Ketika jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan Raya sudah menunjukan pukul lima sore, wanita berbulu mata lentik itu baru saja tiba di rumah Wati. Sempat ragu untuk masuk rumah karena takut dimarahi mertua, tapi Raya belum punya pilihan lain.
Pintu utama di rumah Wati nampak terbuka, Raya tak usah repot mengetuk pintu. Ketika Raya sudah berdiri di ambang pintu, ia melihat Wati dan Raihan tengah berbincang serius di ruang tamu. "Begitulah istri kamu, Raihan. Kerjaannya hanya keluyuran. Menghabiskan semua uang hasil kerja kerasmu. Itulah alasan mengapa Mama tak pernah suka dengan Raya." Wati kembali memanipulasi keadaan dengan melempar bensin di atas bara yang tengah menyala. Degh! Dada Raya terasa geram mendengar ucapan Wati dari balik celah pintu. Langkahnya seketika tertahan. Bisa-bisanya Wati berbohong pada anaknya. Padahal selama ini Wati dan Winda yang telah menghabiskan uang kiriman dari Raihan. "Dulu, aku pikir Raya adalah wanita lugu, Ma. Tak disangka kalau dia wanita nakal." Suara Raihan menimpali ibunya. " Gara-gara dia, aku kehilangan pelanggan setiaku. Aku kehilangan kepercayaan pelangganku, Ma. Aku kecewa pada Raya. Aku akan segera menceraikannya," lanjut Raihan terlihat emosi. "Tidak, Raihan. Tahan dulu." Wati terdengar mencegah niat putranya. "Kenapa?" Raihan menoleh aneh pada ibunya. "Bukankah Mama sudah tak menyukai Raya?" imbuhnya. "Karena Mama sedang—" "Hey! Ada yang menguping!" Suara Winda dari luar seketika memotong kalimat Wati. Serentak Wati dan Raihan menoleh terkejut. Mereka sama-sama bangkit dari tempat duduk. "Sedang apa kamu di sini? Sengaja menguping ya? Tidak sopan!" Winda yang baru saja tiba di rumah, segera menegur Raya. Sial! Karena terkejut, Raya sampai tak menyadari kedatangan adik ipar di depannya. "Aku tidak menguping. Aku ingin masuk, tapi khawatir mengganggu Mama dan Mas Raihan yang sedang berbincang." Raya membuat alasan karena memang seperti itu faktanya. "Halah alasan!" Winda mengibaskan sebelah tangan kanannya. "Sejak kapan kamu berdiri di situ, Raya?" Wati terkejut. "Baru saja tiba, Ma," jawab Raya gemetar. Wati menghela napas lega. 'Baguslah, sepertinya Raya tidak mendengar apa-apa,' gumamnya dalam hati. "Dari mana saja kamu?" Wati bertanya pada Raya sambil berkacak pinggang. "Kenapa kamu selalu saja begini, keluyuran tanpa pamit. Gak bisakah menjadi menantu penurut? Kenapa kamu selalu saja membuat Mama marah?!" cerocosnya. "Ma-maaf, Ma." Satu kata yang keluar dari mulut Raya. Wanita berbulu mata lentik itu menundukan kepala, merasa salah. "Maaf kamu bilang?" Raihan menimpali. "Padahal aku minta dibuatkan makanan. Tapi kamu malah pergi tanpa pamit. Dasar istri durhaka!" tambahnya turut murka. Ucapan tiga orang di depan Raya bagaikan panah yang menusuk jantung. Raya ingin menangisi rasa sakit hatinya, tapi dengan susah payah ia bendung. Ia hanya menunduk sambil menahan luka. "Ya sudahlah, masuk! Hari ini Mama maafkan. Tapi tidak dengan esok dan seterusnya. Jangan pernah pergi dari rumah ini tanpa sepengetahuan Mama. Pahamkan?" tegas Wati pada Raya. Hanya anggukan kepala sebagai jawaban Raya. "Makasi, Ma." Setelah Raya masuk ke kamarnya, Raihan nampak menarik tangan Wati. "Ma, kenapa begitu?" "Sudahlah, Raihan. Nurut saja pada Mama. Saat ini Raya adalah berlian buat Mama. Mama tak bisa mengusirnya." Jawaban Wati membuat Raihan penasaran. Ketika Raihan bertanya alasannya, Wati tak bisa menjelaskan karena khawatir didengar oleh Raya. Sementara dengan Raya, saat ini ia sudah mengurung diri di kamarnya. Ia masih penasaran dengan kalimat yang digantung Wati tadi. "Apa yang sedang disambunyikan oleh Mama?" Raya bertanya sendirian. Ting! Di tengah rasa penasarannya, tiba-tiba terdengar suara notifikasi pesan masuk pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas kamar Raya. Ponsel itu milik Raihan. Sepertinya pria itu lupa mengambilnya usai tidur siang tadi. Raya menoleh, ia melihat pesan masuk pada layar ponsel Raihan. [Raihan, mami ingin ketemu. Mami kangen. Mami tunggu di tempat biasa. Mami bawa uang banyak buat kamu.] Sepintas Raya bisa membaca pesan yang masuk itu dari layar depan. Raya segera mengusap layar ponsel Raihan dengan jari telunjuk. Ah sial! Ponsel Raihan memakai password. Dada Raya kian bergetar. Ia sangat penasaran, siapa yang dimaksud mami itu? Mengapa menawarkan uang pada Raihan? Raya berusaha membuka ponsel Raihan dengan menebak beberapa password, namun sayang selalu saja gagal. Tok tok tok! "Raya! Buka pintunya!" Suara keras Raihan dari luar kamar membuat Raya terperanjat. Gegas ia mengembalikan ponsel itu ke tempat semula dengan posisi yang sama. "Buka!" Lagi, suara Raihan semakin terdengar kasar. "Iya, Mas." Raya segera mengatur napas guna menenangkan diri agar Raihan tak curiga. Setelah itu, ia segera membuka pintu. "Buka pintu lama banget sih!" Raihan langsung masuk, pria itu segera mengambil ponsel dan tas selempang yang tertinggal di kamar. "Kamu mau kemana, Mas?" "Bukan urusan kamu!" Raihan malah membentak. "Aku ini masih istrimu, Mas. Aku berhak tahu kemana saja suamiku pergi," protes Raya. Ia hanya mengeluarkan gumpalan rasa kecewa yang terbendung di dalam dada. "Tapi aku tidak mau kalau kamu mencampuri urusan pribadiku!" "Mas, kenapa kamu berubah. Kamu tidak seperti Mas Raihan yang dulu. Apa salahku, Mas?" Saat ini, Raya tak bisa menahan air matanya yang berhasil menetes di pipi. "Salahmu sendiri telah lancang datang ke Jakarta dan membuat client-ku marah. Satu hal kesalahan fatal yang kamu buat adalah, kamu telah membunuh anakku!" Raihan langsung berlalu meninggalkan kamar. Ia tak mau berdebat panjang dengan Raya. Apa Raya tidak salah dengar? Raihan kembali berkata kalau wanita paruh baya tanpa busana di kamar kostan itu adalah client. Client macam apa yang berduaan dengan pria bukan muhrim di dalam kamar tanpa sehelai busana. Rasanya kepala Raya semakin dibuat penasaran. Raihan malah bersembunyi di balik kesalahannya. Pria itu malah menyalahkan Raya sebagai sumber masalahnya. Ketika malam telah tiba. Tiba-tiba Wati menghampiri Raya di kamarnya. "Raya, ayo makan dulu." "Aku tidak lapar, Ma. Mau langsung tidur." "Tidak bisa, Raya. Wanita menyusui harus makan yang banyak. Tolong jangan buat Mama kembali marah. Bisakah nurut saja?" paksa Wati. Hingga Raya menganggukan kepala. "Tapi Raya tidak menyusui, Ma." "Mama tidak suka dibantah," tegas Wati membuat Raya mengdengus kesal. Di atas meja makan, terlihat banyak sekali makanan. Termasuk rendang sapi dan opor ayam. Tapi Wati hanya memperbolehkan Raya makan ikan teri sama rebusan pepaya muda saja. "Rendang sapi dan opor ayam itu milik Winda. Dia yang sudah bekerja keras mencari uang. Semoga kamu paham." Itulah alasan Wati pada Raya. Ingin sekali Raya protes karena rebusan pepaya muda itu terasa pahit di lidahnya. Namun apalah daya, memprotes sama saja membuat masalah. Raya tetap makan dengan ikan teri dan rebusan pepaya muda itu, walau tidak suka. "Ini, minum jamunya." Sebelum Raya tidur, Wati menyodorkan segala air rempah-rempah yang dibuatnya sendiri. Tujuan air rempah-rempah itu agar ASI Raya keluar dengan deras pada esok pagi. "Tapi pahit, Ma." Raya terlihat enggan meminumnya. "Minum saja, Raya. Ini demi kesehatan kamu. Kalau bukan Mama yang perhatian, siapa lagi?" paksa Wati. "Cepat minum sampai habis!" titahnya lagi tanpa mau dibantah.Raya kini sudah berganti pakaian dengan lingerie berwarna merah muda pemberian Aditya. Tapi dia kembali memakai pakaian piyama menutupi lingerinya yang seksi. "Loh kok malah pakai piyama?" Aditya mengerutkan keningnya ketika melihat Raya keluar dari kamar mandi."Saya pakai lingerie kok, tapi di dalam piyama." Raya menjawab sambil menahan senyumnya. Aditya pun menepuk keningnya sendiri. Padahal ia menginginkan Raya keluar dengan lingeri seksinya tanpa sehelai pakaian yang menutupi tubuh."Saya malu, Pak." Raya menggaruk kening yang tak gatal."Ya sudah. Sini." Aditya menepuk kasur, memberikan kode agar Raya segera duduk di sampingnya.Dengan langkah yang cukup pelan, Raya berjalan mendekati Aditya. Dia duduk di samping Aditya sebagaimana perintah barusan. Tubuh Raya tercium aroma sangat wangi, itu karena Raya sudah mempersiapkan tubuhnya, khusus untuk suaminya malam ini. Suruh area tubuh Raya sudah memakai lotion dan pewangi, termasuk rambutnya yang digerai dan tercium aroma wangi
Fatih terbangun dari tidurnya. Sontak Raya dan Aditya terperanjat saling menjauh. "Fatih!" Raya segera menghampiri Fatih di tempat tidur. Dia juga segera membuatkan susu untuk Fatih, lalu menina bobokannya kembali. Sebenernya Raya ingin tertawa mengingat kejadian lucu barusan. Namun dengan susah payah, tawa itu ditahannya.Sungguh konyol. Bisa-bisanya mereka melupakan keberadaan Fatih di kamar itu.Sudah 1 tahun lebih Aditya menduda, wajar saja jikalau dia tidak bisa membendung hasratnya. Lagi pula sekarang mereka sudah sah kok. Memadu kasih di malam pertama sudah gagal. Pagi ini Aditya bangun dari tidurnya dengan raut wajah sedikit lesu. "Pengantin kok lesu begitu, kecapean yah gara-gara semalam?" Aditya yang baru saja tiba di ruang makan, tersipu saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Anita kepadanya. "Mamah, apaan sih." Aditya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Nggak usah malu-malu begitu kali, Mamah juga paham, namanya juga pengantin baru."Aditya hanya mengulum senyu
"Ehh sutt!" Raya meluruskan jari telunjuknya tepat di depan bibir Aditya, sebagai kode agar Aditya tidak melanjutkan kalimatnya. Dia juga mengerjapkan matanya agar Aditya paham. Aditya menggaruk kepala yang tak gatal. Dia manggut-manggut kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa yang berada tak jauh dari tempat tidurnya. Aditya melihat Raya menina bobokan Fatih. Namun anak laki-lakinya itu nampak tidak bisa langsung tidur untuk malam ini. Fatih terlihat memeluk erat Raya, seperti takut ditinggalkan. "Bubu jangan ke mana-mana," pintanya."Iya, Sayang. Bubu tidak akan kemana-mana kok. Kita tidur bersama di sini ya," balas Raya dengan suara lembutnya. Sebelah tangan terlihat menepuk-nepuk paha Fatih dengan pelan, begitulah Raya saat hendak menina bobokan Fatih. Aditya memandang Raya dari atas sofa, sambil melayangkan senyuman. Tatapan Aditya nyatanya membuat Raya tersipu malu. Wanita berbulu mata lentik itu menjadi salah tingkah. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding kam
Aditya segera menepikan kendaraannya.Memilukan, bener dugaan Raya, korban kecelakaan yang tewas di tempat itu adalah Raihan—mantan suaminya.Nyawa Raihan sudah tidak tertolong lagi. Di lokasi kejadian Raihan sudah tak bernyawa. Raya ingin sekali membantu, tapi dia tidak memiliki kuasa. Raya hanya memerintahkan pada seseorang untuk mengurus jenazah Raihan.Raya tidak pernah menyangka kalau Raihan akan pergi meninggalkan dunia secepat itu. Sebagai mantan istri, Raya hanya bisa mendoakan, semoga Raihan pergi dengan tenang. ***Kehidupan yang Raya rasakan saat ini seperti berbanding terbalik dengan sebelumnya. Saat ini dia tengah dikelilingi orang-orang yang baik. Calon mertua yang baik, dan juga termasuk calon suami yang baik. Raya juga sudah bertemu dengan kakak angkat, beserta keluarganya yang baik. "Ya Tuhan, betapa besar nikmat yang telah Engkau berikan kepada hamba. Jadikanlah hamba manusia yang selalu bersyukur kepada-Mu. Berkahkanlah hidup hamba, Ya Tuhan." Di sepertiga malam,
Tidak lama setelah Aditya menelepon, Rahmat Hidayat tiba di kediaman Fadillah dengan waktu yang begitu cepat. Pria paruh baya yang berasal dari Kalimantan itu terlihat masuk ke ruang tamu dan bersalaman dengan semuanya. Kedatangan Rahmat Hidayat membuat orang tua almarhum Sarah tercengang. Papahnya Sarah sangat tahu betul profil Rahmat Hidayat, pemilik perusahaan batubara yang sangat terkenal. Papanya salah berpikir, mungkin kedatangan Rahmat Hidayat karena sebagai partner bisnis dengan Fadillah group."Maaf telah mengganggu Pak Rahmat. Tapi tujuan Saya memanggil Pak Rahmat ke rumah ini, karena ada hal penting yang harus Pak Rahmat jelaskan kepada mertua saya," tutur Aditya dengan sopan kepada Rahmat Hidayat yang baru saja duduk di sofa yang berada di sampingnya. "Katakan saja, apa yang bisa saya bantu. Saya akan membantu Pak Aditya sebisa mungkin, kalaupun saya tidak bisa, akan saya usahakan." Rahmat berbicara dengan yakin. "Pak Rahmat, perkenalkan ini adalah mertua saya." Adity
Raya mematung dalam beberapa menit. Dadanya kembang kempis menahan perasaan sedih. Bibirnya nampak bergetar. Raya menatap ke arah Rahmat—sang kakak angkat yang sedari dulu sangat ia rindukan. Raya hafal betul mengenai watak dan sifat Rahmat dari dulu yang selalu baik kepadanya, tapi Raya juga merasa tidak akan pernah tega untuk meninggalkan Fatih—anak yang dia sayangi sejak lahir. "Saya tidak akan memaksakan kehendak, Raya. Tujuan Saya mencari kamu adalah ingin membahagiakan kamu. Karena kamu adalah adik saya. Jika ikut dengan saya hanya menambah beban dan kesedihan, maka jangan lakukan." Rahmat bersuara ketika Raya terlihat bimbang.Setelah itu Raya melihat ke arah Aditya. Ditatapnya sang presdir tampan itu. "Saya juga tidak akan memaksakan kehendak. Lakukan apapun yang membuat kamu bahagia. Karena itu adalah yang paling utama." Aditya berbicara kepada Raya sambil berkaca-kaca. Tidak bisa dipungkiri, jauh dari lubuk hatinya dia merasa sangat takut kehilangan Raya.Tidak lama kemudi
"Saya tengah mencari seorang wanita bernama Raya Maulida yang merupakan putri dari bapak Abdul Rozak." Raya terkejut begitu namanya disebut oleh Rahmat Hidayat."Bukankah itu nama lengkap kamu, Raya?" Aditya sampai bertanya kepada Raya untuk kembali memastikan. Sejak pertama bertemu dengan Raya, Aditya sudah tahu nama lengkap Raya yakni Raya Maulida."Iya benar. Nama lengkap saya memang Raya Maulida," jawab Raya sedikit gugup.Namun nyatanya bukan hanya Raya dan Aditya yang terkejut, Rahmat pun terlihat kaget. "Raya Maulida yang saya cari adalah satu-satunya putri dari Bapak Abdul Rozak. Mereka tinggal di sebuah kampung yang berada di kecamatan nanggung yakni kampung pongkor. Apa kamu tahu sesuatu?" Rahmat hidayah dengan sangat serius. Mulut Raya sedikit menganga karena terkejut. "Itu adalah nama Bapak saya. Saya tinggal di daerah yang Pak Rahmat sebutkan barusan. Untuk apa Pak Rahmat mencari Bapak saya?" Kali ini tangan Raya terlihat gemetar. Wanita berbulu mata lentik itu khawati
"Pikirkan baik-baik ucapan papah barusan. Jangan kamu mempermalukan keluarga besar kita. Jangan pernah kamu mempermalukan Fatih di masa dewasanya nanti. Jangan sampai Fatih memiliki seorang ibu pengganti yang berprofesi sebagai pembantu seperti dia!" Jadi telunjuk papahnya Selin terlihat menggaris lurus ke wajah Raya.Raya hanya bisa mematung sambil membendung sendu. Ia menundukan kepala. Sadar dengan dirinya yang tidak punya tahta di hadapan mereka. "Saya permisi." Raya akhirnya beranjak dari tempat duduknya, dia melangkah dengan cepat meninggalkan ruang tamu. Raya masuk ke dalam kamarnya, meluapkan rasa sedih yang tidak bisa lagi ditahan. Dari balik pintu kamar, Raya terduduk di atas lantai sambil memeluk lututnya sendiri. Air matanya seketika menganak sungai di pipi. Keadaan wajahnya yang sempat rusak oleh noda bekas minyak panas memang telah sembuh, tapi kini hatinya yang terasa sangat sakit bagaikan tertusuk belati."Seharusnya dari awal aku sadar, siapa diriku. Bisa-bisanya ak
Raya terkejut. "Itu daerah saya, Pak."Aditya sampai menaikkan kedua alisnya. "Oh ya! Saya pikir kamu tinggal di daerah dekat rumah mertua kamu," balasnya. "Dulu waktu saya masih kecil banget, saya dan orang tua saya tinggal di daerah kecamatan nanggung yang berada di Bogor Barat. Saya adalah anak tunggal, tapi dulu saya punya kakak angkat." Raya menjelaskan. "Berarti kamu bisa bantu saya untuk mencari orang tua yang tengah dicari oleh Pak Rahmat," ajak Aditya. "Saya sih bersedia untuk membantu, tapi kalau Fatih terlalu sering ditinggal-tinggal kasihan juga. Apalagi besok lusa saya akan melakukan perawatan kembali ke dokter," kata Raya."Oh iya, kasihan juga Fatih kalau terlalu sering ditinggal. Ya sudah tidak apa-apa, kamu tetap di rumah ya. Saya pergi bersama Pak Rahmat hari ini. Jaga diri baik-baik, jaga Fatih juga ya." Aditya terlihat mengangkat sebelah tangan kanannya, diusapnya pucuk rambut Raya dengan lembut. Duda tampan itu juga terlihat mengukir senyum manis kepada Raya.P