Share

WISATA MASA LALU 2

Saat Samudera sedang asik memandang Diani, pemilik mata bulat itu ikut memandang Samudera. Samudera mengalihkan pandangannya dengan perlahan agar tak terlihat mencurigakan. Entah mengapa saling pandang dengan Diani membuatnya berdegup.

Tak mendengar sapaannya dibalas, Samudera segera membuka suaranya kembali untuk menutupi rasa salah tingkahnya.

“Perkenalkan nama saya Samudera, kalian bisa panggil saya Pak Sam. Seperti kata Pak Budi tadi, saya akan mengajar kalian matematika dan bahasa inggris selama kurang lebih empat bulan ini. Mohon kerjasamanya. Mungkin ada yang mau bertanya?” ucap Samudera dengan senyuman sejuta wattnya yang membuat banyak siswi di kelas itu rasanya kehabisan nafas diberondong oleh senyuman manisnya.

“Pak, kok cuma sebentar sih? Ilmunya belum nyerep lho, Pak!” protes Cantika, salah satu siswi yang selalu terlihat centil.

“Iya, Paaak!” koor siswi dalam kelas itu.

“Seperti yang tadi Pak Budi bilang, saya harus kembali untuk melanjutkan studi saya. Semoga saja ilmu yang saya bagikan bisa terserap dengan baik ya. Mungkin ada pertanyaan lainnya?”

“Pak! Umur berapa, Pak?”

Entah siapa yang bertanya, tapi ruangan itu mendadak senyap dan mendengarkan dengan seksama?

“Saya masih umur dua puluh satu tahun. Ada lagi?”

“Uuuuuhhh..” teriak para siswi kegirangan.

“Panggil Mas aja boleh gak, Pak?” seru Cantika keras.

“Boleh, Pak!” kembali sorakan para siswi yang menggema dalam ruangan dan dibalas suara sumbang para siswa laki-laki yang jumlahnya lebih sedikit, hanya sepuluh orang.

“Huuuu!”

“Apa sih! Pada sirik ya ini laki-laki,” ucap beberapa perempuan yang tidak terima diteriaki oleh para teman lelaki mereka.

“Sudah – sudah! Haduuuh.. kalian ini! Nanti guru kalian kabur sebelum mengajar. Sudah segitu dulu ya, ketemu dan tanya-tanyanya waktu jam pelajarannya Pak Samudera aja. Sudah saya kembali dulu sama Pak Samudera,” ucap Pak Budi dengan benar-benar beranjak dari tempat duduknya.

“Yaaahh.. Paakk..”

“Saya permisi dulu, kita bertemu lagi di kelas pertama nanti,” ucap Samudera yang saat itu juga mengikuti langkah kaki guru senior di sekolah itu. Matanya yang berwarna coklat terang tidak sengaja bertabrakan dengan mata bulat seorang gadis. Samudera tersenyum tipis ke arah gadis itu dan segera berlalu meninggalkan ruangan kelas itu.

Samudera jelas mengingatnya. Gadis yang paling sibuk di antara semua temannya yang menatapnya dengan tatapan mendamba. Gadis yang tak ter-distrak oleh lingkungannya dan sibuk dengan rasa bersalahnya. Kacamata bulatnya bahkan terlihat menggemaskan bagi Samudera. Ekspresinya dengan sesekali menarik ingusnya agar tak keluar membuat Samudera terkekeh dalam hati. 

***

*Samudera POV*

Tanpa terasa aku melengkungkan bibirku saat mengingat pertemuan pertamaku dengan Diani. Pertemuanku dengan adik Riani memang terjadi di sekolah. Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa Riani punya adik, sampai di pemakaman kedua orang tua Riani. Barulah aku tahu, bahwa murid pintar dengan sifat cengeng yang menarik perhatianku adalah adik Diani.

“Sam, gue ngomong panjang lebar gitu, lo dengerin gue kan?” tanya Riani dengan muka jutek.

Aku hanya menggaruk tengkukku yang tak gatal.

“Dimana adik lo? Udah lama gue gak lihat dia. Gue bahkan sampe lupa lo masih punya adik karena sering gue kesini, adik lo gak pernah nongol.”

“Adik gue sibuk, cari duit buat gue. Semua ini gak murah, Sam. Dia sampe sekarang bahkan gak pacaran, cuma kerja terus!”

“Tau dari mana lo kalo adek lo gak pacaran?”

“Gue yakin! Gue kan tadi udah ngomong gimana Diani. Lo sibuk ngelamun sih! Adik gue itu arsitek, Sam. Jam kerjanya gila-gilaan. Bahkan buat nemenin gue aja, kadang dia harus bawa kerjaan dari kantornya. Dia baru aja pulang dari Bali karena perusahaan dia dapat proyek di Bali. Makanya seminggu kemarin lo gak ketemu dia, ya karena dia lagi kerja.” Riani mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Waktu gue bilang lo gak usah kesini, Diani dua hari ada disini. Nginep disini,” ucap Riani sambil menatapku lekat.

Kalau aku pikir lagi, melihat kondisi Riani, aku yakin memang dana yang dikeluarkan Diani tak sedikit. Hebatnya lagi, dia mampu membiayai kakaknya. Aku yakin, dua tahun disini dengan kondisi Diani saat ini bisa menghabiskan uang setara membeli mobil city car baru atau bahkan lebih.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana dirinya saat semua kejadian ini terjadi. Gadis ringkih yang cengeng itu, bagaimana caranya bertahan sejauh ini?

“Sam, please! Gue titip Diani. Ya?” pertanyaan Riani kembali membuatku memusatkan perhatian kepada Riani.

“Titip kan gak harus dinikahi, Ri. Gue bisa bantu jagain dia sampai dia nemu laki-laki yang tepat menurut dirinya sendiri,” terangku mencoba membuka  pikirannya.

“Sam, gue udah bilang. Dia itu pasti takut sama komitmen. Semua hubungan di keluarga kami itu hancur, berakhir kayak gini. Bantu gue, Sam. Gue cuma mau pergi dengan tenang,” ucap Riani memohon dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

“Ri, gue udah bilang ya! Gue gak suka lo ngomong gini!” hardikku. 

Sekalipun aku tahu kemungkinannya kecil untuk bertahan lebih lama dengan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Aku jelas membenci kata-kata itu. Rasanya aku kesal diingatkan soal kenyataan yang membuatku tidak bisa melakukan apapun untuknya.

“Tolong Sam,” ucapnya dengan suara tercekat dan air mata yang mengalir.

Aku menghela nafas kasar. Aku benci melihat perempuan menangis, siapapun itu. Bukan karena tak menyukai air matanya, tapi aku tak tahu bagaimana caranya membuat hati mereka baik-baik saja.

“Oke kalau lo mau itu. Tapi ada syaratnya –“

“Apa?” tanya Riani terdengar sedikit bersemangat.

“Lo harus terus punya semangat untuk hidup. Kalau gue jadi iparan sama gue, lo harus nurut sama gue,” ucapku sambil menatapnya lekat yang tanpa aku sadari kami jarak kami sudah dekat.

Bola mata Riani yang semula menatapku, kini sudah mulai bergerak ke kanan dan ke kiri seolah gelisah. Tak ada jawaban apapun dari mulutnya. Sampai aku menaik turunkan alisku untuk memberinya kode agar segera menjawab penawaranku.

“Iya! Bawel! Munduran lo! Mulut lo bau sambel terasi” ucapnya ketus.

Aku terkekeh melihat wajahnya yang kesal. Aku pun menurutinya untuk memberi jarak pada wajah kami. Tanganku terulur mengusap sisa air matanya dan juga lendir yang juga sudah tak lagi bisa ia tarik.

“Gak jijik lo bersihin ingus gue,” tanya Riani dengan canggung tapi mukanya malah terlihat jutek. Membuatku tertawa kecil.

“Gak, gue malah risih kalau nangkring di bibir lo. Iyuh!” jawabku menggodanya.

“SAM!” teriaknya membuatku tertawa keras karena wajahnya yang sudah merah padam.

Setidaknya, membuat Riani dalam keadaan seperti ini sudah cukup bagiku. Walaupun aku tak tahu, bisa menepati janjiku atau tidak. Untuk saat ini, aku hanya bisa memberikan ketenangan untuk Riani. Gadis yang dulu gesit dan kini aku pastikan tawa lebarnya telah hilang akhir-akhir ini karena tak lagi memiliki semangat hidup. Hidupnya tertawan di ranjang rumah sakit, entah sampai kapan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status