"Bayimu meninggal, Bodoh!" Raya terkejut. Sebelah tangan nampak menutup mulut yang sedikit menganga. Air matanya seketika luruh di pipi. Isi hatinya benar-benar hancur porak poranda. "Tidak...." Wati—sang mertua mendekat pada Raya, bukan untuk menenangkan sang menantu, melainkan malah mendorong kepala Raya dengan jemari tangannya. "Ini semua gara-gara kamu!" geramnya. Wati marah karena Raya nekad pergi ke Jakarta sendirian. Akibatnya Raya harus mendadak melahirkan karena batinnya terguncang usai memergoki sang suami bersama seorang wanita paruh baya tengah berduaan di kamar kostnya. Bagaimana mungkin ini gara-gara Raya, sedang ia tak pernah tahu kondisi kehamilannya selama ini. Wati adalah mertua yang so tahu, tak pernah membiarkan Raya memeriksa kandungan ke Dokter atau Bidan. Dunia Raya seketika hancur, dadanya semakin sakit. Mendengar bayinya meninggal terasa lebih menyakitkan dari pada memergoki suaminya selingkuh. Kepala Raya tiba-tiba pusing, pandangannya gelap hingg
Aditya nampak menyeringai. Ia kemudian langsung masuk ke ruangan tempat bayinya berada. Dari sudut matanya terlihat bulir bening yang terbendung. Pria itu nampak terharu. "Permisi, Pak. Atas izin dari neneknya, bayi Pak Adit sudah mendapatkan ASI." Perawat yang berjaga di ruangan bayi langsung mendekati Aditya. "Lalu, apakah ada perkembangan bagus pada bayi saya?" tanya Aditya nampak antusias. "Tentu saja, Pak. Kondisi bayi Pak Adit berangsur baik. Apalagi jika terus menerus mendapatkan ASI secara maksimal." Sejenak Aditya terdiam. Ia menatap wajah bayinya yang memang sedikit lincah dari biasanya. Tangan dan kaki sang bayi yang keriput kini bergerak-gerak lincah, membuat Aditya merasa lega. Ia kemudian mengembalikan pandangan pada perawat di sampingnya. "Dimana pemilik pendonor ASI itu? Saya ingin bertemu," tanya Aditya tak mau menunda waktu. "Ibu Raya sudah keluar dari rumah sakit sejak siang tadi, Pak." Napas Aditya seketika lesu. "Apakah Anda bisa membantu saya? Saya ingin ta
Bukan hanya Wati, Winda pun nampak tercengang. Kebetulan mereka memang tengah membutuhkan uang yang banyak untuk membayar hutang-hutang Winda. "Minta tolong apa?" Wati kembali bertanya. "Saya membutuhkan ASI yang banyak untuk pemulihan bayi saya." Aditya menjawab. Pandangannya kemudian beralih pada Winda yang ia sangka adalah Raya. "Jika Raya bersedia mendonorkan ASI-nya, saya bersedia membayar berapa pun nominal yang Raya minta. Asalkan bayi saya mendapat ASI yang cukup sampai berat badannya maksimal." Mendengar penjelasan Aditya, Wati dan Winda nampak menganga karena tercengang. Sepertinya ini adalah kesempatan bagus bagi mereka. "Sebentar, Pak." Wati langsung menarik tangan Winda untuk masuk ke dalam kamar Winda. Tentu karena Wati ingin berbicara serius dengan putrinya itu. Di dalam kamar Winda, wajah Wati nampak masih terkejut. Isi kepalanya berseliweran tumpukan uang kertas berwarna merah. "Dengarkan Mama, Winda. Kita akan kembali ke depan menemui pria yang bernama Aditya b
Beberapa jam setelah Wati dan Winda berlalu, kini tinggalah Raya sendiri d rumah yang sederhana itu. Keadaan rumah masih berantakan, Raya berusaha membereskan semuanya. Tapi pekerjaannya harus tertunda ketika mendengar pintu di depan rumah diketuk seseorang. Tok tok tok! Apakah Wati dan Winda sudah kembali? Secepat itukah? Raya bergegas mengelap tangannya yang basah usai mencuci piring. Ia segera melangkah menuju pintu utama. Ketika Raya membuka pintu, yang datang ternyata Raihan. Sedikit tercengang namun Raya berusaha tenang. "Kemana saja kamu, Mas?" tanya Raya pada suaminya. Namun tanggapan Raihan terlihat sinis. "Harusnya aku yang bertanya, kamu yang ke mana saja? Anak meninggal malah keluyuran!" geramnya. Mendengar itu, Raya menautkan kedua alisnya. "Aku keluyuran? Gak salah dengar aku?" Ia menunjuk wajahnya sendiri. "Sudahlah! Aku tidak bisa kamu bodohi." Raihan melangkah masuk, melewati tubuh Raya tanpa perduli. Pria itu seolah amnesia akan kesalahan sebelumnya. "Aku ba
Ketika jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan Raya sudah menunjukan pukul lima sore, wanita berbulu mata lentik itu baru saja tiba di rumah Wati. Sempat ragu untuk masuk rumah karena takut dimarahi mertua, tapi Raya belum punya pilihan lain. Pintu utama di rumah Wati nampak terbuka, Raya tak usah repot mengetuk pintu. Ketika Raya sudah berdiri di ambang pintu, ia melihat Wati dan Raihan tengah berbincang serius di ruang tamu. "Begitulah istri kamu, Raihan. Kerjaannya hanya keluyuran. Menghabiskan semua uang hasil kerja kerasmu. Itulah alasan mengapa Mama tak pernah suka dengan Raya." Wati kembali memanipulasi keadaan dengan melempar bensin di atas bara yang tengah menyala. Degh! Dada Raya terasa geram mendengar ucapan Wati dari balik celah pintu. Langkahnya seketika tertahan. Bisa-bisanya Wati berbohong pada anaknya. Padahal selama ini Wati dan Winda yang telah menghabiskan uang kiriman dari Raihan. "Dulu, aku pikir Raya adalah wanita lugu, Ma. Tak disangka kalau
Setiap pagi, ASI Raya selalu diperas, dibawa Wati dan Winda pergi untuk kemudian diberikan kepada Aditya Fadillah. Mereka bilang, ASI itu akan didonorkan pada bayi yang membutuhkan. Tapi ketika Raya meminta ikut, Wati langsung melarangnya. "Aku ingin melihat bayi yang aku beri ASI setiap hari itu." "Memangnya kamu tidak percaya pada Mama? Kamu pikir Mama berbohong?" "Tentu saja bukan itu alasannya, Ma. Aku hanya ingin ketemu saja dengan bayinya." "Tidak perlu. Pekerjaan di rumah masih banyak. Kamu cukup selesaikan pekerjaan kamu. Jangan membantah. Jangan membuat Mama marah dan kecewa. Diam di rumah, bereskan rumah, jangan kemana-mana!" Karena Raya banyak protes, pagi ini pintu rumah bahkan di kunci dari luar. Artinya, Raya tidak bisa kemana-mana. Kondisi saat ini membuat Raya kian tertekan. Sementara dalam hati, ia ingin sekali pergi ke Jakarta. Ada yang harus diselidiki. Raya tidak bisa diam saja. Ia segera berganti pakaian. Namun ketika melihat isi dompet, seketika tubuhnya l
"Tidak mungkin!" Raya menggelengkan kepala, menepis berita mengejutkan itu. "Belum cukupkah bukti-bukti poto itu, Raya?" Raya menutup wajah sendunya dengan kedua telapak tangan. Seketika tangisannya kembali pecah. Wanita bernasib malang itu harus kembali merasakan duka yang mendalam. Mengapa hidupnya semakin kacau? "Aku tidak berniat mengompori. Aku hanya tidak mau kamu semakin terluka, Raya." Hani mengusap bahu Raya guna menenangkannya. "Iya, aku paham itu." Raya segera mengusap pipinya yang kembali basah. "Mungkin aku tidak perlu lagi pergi ke Jakarta. Aku percaya dengan keteranganmu, Han." "Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Hani nampak memastikan. "Aku akan pergi dari Mas Raihan. Aku akan mencari pekerjaan." Raya nampak yakin. "Tapi sepertinya, mencari pekerjaan di jaman sekarang tidaklah mudah. Aku sudah melamar kemana-mana, tapi sampai detik ini sama sekali belum ada kabar dari salah satu perusahaan yang aku tuju," tuturnya. "Aku akan membantumu. Berikan nomor
"Jika bersedia, ibu saya ingin bertemu dengan kamu," pinta Aditya Fadillah. Mata Winda sampai membulat mendengar permintaan Aditya. "Untuk apa, Pak?"Merasa berhutang budi yang begitu banyak. Aditya telah mempertimbangkan suatu keputusan yang besar. "Ibu saya ingin mengucapkan terima kasih. Namun selain itu, saya pun berniat menjadikan kamu sebagai ibu sambung untuk anak saya.""Apa!" Winda kian dibuat terkejut. Ia sampai tersendat ludahnya sendiri hingga batuk. "Uhuk... Uhuk..."Respect, Aditya langsung menyodorkan segelas minum pada Winda. "Minumlah." Segelas air dingin diteguk Winda sampai habis. Dia nampak menepuk pipinya sendiri. "Apa saya sedang bermimpi?" tanyanya gugup."Tidak. Ini bukan mimpi. Kamu bisa pikirkan tawaran saya. Jika sudah siap, saya tunggu kabarnya."Tawaran Aditya membuat Winda serasa melayang ke udara. Adik ipar Raya itu terlihat sangat bahagia. Ia pulang dengan wajah berseri-seri."Mama!" Sesampainya di rumah, Winda berteriak kegirangan saat memanggil Wati
"Saya pernah jatuh cinta kepada seorang wanita, saya sangat menyayanginya bahkan melebihi apapun. Wanita itu sangat baik, lembut dan penuh dengan perhatian. Tak bisa saya bayangkan hidup tanpanya, terasa takkan ada arti. Tapi, ketika rasa sayang ini yang semakin hari semakin bertambah banyak, wanita itu pergi untuk selamanya. Seketika hati saya remuk, jantung saya seakan berhenti berdegup. Saya hidup namun serasa mati, tapi wanita itu menitipkan saya seorang anak yang pintar dan tampan yakni Fatih. Awalnya saya berpikir lebih baik mati saja mengikuti jejaknya, tapi saya melihat Fatih adalah titipan Tuhan untuk saya melalui wanita yang saya sayangi. Saya berusaha menguatkan diri, berusaha untuk tegar menerima ketentuan-Nya." Aditya memulai ceritanya. Wajahnya seketika terlihat sendu. Dia bercerita apa adanya. Rasa cinta pada almarhum Sarah yang memang tidak pernah pudar hingga detik ini."Apakah wanita itu adalah almarhum ibunya Fatih?" Raya bertanya karena penasaran.Aditya mengangguk
Hari itu di kantor Fadillah group, Aditya terlihat semangat saat menyelesaikan pekerjaannya. Raut wajahnya terlihat berseri-seri. Dalam bayangannya terus saja berseliweran wajah Raya. Nampaknya Aditya memang tengah jatuh cinta.Bahkan ketika ada seorang wanita yang bekerja sebagai sekretaris di kantor, masuk ke ruangan Aditya untuk melaporkan berkas hasil meeting hari ini. "Raya!" Aditya terkejut dengan kedatangan sekretarisnya. Dia sampai mengira sang sekretaris adalah Raya. Nampaknya dia sudah gila dengan rasa cinta yang tengah menggebu di dalam dada. "Maaf, Pak. Saya bukan Raya," bantah wanita itu dengan cepat. Pada tangannya terlihat memegang beberapa file. Diletakkannya segera file itu di atas meja kerja Aditya. "Saya ingin menyerahkan dokumen hasil meeting siang tadi."Aditya segera mengerjapkan kelopak matanya. "Oh ya ampun, maaf saya tengah melamun. Saya akan segera memeriksa dokumen ini," kata Aditya seraya memijat hidungnya. Ah bener-bener sudah gila. Aditya mengetuk kepa
Raya terlihat masih berdiri di depan mata Aditya. Wanita berbulu mata lentik itu mengukir senyuman paling indah dalam pandangan Aditya.Aditya segera bangkit dari tempat tidurnya. Dia kini sudah berhadapan dengan Raya. Keduanya saling memandang satu sama lain. "Aku sangat mencintaimu Pak Aditya." Suara lembut itu berdesis tepat di dekat telinga Aditya. Bibir Raya yang penuh dengan aroma khas, masih berada di dekat telinga Aditya.Aditya seperti terkesima. Ucapan Raya barusan, membuat Aditya membeku. Lidahnya kelu seperti sulit untuk berbicara. Debaran jantungnya bahkan lebih kencang daripada biasanya. Raya sudah berada dekat sekali dengan Aditya, jarak diantara keduanya hanya beberapa sentimeter saja. Suara dag dig dug jantung terdengar semakin kencang saja."Pak Adit kenapa diam saja? Kenapa tidak jawab perasaan saya? Pak Adit tidak cinta sama saya?" Raya bertanya lagi masih dengan suara manja yang meluluhkan hati."Bukan seperti itu. Saya merasa ini seperti mimpi. Apakah ini mimpi
Malam itu sangat terkesan bagi Aditya. Dia pertama kali makan di pinggir jalan tapi dengan sajian yang sungguh lezat layaknya seperti di restoran bintang 5.Bahkan ketika sampai di rumah dan ketika Aditya sudah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia tetap saja tidak bisa tidur. Matanya masih terbuka, menatap ke arah langit-langit kamar. Senyuman yang indah itu masih terbayang di matanya. Senyuman yang tidak bisa dilupakan itu ternyata milik Raya. "Mengapa senyuman Raya sangat mirip sekali dengan Sarah?" Aditya berbicara sendirian penuh tanda tanya. Dia gelisah, padahal waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga dini hari.Aditya memutuskan untuk bangun dari tempat tidurnya. Dia menggaruk kepala yang tak gatal. Matanya enggan untuk terlelap. Padahal besok pagi dia harus pergi ke kantor untuk mengurus pekerjaan yang sempat tertunda. Aditya kemudian keluar dari kamarnya, dia akan pergi ke dapur untuk mengambil air minum guna melegakan tenggorokan. Ketika telah sampai di dapu
Aditya tak jadi makan di restoran itu. Dia lebih memilih menuruti permintaan Raya untuk kembali ke mobilnya."Harusnya kamu jangan diam aja, kalau Selin kembali menghina kamu seperti itu, kamu harus lawan dia," kata Aditya kepada Raya. Dia belum menyalakan mesin mobil dan masih menenangkan hatinya yang masih terasa emosi."Untuk apa dilawan, Pak? Di mata yang membenci, kita akan selalu salah. Bagaimanapun cara kita membela diri. Apalagi kalau sampai saya melawan Non Selin, tentu saya akan semakin buruk di matanya. Biarkan saja Non Selin dengan kebenciannya pada saya, suatu saat ketika hatinya sudah terbuka, Saya yakin Non Selin akan menjadi baik pada saya," tutur Raya dengan begitu tenangnya. Tidak seperti Aditya yang masih terasa emosi akibat kelakuan adik iparnya di depan semua orang.Aditya semakin kagum kepada Raya. Dia menatap Raya begitu dalam. "Kamu memang baik, Raya. Tapi anehnya, mengapa Selin malah tidak menyukaimu," gumamnya. "Lupakan saja, Pak. Yang penting saat ini, kita
"Kenapa tidak menjawab?" Aditya bertanya lagi. Rupanya dia masih menunggu jawaban dari Raya.Raya terlihat mengatur nafasnya terlebih dahulu. "Kalau saya masih mencintai Mas Raihan, untuk apa waktu itu menggugat cerai? Saya hanya turut bersedih atas duka yang tengah dialami Mas Raihan. Bukan apa-apa, biar bagaimanapun dia pernah menjadi bagian dari hidup saya. Itu saja," jelasnya sambil menurunkan tatapan."Maafkan kalau saya telah lancang bertanya seperti itu pada kamu." Aditya menjadi tidak enak hati."Tidak apa-apa, Pak." Raya masih menunduk.Aditya segera melajukan kendaraan meninggalkan area rumah Wati.Langit terlihat sudah gelap, Raya dan Aditya masih dalam perjalanan pulang. Jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan. Aditya sudah menunjukan pukul sebelas malam. Perutnya terdengar mengaluarkan suara.Kruekkk kruekkk!Raya mendengar suara dari perut Aditya barusan. Dia menoleh. Ternyata perut Presdir setampan Aditya bisa mengeluarkan bunyi laparnya.Aditya tampak
Sadar akan kedatangan Aditya, Raya segera menghapus air matanya dengan jari tangannya."Kenapa, Raya?" Aditya bertanya lagi, terlihat mencemaskan Raya."Baru saja saya mendapatkan kabar melalui telepon, Mama Wati baru saja meninggal," jawab Raya. "Kenapa kamu sedih? Bukankah selama ini Wati selalu jahat sama kamu?" Aditya menjadi heran."Tidak, Pak. Jangan katakan seperti itu. Mama Wati tidak jahat, mungkin dia hanya sedang khilaf saja. Semoha Tuhan mengampuni dosanya," bantah Raya.Aditya pun tak bisa proses lagi. Dia sadar bahwa Raya memang wanita yang berhati baik dan mulia. Raya mudah memaafkan seseorang yang bahkan telah menyakitinya."Jikalau kamu ingin melayat, saya bisa mengantarkan kamu." Aditya pun langsung menawarkan diri."Tidak usah, Pak. Pak Adit baru saja tiba dari kantor, pasti masih capek. Pak Adit harus istirahat karena saya bisa pergi sendiri untuk melayat," tolak Raya dengan lembut. Dia memang tidak mau merepotkan Aditya, atau siapapun. "Tidak apa-apa, Raya. Saya
Tubuh Raihan sudah terlihat rapih. Setelah mempersilahkan Raya masuk, Dia pun langsung terduduk di kursi plastik di dekatnya. "Kedatanganku ke sini ingin menjenguk Mama. Bagaimana dengan kabar mama?" Raya bertanya setelah duduk di kursi yang terlihat sudah lapuk."Keadaan mama kian memburuk. Kini beliau hanya bisa tertidur di atas kasur. Tidak berdaya," jawab Raihan dengan suara lemah, seperti ada yang menghalangi di tenggorokan."Jika diperbolehkan, aku ingin melihat mama sekarang," pinta Raya terenyuh hatinya."Boleh. Mama ada di kamar. Mari aku antar." Raihan berusaha bangkit dari tempat duduk. Kakinya terlihat gemetar. Berjalan pun nampak pelan."Mas, kamu sakit?" Raya menjadi bertanya melihat keadaan Raihan yang miris itu.Raihan menahan langkahnya. Ia menoleh kembali pada Raya, kemudian menganggukan kepala."Sudah lama, Mas? Apa karena kecelakaan itu, kamu menjadi sakit?" Raya bertanya lagi karena penasaran. Bagaimana tidak penasaran melihat tubuh Raihan yang kurus kering itu.
Raya menjadi histeris, kembali menangis ketakutan di dalam mobil Aditya. Menggeleng-gelengan kepalanya, menutup kedua telinga dengan telapak tangan. "Tidak mau! Jangan!" pekiknya.Melihat Raya yang nampak ketakutan, membuat Aditya menjadi terenyuh. Jahatnya pria tadi sehingga membuat Raya menjadi trauma."Tenanglah, saya di sini akan menjaga kamu," tutur Aditya dengan lembut. Namun Raya tetap saja menangis histeris.Hingga pada besok harinya Aditya memutuskan untuk membawa Raya ke psikolog, guna menyembuhkan traumanya. ***Di atas pusara anak kecil, Raya sudah menekuk lututnya. Pagi itu, Raya sengaja datang ke makam anaknya. Raya mengusap nisan anaknya sambil membendung air mata. Bibirnya bergetar tatkala kesedihan itu kembali teringat di benaknya. Selesai dari psikolog, Raya memang meminta untuk mampir ke makam anaknya."Maafkan Mamah, Nak. Sudah lama Mamah tidak menengok kamu. Mamah rindu sekali sama kamu, Nak. Mamah ingin bertemu denganmu, Mamah ingin melihat wajahmu." Pada akhirn