"Kamu yakin mau ke Cisarua sendiri, Nia? Naik angkutan umum lagi? Kamu tidak takut nyasar?" Oma Wardah memandangi Nia yang sedang bersiap-siap ke Cisarua.
"Yakin, Oma. Nia dulu kan pernah tinggal di sana juga. Masa nyasar sih?" tukas Nia sambil menggelung rambutnya menjadi sanggul chignon ala Prancis. Gaya rambut ini membuatnya terlihat rapi dan elegan.
"Tapi kamu tinggal di sana saat masih berusia sepuluh tahun, Di. Itu artinya lima belas tahun yang lalu. Pasti sudah banyak perubahannya sekarang. Oma telepon ayahmu saja agar menjemputmu, ya?" usul Oma Wardah.
"Jangan dong, Oma. Nia tidak mau merepotkan Ayah. Nia sudah tahu kok jalannya. Dari sini Nia akan naik bus sampai ke Terminal Baranangsiang, Bogor. Lalu Nia akan melanjutkan perjalanan ke Cisarua dengan angkot kode 02 ke rumah Ayah. Zaman sekarang ke mana-mana itu gampang, Oma. Ada G****e Maps, jadi tidak akan nyasar. Nanti, saat Nia sudah dekat dengan rumah Ayah, baru Nia akan menelepon Ayah. Oma tenang saja, Nia sudah besar. Oma tidak perlu khawatir."
Setelah rambutnya rapi, Nia memeriksa penampilannya sekali lagi. Saat ini ia mengenakan setelan celana bahan berwarna hitam dan blazer tweed branded milik ibunya. Oma Wardah melarangnya menggunakan pakaian-pakaian sederhana miliknya sendiri. Menurut omanya, ia harus tampil rapi dan cantik. Konon katanya, ayahnya dulu langsung jatuh cinta saat melihat penampilan berkelas ibunya.
"Kenapa kamu menyusahkan dirimu sendiri sih, Nia? Ayahmu kemarin bilang kalau ia akan langsung menjemputmu dari sini, kalau kamu sudah siap tinggal di sana. Ngapain kamu menyusahkan diri seperti ini?" tanya Oma Wardah lagi.
"Lah kan tadi sudah Nia bilang, Nia tidak mau menyusahkan Ayah, Oma. Nia sudah dewasa. Masa sudah berumur dua puluh lima tahun masih diantar-jemput juga?" kata Nia lagi.
"Oma, apa penampilan Nia ini tidak berlebihan? Nia jadi mirip artis sinetron yang akan syuting di desa daripada tinggal sementara di sana." Nia ngeri melihat logo dua huruf C yang saling membelakangi di blazernya. Ibunya memang penggemar pakaian-pakaian mewah sejati.
"Nia pandang-pandang, Nia jadi mirip sekali dengan Ibu." Nia menatap sendu bayangan wajahnya di kaca. Ia seperti melihat ibunya dalam versi lebih muda.
"Memang itulah tujuan Oma. Oma ingin ayahmu mengingat ibumu. Dengan begitu, ia akan mengingat tanggung jawabnya atas dirimu. Makanya Oma memintamu membawa pakaian-pakaian ibumu. Kamu berhak bahagia, Nia. Kamulah anak kandung Suhardi, bukan dua anak tirinya itu. Mengerti, Nia?"
Oma Wardah mengelus pipi halus Nia dengan perasaan sayang. Gadis ini sesungguhnya sangat menderita. Sejak kecil, Nia tidak pernah diperhatikan. Setelah bercerai dan kembali ke Jakarta, Sahila, yang seorang artis, sibuk dalam dunianya sendiri. Nia kecil selalu kesepian karena ibunya tidak pernah ada di rumah. Setelah remaja, ibunya juga tidak suka disaingi oleh kemolekan putrinya sendiri. Mereka berdua bagai air dan minyak, tidak bisa menyatu. Sifat keduanya sangat bertolak belakang.
"Kalau menurut Oma seperti itu, Nia menurut saja. Nah, itu Grab Nia sudah datang. Nia pamit ya, Oma. Doakan agar Nia betah di sana." Nia menyalimi omanya dengan suara tersendat. Entah kapan ia bisa melihat omanya lagi. Mengingat begitu banyak masalah yang disebabkan oleh ibunya, sepertinya ia tidak bisa kembali dalam waktu dekat.
"Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Titip salam untuk ayahmu." Oma Wardah mencium kedua pipi Nia sebelum sang gadis muda masuk ke dalam taksi online. Oma Wardah seperti melihat Sahila muda saat Nia masuk ke dalam taksi dengan sebuah koper besar. Sahila dulu juga seperti itu saat berpamitan untuk syuting ke luar kota.
Baru saja taksi online berlalu, sebuah mobil memasuki halaman panti-mobil si penagih utang. Oma Wardah mengelus dada lega. Untung saja Nia sudah pergi. Selanjutnya, Oma Wardah duduk santai sambil menunggu tiga orang laki-laki yang baru keluar dari mobil itu menghampirinya. Ia siap kembali berperan sebagai lansia yang pikun dan tuli. Cara ini biasanya sukses untuk menghalau para penagih utang, karena mereka kehilangan kesabaran menghadapinya.
***
Nia mengamati berbagai macam tingkah penumpang di dalam bus. Ada yang sedang menelepon, mendengarkan musik, atau bermain game. Di bagian belakang bus terdengar canda tawa dari beberapa penumpang yang saling mengenal. Begini rupanya keseruan bepergian dengan bus antarkota. Di saat tengah asyik menikmati perjalanan, ponselnya terasa bergetar. Tatkala mengecek ponsel, Nia melihat nama ayahnya di layar.
"Assalamualaikum, Yah."
"Walaikumsalam. Nia, tadi Ayah menelepon ke panti. Kata Bu Wardah kamu sudah dalam perjalanan ke Cisarua. Kenapa kamu tidak mengabari Ayah sebelumnya? Kan kamu bisa Ayah jemput dari Jakarta?"
"Nia tidak mau merepotkan Ayah. Rencana Nia, sesampai di terminal nanti, Nia akan menghubungi Ayah kok."
"Tapi Ayah khawatir, Nia. Nanti kamu menunggu di terminal saja ya? Bayu akan menjemputmu. Ayah sedang ada kegiatan saat ini. Kita nanti bertemu di rumah ya?"
"Baik, Yah." Setelah percakapan dengan ayahnya berakhir, Nia melayangkan pandangan ke jendela. Ia kembali menikmati suasana hiruk pikuk di dalam bus. Saat bus mulai memasuki jalan tol Jagorawi, suara-suara obrolan penumpang mulai mereda. Sepertinya mereka sudah mulai lelah.
Suasana perjalanan pun mulai berubah. Pemandangan perkotaan yang tadinya didominasi oleh gedung-gedung tinggi berganti dengan kawasan hijau dan perbukitan. Udara dalam bus juga mulai terasa sejuk. Bus terus melaju hingga tiba di Terminal Baranangsiang, Bogor. Suasana kembali ramai. Terdengar suara para sopir angkot yang memanggil-manggil calon penumpang, menawarkan rute, sementara para pedagang kaki lima menjajakan berbagai macam makanan.
Saat bus yang ditumpanginya berhenti, para penumpang mulai turun satu per satu. Nia ikut turun sambil membawa koper milik ibunya dengan hati-hati. Baru saja satu kakinya menginjak anak tangga bus, seseorang tiba-tiba mengambil kopernya begitu saja. Astaga, baru saja tiba di Bogor, dirinya sudah dirampok!
"Rampok! Tolong!" Nia berteriak sekuat tenaga.
"Rampok? Mana rampoknya, Teh? Mana?" tanya beberapa orang penumpang yang satu bus dengannya.
"Rampok... rampok... rampok matamu!" Seseorang memaki tepat di telinganya.
"Saya, Bayu, orang yang ditugaskan ayahmu untuk menjemputmu, Tuan Putri sombong!" Nia kembali menjerit saat tubuhnya diangkat begitu saja dari tangga bus ke tanah.
Orang utusan ayahnya rupanya. Syukurlah ia tidak dirampok.
Nia tersenyum haru. Bayu sudah lulus ujian. Selama bulan-bulan terakhir ini, ia memang sengaja memperlakukan Bayu dengan buruk. Ia memberi Bayu begitu banyak tekanan dan juga sikap yang tidak menyenangkan. Ia kira, pada akhirnya kira Bayu akan menyerah dan meninggalkannya. Ternyata Bayu pantang menyerah dan sabar menghadapinya. "Saya juga mencintaimu kok, Yu. Hanya saja saya memilih mencintaimu dalam diam, dalam kesendirian dan dalam mimpi." Nia akhirnya membuka isi hatinya. Bayu terhenyak. Ia bengong sesaat karena mengira pendengarannya bermasalah. "Kamu bilang apa, Nia? Coba u... ulangi." Bayu membersihkan kedua telinganya dengan jari telunjuk. Ia ingin mendengar pengakuan cinta Nia dengan sejelas-jelasnya. Nia pun dengan senang hati mengulangi pernyataan cintanya. "Kenapa harus begitu, Nia?" tanya Bayu dengan suara parau. Keromantisan Nia dan Bayu membuat ruang bersalin hening sejenak. Dokter Widya membuat gerakan menggeleng pelan, saat perawat ingin memindahkan Nia ke ruang pe
Dua Bulan Kemudian - Rumah SakitBayu berlari menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup kencang. Kedua orang tuanya, Bu Sekar dan Pak Jafar, mengikuti di belakangnya dengan wajah cemas. Pak Suhardi sudah menunggu mereka di depan ruang bersalin, wajahnya diliputi kekhawatiran."Bagaimana Nia, Pak?" Bayu bertanya dengan napas tersengal. Ia mengoper pekerjaan di Jakarta pada Wahyu di Jakarta langsung ke Cisarua. "Masih berjuang, Nak. Sudah hampir lima jam." Suara Pak Suhardi terdengar bergetar. Hatinya juga sangat risau.Sekonyong-konyong terdengar suara jeritan tertahan dari ruang bersalin, berikut instruksi-intruksi dari dokter. Bayu mengenali jeritan kesakitan menyayat hati itu. Suara Nia! Bayu mengepalkan tangan, matanya mulai memanas. "Apa saya boleh masuk ke dalam, Pak ?" tanya Bayu khawatir. "Walau kami sudah bercerai, tapi anak yang akan Nia lahirkan adalah darah daging saya. Tolong, beri saya kesempatan untuk mendampingi Nia, Pak." Bayu meminta izin Pak Suhardi."Perg
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Nia duduk di sofa faviliun dengan ekspresi tenang, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tahu pertemuan ini tidak akan mudah. Dan benar saja, ketika Bayu dan kedua orang tuanya memasuki ruangan, tatapan Bu Sekar langsung tertuju pada perutnya yang membukit.Bu Sekar menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya langsung berkaca-kaca. Ia pun segera menghampiri Nia di sofa dan duduk di sampingnya."Ya Tuhan…" bisiknya dengan suara bergetar. "Aku benar-benar akan menjadi seorang nenek," bisik Bu Sekar penuh perasaan.Pak Jafar yang berdiri di samping Bu Sekar menghela napas panjang. Ia ikut terharu akan menjadi seorang kakek. Selain itu, ia sangat lega. Karena setelah ditemukannya Nia, Bayu jadi kembali bersemangat. Hidupnya menjadi lebih terarah. Bayu sendiri walau diam, tapi sorot matanya penuh rasa haru. Sejak masuk ke dalam faviliun, pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Nia. Sinar cinta tidak bisa disembunyikan dari tatapan matanya.Bu Sekar meraih tangan
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Nia, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan.Nia tetap berdiri di sana, tersenyum tipis, tanpa dendam atau amarah. Ia sudah mengikhlaskan semuanya."Sudah ya, saya harus ke kantor guru. Setelah beristirahat sebentar saya harus mengajar kembali," kata Mia, menjauh. Elusan tangan Bayu pun terlepas."Baiklah. Bisakah kita bertemu lagi? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan," pinta Bayu penuh harap."Bisa saja. Tapi harus disesuaikan dengan jadwal saya," jawab Nia setelah menimbang-nimbang sesaat."Kalau begitu, bolehkah saya meminta nomor ponselmu yang baru? Saya membutuhkannya untuk mengatur jadwal denganmu.""Kamu telepon saja Ayah. Nanti Ayah pasti akan menyampaikan pesanmu."Nia menolak memberikan nomor ponselnya."Satu pertanyaan lagi, Nia. Apakah kamu membenci saya?" tanya Bayu harap-harap cemas.Nia mengerutkan kening sesaat sebelum menggeleng mantap. "Tidak."Alhamdulillah."Tepatnya, saya tidak memiliki perasaan apa pun l
Di sebuah sekolah dasar swasta, Budi Pekerti, anak-anak berseragam merah putih duduk dengan tertib. Mereka tengah menunggu kedatangan guru Bahasa Inggris yang sangat mereka sukai.Beberapa saat kemudian, guru yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang. Dengan senyum manis, guru favorit anak-anak kelas dua itu masuk dengan sebuah buku panduan di tangannya."Good morning, class," Nia menyapa murid-muridnya. Sudah empat bulan ini, ia mengajar Bahasa Inggris di sekolah Budi Pekerti."Good morning, Mrs. Nia," murid-murid menjawab serempak."Oke. Today, we are going to learn new words. Does anyone know what 'apple' means in Indonesian?" tanya Nia kepada murid-muridnya.Fuji—salah satu muridnya—mengangkat tangan."Yes, Mrs! 'Apple' is 'apel' in Indonesian," jawabnya dengan yakin."Very good, Fuji! Now, repeat after me. Apple.""Apple," seluruh kelas mengikuti.Bayu berdiri diam di luar kelas. Matanya tak berkedip menatap Nia—mantan istrinya—yang sedang mengajar. Ia tidak menyangka bahwa tempa