"Tidak mungkin!" Raya menggelengkan kepala, menepis berita mengejutkan itu. "Belum cukupkah bukti-bukti poto itu, Raya?" Raya menutup wajah sendunya dengan kedua telapak tangan. Seketika tangisannya kembali pecah. Wanita bernasib malang itu harus kembali merasakan duka yang mendalam. Mengapa hidupnya semakin kacau? "Aku tidak berniat mengompori. Aku hanya tidak mau kamu semakin terluka, Raya." Hani mengusap bahu Raya guna menenangkannya. "Iya, aku paham itu." Raya segera mengusap pipinya yang kembali basah. "Mungkin aku tidak perlu lagi pergi ke Jakarta. Aku percaya dengan keteranganmu, Han." "Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Hani nampak memastikan. "Aku akan pergi dari Mas Raihan. Aku akan mencari pekerjaan." Raya nampak yakin. "Tapi sepertinya, mencari pekerjaan di jaman sekarang tidaklah mudah. Aku sudah melamar kemana-mana, tapi sampai detik ini sama sekali belum ada kabar dari salah satu perusahaan yang aku tuju," tuturnya. "Aku akan membantumu. Berikan nomor
"Jika bersedia, ibu saya ingin bertemu dengan kamu," pinta Aditya Fadillah. Mata Winda sampai membulat mendengar permintaan Aditya. "Untuk apa, Pak?"Merasa berhutang budi yang begitu banyak. Aditya telah mempertimbangkan suatu keputusan yang besar. "Ibu saya ingin mengucapkan terima kasih. Namun selain itu, saya pun berniat menjadikan kamu sebagai ibu sambung untuk anak saya.""Apa!" Winda kian dibuat terkejut. Ia sampai tersendat ludahnya sendiri hingga batuk. "Uhuk... Uhuk..."Respect, Aditya langsung menyodorkan segelas minum pada Winda. "Minumlah." Segelas air dingin diteguk Winda sampai habis. Dia nampak menepuk pipinya sendiri. "Apa saya sedang bermimpi?" tanyanya gugup."Tidak. Ini bukan mimpi. Kamu bisa pikirkan tawaran saya. Jika sudah siap, saya tunggu kabarnya."Tawaran Aditya membuat Winda serasa melayang ke udara. Adik ipar Raya itu terlihat sangat bahagia. Ia pulang dengan wajah berseri-seri."Mama!" Sesampainya di rumah, Winda berteriak kegirangan saat memanggil Wati
Ketika hari sudah gelap. Wati terpaksa mengeluarkan Raya dari kamar, tentu dengan penjagaan ketat. Wati harus memberi Raya makan karena esok pagi ASI-nya harus banyak.Makanan yang disediakan untuk Raya sudah tak asing, setiap hari hanya ikan asin dan rebusan pepaya muda. Tak pernah ada makanan enak yang disajikan di depan Raya, berbeda dengan makanan Winda dan Wati yang selalu mewah."Kenapa belum juga makan, Raya?" tegur Wati saat melihat Raya masih belum juga memakan makanannya."Aku tidak nafsu makan, Ma." Raya terlihat menunduk lemas."Kamu harus tetap makan, Raya. Mama tidak mau kalau kamu sampai sakit." Wati pun mengeluarkan jurus merayunya. Ia mendekat dan duduk di samping Raya. "Maafkan Mama ya. Mama tahu, Mama sudah kasar padamu. Mama janji, gak akan kasar lagi," rayunya kemudian. Ketika Wati membelai rambutnya, Raya sama sekali tidak tersentuh hatinya. Terlalu banyak rasa sakit yang ditorehkan sang mertua padanya. "Ayolah, Raya. Segera makan yang banyak. Mama juga sudah s
1 hari sebelum Raya berpindah tempat. Pagi-pagi sekali Winda sudah pulang dari salon, dia sudah bersiap dengan rambut yang sudah distylish. Adik ipar Raya itu juga sudah memakai pakaian terbaiknya yang dibeli di butik beberapa hari yang lalu. Winda berusaha berpenampilan semenarik mungkin untuk memikat hati ibunda Aditya Fadillah."Impian menjadi orang kaya raya, sudah ada di depan mata." Di depan cermin ia berbicara sendirian, sambil memandang senyumannya sendiri. "Tidak sia-sia pengorbananku berpura-pura menjadi Raya." Tiiittt!Suara klakson berbunyi di depan rumah Wati menandakan kalau Aditya sudah datang untuk menjemput. Hari ini memang sudah terjadwal, kalau Aditya akan membawa Winda bertemu dengan Anita—ibunda dari Aditya.Presiden direktur Fadillah group itu keluar dari kendaraan mewah miliknya dengan mengenakan jas berwarna abu-abu, jas kesayangannya.Sebenarnya Aditya tidak memiliki perasaan lebih pada Winda, namun demi sang anak, dia rela mengorbankan perasaannya sendiri.
Segera, Winda memasang wajah sendu. Dengan susah payah ia mengeluarkan air mata. Ia mulai pandai bersandiwara."Saya adalah Raya, Tante. Saya yang setiap kali memeras ASI untuk cucu Tante. Saya memang belum pernah bertemu dengan Tante. Tapi sayalah pemilik ASI yang selama ini diminum cucu Tante," terang Winda berusaha meyakinkan Anita dan Aditya yang menatapnya nanar.Melihat wajah Winda yang bersedih. Anita langsung merasa bersalah. "Maaf, Tante tidak bermaksud apa-apa. Mungkin kalian memang dua orang yang berbeda," ucapnya meminta maaf.Tapi Aditya masih bergeming. Sadar akan suatu hal. Bukankah Aditya mendatangi rumah Raya atas alamat yang didapat dari pihak rumah sakit? Mana mungkin bisa ada dua orang Raya yang berbeda dalam alamat yang diberikan rumah sakit? Sementara ia tahu kalau ibunya memang pernah bertemu Raya di rumah sakit itu. Makan siang di kediaman Fadillah menjadi kaku. Anita terlihat tidak menyukai Winda, namun meskipun begitu ibunda Aditya itu tetap bersikap baik. I
"Ada apa dengan handphone-ku? Mengapa isinya kosong semua?"Sebelum diberikan pada Raya, terlebih dahulu Wati telah mengubah handphone Raya ke setelan pabrik. Isi handphone Raya kosong, tak ada satu pun nomor telepon yang bisa dihubungi. Selain itu, Wati juga telah mengganti kartu SIM. Maka dari itu, tak ada satu pun yang bisa menghubungi Raya karena telah berganti nomor.Raya mendengus kesal. Tak ada nomor telepon yang mampu diingat Raya. Padahal ia ingin sekali menelepon Hani untuk mengadu.Untuk saat ini, Raya tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya masih lemas, ia tak akan telat meminum obat, agar segera pulih.***Tok tok tok!Sebelah tangan mengetuk pintu rumah Wati yang nampak sepi. Pagi itu, Aditya sengaja datang untuk menemui Winda. Aditya terpaksa ke rumah Wati karena pagi ini Winda tak datang ke kantornya untuk setor ASI.Tok tok tok!Ketika tak ada jawaban dari sang pemilik rumah, Aditya pun mencoba mengetuk sekali lagi."Untuk apa datang lagi ke sini?" Suara Wati tiba-tiba ter
"Saya akan ganti ongkos Ibu, dua kali lipat." Wati dengan tegas. "Ibu pulang sekarang. Besok saja ke sini lagi. Pergi, Bu!" usir Wati lagi. Tentu ia takut kalau Aditya mengetahui semuanya dari mulut wanita di depannya."Hmm oke kalau begitu. Saya akan datang kembali besok dengan bayaran ongkos dua kali lipat." Wanita paruh baya itu mengerjapkan alisnya sebagai persetujuan. "Iya!" Wati tampak gusar.Setelah wanita itu pergi, Wati akhirnya bisa menghela napas lega. 'Sial! Hampir saja ketahuan,' gumamnya dalam hati."Ini ASI-nya, Pak. Raya sudah memompanya untuk anak Anda." Tiga botol ASI terlihat diberikan Wati pada Aditya.'Cepat sekali. Tiga botol hanya berapa menit saja. Bahkan kurang dari sepuluh menit.' Aditya nampak bergumam dalam hati. Namun tak berlangsung lama, ia memang tak paham soal itu. Aditya segera menebus ASI pemberian Wati dengan satu gepok uang kertas berwarna merah. Tentu saja tumpukan uang kertas berwarna merah itu seketika membuat kedua manik Wati langsung berbin
Aditya kemudian menjelaskan beberapa perintah pada wanita paruh baya di sampingnya. Wanita itu nampak mengangguk paham. Kemudian setelah memahami, wanita itu keluar dari mobil Aditya setelah sampai di jalan raya.Saat ini perasaan Aditya nampak risau. Namun meskipun begitu, ia tetap berpikir positif. "Semoga semuanya akan baik-baik saja," harapnya.***Satu hari berlalu. Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Wanita paruh baya kemarin, sudah tiba di kantor Aditya untuk melaporkan hasil penyelidikannya.Tentu saja Aditya sudah menunggu di ruangannya. Presiden direktur Fadillah group itu menyambut kedatangan wanita berkalung emas di ruangannya."Bagaimana? Apa yang Ibu dapatkan di rumah Bu Wati pagi ini?" Aditya langsung bertanya setelah wanita itu duduk di kursi yang berseberangan dengannya."Kebetulan saya sudah merekam semua audio percakapan saya dengan Bu Wati dan Winda pagi tadi. Bapak bisa dengarkan dan lihat sendiri. Saya merekamnya dengan kamera ponsel yang saya gantung di leher."
Belum sempat Raya membuka dan membaca tulisan pada secarik kertas itu, tiba-tiba suara Anita terdengar memanggil nama Raya."Raya!" Suara Anita terdengar begitu keras memanggil nama Raya. Raya segera menutup kembali kertas di tangannya itu, lalu dikembalikan pada buket bunganya. "Sebentar, Pak Aditya. Tante Anita memanggil saya, khawatir ada yang penting." Raya segera beranjak dari tempat duduknya. "Bunganya saya bawa ke kamar, nanti tulisannya saya baca di sana ya, Pak," tuturnya, kemudian pergi meninggalkan Aditya dengan membawa buket bunga di tangannya.Aditya hanya mengangguk saja sambil mengulum senyum tipis. Padahal dia sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban Raya. Tapi mau bagaimana lagi, Aditya sudah bisa menebak pasti Fatih menangis meminta digendong oleh Raya.Akhirnya Aditya termenung sendirian di taman belakang di pinggir kolam renang. Hingga satu jam kemudian dia memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk ke kamarnya, Aditya terlebih dahulu menengok Fatih.
"Saya pernah jatuh cinta kepada seorang wanita, saya sangat menyayanginya bahkan melebihi apapun. Wanita itu sangat baik, lembut dan penuh dengan perhatian. Tak bisa saya bayangkan hidup tanpanya, terasa takkan ada arti. Tapi, ketika rasa sayang ini yang semakin hari semakin bertambah banyak, wanita itu pergi untuk selamanya. Seketika hati saya remuk, jantung saya seakan berhenti berdegup. Saya hidup namun serasa mati, tapi wanita itu menitipkan saya seorang anak yang pintar dan tampan yakni Fatih. Awalnya saya berpikir lebih baik mati saja mengikuti jejaknya, tapi saya melihat Fatih adalah titipan Tuhan untuk saya melalui wanita yang saya sayangi. Saya berusaha menguatkan diri, berusaha untuk tegar menerima ketentuan-Nya." Aditya memulai ceritanya. Wajahnya seketika terlihat sendu. Dia bercerita apa adanya. Rasa cinta pada almarhum Sarah yang memang tidak pernah pudar hingga detik ini."Apakah wanita itu adalah almarhum ibunya Fatih?" Raya bertanya karena penasaran.Aditya mengangguk
Hari itu di kantor Fadillah group, Aditya terlihat semangat saat menyelesaikan pekerjaannya. Raut wajahnya terlihat berseri-seri. Dalam bayangannya terus saja berseliweran wajah Raya. Nampaknya Aditya memang tengah jatuh cinta.Bahkan ketika ada seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris di kantor, masuk ke ruangan Aditya untuk melaporkan berkas hasil meeting hari ini. "Raya!" Aditya terkejut dengan kedatangan sekretarisnya. Dia sampai mengira sang sekretaris adalah Raya. Nampaknya dia sudah gila dengan rasa cinta yang tengah menggebu di dalam dada. "Maaf, Pak. Saya bukan Raya," bantah wanita itu dengan cepat. Pada tangannya terlihat memegang beberapa file. Diletakkannya segera file itu di atas meja kerja Aditya. "Saya ingin menyerahkan dokumen hasil meeting siang tadi."Aditya segera mengerjapkan kelopak matanya. "Oh ya ampun, maaf saya tengah melamun. Saya akan segera memeriksa dokumen ini," kata Aditya seraya memijat hidungnya. Ah bener-bener sudah gila. Aditya mengetuk kepa
Raya terlihat masih berdiri di depan mata Aditya. Wanita berbulu mata lentik itu mengukir senyuman paling indah dalam pandangan Aditya.Aditya segera bangkit dari tempat tidurnya. Dia kini sudah berhadapan dengan Raya. Keduanya saling memandang satu sama lain. "Aku sangat mencintaimu Pak Aditya." Suara lembut itu berdesis tepat di dekat telinga Aditya. Bibir Raya yang penuh dengan aroma khas, masih berada di dekat telinga Aditya.Aditya seperti terkesima. Ucapan Raya barusan, membuat Aditya membeku. Lidahnya kelu seperti sulit untuk berbicara. Debaran jantungnya bahkan lebih kencang daripada biasanya. Raya sudah berada dekat sekali dengan Aditya, jarak diantara keduanya hanya beberapa sentimeter saja. Suara dag dig dug jantung terdengar semakin kencang saja."Pak Adit kenapa diam saja? Kenapa tidak jawab perasaan saya? Pak Adit tidak cinta sama saya?" Raya bertanya lagi masih dengan suara manja yang meluluhkan hati."Bukan seperti itu. Saya merasa ini seperti mimpi. Apakah ini mimpi
Malam itu sangat terkesan bagi Aditya. Dia pertama kali makan di pinggir jalan tapi dengan sajian yang sungguh lezat layaknya seperti di restoran bintang 5.Bahkan ketika sampai di rumah dan ketika Aditya sudah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia tetap saja tidak bisa tidur. Matanya masih terbuka, menatap ke arah langit-langit kamar. Senyuman yang indah itu masih terbayang di matanya. Senyuman yang tidak bisa dilupakan itu ternyata milik Raya. "Mengapa senyuman Raya sangat mirip sekali dengan Sarah?" Aditya berbicara sendirian penuh tanda tanya. Dia gelisah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari.Aditya memutuskan untuk bangun dari tempat tidurnya. Dia menggaruk kepala yang tak gatal. Matanya enggan untuk terlelap. Padahal besok pagi dia harus pergi ke kantor untuk mengurus pekerjaan yang sempat tertunda. Aditya kemudian keluar dari kamarnya, dia akan pergi ke dapur untuk mengambil air minum guna melegakan tenggorokan. Ketika telah sampai di dapu
Aditya tak jadi makan di restoran itu. Dia lebih memilih menuruti permintaan Raya untuk kembali ke mobilnya."Harusnya kamu jangan diam aja, kalau Selin kembali menghina kamu seperti itu, kamu harus lawan dia," kata Aditya kepada Raya. Dia belum menyalakan mesin mobil dan masih menenangkan hatinya yang masih terasa emosi."Untuk apa dilawan, Pak? Di mata yang membenci, kita akan selalu salah. Bagaimanapun cara kita membela diri. Apalagi kalau sampai saya melawan Non Selin, tentu saya akan semakin buruk di matanya. Biarkan saja Non Selin dengan kebenciannya pada saya, suatu saat ketika hatinya sudah terbuka, Saya yakin Non Selin akan menjadi baik pada saya," tutur Raya dengan begitu tenangnya. Tidak seperti Aditya yang masih terasa emosi akibat kelakuan adik iparnya di depan semua orang.Aditya semakin kagum kepada Raya. Dia menatap Raya begitu dalam. "Kamu memang baik, Raya. Tapi anehnya, mengapa Selin malah tidak menyukaimu," gumamnya. "Lupakan saja, Pak. Yang penting saat ini, kita
"Kenapa tidak menjawab?" Aditya bertanya lagi. Rupanya dia masih menunggu jawaban dari Raya.Raya terlihat mengatur nafasnya terlebih dahulu. "Kalau saya masih mencintai Mas Raihan, untuk apa waktu itu menggugat cerai? Saya hanya turut bersedih atas duka yang tengah dialami Mas Raihan. Bukan apa-apa, biar bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hidup saya. Itu saja," jelasnya sambil menurunkan tatapan."Maafkan kalau saya telah lancang bertanya seperti itu pada kamu." Aditya menjadi tidak enak hati."Tidak apa-apa, Pak." Raya masih menunduk.Aditya segera melajukan kendaraan meninggalkan area rumah Wati.Langit terlihat sudah gelap, Raya dan Aditya masih dalam perjalanan pulang. Jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan. Aditya sudah menunjukan pukul sebelas malam. Perutnya terdengar mengaluarkan suara.Kruekkk kruekkk!Raya mendengar suara dari perut Aditya barusan. Dia menoleh. Ternyata perut Presdir setampan Aditya bisa mengeluarkan bunyi laparnya.Aditya tampak
Sadar akan kedatangan Aditya, Raya segera menghapus air matanya dengan jari tangannya."Kenapa, Raya?" Aditya bertanya lagi, terlihat mencemaskan Raya."Baru saja saya mendapatkan kabar melalui telepon, Mama Wati baru saja meninggal," jawab Raya. "Kenapa kamu sedih? Bukankah selama ini Wati selalu jahat sama kamu?" Aditya menjadi heran."Tidak, Pak. Jangan katakan seperti itu. Mama Wati tidak jahat, mungkin dia hanya sedang khilaf saja. Semoha Tuhan mengampuni dosanya," bantah Raya.Aditya pun tak bisa proses lagi. Dia sadar bahwa Raya memang wanita yang berhati baik dan mulia. Raya mudah memaafkan seseorang yang bahkan telah menyakitinya."Jikalau kamu ingin melayat, saya bisa mengantarkan kamu." Aditya pun langsung menawarkan diri."Tidak usah, Pak. Pak Adit baru saja tiba dari kantor, pasti masih capek. Pak Adit harus istirahat karena saya bisa pergi sendiri untuk melayat," tolak Raya dengan lembut. Dia memang tidak mau merepotkan Aditya, atau siapapun. "Tidak apa-apa, Raya. Saya
Tubuh Raihan sudah terlihat rapih. Setelah mempersilahkan Raya masuk, Dia pun langsung terduduk di kursi plastik di dekatnya. "Kedatanganku ke sini ingin menjenguk Mama. Bagaimana dengan kabar mama?" Raya bertanya setelah duduk di kursi yang terlihat sudah lapuk."Keadaan mama kian memburuk. Kini beliau hanya bisa tertidur di atas kasur. Tidak berdaya," jawab Raihan dengan suara lemah, seperti ada yang menghalangi di tenggorokan."Jika diperbolehkan, aku ingin melihat mama sekarang," pinta Raya terenyuh hatinya."Boleh. Mama ada di kamar. Mari aku antar." Raihan berusaha bangkit dari tempat duduk. Kakinya terlihat gemetar. Berjalan pun nampak pelan."Mas, kamu sakit?" Raya menjadi bertanya melihat keadaan Raihan yang miris itu.Raihan menahan langkahnya. Ia menoleh kembali pada Raya, kemudian menganggukan kepala."Sudah lama, Mas? Apa karena kecelakaan itu, kamu menjadi sakit?" Raya bertanya lagi karena penasaran. Bagaimana tidak penasaran melihat tubuh Raihan yang kurus kering itu.