Home / Rumah Tangga / Bukan Ibu Susu Palsu / 6 Bagai Disambar Petir

Share

6 Bagai Disambar Petir

Author: Miss_Pupu
last update Last Updated: 2025-03-20 11:36:10

Setiap pagi, ASI Raya selalu diperas, dibawa Wati dan Winda pergi untuk kemudian diberikan kepada Aditya Fadillah. Mereka bilang, ASI itu akan didonorkan pada bayi yang membutuhkan. Tapi ketika Raya meminta ikut, Wati langsung melarangnya.

"Aku ingin melihat bayi yang aku beri ASI setiap hari itu."

"Memangnya kamu tidak percaya pada Mama? Kamu pikir Mama berbohong?"

"Tentu saja bukan itu alasannya, Ma. Aku hanya ingin ketemu saja dengan bayinya."

"Tidak perlu. Pekerjaan di rumah masih banyak. Kamu cukup selesaikan pekerjaan kamu. Jangan membantah. Jangan membuat Mama marah dan kecewa. Diam di rumah, bereskan rumah, jangan kemana-mana!"

Karena Raya banyak protes, pagi ini pintu rumah bahkan di kunci dari luar. Artinya, Raya tidak bisa kemana-mana. Kondisi saat ini membuat Raya kian tertekan. Sementara dalam hati, ia ingin sekali pergi ke Jakarta. Ada yang harus diselidiki.

Raya tidak bisa diam saja. Ia segera berganti pakaian. Namun ketika melihat isi dompet, seketika tubuhnya lesu. Bagaimana mungkin ia pergi tanpa sepeser uang di tangan.

"Bagaimana ini?" Raya nampak bingung.

Di atas lemari pakaian, terlihat sebuah celengan plastik berwarna kuning. Celengan itu milik Raya, dia selalu menyimpan uang sisa belanja ke dalam celengan.

Diambilnya celengan itu dengan penuh semangat, berharap isinya banyak.

Begitu Raya membelah celengan itu dengan pisau, isinya memang penuh, namun hanya lembaran uang kertas berwarna abu-abu.

Tak gentar, Raya segera menghitung jumlanya. Uang kertas dua ribuan itu berjumlah tiga ratus ribu. Raya menghela nafas lega. "Sepertinya ini cukup untuk pulang pergi Jakarta-Bogor," desisnya.

Gegas Raya keluar dari rumah melalui jendela kamar. Rupanya Wati lupa kalau jendela kamar Raya bisa dibuka dari dalam. Ia nekad akan kembali pergi ke Jakarta, mengulang kisah pahit dua minggu lalu di kostan suaminya. Ia merasa harus mengungkap semuanya agar tidak terus menerus termakan rasa penasaran.

Ketika Raya sampai di Bogor kota, ia tak langsung ke stasiun. Isi hati selalu saja rindu pada bayi mungil di dalam inkubator. Setalah dua minggu berlalu, apakah dia masih berada di sana? Bagaimana kondisinya?

Raya segera masuk ke rumah sakit, berjalan dengan cepat menuju ruangan bayi Fatih. Namun begitu sampai di sana, tak terlihat wanita paruh baya yang biasanya menunggu di depan ruangan.

"Ibu Raya, cari siapa?" Perawat yang berjaga di depan, menyapa dengan ramah. Wanita berseragam serba putih itu memang sudah kenal dengan sosok Raya.

"Saya ingin menjenguk bayi mungil itu, Sus. Apakah boleh? Kebetulan ASI saya sedang banyak hari ini," jawab Raya langsung menjelaskan niatnya.

"Oh, maksud Ibu Raya, Bayi Fatih 'kan?" Perawat nampak memastikan.

Raya langsung mengangguk. Baru saja ingat kalau bayi itu bernama Fatih. "Iya, Sus."

"Kebetulan Bayi Fatih sudah bisa pulang kemarin sore," terang perawat.

Itu merupakan berita baik. Raya pun nampak menyeringai senang. "Syukurlah. Artinya kondisinya sudah membaik 'kan, Sus?"

"Benar, Bu. Bayi Fatih sudah pulih. Berat badannya sudah bagus."

"Alhamdulillah." Raya turut bahagia, tapi maniknya nampak sedih karena sepertinya tak akan bisa bertemu lagi dengan Fatih. Biar bagaimana pun bayi Fatih adalah sosok bayi penyemangat baginya. Bayi itu adalah bayi yang pertama kali ia susui.

Raya pun segera melanjutkan langkah, ia harus segera ke stasiun kereta. Namun perjalanannya harus tertahan ketika mendengar suara memanggil dari kejauhan.

"Raya!"

Raya menghentikan langkah. Samar-samar terdengar suara memanggil namanya. Ketika menoleh ke arah samping. Seorang wanita muda berlari ke arahnya sambil melempar senyum.

"Raya, apakabar?" Wanita muda itu langsung memeluk Raya. Tentu saja pelukannya disambut hangat oleh Raya. Wanita itu adalah Hani—sahabat Raya sewaktu SMA. "Aku sudah lama mencari kamu, aku takut kamu kenapa-kenapa."

"Kabarku baik. Kenapa kamu bisa berpikir aku kenapa-kenapa?" balas Raya seraya mengernyitkan dahi. Merasa aneh dengan pertanyaan sahabatnya itu.

"Aku harus bicara penting denganmu, Raya." Wanita itu meminta. Terlihat serius.

"Tapi aku sedang buru-buru. Aku harus ke Jakarta." Dengan berat hati, Raya menolak dengan sopan.

"Jangan bilang kalau kamu ke Jakarta untuk bertemu Raihan." Hani terlihat protes. "Tinggalkan pria itu, Raya!"

"Kenapa bicara seperti itu, Hani? Dia suamiku."

"Tidak, Raya. Ikut denganku sekarang. Kamu harus tahu kebenarannya." Hani langsung menarik tangan Raya. Membawa Raya masuk ke dalam mobilnya. Sahabat Raya itu memang dari kalangan berada dan sudah bekerja di sebuah perusahaan Fadillah group bagian HRD.

"Kita mau kemana?" tanya Raya kebingungan. Kacau, niatnya pergi ke Jakarta benar-benar tertunda.

"Kita bicara di tempat makan saja. Kebetulan ini jam makan siang, aku sedang istirahat kerja." Hani langsung tancap gas. Wanita itu membawa Raya ke sebuah kafe elit, tentu ini adalah pengalaman pertama bagi Raya.

Hani segera memesan makanan untuk dua porsi. Makanan lezat dan mahal tersaji di atas meja. Makanan yang jarang sekali ditemui oleh Raya.

"Kamu mau bicara apa, Han?" Usai menyantap makanannya, Raya tak mau menunda waktu lagi.

"Kamu harus lihat ini." Hani segera menyodorkan ponsel pintarnya kepada Raya.

Pada layar ponsel Hani, Raya melihat poto-poto Raihan bersama seorang wanita paruh baya yang berbeda-beda.

"Ini maksudnya apa?" tanya Raya seraya mengernyitkan dahi. Semakin merasa aneh.

"Aku sudah beberapa kali memergoki Raihan sedang check in di sebuah hotel bersama wanita di dalam poto itu."

Dada Raya seketika lemas, seperti ada yang tertusuk. Berapa kali Raihan bilang kalau wanita-wanita paruh baya itu adalah client-nya. Client apa?

"Untuk apa?" Suara Raya terdengar bergetar.

Hani terlihat mengatur napas. Berat baginya untuk mengatakan kebenaran yang ia ketahui pada Raya. Tapi Hani kasihan pada Raya. Dia tak mau Raya tersiksa jikalau terlalu lama hidup dengan pria yang Hani anggap brengsek.

"Dengar Raya, aku kasihan sama kamu. Sebagai sahabat, aku hanya ingin kamu hidup bahagia," terang Hani yang membuat Raya kian penasaran.

"Iya aku paham itu. Lalu apa maksud dari semua ini? Untuk apa Mas Raihan check in ke hotel dengan wanita paruh baya itu?" Raya sudah tidak sabar.

"Raihan berprofesi sebagai pria pemuas nafsu wanita kesepian," ungkap Hani tak menunda waktu lagi.

"Apa!" Raya terkesiap.

"Aku tidak mau Raihan menyentuhmu, Raya. Dia seorang pria yang sering bergonta-ganti pasangan. Pelanggannya rata-rata wanita paruh baya. Tinggalkan Raihan sekarang juga, Raya!"

"Tidak mungkin!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Ibu Susu Palsu   96 Bahagia Yang Sebenarnya

    Raya kini sudah berganti pakaian dengan lingerie berwarna merah muda pemberian Aditya. Tapi dia kembali memakai pakaian piyama menutupi lingerinya yang seksi. "Loh kok malah pakai piyama?" Aditya mengerutkan keningnya ketika melihat Raya keluar dari kamar mandi."Saya pakai lingerie kok, tapi di dalam piyama." Raya menjawab sambil menahan senyumnya. Aditya pun menepuk keningnya sendiri. Padahal ia menginginkan Raya keluar dengan lingeri seksinya tanpa sehelai pakaian yang menutupi tubuh."Saya malu, Pak." Raya menggaruk kening yang tak gatal."Ya sudah. Sini." Aditya menepuk kasur, memberikan kode agar Raya segera duduk di sampingnya.Dengan langkah yang cukup pelan, Raya berjalan mendekati Aditya. Dia duduk di samping Aditya sebagaimana perintah barusan. Tubuh Raya tercium aroma sangat wangi, itu karena Raya sudah mempersiapkan tubuhnya, khusus untuk suaminya malam ini. Suruh area tubuh Raya sudah memakai lotion dan pewangi, termasuk rambutnya yang digerai dan tercium aroma wangi

  • Bukan Ibu Susu Palsu   95 Lanjut Malam Kedua

    Fatih terbangun dari tidurnya. Sontak Raya dan Aditya terperanjat saling menjauh. "Fatih!" Raya segera menghampiri Fatih di tempat tidur. Dia juga segera membuatkan susu untuk Fatih, lalu menina bobokannya kembali. Sebenernya Raya ingin tertawa mengingat kejadian lucu barusan. Namun dengan susah payah, tawa itu ditahannya.Sungguh konyol. Bisa-bisanya mereka melupakan keberadaan Fatih di kamar itu.Sudah 1 tahun lebih Aditya menduda, wajar saja jikalau dia tidak bisa membendung hasratnya. Lagi pula sekarang mereka sudah sah kok. Memadu kasih di malam pertama sudah gagal. Pagi ini Aditya bangun dari tidurnya dengan raut wajah sedikit lesu. "Pengantin kok lesu begitu, kecapean yah gara-gara semalam?" Aditya yang baru saja tiba di ruang makan, tersipu saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Anita kepadanya. "Mamah, apaan sih." Aditya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Nggak usah malu-malu begitu kali, Mamah juga paham, namanya juga pengantin baru."Aditya hanya mengulum senyu

  • Bukan Ibu Susu Palsu   94 Gagal Malam Pertama

    "Ehh sutt!" Raya meluruskan jari telunjuknya tepat di depan bibir Aditya, sebagai kode agar Aditya tidak melanjutkan kalimatnya. Dia juga mengerjapkan matanya agar Aditya paham. Aditya menggaruk kepala yang tak gatal. Dia manggut-manggut kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa yang berada tak jauh dari tempat tidurnya. Aditya melihat Raya menina bobokan Fatih. Namun anak laki-lakinya itu nampak tidak bisa langsung tidur untuk malam ini. Fatih terlihat memeluk erat Raya, seperti takut ditinggalkan. "Bubu jangan ke mana-mana," pintanya."Iya, Sayang. Bubu tidak akan kemana-mana kok. Kita tidur bersama di sini ya," balas Raya dengan suara lembutnya. Sebelah tangan terlihat menepuk-nepuk paha Fatih dengan pelan, begitulah Raya saat hendak menina bobokan Fatih. Aditya memandang Raya dari atas sofa, sambil melayangkan senyuman. Tatapan Aditya nyatanya membuat Raya tersipu malu. Wanita berbulu mata lentik itu menjadi salah tingkah. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding kam

  • Bukan Ibu Susu Palsu   93 Menikah

    Aditya segera menepikan kendaraannya.Memilukan, bener dugaan Raya, korban kecelakaan yang tewas di tempat itu adalah Raihan—mantan suaminya.Nyawa Raihan sudah tidak tertolong lagi. Di lokasi kejadian Raihan sudah tak bernyawa. Raya ingin sekali membantu, tapi dia tidak memiliki kuasa. Raya hanya memerintahkan pada seseorang untuk mengurus jenazah Raihan.Raya tidak pernah menyangka kalau Raihan akan pergi meninggalkan dunia secepat itu. Sebagai mantan istri, Raya hanya bisa mendoakan, semoga Raihan pergi dengan tenang. ***Kehidupan yang Raya rasakan saat ini seperti berbanding terbalik dengan sebelumnya. Saat ini dia tengah dikelilingi orang-orang yang baik. Calon mertua yang baik, dan juga termasuk calon suami yang baik. Raya juga sudah bertemu dengan kakak angkat, beserta keluarganya yang baik. "Ya Tuhan, betapa besar nikmat yang telah Engkau berikan kepada hamba. Jadikanlah hamba manusia yang selalu bersyukur kepada-Mu. Berkahkanlah hidup hamba, Ya Tuhan." Di sepertiga malam,

  • Bukan Ibu Susu Palsu   92 Akhirnya Direstui

    Tidak lama setelah Aditya menelepon, Rahmat Hidayat tiba di kediaman Fadillah dengan waktu yang begitu cepat. Pria paruh baya yang berasal dari Kalimantan itu terlihat masuk ke ruang tamu dan bersalaman dengan semuanya. Kedatangan Rahmat Hidayat membuat orang tua almarhum Sarah tercengang. Papahnya Sarah sangat tahu betul profil Rahmat Hidayat, pemilik perusahaan batubara yang sangat terkenal. Papanya salah berpikir, mungkin kedatangan Rahmat Hidayat karena sebagai partner bisnis dengan Fadillah group."Maaf telah mengganggu Pak Rahmat. Tapi tujuan Saya memanggil Pak Rahmat ke rumah ini, karena ada hal penting yang harus Pak Rahmat jelaskan kepada mertua saya," tutur Aditya dengan sopan kepada Rahmat Hidayat yang baru saja duduk di sofa yang berada di sampingnya. "Katakan saja, apa yang bisa saya bantu. Saya akan membantu Pak Aditya sebisa mungkin, kalaupun saya tidak bisa, akan saya usahakan." Rahmat berbicara dengan yakin. "Pak Rahmat, perkenalkan ini adalah mertua saya." Adity

  • Bukan Ibu Susu Palsu   91 Memilihnya

    Raya mematung dalam beberapa menit. Dadanya kembang kempis menahan perasaan sedih. Bibirnya nampak bergetar. Raya menatap ke arah Rahmat—sang kakak angkat yang sedari dulu sangat ia rindukan. Raya hafal betul mengenai watak dan sifat Rahmat dari dulu yang selalu baik kepadanya, tapi Raya juga merasa tidak akan pernah tega untuk meninggalkan Fatih—anak yang dia sayangi sejak lahir. "Saya tidak akan memaksakan kehendak, Raya. Tujuan Saya mencari kamu adalah ingin membahagiakan kamu. Karena kamu adalah adik saya. Jika ikut dengan saya hanya menambah beban dan kesedihan, maka jangan lakukan." Rahmat bersuara ketika Raya terlihat bimbang.Setelah itu Raya melihat ke arah Aditya. Ditatapnya sang presdir tampan itu. "Saya juga tidak akan memaksakan kehendak. Lakukan apapun yang membuat kamu bahagia. Karena itu adalah yang paling utama." Aditya berbicara kepada Raya sambil berkaca-kaca. Tidak bisa dipungkiri, jauh dari lubuk hatinya dia merasa sangat takut kehilangan Raya.Tidak lama kemudi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status