Ketika sore hari menjelang. Hujan lebat mengguyur kota Jakarta dengan derasnya. Membuat seorang gadis dengan kepayahan memarkirkan motornya di salah satu halte bus agar tubuhnya bisa berteduh. Dia lupa membawa jas hujan di motornya sehingga membuat dia terpaksa basah-basahan. Meski sudah menepi tetap saja gamis yang dikenakannya terkena cipratan air hujan.
Apalagi di halte bus itu dia mendapatkan tempat berteduh yang paling ujung. Berkali-kali badannya tersenggol orang lain yang sedang berdesakan dengan niat yang sama. Melindungi tubuh mereka agar tak kebasahan.Setengah jam sudah hujan belum juga reda. Membuat Indira merasa kedinginan. Apalagi gamis yang dipakainya kini sudah hampir setengahnya basah. Mau meneruskan pulang pun tak mungkin karena dia memang tak bisa sama sekali terkena hujan. Tubuhnya akan langsung sakit jika memaksakan diri.Sedangkan orang lain yang tadi ikut berdesakkan bersamanya sudah sedikit demi sedikit berkurang. Mereka ada yang memilih naik bus, angkot, bahkan menerjang hujan. Sudah pukul lima sore satu jam dari terakhir dia pulang. Membuat Indira sedikit gelisah karena takut orang tuanya cemas.Tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti. Kacanya terbuka menampakkan laki-laki tampan yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan. Kini mobilnya ada di hadapan gadis itu.“Masuk, Ra!” perintah laki-laki itu.Indira mendongak netranya tertuju pada seorang pria di dalamnya. ‘Kenapa kami selalu bertemu? Sekuat tenaga aku menghindar kenapa dia selalu ada saat aku dalam kesulitan?’ batin gadis itu.“Ya ...?” Dia masih tak mengerti apa yang diucapkan pria itu.“Masuk. Hujannya sangat lebat. Biar kuantar kamu pulang!” teriak lelaki itu. Hujan sangat lebat sehingga membuat suaranya tak bisa terdengar kalau dengan nada biasa.“Enggak usah, Mas. Biar nunggu hujan reda saja. Lagi pula motorku nanti siapa yang bawa,” tolak Indira.“Jangan keras kepala, Ra. Hujannya sangat lebat. Saya enggak tahu kapan ini akan berhenti. Nanti kamu enggak bakal bisa pulang. Apalagi orang tuamu pasti menunggu dengan cemas.”“Tapi ....”Benar juga yang dikatakannya. Indira memang sejak tadi gelisah takut orang tuanya mengkhawatirkannya. Dengan terpaksa dia menuruti apa yang diperintahkan pria itu. Masuk ke dalam mobil di sebelah kemudi.“Tapi ... motor saya bagaimana, Mas?” tanyanya lirih.“Biar nanti saya suruh orang untuk mengambilnya. Yang penting kamu aman. Kamu itu bagaimana. Kautahu, kan, kalau kamu tak bisa kehujanan dan kedinginan. Apalagi tubuhmu alergi dingin.”Indira terkejut dengan ucapan Aryo. Bagaimana mungkin dia tahu kalau dirinya punya riwayat alergi dingin? Alis gadis itu bertaut.“Mas Aryo tahu dari mana saya alergi dingin?” cecarnya. Indira yakin ada sesuatu yang dirahasiakan Aryo.“Hmm ... i-itu. Saya hanya menebak saja. Tadi saya melihatmu menggigil kedinginan. Nanti kamu malah sakit,” kilah Aryo.Secepat mungkin dia menutupi segala kegugupan di wajahnya. Mengingat gadis di sebelahnya yang terlihat pucat karena menahan dingin. Aryo berinisiatif memberikan jasnya untuk gadis itu.“Ini, pakailah biar kamu tak kedinginan.”Lagi-lagi Indira heran dengan sikap Aryo. Namun, karena memang dia sedang membutuhkan sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya. Gadis itu menerima dan memakainya, membuat pria di sebelahnya mengulaskan senyum.Selama perjalanan tak ada percakapan di antara mereka. Sama-sama canggung serta gugup yang dirasa. Indira hanya memandang hujan dari kaca jendela di sebelahnya. Sedangkan Aryo fokus menyetir. Meski ada sesuatu yang aneh yang mereka rasakan ketika sama-sama berada dalam mobil yang sama.Setelah sampai di halaman rumah Indira Aryo memarkirkan.“Makasih, Mas sudah memberikan tumpangan untuk saya.”Aryo mengangguk lalu gadis itu turun. Saat sudah menutup pintu mobil Aryo melihat gadis itu pingsan di sebelah mobilnya. Seketika itu pula pria itu keluar dari mobil serta berlari melihat Indira.Matanya terbelalak ketika melihat gadis itu sudah tak sadarkan diri. Dia memangku tubuh gadis itu ala bridal style. Selanjutnya membawanya ke rumah Indira. Mengetuk pintu agar ada yang membukanya. Ibu gadis itu terkejut ketika melihat putrinya pulang dalam keadaan tak sadar.Sedang di sudut ruang tamu sana. Ada seseorang yang lebih terkejut dari semuanya. Aryo memaku tak bergerak ketika dia secara tak sengaja melihat orang itu.Siapakah orang yang dimaksud?Akan tetapi, wanita itu berhenti sejenak di depan pintu. Sorot matanya menangkap sosok tampan di dalam sana yang tengah mengusap perut Indira. Ia berniat kembali berbalik arah, tetapi Indira melihat Wulan yang bergegas langsung memanggilnya.Wulan menoleh dan tersenyum menatap adik madu dan sang suami. Sebenarnya, ia pergi bukan karena cemburu, tetapi lebih karena tidak enak hati telah mengganggu kebersamaan Aryo dan Indira. Wulan memasuki kamar adik madunya. Aryo segera berdiri menghampiri Wulan dan merangkulnya. “Mbak cuma mau nyuruh kamu turun. Kita makan bersama. Hidangannya sudah siap ,” ujar Wulan.“Mbak masak sendiri?”“Iya spesial buat kamu, Ra. Mbak masak ayam bakar.”“lho, kok repot-repot sih, Mbak. Padahal Mbak Wulan sendiri pasti capek ngurus Salma dan anak-anak, kan?” ujar Indira memandang heran wajah kakak madunya yang seperti tak pernah merasa capek.“Wulan memang begitu, Ra. Dia wanita hebat yang seperti tak pernah kenal lelah dalam hidupnya,” timpal Aryo dan mendap
Mereka jalan bersama sekedar melihat wahana yang ada. Siang ini udara begitu panas sehingga membuat para pengunjung kegerahan. Begitu pun dengan Indira, seketika tubuh Indira lemas dan matanya sedikit berkunang. Penglihatannya mulai redup seakan hari akan menjelang malam. Indira tak sadarkan diri. Untung saja, Salma sedang Wulan susui pun tangan Aryo sigap tubuh sang istri dan bergegas membawanya ke rumah sakit terdekat. Satu keluarga itu panik bukan main melihat Indira tak sadarkan diri. Apalagi, Aryo, kentara sekali kekhawatiran di wajah pria itu.Setelah sampai, Indira segera ditangani oleh dokter.Selang beberapa saat, dokter yang memeriksa Indira keluar dengan wajah senyum merekah. Aryo bergegas menghampirinya. “Ada apa dengan istri saya, dok? Kenapa dia bisa pingsan gini. Apa istri saya sedang sakit, dok?” cecar Aryo. Wulan mengelus punggung sang suami agar tetap bersabar.Bibir dokter itu tersenyum lebar. Lalu mengulurkan tangan pada Aryo dan mengucapkan selamat. Membuat keb
Sudah beberapa hari ia tinggal di rumah baru, membuat Indira sedikit kesepian. Pasalnya, ia merasa masih asing di tempat ini. Apalagi, seminggu ini Aryo tak bisa berkunjung seperti biasanya. Ia harus rela jatahnya bersama sang suami kini terganggu gara-gara kondisi kehamilan Wulan yang membuat semua orang khawatir.Bagaimana tidak, selama tujuh hari ini, badan Wulan lemas dan muntah-muntah. Bahkan, setiap ia memakan nasi atau pun bubur pasti selalu tak masuk. Terkadang Wulan hanya mau makan roti dan pisang saja. Untunglah, kedua makanan itu pun termasuk ke dalam sumber karbohidrat. Jadi, menurut dokter itu tak begitu membuat khawatir. Namun, tetap saja ia tak bisa meninggalkan sang istri begitu saja. Meski, ia merasa bersalah telah abai terhadap istri yang lain.“Maaf, Ra. Mas benar-benar tak enak sama kamu. Maaf juga kalau Mas sudah abai sebagai seorang suami,” ujar Aryo ketika ia menyempatkan diri untuk mampir ke rumah istri keduanya meski hanya bisa sebentar, itu pun sepulangnya A
Setelah memastikan Wulan baik-baik saja selepas siuman. Aryo terpaksa harus meninggalkan istri pertamanya untuk melanjutkan rencana kepindahan Indira, itu pun atas izin dari Wulan.“Mas pergi saja. Bukankah ini sudah direncanakan Mas beberapa bulan yang lalu. Aku enggak apa-apa, kok. Sekarang sudah lebih baik. Lagi pula, ini bukan kehamilan pertamaku. Jadi, aku udah bisa jaga diri.”Indira yang duduk di ranjang menemani Wulan menggeleng.“Enggak, Mas. Jangan tinggalin Mbak Wulan. Kepindahanku bisa dipending, tapi kesehatan Mbak Wulan lebih penting. Aku enggak mau kecolongan lagi, terus Mbak malah kembali pingsan,” kekeh Indira tak ingin mengindahkan ucapan kakak madunya.“Mbak enggak apa-apa, Ra. Kamu jangan khawatir. Tadi, Mbak pingsan gara-gara kelelahan aja. Beberapa Minggu ini kan kegiatan Danish di sekolah banyak banget, terus belum lagi kerjaan rumah yang enggak selesai-selesai. Mungkin itu juga yang membuat tubuh Mbak drop.”“Apa perlu Mas nyari orang lagi buat nemenin kamu di
Hari sudah menjelang malam. Mereka sibuk merapikan barang yang akan di bawa ke rumah barunya. Ada perasaan sedih karena harus meninggalkan kamar yang menyimpan banyak kenangan. Indira menatap foto keluarga saat dirinya masih kecil. “Kalau kamu belum siap untuk pindah, enggak papa kok, Sayang,” ucap Aryo seraya menepuk pundaknya.“Insya Allah aku siap kok, Mas. Sudah kewajibanku sebagai istri untuk nurut sama suami.”“Makasih ya, Sayang. Aku janji akan selalu berusaha menjaga dan membahagiakanmu semampu yang aku bisa. Aku enggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi.”Indira mengangguk sambil tersenyum. “Mbak Wulan gimana, Mas? Udah tahu aku mau pindah? Keberatan enggak? Soalnya aku enggak enak sama Mbak Wulan. Mas Aryo udah ngasih aku rumah,”“Udah, Sayang. Wulan juga senang kalau kamu bahagia. Lagi pula, kamu juga berhak mendapatkannya. Mas jadi tenang sudah memberikan tempat tinggal layak untuk kalian berdua. Berarti fokus Mas kedepannya untuk membiayai kalian berdua dan yang
“Maafkan kesalahan anak kami ya Nak Indira. Maaf sebagai orang tua kita nggak becus mendidik anak. Kami menyesal sekarang atas semua perbuatan Rama sama kamu,” ujar ini Bu Rina sambil memohon maaf dengan berurai air mata.Indira meraih tangan Bu Rina dan menggenggamnya dengan erat.“Aku memaafkan semua kesalahan Mas Rama dulu. Meski sulit, tapi aku sedang berusaha untuk ikhlas. Lupakan semua yang telah terjadi. Bukankah Allah maha pemaaf kenapa kita saja sebagai hamba yang tak memiliki kuasa tidak?“Lagi pula, aku bersyukur dengan jalan ini, bisa mengenal sosok kakak seperti Mbak Wulan,” tambahnya lagi. Mendengar ucapan Indira, Buu Rina menghambur ke arah madu sang putri dan memeluknya erat. Ia mengucap terima kasih karena sudah mendapat maaf dari mereka. Hatinya sedikit lega. Padahal, ia dan sang suami sempat berpikiran picik terhadap wanita itu.Keduanya kira, Indira itu wanita yang gila harta sehingga mengincar Aryo dan bahkan mau menjadi istri kedua dari menantunya. Ternyata sang