"HEY, resletingmu belum benar itu!"
Seketika Dipta menutup telponnya karena mendengar Bima mengingatkannya. Benar saja, resleting itu masih terbuka.
Oh Tuhan!
Kini dia tak bisa berpikir jernih. Bayangan Lana masih saja membuatnya tak bisa bertindak layaknya manusia normal.
Lana telah menghapuskan rasa dahaga yang selama ini ia miliki. Ajaibnya, memang hanya Lana yang bisa memenuhi rasa itu bagi Dipta. Bukan lagi Alina.
Untuk sementara waktu, ia harus melupakan ini sejenak karena ada hal penting yang harus ia selesaikan.
Farel dan keluarganya sudah menunggunya.
**
Sibuk mengejar karir barunya sebagai pekerja di kafe milik Farel, Lana baru merasakan kelelahan yang luar biasa saat malam menjelang.
Paginya, seperti biasa dia harus datang ke rumah Dipta untuk menyusui anaknya.
Suatu hari, Lana sudah di ambang batas kekuatannya. Fisiknya kelelahan dan akhirnya dia pun jatuh sakit.
Badannya panas demam.
Sesampainya di tempat kerja, Lana masih bisa menata kursi-kursi kafe dan mejanya. Bahkan masih sempat mengepel seluruh lantai interior. Giliran dia mau membersihkan kaca jendela luar, pandangannya tiba-tiba gelap.Tangannya yang tadi meraih beberapa tempat tinggi, kini sudah lemah terkulai dan mencari-cari pegangan.Dia tahu kakinya tak cukup kuat lagi menopang.Dan akhirnyaa...Lana ambruk dan tidak ingat lagi kejadian setelahnya!Tubuh Lana masih terbujur di tempat istirahat karyawan. Dia tak mau menggunakan cuti tahunannya karena ini baru masuk bulan ke tiga dia bekerja."Tubuhmu demam, Lan!" Ucap Pak Farel. Bosnya merasa hutang budi karena pernah diselamatkan oleh Lana dan Dipta saat dia kambuh penyakitnya."Pak, saya belum...belum selesai membersihkan kaca-kaca!" Lana teringat pekerjaannya yang belum usai.Soal urusan tanggung jawab pekerjaan, dia memang cukup bisa diandalkan."Iya, semua sudah beres. Teman-teman kamu baik, jangan mikir kerjaan dulu. Tubuh kamu perlu istirahat d
"HEY, resletingmu belum benar itu!"Seketika Dipta menutup telponnya karena mendengar Bima mengingatkannya. Benar saja, resleting itu masih terbuka.Oh Tuhan!Kini dia tak bisa berpikir jernih. Bayangan Lana masih saja membuatnya tak bisa bertindak layaknya manusia normal.Lana telah menghapuskan rasa dahaga yang selama ini ia miliki. Ajaibnya, memang hanya Lana yang bisa memenuhi rasa itu bagi Dipta. Bukan lagi Alina.Untuk sementara waktu, ia harus melupakan ini sejenak karena ada hal penting yang harus ia selesaikan.Farel dan keluarganya sudah menunggunya.**Sibuk mengejar karir barunya sebagai pekerja di kafe milik Farel, Lana baru merasakan kelelahan yang luar biasa saat malam menjelang.Paginya, seperti biasa dia harus datang ke rumah Dipta untuk menyusui anaknya.Suatu hari, Lana sudah di ambang batas kekuatannya. Fisiknya kelelahan dan akhirnya dia pun jatuh sakit.Badannya panas demam.
Dia memang terlihat sangat lelah. Sengaja lelaki itu membiarkan Lana tertidur."Aku merindukanmu, Lana." Bisik Dipta."Bagaimana kondisi Farel, Nak?" Suara seorang wanita mengagetkan Dipta yang sedang menikmati situasi romantis dengan Lana."Oh, Tante?" Dipta yang awalnya berniat membelai Lana, harus mengurungkan niatnya kembali.Tapi dia juga tidak bisa bangkit untuk berdiri dan menyalami Mama dari Farel."Farel sudah stabil. Tadi sempat diperiksa oleh dokter juga, katanya tidak ada luka yang serius. Hanya ada benturan ringan di lengan kanannya. Itu saja.""Syukurlah..." Mama Farel tampak lega dan disusul oleh Papa serta beberapa orang lain.Ada adik laki-laki Farel juga."Lho, Kak Dipta, siapa cewek ini?" Tanya sang adik yang baru saja datang menyusul sang Mama."Ini... dia karyawan Farel." Jawab Dipta sedikit gugup."Begitu ya? Tapi... kenapa dia sampai bersandar di bahumu?" Selidik adik Farel."Ta
Lana ketakutan. Bisa saja ini adalah tipuan dan rencana kejahatan dari orang yang tidak bertanggung jawab.Bagaimana ini? Jelas tidak mungkin dia membangunkan pembantu atau Bibinya. Keduanya sudah pasti kelelahan.Untung saja dia menyimpan nomor lelaki itu.Harap-harap cemas dia memberanikan diri untuk memencet kontak itu di teleponnya."Halo, Pak?" Ucapnya pelan.Sebenarnya dia juga diliputi rasa ketakutan karena khawatir bagaimana jika saat dia menelpon malam-malam begini, justru istrinya yang mengangkat dan memakinya!"Iya? Ada apa Lana?""Ada telpon..katanya Pak Farel kecelakaan. Dan aku diminta ke TKP. Aku... takut!" Bisik Lana ketakutan.Di saat tengah malam begini? Farel kecelakaan? Dipta masih mencoba mencerna satu-satu kalimatnya.Lana menjelaskan tentang kronologi telpon tadi."Apa itu bohongan, Pak?" Tanya Lana sambil berharap bahwa ini hanyalah sebuah skema penipuan. Siapa tahu kalau bos yang baik hati
Lana mematung dan kebingungan di situasi yang sama sekali tidak ia duga.Bagaimana bisa bosnya, Pak Farel berpelukan erat dengan Dipta?Keduanya adalah dua sosok yang sangat bertolak belakang tapi bisa akrab? Pasti ada hal yang Lana tidak ketahui."Kok bisa di sini?" Farel tak menyangka akan bertemu dengan Dipta, terlebih sepagi ini di Kafenya."Kebetulan saja tadi aku lewat dan melihat kamu keluar dari mobil, makanya aku mampir. Kapan lagi bisa ketemu bos kafe dan hotel kenamaan di pagi-pagi begini, iya kan?" Kelakar Dipta yang disambut tawa oleh sahabatnya."Ah, bisa aja. Malah kamu yang hebat, bisa punya bisnis properti dan segala macam dengan perkebunan. Bapaknya saja juragan apalagi anaknya!!" Ledek Farel membalas pujian Dipta."HAHAHAHA!" Keduanya tertawa lepas. "Sejak pulang dari Amerika, aku memang kembali ke kota kita tercinta ini... Mau bagaimanapun, aku harus mengelola tanah sejengkal milik orang tuaku..." Dipta sayup-sayup terdengar bercerita dengan Farel."Ah, I see. Jad
"Bibi, tapi aku... tulus mencintai Lana, dan bagiku siapa Lana itu tidak penting. Apalagi masa lalunya...""Bima, itu kamu bisa mengatakan ini sekarang. Nanti, setelah kalian menikah dan punya anak, Bibi yakin semua akan berubah..." Terang Bibinya. Tangannya mulai mengelus punggung lelaki itu. "Kamu tahu, kan? Keluargamu adalah keluarga bangsawan!""Tapi..."Bibinya terus meyakinkan. Ini adalah tugasnya. Ini adalah kewajibannya sekarang untuk menjauhkan Bima dari Lana. Jika ia ingin terus mendapatkan transferan dari nomor tak dikenal itu..."Bima, aku tahu kamu pasti sulit melakukan ini. Kalaupun kamu masih tetap mau memperjuangan Lana agar dia diterima di keluargamu, aku juga akan mendukung. Hanya saja... apa yang aku katakan padamu tadi, pikirkanlah juga ya... Kamu masih muda, ganteng dan kaya raya. Kamu bisa mendapatkan gadis manapun yang kamu sukai..." Tutur kata Bibi kali ini lebih 'damai' dan tidak terkesan memaksa.Dia yakin lambat laun pemuda itu akan benar-benar meninggalkan