Sayangnya, Dipta tampak tak peduli.
Pria itu masih menatap dalam Alina, sang istri pertama. "Aku bisa jelaskan semuanya!" ucapnya serius.
"Kamu sudah gila!" Alina menjawab dengan menunjukkan jari telunjuknya.
Dia lalu segera melangkah menuju ke ruang tengah. Meninggalkan Dipta yang hanya menggenakan celana panjang dengan kemeja yang berantakan. Saat ini tampilannya nampak sangat acak-acakan. "Tuan..Saya pusing...." Suara Lana kembali terdengar.Kali ini begitu lemah.
Tak diduga Lana pingsan."Sialan!" Dipta berteriak ke pengawal atau pembantu agar menolong Lana.
Untungnya, tak lama, seorang pembantu datang."Tolong, dia!"
Begitu memastikan Lana dirawat, Dipta pun berlari keluar tanpa alas kaki mengejar Alina.
"Alina..." Dipta menggedor kaca pintu mobil sedan berwarna putih. "Plisss Alina..Pliss . .Tolong dengarkan penjelasanku.." Berkali-kali Dipta berusaha untuk merayu istrinya yang sedang marah besar. Urung, Alina malah mengunci pintuNamun meski mobilnya dalam keadaan mesin menyala, ia tetap terdiam di tempat.
Alina menempelkan kepalanya ke setir mobil sambil menangis sesugukan. "Penipu!!" teriak Alina di dalam mobil. Sementara ia harus melihat pemandangan di luar, suaminya menggedor-gedor kaca jendela dan memohon-mohon padanya. "Buka Alina!" Dipta makin keras memukul kaca jendela. Hingga akhirnya ia putus harapan dan mengambil sebuah batang besi yang berada di dekat semak-semak. Dengan jelas Alina bisa melihat suaminya akan memukul kaca jendela mobilnya dengan besi itu. Mau tidak mau Alina akhirnya kembali membuka pintu mobilnya. Wajahnya datar dan memalingkan pandangan dari suaminya. "Aku mohon, beri kesempatan aku untuk bicara..." ucap Dipta tiba-tiba. Sambil menyilangkan tangan, Alina mendengarkan Dipta bercerita panjang lebar tentang kejadian tak terduga yang menimpanya kemarin. Alina tertegun mendengarnya.Cukup lama, sebelum dia kembali bersuara, "Aku butuh waktu..."
Setelahnya, wanit itu kembali membuka pintu mobil dan meninggalkan Dipta begitu saja. Di sisi lain, setelah mendapat perawatan, Lana sudah sedikit baikan.Dengan mengendap-endap, Lana segera kabur dari tempat Dipta semalam.
Ia tidak ingin Dipta ataupun istri pertamanya tahu.
Hanya saja, saat Lana melewati rumah Juragan Sabri, ia dihadang oleh seorang pria muda yang baru dilihatnya hari ini. Lana berhenti dan memperhatikan pria itu sejenak."Maaf, permisi Tuan..?" tegurnya.
Namun, pria itu malah berpindah tempat dan berada di tengah pintu masuk dan menghalangi Lana sejenak. "Abimanyu...Panggil saja Bima..."Sebuah uluran tangan berada tepat di depan Lana.
Lana tertegun memperhatikan pria yang kira-kira lebih tua beberapa tahun saja darinya. "Saya Lana.."Begitu mengenalkan diri, Lana langsung melewatinya dan menyelimutkan kembali kain yang menjadi penutup lengan dan bahunya yang terbuka.
Dan ketika mulai memasuki rumah, Lana tersadar jika ia tak memiliki tempat atau ruangan tersendiri untuknya. Ia sedikit kebingungan dan mulai mencari kira-kira dimana tempat kosong yang bisa ia gunakan untuk kamar. "Kamu mencari apa?"Deg!
Rupanya, Bima masih mengikuti Lana dari belakang.
"Maaf sayaa..." Lana ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya lebih jauh lagi. "Apakah kamu pembantu baru di sini?" Diam-diam Bima memang memiliki rasa penasaran yang tinggi pada Lana. "Atau kamu mau menempati kamarku saja?" godanya lagi. Lana tidak berani memandang wajah Bima. Ia hanya diam dan menunggu seseorang datang untuk dimintai tolong. "Ayolah.. kalau cuma pembantu, kamu malah lebih enak tinggal di kamarku saja..." tawa Bima terkekeh. "Maaf saya bukan wanita yang seperti itu..." jawab Lana dengan memejamkan kedua matanya. Sejujurnya ia bingung harus berbuat apa. Karena tidak ada seorangpun yang dekat dengannya di rumah ini. "Tetapi, aku bisa memberikanmu sesuatu yang jauh lebih baik dari sekedar jadi pembantu!" Diam-diam Bima mendekati Lana dari arah belakang. Kedua tangannya bersiap memeluk Lana yang ketakutan setengah mati. "Lana.. Namamu cantik..." Bima berbisik dengan pelan. Tangannya mulai bermain dengan perlahan memegang pinggul Lana. "Bukalah selendangmu ini.. Aku ingin melihatmu seperti saat kamu berlarian ke rumah ini..." "Tuan..Maaf..Saya bukan wanita seperti..." "Kenapa kamu takut kalau ada yang melihat?" goda Bima lebih lama. Sekujur tubuh Lana bergetar. Hatinya terus mengatakan agar menjauhi pria yang bernama Bima. Namun raganya lemah, tak kuasa lagi untuk berpindah. Bibir Lana berubah memucat. Wajahnya sayu. Ketakutan yang luar biasa membuatnya terdiam kaku. "Apakah kamu takut padaku?" tanya Bima lagi. Lana hanya bisa mengangguk dengan mata yang memelas. Bima tak kuasa menahan tawanya sendiri. "Hahahaa..Maafkan aku, aku hanya bercanda!" gelak tawa Bima memenuhi seantero rumah Juragan Sabri yang besar. Suara Bima menggema ke mana-mana. "Jangan takut Lana. Aku bukan laki-laki seperti yang kamu pikirkan..." Kalimat yang keluar dari mulut Bima belum bisa membuat Lana percaya sepenuhnya. Ia masih ragu dengan ucapan Bima. "Tenang Lana..Aku hanya memancingmu saja.." kini Bima malah menjadi salah tingkah. Ia takut jika Lana berprasangka yang tidak-tidak padanya. "Iii...iiyyaaa..." Lana menjawab dengan pelan. Selang beberapa saat Mbok Mirah datang dari arah belakang. Ia lari tergopoh-gopoh saat tahu Lana hanya berdiri mematung kebingungan."Lana...." panggilnya. "Sebaiknya kamu ke kamar Tuan Dipta.."
Mbok Mirah segera mengajak Lana untuk masui ke kamar Dipta.
"Jj jaangan Mbok Mirah," tolak Lana. Ia seperti ketakutan saat mendengar nama pria yang menjadi suaminya sendiri. "Ayolah, tidak apa-apa..Kamarnya Tuan Dipta kosong, tidak ada yang menempati.."Bima yang belum sadar situasi malah mengira Mbok Mirah mendukungnya!
"Ayoo..." Tanpa diminta, Bima memegang tangan Lana dan mengajaknya masuk ke kamar Dipta. Tangan Lana masih mengepal--masih menolak diajak masuk ke kamar Dipta. "Tunggu apa lagi?" Genggaman tangan Bima makin kuat. Mau tidak mau Lana harus mengikuti kemana kaki Bima melangkah. Hanya saja, tanpa sepengetahuan Bima, Dipta sudah berdiri tepat di sampingnya."Lepaskan istriku!"
"Kamu kenapa dari tadi ruwet? Ayo, antarkan aku! Aku sudah rindu sama cucuku!" Sosok tua itu malah masuk ke dalam mobil dan menutup pihtunya dengan keras."AYOOO!"Sang sopir kini keringat dingin, bingung harus membawa ke mana juragannya sekarang...Ah, entahlah. Dia tak kuat jika harus memikirkan masalah ini sendiri."Kita harus segera ke sana!" Juragan Sabri asal saja bicara."Baik, Juragan!" Di tengah perjalanan, sengaja Sapto mencari rute yang agak panjang sambil berharap ada keajaiban.Tak terasa saking lelahnya, Juragan Sabri tertidur. Tak tahunya dia dibawa oleh sopirnya menuju rumah Lana. Dia masih ingat kalau rumah itu berlokasi di tempat pemukiman padat penduduk."Gila, kamu!" Sesampainya di rumah Lana, Juragan terbangun."Kenapa Juragan?" Tanya Sapto kebingungan.Bukannya tadi minta diantarkan ke tempat Arjuna? Apa dia salah lagi! Sapto serba salah dan tak tahu harus bagaimana. Semoga saja Tuan Dipta mengampuninya."Kamu kan tadi aku suruh antar ke tempat cucuku, bukan mal
"Iya, sering-seringlah datang ke sini, Nak Dipta! Biar Arjuna tidak kesepian..." Bibinya berkata."Boleh, Bi. Biar saya bisa sering makan masakan Bibi sekaligus... siapa tahu nanti Arjuna bisa punya adik lagi!" Celetuk Dipta."Pak Dipta!" Lana mencubit lengan suaminya karena kaget!"Lha ya nggak apa-apa toh!" Bibinya mengamini kalimat Dipta. "Itu bagus, kamu mumpung masih muda, bikin anak sebanyak-banyaknya. Nanti kalau sudah berumur nyesel..""Boleh, Bi. Asalkan Lana mau, saya siap kapan saja!"Lama-lama Dipta sudah mulai berani bicara yang tidak-tidak. Tangan Lana menarik dan mendorongnya keluar."Permisi dulu, Bi!"Saat di teras depan, Lana memprotes."Pak, lain kali jangan bicara yang seperti itu di rumah." Pesannya seakan melarangnya untuk datang lagi. Sudah cukup Lana dipermalukan seperti ini."Kenapa? Aku hanya bercanda, Lan. Bibimu sepertinya lebih ramah dari kamu." Sahut Dipta tahu kalau dia dipersalahkan terus."Ya, tapi jangan membuat orang lain berharap. Pak Dipta kan tah
"Aku sudah menyampaikan apa yang akan aku sampaikan. Jika kamu menolak untuk melakukan permintaanku, maka... aku tak bisa lagi melindungimu jika sewaktu-waktu orang suruhan Ayahku mengambil Arjuna darimu!"Bagi Lana, itu adalah sebuah ultimatum yang sifatnya bukan candaan.Tapi Lana sudah menyiapkan sebuah rencana untuk menghadapi semuanya..."Lana?""Iya, Pak. Saya hanya bisa menunggu saja..."Meski akan keluar pergi dari rumah Lana, tetap saja Dipta ingin mencoba peluang keberuntungannya.Siapa tahu..."Nak Dipta?" Bibi Lana baru saja muncul dari belakang.Rupanya tadi menyelesaikan memasak dan mendengar ada suara tamu, langsung dilihatnya."Iya, Bibi..""Katanya baru kena musibah? Apa sudah baikan sekarang?" Bibi Lana bertanya dengan nada penuh perhatian.Dari sorot matanya yang tulus, kadang Dipta iri karena Lana rasanya lebih dihargai oleh keluarganya meski tidak sekaya dirinya."Iya, Bi.. tapi sudah membaik, kok." Jawabnya ramah."Lha, kok tidak disuguhin apa-apa to Lan? Ambil m
"Apa syaratnya, Pak Dipta, katakan saja!" Seolah dia justru menantang sang lelaki itu."Beri aku anak satu lagi!"Dipta berkata dengan nada datar. Tanpa emosi dan ekspresi apapun.Wanita berambut hitam legam itu tentu saja terkejut, "Hah? Beri anak lagi? Apa maksud kalimatnya Pak Dipta??"Ini bukanlah jawaban yang diinginkan oleh Lana. Sempat tadi ia menduga jawabannya akan berupa pindah ke rumah Dipta barangkali. Lantas merangkap menjadi asisten alias pembantu barangkali.Mungkin jika yang terjadi adalah demikian, Lana masih bisa mentoleransi."Iya, kamu tidak salah dengar. Beri aku anak!" Ucap Dipta sambil menatap lekat kedua netra Lana yang terlihat menawan."Pak Dipta tahu sendiri bagaimana kondisinya sekarang. Itu tidak mungkin, Pak!" Elaknya."Hmmm... bukannya tadi kamu seperti orang yang sudah siap untuk berperang dan berani melawan apapun yang jadi rintangan!?" Protes Dipta.Ke mana perginya nyali pemberani barusan yang tampak di depan matanya?"Ya, saya kira bukan hal semacam
"Karena mereka... terlalu mengasihani perempuan!" Jawabnya lantang."Bukankah Ayah juga terlalu lembek dengan Sasmita?" Akhirnya Dipta berani bicara."Apa katamu??" Bentak Ayahnya merasa tersinggung."Itu kan yang sekarang terjadi... Ayah dengan mudahnya memberikan dan menyetujui apapun yang Sasmita minta! Termasuk membawa dua anak tirinya ke sini." Cecar Dipta."KAMU INI, BERANI YA?" Juragan Sabri sudah mengangkat tangan kanannya dan hendak menampar anak kandungnya sendiri."Ayah, jangan suka memberikan saran pada orang lain sementara diri Ayah sendiri punya kekurangan!" Dipta bangkit dan berjalan meninggalkan ayahnya sendirian.Sudah cukup dia ditindas dan dihabisi dengan kata-kata ayahnya sendiri.Dia ingin mencari Sapto yang akan disuruh menjemput Arjuna. Bagaimanapun, dia harus ikut menemui Lana secara langsung.Untungnya, Sapto masih memanasi mobil dan menunggu baby sitter itu datang."Sapto!" Dipta berjalan tertatih mengejar sang sopir."Iya, Tuan Muda?""Aku harus ikut ke Lana
"Bukan... Bukan soal Tuan Dipta. Kamu nggak usah khawatir..." Dia menenangkan.Tapi...Lebih besar dari soal Dipta untuk kali ini. Langkah Mbok Mirah sedikit goyah karena sudah membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya jika Juragan Sabri mengamuk!Dan benarlah... saat sampai di rumah, sudah terdengar gelegar suaranya di kamar Dipta."Bagaimana bisa kamu percayakan Arjunaku pada Lana?" Bentak Juragan Sabri saat pulang bersama istri barunya."Kamu sudah gila, Dipta?" Teriaknya di kamar."Ayah, aku bisa jelaskan..." Dipta terdengar berusaha menjelaskan namun sang Ayah bersikeras tidak mau mendengar apapun.Sekali salah akan tetap salah di mata Juragan Sabri.Mbok Mirah mendengar dua orang ayah dan anak yang saling bersilat lidah."Bagimana kamu bisa, Dipta? Kukira kamu ini pintar dan teliti... rupanya kamu ini ceroboh!" Makin menjadi-jadi amukan sang ayah."Tuan, Juragan!" Mbok Mirah langsung masuk setelah mengetuk pintu dan tak didengar seorangpun.Dia merasa perlu untuk melerai.