"Maaf, Bapak-Bapak. Bukan rampok rupanya, tapi orang yang diutus untuk menjemput saya," Nia segera mengklarifikasi. Bisa gawat kalau orang utusan ayahnya ini dikeroyok massa.
"Huuuuu..." Teriakan mencemooh dari para penumpang membuat Nia tersenyum kecut.
"Lewat sini!" Nia nyaris terjerembab saat pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram erat. Ia ditarik ke arah yang berlawanan. Tersaruk-saruk karena sepatunya yang berhak tujuh senti, ia mengikuti Bayu.
"Kamu ini hampir saja membuat saya dikeroyok massa. Dasar gadis kota sombong!" desis Bayu geram. Jikalau bukan Pak Suhar yang langsung memintanya untuk menjemput putrinya yang egois ini, ia tidak akan sudi menjadi kacungnya. Lihatlah penampilan gadis kota ini-berdandan seperti layaknya seorang sosialita yang sedang hang out di pusat perbelanjaan. Padahal ia sedang berkunjung ke pegunungan. Luar biasa... bodohnya!
"Anda mengambil koper saya begitu saja tanpa pemberitahuan apa pun. Perbuatan Anda itu bisa dikategorikan sebagai aksi perampokan. Makanya saya refleks menyebut Anda perampok. Mengerti?" Nia menjelaskan alasannya.
"Jadi menurutmu saya salah?" Sambil berkacak pinggang Bayu memelototi si gadis kota.
Nia termangu sejenak. Untuk pertama kalinya ia memandang orang yang ia kira akan merampoknya. Mengenakan celana jeans dan kaos, laki-laki ini memiliki postur tubuh tegap, berambut cepak, serta tatapan mata yang tajam. Alih-alih perampok, laki-laki ini lebih mirip dengan seorang polisi.
"Bukan menurut saya, Pak Bayu. Tapi menurut hukum dan adab yang berlaku. Lain kali kalau Anda ingin membantu seseorang, katakan niat Anda kepada orang tersebut. Perkenalkan diri Anda baik-baik. Mengerti?" Nia mengacungkan jari telunjuknya pada Bayu, ciri khasnya apabila sedang menasihati murid-muridnya.
"Bapak... Bapak... memangnya saya ini bapakmu?" Bayu kembali menggerutu.
"Ayo, ikuti saya ke mobil!" bentak Bayu dengan nada tinggi. Semakin ia melihat penampilan wah gadis ini, semakin membuatnya darah tinggi. Kasihan Pak Suhar. Kantongnya pasti akan robek dalam, selama putri sosialitanya ini tinggal bersamanya. Ingatan itu membuat Bayu semakin muak. Ia berjalan dengan langkah panjang yang sengaja ia hentakkan kasar. Mulutnya tidak henti-hentinya mengeluarkan kata-kata makian.
"Lain kali juga, Anda lebih baik menolak jikalau diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak Anda inginkan. Daripada Anda menyanggupi tetapi tidak ikhlas melakukannya. Ayah saya pasti bisa meminta pekerja lain untuk menjemput saya," tegas Nia.
Gadis ini mengira bahwa dirinya adalah kacung ayahnya rupanya!
"Tutup mulutmu, cerewet!" hardik Bayu gusar. Ia pusing mendengar cerauan si gadis kota. Ia juga tidak berusaha mengoreksi kesalahannya. Biar saja gadis sombong ini nanti tahu sendiri, siapa dirinya yang sebenarnya.
Nia menarik napas panjang. Ia sekarang merasa ragu. Jangan-jangan keputusannya untuk berlindung ke Cisarua ini bukan hal yang tepat. Mengingat bahwa orang gajian ayahnya saja berani memperlakukannya dengan tidak hormat, apalagi dengan keluarga ayahnya yang lain.
"Mengapa kamu berhenti? Mobil kita yang di depannya." Bayu kembali mengomeli Nia.
"Oh, salah mobil ya?" Nia yang tadinya berhenti di samping sebuah mobil jeep, kembali melanjutkan langkah.
"Iya, salah. Mobil kita yang itu." Bayu menunjuk mobil truk milik Pak Suhar yang paling tua. Senyum puas tersungging di bibirnya tatkala melihat Nia terdiam di depan mobil. Pasti gadis kota ini shock dijemput dengan sebuah truk tua. Ditambah dengan ceceran rerumputan dan kotoran hewan di bak belakangnya, mobil ini sungguh mantap jiwa bagi orang-orang kota.
"Kenapa bengong? Kamu tidak mau naik mobil antik yang harum semerbak ini?" Bayu menganalogikan aroma kotoran hewan dengan kalimat sarkas harum semerbak. Sementara Nia, ingatannya seketika kembali ke masa lalu. Di mana dirinya dan sang ayah dulu kerap berjalan-jalan dengan pickup tua ini. Lima belas tahun lalu saja, pickup ini sudah sangat tua. Sekarang penampilan pickup merah tua ini jadi semakin mengenaskan.
"Jangan letakkan koper itu di sana!" Nia refleks menahan lengan Bayu yang ingin melemparkan kopernya ke bak belakang pickup. Koper dengan logo inisial huruf L dan V yang saling bertautan ini adalah koper kesayangan ibunya. Nia tidak tega membiarkan koper pinjamannya ini bercampur dengan segala macam kotoran di belakang sana.
"Kenapa? Kamu takut koper mahalmu ini bau kotoran?" Bayu berkacak pinggang.
"Iya. Selain itu, nanti sisi-sisi kopernya bisa lecet kalau terus bergesekan dengan besi bak mobil," ungkap Nia terus terang.
"Begini saja, kopernya saya pangku di depan saja." Nia mengambil keputusan yang ia anggap paling tepat.
"Hah, pangku di depan? Kamu yakin? Asal kamu tahu, perjalanan ke Citeko itu jalannya berkelok-kelok dan banyak tikungan tajam. Duduk biasa saja bisa membuatnya pusing, apalagi ditambah beban koper di pangkuanmu."
"Tidak apa-apa. Saya bisa menahannya," sahut Nia yakin.
"Baik. Itu pilihanmu sendiri ya? Jangan sampai setengah jalan, kamu mengeluh berat, tidak nyaman, atau ini itu. Mengerti?" ancam Bayu.
"Mengerti," Nia mengangguk tegas.
"Oke. Sekarang kamu masuk dulu. Baru setelahnya saya akan meletakkan kopermu." Bayu menunggu hingga Dia duduk. Ia kemudian meletakkan koper di pangkuan Nia dan segera menjalankan kendaraan.
Aduh!" Baru beberapa menit berkendara kepala Nia terantuk kaca mobil. Jalan yang berkelok tajam membuat mobil bergoyang mengikuti lekukan jalan..
"Berpegangan eratlah ke handle mobil. Agar tubuhmu tidak ikut oleng saat jalan berkelok," usul Bayu. Nia pun mengikuti instruksi Bayu.
Saat jalan tiba-tiba menurun dan Bayu berpapasan dengan kendaraan lain, kening Nia menghantam keras pegangan koper. Nia merasa pusing sesaat. Namun ia tidak bersuara. Ia menahan rasa sakitnya dalam diam. Bayu tadi sudah memperingatkannya.
"Kok berhenti? Apa kita sudah sampai?" Nia heran karena tiba-tiba saja Bayu menghentikan kendaraan di pinggir jalan. Bayu tidak mengatakan apa pun. Ia turun dan memeriksa sesuatu di belakang mobil. Ia kembali dengan membawa sebuah karung goni di tangannya.
"Buka pintunya." Bayu mengetuk kaca mobil. Dengan tangan kirinya, Dia pun membuka pintu mobil.
"Eh mau dibawa ke mana koper saya?" Nia bingung saat Bayu meraih kopernya begitu saja. Bayu tidak mengatakan apa pun. Ia kemudian memasukkan koper ke karung goni dan menempatkannya ke bak belakang mobil dengan hati-hati. Ia kemudian mengikat karung goni dengan tali erat-erat agar tidak berlari ke sana sini.
"Saya meringankan bebanmu. Sekarang duduk yang benar, agar kamu tidak lagi memar-memar. Nanti ayahmu sedih karena putri kesayangannya yang lupa pulang, terluka." Nia diam saja. Namun menangkap satu hal. Bahwa Bayu ini menganggapnya telah mengabaikan ayahnya. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.
Nia tersenyum haru. Bayu sudah lulus ujian. Selama bulan-bulan terakhir ini, ia memang sengaja memperlakukan Bayu dengan buruk. Ia memberi Bayu begitu banyak tekanan dan juga sikap yang tidak menyenangkan. Ia kira, pada akhirnya kira Bayu akan menyerah dan meninggalkannya. Ternyata Bayu pantang menyerah dan sabar menghadapinya. "Saya juga mencintaimu kok, Yu. Hanya saja saya memilih mencintaimu dalam diam, dalam kesendirian dan dalam mimpi." Nia akhirnya membuka isi hatinya. Bayu terhenyak. Ia bengong sesaat karena mengira pendengarannya bermasalah. "Kamu bilang apa, Nia? Coba u... ulangi." Bayu membersihkan kedua telinganya dengan jari telunjuk. Ia ingin mendengar pengakuan cinta Nia dengan sejelas-jelasnya. Nia pun dengan senang hati mengulangi pernyataan cintanya. "Kenapa harus begitu, Nia?" tanya Bayu dengan suara parau. Keromantisan Nia dan Bayu membuat ruang bersalin hening sejenak. Dokter Widya membuat gerakan menggeleng pelan, saat perawat ingin memindahkan Nia ke ruang pe
Dua Bulan Kemudian - Rumah SakitBayu berlari menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup kencang. Kedua orang tuanya, Bu Sekar dan Pak Jafar, mengikuti di belakangnya dengan wajah cemas. Pak Suhardi sudah menunggu mereka di depan ruang bersalin, wajahnya diliputi kekhawatiran."Bagaimana Nia, Pak?" Bayu bertanya dengan napas tersengal. Ia mengoper pekerjaan di Jakarta pada Wahyu di Jakarta langsung ke Cisarua. "Masih berjuang, Nak. Sudah hampir lima jam." Suara Pak Suhardi terdengar bergetar. Hatinya juga sangat risau.Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan tertahan dari ruang bersalin, berikut instruksi-intruksi dari dokter. Bayu mengenali jeritan kesakitan menyayat hati itu. Suara Nia! Bayu mengepalkan tangan, matanya mulai memanas. "Apa saya boleh masuk ke dalam, Pak ?" tanya Bayu khawatir. "Walau kami sudah bercerai, tapi anak yang akan Nia lahirkan adalah darah daging saya. Tolong, beri saya kesempatan untuk mendampingi Nia, Pak." Bayu meminta izin Pak Suhardi."Perg
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa