Saat Samudera sedang asik memandang Diani, pemilik mata bulat itu ikut memandang Samudera. Samudera mengalihkan pandangannya dengan perlahan agar tak terlihat mencurigakan. Entah mengapa saling pandang dengan Diani membuatnya berdegup.
Tak mendengar sapaannya dibalas, Samudera segera membuka suaranya kembali untuk menutupi rasa salah tingkahnya.
“Perkenalkan nama saya Samudera, kalian bisa panggil saya Pak Sam. Seperti kata Pak Budi tadi, saya akan mengajar kalian matematika dan bahasa inggris selama kurang lebih empat bulan ini. Mohon kerjasamanya. Mungkin ada yang mau bertanya?” ucap Samudera dengan senyuman sejuta wattnya yang membuat banyak siswi di kelas itu rasanya kehabisan nafas diberondong oleh senyuman manisnya.
“Pak, kok cuma sebentar sih? Ilmunya belum nyerep lho, Pak!” protes Cantika, salah satu siswi yang selalu terlihat centil.
“Iya, Paaak!” koor siswi dalam kelas itu.
“Seperti yang tadi Pak Budi bilang, saya harus kembali untuk melanjutkan studi saya. Semoga saja ilmu yang saya bagikan bisa terserap dengan baik ya. Mungkin ada pertanyaan lainnya?”
“Pak! Umur berapa, Pak?”
Entah siapa yang bertanya, tapi ruangan itu mendadak senyap dan mendengarkan dengan seksama?
“Saya masih umur dua puluh satu tahun. Ada lagi?”
“Uuuuuhhh..” teriak para siswi kegirangan.
“Panggil Mas aja boleh gak, Pak?” seru Cantika keras.
“Boleh, Pak!” kembali sorakan para siswi yang menggema dalam ruangan dan dibalas suara sumbang para siswa laki-laki yang jumlahnya lebih sedikit, hanya sepuluh orang.
“Huuuu!”
“Apa sih! Pada sirik ya ini laki-laki,” ucap beberapa perempuan yang tidak terima diteriaki oleh para teman lelaki mereka.
“Sudah – sudah! Haduuuh.. kalian ini! Nanti guru kalian kabur sebelum mengajar. Sudah segitu dulu ya, ketemu dan tanya-tanyanya waktu jam pelajarannya Pak Samudera aja. Sudah saya kembali dulu sama Pak Samudera,” ucap Pak Budi dengan benar-benar beranjak dari tempat duduknya.
“Yaaahh.. Paakk..”
“Saya permisi dulu, kita bertemu lagi di kelas pertama nanti,” ucap Samudera yang saat itu juga mengikuti langkah kaki guru senior di sekolah itu. Matanya yang berwarna coklat terang tidak sengaja bertabrakan dengan mata bulat seorang gadis. Samudera tersenyum tipis ke arah gadis itu dan segera berlalu meninggalkan ruangan kelas itu.
Samudera jelas mengingatnya. Gadis yang paling sibuk di antara semua temannya yang menatapnya dengan tatapan mendamba. Gadis yang tak ter-distrak oleh lingkungannya dan sibuk dengan rasa bersalahnya. Kacamata bulatnya bahkan terlihat menggemaskan bagi Samudera. Ekspresinya dengan sesekali menarik ingusnya agar tak keluar membuat Samudera terkekeh dalam hati.
***
*Samudera POV*
Tanpa terasa aku melengkungkan bibirku saat mengingat pertemuan pertamaku dengan Diani. Pertemuanku dengan adik Riani memang terjadi di sekolah. Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa Riani punya adik, sampai di pemakaman kedua orang tua Riani. Barulah aku tahu, bahwa murid pintar dengan sifat cengeng yang menarik perhatianku adalah adik Diani.
“Sam, gue ngomong panjang lebar gitu, lo dengerin gue kan?” tanya Riani dengan muka jutek.
Aku hanya menggaruk tengkukku yang tak gatal.
“Dimana adik lo? Udah lama gue gak lihat dia. Gue bahkan sampe lupa lo masih punya adik karena sering gue kesini, adik lo gak pernah nongol.”
“Adik gue sibuk, cari duit buat gue. Semua ini gak murah, Sam. Dia sampe sekarang bahkan gak pacaran, cuma kerja terus!”
“Tau dari mana lo kalo adek lo gak pacaran?”
“Gue yakin! Gue kan tadi udah ngomong gimana Diani. Lo sibuk ngelamun sih! Adik gue itu arsitek, Sam. Jam kerjanya gila-gilaan. Bahkan buat nemenin gue aja, kadang dia harus bawa kerjaan dari kantornya. Dia baru aja pulang dari Bali karena perusahaan dia dapat proyek di Bali. Makanya seminggu kemarin lo gak ketemu dia, ya karena dia lagi kerja.” Riani mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Waktu gue bilang lo gak usah kesini, Diani dua hari ada disini. Nginep disini,” ucap Riani sambil menatapku lekat.
Kalau aku pikir lagi, melihat kondisi Riani, aku yakin memang dana yang dikeluarkan Diani tak sedikit. Hebatnya lagi, dia mampu membiayai kakaknya. Aku yakin, dua tahun disini dengan kondisi Diani saat ini bisa menghabiskan uang setara membeli mobil city car baru atau bahkan lebih.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana dirinya saat semua kejadian ini terjadi. Gadis ringkih yang cengeng itu, bagaimana caranya bertahan sejauh ini?
“Sam, please! Gue titip Diani. Ya?” pertanyaan Riani kembali membuatku memusatkan perhatian kepada Riani.
“Titip kan gak harus dinikahi, Ri. Gue bisa bantu jagain dia sampai dia nemu laki-laki yang tepat menurut dirinya sendiri,” terangku mencoba membuka pikirannya.
“Sam, gue udah bilang. Dia itu pasti takut sama komitmen. Semua hubungan di keluarga kami itu hancur, berakhir kayak gini. Bantu gue, Sam. Gue cuma mau pergi dengan tenang,” ucap Riani memohon dengan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
“Ri, gue udah bilang ya! Gue gak suka lo ngomong gini!” hardikku.
Sekalipun aku tahu kemungkinannya kecil untuk bertahan lebih lama dengan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Aku jelas membenci kata-kata itu. Rasanya aku kesal diingatkan soal kenyataan yang membuatku tidak bisa melakukan apapun untuknya.
“Tolong Sam,” ucapnya dengan suara tercekat dan air mata yang mengalir.
Aku menghela nafas kasar. Aku benci melihat perempuan menangis, siapapun itu. Bukan karena tak menyukai air matanya, tapi aku tak tahu bagaimana caranya membuat hati mereka baik-baik saja.
“Oke kalau lo mau itu. Tapi ada syaratnya –“
“Apa?” tanya Riani terdengar sedikit bersemangat.
“Lo harus terus punya semangat untuk hidup. Kalau gue jadi iparan sama gue, lo harus nurut sama gue,” ucapku sambil menatapnya lekat yang tanpa aku sadari kami jarak kami sudah dekat.
Bola mata Riani yang semula menatapku, kini sudah mulai bergerak ke kanan dan ke kiri seolah gelisah. Tak ada jawaban apapun dari mulutnya. Sampai aku menaik turunkan alisku untuk memberinya kode agar segera menjawab penawaranku.
“Iya! Bawel! Munduran lo! Mulut lo bau sambel terasi” ucapnya ketus.
Aku terkekeh melihat wajahnya yang kesal. Aku pun menurutinya untuk memberi jarak pada wajah kami. Tanganku terulur mengusap sisa air matanya dan juga lendir yang juga sudah tak lagi bisa ia tarik.
“Gak jijik lo bersihin ingus gue,” tanya Riani dengan canggung tapi mukanya malah terlihat jutek. Membuatku tertawa kecil.
“Gak, gue malah risih kalau nangkring di bibir lo. Iyuh!” jawabku menggodanya.
“SAM!” teriaknya membuatku tertawa keras karena wajahnya yang sudah merah padam.
Setidaknya, membuat Riani dalam keadaan seperti ini sudah cukup bagiku. Walaupun aku tak tahu, bisa menepati janjiku atau tidak. Untuk saat ini, aku hanya bisa memberikan ketenangan untuk Riani. Gadis yang dulu gesit dan kini aku pastikan tawa lebarnya telah hilang akhir-akhir ini karena tak lagi memiliki semangat hidup. Hidupnya tertawan di ranjang rumah sakit, entah sampai kapan.
***
Embun memandangi foto pernikahan Samudera dan mendiang menantunya yang terpajang di sudut meja ruang keluarga. Senyuman di bibirnya terlihat getir kala menatap foto yang menampakkan kebahagiaan bertahun-tahun lalu.Tak ada yang menyangka bahwa beberapa bulan setelah foto itu diambil, hidup mereka tak lagi sama.Enam tahun kejadian itu berlalu, tapi Samudera, putra bungsunya, masih berkutat dengan masa lalunya. Seolah tak mau beranjak dari sana.“Apa kabar menantu dan cucu Mama? Kalian senang disana?" ucap Embun yang kini sudah mengusap lembut foto Tania yang terlihat cantik dengan gaun mewah yang memperlihatkan perut buncit Tania."Tan, bantu Mama bujuk Sam. Mama benar-benar kasihan liat dia sendirian. Kamu tahu kan, hidupnya seperti robot, Tan. Kantor, rumah, gitu terus. Mungkin sekarang dia gak kerasa kesepian. Tapi, menua sendirian pasti sangat sepi, Tan. Mama–""Ma," sapa Samudera memotong ucapan Embun.Laki-laki dengan tubuh jangkung itu kini sudah berada di belakang tubuh Mamanya
"Segitu ngeganggunya ya gue, Kak?"Pertanyaan itu berhasil membuat Lian menatap sedih adiknya."Lo boleh temui Ruby, kapanpun lo mau. Tapi, please. Kasih gue dan Ruby space, Sam. Dia anak gue. Gue pengen nge-didik dia dengan cara gue. Kak Davino juga pengen banget ngabisin banyak waktu sama anaknya satu itu.""Ruby, gue angkat anak ya Kak. Biar dia ikut gue," mohon Sam."Gak, Sam. Gue masih sanggup dan lebih dari mampu untuk ngurus dia sendiri. Gimana pun dia anak gue dan gue sayang banget sama dia. Gue gak bisa kalau harus pisah dari dia. Jangan egois Sam," ucap Lian dengan tenang walaupun kesedihan mulai menyusup di hatinya."Lo sedih jauh dari Ruby, apa kabar suami gue? Dia selalu ngalah buat apapun demi lo, karena buat dia, elo itu adik kesayangannya. Gue tau semuanya berat buat lo, tapi please, ngerti juga keadaannya.""Hidup gue sepi Kak, kalau gak ada Ruby," ucap Samudera sambil menunduk, menyembunyikan wajah sendunya."Itu kenapa Mama minta lo nikah, Sam. Sekarang ataupun nant
*Diani Pov*Aku beranjak dari tempat dudukku, menatap lelah tumpukan pekerjaan yang rasanya tak ada habisnya. Mati satu, tumbuh seribu. Begitu istilahnya.Setelah kepulanganku dari Bali, pertengkaranku dengan Kak Riani kembali terjadi. Aku kira keinginannya untuk mengakhiri hidupnya telah sirna. Karena selama aku di Bali, tak kudengar kabar dia mengeluhkan keadaannya. Ternyata, aku salah.Kini tak hanya keinginan menyudahi hidupnya, ia malah sibuk mencari laki-laki kurang ajar yang menelantarkan dirinya sendirian setelah kecelakaan yang turut melibatkan manusia terkutuk itu. Sampai sekarang, aku tak habis pikir. Kenapa Kak Riani masih mencari laki-laki brengsek itu? Laki-laki yang beruntung hanya karena truk yang menabrak mobil mereka ikut bersalah. Seandainya itu kecelakaan tunggal. Sudah ku tuntut pria itu, tak peduli berapapun uang yang akan aku keluarkan.Ego prianya yang menjijikkan membuat Kakakku kehilangan dunianya. Tak lagi bisa menapakkan kakinya, bahkan untuk sekedar duduk
*DIANI POV*Hari itu adalah kali terakhir aku bertemu Reval. Tak pernah lagi aku mendengar kabarnya, aku pun tak mau tahu bagaimana kabarnya setelah membuat Kakakku hidup dalam neraka yang ia buat. Enyah dari hidup kami, adalah keputusan terbaik yang pernah dia buat.Mungkin itulah alasannya tak ada perpisahan untuk Kak Riani. Tapi, laki-laki tak tahu malu itu benar-benar keterlaluan. Hingga kini ia pun tak pernah mengucapkan kata perpisahan untuk Kak Riani. Laki-laki pengecut! Bagaimana bisa ada manusia tanpa empati sepertinya? Ya Tuhan, aku benar-benar mengutuk perbuatannya.Mataku kini beralih menatap ke dalam sebuah foto. Foto Keluarga yang berisi ayah, ibu, dan dua anak perempuannya. Senyum mereka tulus. Pasti tak akan ada pikiran, bahwa bertahun-tahun setelahnya, keluarga itu hancur karena ego seorang laki-laki yang hanya mementing
Drrttt.. drrttt..Getaran dari saku Diani membuat gadis itu terbangun. Badannya terasa remuk redam akibat tidur dalam posisi duduk. Ia mencoba untuk meregangkan otot-otot tubuhnya sambil mengerjapkan matanya berharap kesadarannya segera berkumpul.Diani baru mengambil ponselnya setelah getarannya terhenti. Ia melihat pada waktu yang tertera di ponselnya. Pukul tujuh pagi dan nama bos besar pemilik perusahaannya sudah nampak di menu panggilan tak terjawab.Diani hanya menghembuskan nafasnya lelah. Dia menoleh ke arah Kakaknya. Merapikan anak-anak rambut yang dirasa mengganggu wajah Riani. Senyuman tipis menghiasi wajah putih bersih Diani melihat Kakaknya tidur dengan damai.Diani bergegas mandi dan bersiap untuk bekerja lagi. Hari ini ada proyek penting yang haru
Drrt.. Drrt.. Diani baru saja meletakkan pantatnya saat ponselnya kembali bergetar. Emosinya kini memuncak. Baru saja ia selesai melakukan meeting untuk pematangan konsep hingga melupakan jam makan siangnya. Kini telepon masuk kembali terdengar dari ponselnya. Ia sudah bersumpah serapah jika itu bosnya. Berdoa agar bosnya terkena tipes karena sangat gila kerja. Baru saja ia akan mengumpat, namun wajahnya berubah panik ketika melihat nama Grace yang terpampang disana. “Halo Kak Grace? Ada apa Kak?” tanya Diani dengan wajah panik sambil menggigit kuku ibu jarinya. Diani akan selalu begitu jika dia sedang cemas. “Hai, sore Di. Maaf ya, gue ganggu. Lo sore ini ke rumah sakit?” ucap Grace dari ujung sana terdengar tenang. “Iya, habis ini Diani kesana. Ada sesuatu Kak?” tanya Diani masih panik dengan tubuh menegang. “Gak ada apa-apa. Kakak lo nanya aja. Yaudah, kalau gitu nanti gue sampein.” “Beneran gak ada apa-apa? Kak Riani kemana? Kenapa Kakak yang telepon? Biasanya kan Kak Rian
*Diani POV* “Hai, Kak!” sapaku pelan saat menemukan kak Riani sedang memakai kacamata baca dengan posisi ranjang rumah sakit setengah terduduk. Hebatnya lagi, satu tangan kanannya yang tergolek lemas di ranjang sedang dengan posisi memegang mouse. memang tangan Kak Riani tak sepenuhnya lumpuh, tapi aku tetap takjub karena dia bisa menggunakan telapak tangannya dan jarinya untuk memijit dan menggulir mouse yang terhubung dengan laptop dihadapannya. “Diani, pulang sore? Tumben?” tanya Kak Riani terdengar heran. “Iya, kebetulan kerjaan udah selesai semua Kak. Jadi aku minta balik cepet. Kakak lagi apa sih? Kayaknya sibuk? Ini laptop siapa?” tanyaku yang tak suka melihat kak Riani terlihat lelah denga
*Riani POV* “Kenapa? Apa ruangannya terlalu panas? Mau dinaikin suhunya?” tanya Samudera polos. Dasar pria bodoh dan tidak peka’! Dia masih sama saja. Membuatku jadi tertawa geli. Inilah yang membuatku selalu gagal terbawa perasaan dengan Samudera. Sepertinya, satu-satunya hal yang mudah dia pahami adalah perasaan mantan istrinya. “Malah ketawa lo! Serem ih,” ucapnya sambil bergidik ngeri. Tawaku malah semakin menjadi melihat wajah takutnya. Samudera dengan badan kekarnya masih tak berubah. Laki-laki yang selalu takut dengan sesuatu yang mistis. Aneh sekali. Muka dengan keberaniannya soal hal-hal gaib berbanding terbalik. “Udah ah. Banyak drama, sini! Gue harus apa?” Samudera kembali mendekat ke