa sih Mama bahkan sekarang pakai bawa-bawa Ruby supaya gue nikah!" 

Oh, gitu ceritanya. Ucap Lian dalam hati. Pantas saja adiknya kecewa hingga menangis. Mamanya kini membawa topik sensitif untuk memaksa Samudera menikah.

"Gue bakal pindah dari rumah ini, Sam.”

Bukan jawaban itu yang ingin Samudera dengar. Ia menatap lekat Lian dengan raut wajah penuh kekecewaan.

"Gue bakal pindah ke rumah lo."

"Sam–"

"Segitu ngeganggunya ya gue, Kak?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Cinta Duda Biasa   END EXTRA PART (DIANI POV)

    Sudah lebih dari enam bulan aku tak mendengar kabar putra pertamaku. Permata hatiku yang mengajariku banyak hal. Dialah yang menyatukanku dengan Samudera. Jika bukan karena anak laki-laki pertamaku, mungkin pernikahanku tak akan bisa sejauh ini. Apa kabarmu, Banyu? Ibu sangat rindu. Ibu juga bertanya-tanya, apakah cucu Ibu sangat mirip denganmu waktu kecil. Ibu memang kecewa. Tapi, Ibu juga sebenarnya sangat antusias dan menanti kabar kalian. Kenapa kamu memilih memutus hubungan kita seperti ini. Sampai kapanpun, kamu adalah bayiku Banyu. Betapapun kecewanya Ibu, Ibu akan tetap menyayangimu dan memaafkan segala kesalahanmu. Mungkin kamu harus menerima hukuman atas apa yang kamu lakukan, tapi kasih sayang Ibu tidak akan pernah luntur untukmu, nak. Pulanglah, Banyu. "Ibu?" suara Aga terdengar di telingaku. Saat aku membuka mata, anak tengahku dengan konyolnya memunculkan kepalanya dan badannya masih berada di balik pintu. "Kamu ngapain, sih?" tanyaku dengan tergelak kecil. "Ibu ud

  • Bukan Cinta Duda Biasa   EXTRA PART (BANYU POV XIII)

    Usia kehamilan Meira sudah menginjak tiga puluh lima minggu. Lima minggu lagi dokter memperkirakan bayi mungil kami akan lahir. Aku sudah tak sabar untuk menyambut bayi mungil kami.Di rumah sederhana milik kami, sebuah kamar yang dipersiapkan untuk bayi mungil kami sudah siap dengan peralatan yang lengkap. Demi Meira, aku juga pulang pergi Solo - Yogyakarta setiap harinya. Naik kereta atau bis, apa saja yang ada supaya aku bisa setiap hari bersama Meira. Meski kadang aku bisa sampai tengah malam dan pagi harus kembali berkuliah, yang terpenting aku tak meninggalkan Meira sendiri.Seperti pagi ini, aku sudah berada di stasiun setengah tujuh pagi. Kereta commuter ini memang baru ada di jam ini. Sampai di yogyakarta, aku punya waktu kurang lebih dua puluh menit sebelum kelas pertamaku di mulai.Seperti biasa, hari-hariku padat. Di waktu pergantian kelas dan senggang sekitar satu hingga dua jam, aku sempatkan untuk menelepon ke bengkel yang sekarang sepenuhnya di urus Attar untuk membic

  • Bukan Cinta Duda Biasa   EXTRA PART (BANYU POV XII)

    Rasanya tidurku baru beberapa menit karena aku bangun dalam keadaan sakit hampir di sekujur tubuh. Padahal seingatku yang di hajar hanya wajahku, tapi rasa sakit yang aku rasakan mendera hampir seluruh tubuhku.Suara telepon memekakkan telingaku, membuatku segera menyambar ponselku dan mendapati nama Meira di sana. Cepat-cepat aku mengangkat telepon milik Meira."Haalo, Mei? Kenapa telepon pagi-pagi?""Nyu..""Iya, kenapa Mei?" tanyaku dengan degup jantung yang bahkan bisa aku dengar sendiri.Hening menyeruak diantara kami. Meira masih saja bungkam di seberang sana."Mei?""Aku-- aku hamil, Nyu."Pernyataan singkat itu membuatku terdiam juga. Aku seolah bermimpi. Benarkah dengan sekali percobaan Meira bisa langsung hamil? Apa aku bermimpi?"Nyu-- aku hamil. Aku..""Kamu dimana, Mei?" tanyaku memotong ucapan Meira."Aku di kos.""Pulang ya, Mei. Aku beliin tiket pesawat.""Nyu, aku gak mau.." ucap Meira dengan nada bergetar di ujung sana."Apa maksud kamu gak mau?" tanyaku dingin."Aku

  • Bukan Cinta Duda Biasa   EXTRA PART (BANYU POV XI)

    Aku tidak pernah segugup ini sebelumnya. Rumah Meira terasa begitu dingin bagiku yang baru pertama kali ini memasukinya.Pria di hadapanku menatapku dengan dingin. Melihatnya aku jadi menyadari bahwa posisiku sudah salah, jadi wajar jika pria di hadapanku begitu murka nanti saat aku menjelaskan semuanya. Mau bagaimana lagi. aku harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah aku lakukan.Walaupun ingatanku samar, tapi kejadian malam itu bisa dipastikan adalah kelakuanku yang sangat bodoh. Rasanya terlalu nyata jika itu hanya di dalam mimpi.Pria paruh baya di hadapanku menatapku dengan tatapan permusuhan. Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi, setidaknya aku sudah mencobanya. Dibandingkan kemurkaan Papa Meira, aku yakin kemurkaan Papa lebih mengerikan."Saya selama ini bersama dengan Meira, Om."Pria di hadapanku malah menatapku heran. Mungkin dia bertanya-tanya bagaimana bisa aku bersama anak perempuannya."Maksud kamu?" tanya Om Rahman sambil menaikkan sebelah alisnya."Saya pacaran denga

  • Bukan Cinta Duda Biasa   EXTRA PART (BANYU POV X)

    Sudah akhir minggu dan aku sudah bersiap untuk menuju ke kota sebelah, tempat Meira berkuliah.Aku mengendarai sebuah mobil city car manual untuk sampai ke tempat Meira. Mobil pertama yang aku miliki dengan uangku sendiri ini, berhasil aku beli kemarin.Melihat uang di tabunganku, aku memberanikan untuk membeli mobil yang harganya kurang dari seratus juta dengan fasilitas yang seadanya buatku. Tapi tidak masalah, aku ingin Meira hidup dalam kenyamanan. Setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Aku berjanji akan bekerja lebih keras untuk bisa memberikan hidup yang jauh lebih dari kata nyaman.Saat aku sampai di kampus Meira, suasananya cukup sepi. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang berlalu lalang, mungkin karena hari ini adalah hari jum'at.Aku segera menghubungi Meira, namun setelah hampir satu menit tak ada jawaban dari Meira.Kemana lagi perempuanku satu ini. Dia sekarang makin sulit untuk dihubungi. Apa ada yang salah dengan hari terakhir kami bertemu? Apa dia traum

  • Bukan Cinta Duda Biasa   EXTRA PART (BANYU POV IX)

    Aku membuka mataku saat cahaya matahari seolah menusuk mataku. Belum lagi suara ponsel yang menggema kencang tepat di telingaku.Aku segera meraba sekitarku tanpa membuka mataku. Aku berhasil menggapai ponselku sambil mengeratkan selimut yang semula hanya sebatas dada untuk menutup tubuhku hingga leher.Sedikit aku membuka mata hanya untuk memencet tombol hijau di ponselku. Aku bahkan tak melihat siapa yang meneleponku."Halo,""Banyu! Kamu dimana? Kenapa telepon Ibu baru kamu angkat?!" mendengar suara khawatir Ibu membuatku memaksa seluruh kesadaranku untuk terkumpul."Emh, Ibu."Aku menjauhkan ponselku dan mengecek berapa banyak panggilan yang terlewat olehku. Aku sedikit memicingkan mata saat melihat angka tiga puluh dan jam yang menunjukkan Ibu sudah meneleponku semalam suntuk."Kamu semalem minum-minum kan sama temen kamu?! Kamu dimana sekarang?! Kenapa kamu susah banget di hubungi!" suara panik Ibu semakin menjadi.Kenapa Ibu bisa tahu aku minum semalam?Ponselku berdering dan m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status