Lana sedikit mengeluarkan suara.
Ia hanya bisa sedikit melakukan perlawanan.
Sialnya, pelukan itu semakin kuat dan tak membiarkan Lana begitu saja.
Sosok yang tak bisa dilihatnya itu kini bahkan menyeret Lana ke sebuah tempat yang tak diketahui pasti.
Bug!
Kaki Lana secara tidak sengaja menabrak sebuah kaki meja.
"Aduuhhh.." Lana mengaduh. Kakinya terbentur kayu yang begitu keras.
"DIAMMM..."
Tanpa dinyana, sosok yang menyeret Lana dalam kegelapan itu mulai bersuara dengan keras. Sambaran petir di luar menambah rasa takut yang luar biasa.
"Tolong, jangan lukai aku..." Lana mulai berani bersuara.
Rintihan Lana membuat sosok itu kembali bersuara.
"Diamlah.." Kali ini, suaranya lebih lirih dari sebelumnya.
Sorotan kilat yang menyambar membuat wajah sosok itu sedikit terlihat.
Sosok itu membuat Lana terkejut. Tak menduga jika sosok itu adalaha Dipta!
Kedua mata pria itu menatap Lana dengan tajam. Seperti seekor serigala yang kelaparan mencari mangsa dan akan menerkamnya.
"Kamu?"
Tubuh Lana runtuh. Terkulai tak berdaya di lantai.
"Sebaiknya kamu melakukan tugasmu malam ini.."
Deg!
Suara lirih Dipta tepat memeruhi pikiran Lana.
Air mata Lana tak terbendung lagi. Hingga akhirnya menetes membentuk anak sungai di lantai.
Lana merasa tak ada harganya lagi. Dirinya memang sudah nista dan hina.
"Tuaan.. Tuaan..." mendadak Lana lupa dengan nama suaminya sendiri.
"Kenapa?" Bibir Dipta sangat terasa dekat dengan telinganya.
"Saya ini orang miskin. Jangan lakukan, saya tidak mau..."
Semakin Lana merintih. Hati Dipta semakin merasa jumawa.
Entah mengapa, tiba-tiba kepuasan tumbuh di hatinya. Ya, sebuah rasa puas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kamu harus menurutiku..."
Sentuhan pria itu semakin jauh.
Menyerang titik-titik murni di tubuh Lana.
"Tuan.. ingatlah tuan sudah memiliki istri," ucap gadis itu tiba-tiba.
Alis Dipta mengernyit. Ia bahkan sudah hampir lupa jika ia pernah menikah. Bagaimana tidak, Alina istrinya sudah beberapa bulan tidak pulang.
"Diam. Kamu tidak usah mengguruiku!"
Cengkeraman tangan Dipta begitu kuat di pipi Lana.
"Sakit Tuan!" Lana kembali merintih.
Dengan kuat Dipta menggunakan seluruh tenaganya untuk melempar Lana ke ranjang tidurnya.
"Sekarang puaskan aku!"
Tak dinanya sambaran kilat makin menjadi. Gemuruh angin dan hujan bertarung di luar. Suara alam benar-benar menakutkan.
Tangisan Lana tak ada artinya. Alam sedang tidak berpihak kepadanya.
"Kemarilah.."
Dipta sudah menanggalkan kemejanya dan bersiap untuk memeluk Lana yang ketakutan.
Kedua tangan Lana berkumpul menjadi satu. Menggenggam satu sama lain dan memegang selendang merah yang dibawanya dari rumah Juragan Sabri.
Tangan Lana terasa dingin. Keringat dinginpun bercucuran kemana-mana.
Ingin mendorong tubuh Dipta, kedua tangannya malah diraih dan didekap oleh Dipta.
"Kenapa dingin sekali?" tanya Dipta sambil berbisik di telinga kanan Lana.
Sejujurnya, Lana sangat ingin malaikan mencabut nyawanya saat ini. Tapi entah, ia masih saja bisa bernafas dengan baik meski jantungnya berdegup tidak karuan.
"Bukalah..."
Perlahan selendang yang menutupi tubuhnya ditarik oleh Dipta dan dibuang ke lantai.
Kini dengan jelas Dipta bisa melihat bagian lengan dan leher Lana yang tak tertutup selembar kain pun.
"Aku ingin menikmatimu malam ini..."
Tangan Lana meraba-raba, barangkali ada sebuah benda yang bisa ia gunakan untuk memukul pria yang berubah menjadi binatang keji.
"Jangan lakukan itu!"
Lana ketakutan lagi. Dipta segera meraih sebuah vas bunga yang digenggam oleh tangan Lana dalam kegelapan.
"Tuan.." Lana memelas.
Ia hanya ingin kesuciannya diberikan kepada pria yang benar-benar ia cintai, bukan pada pria yang baru ia kenal yang belum genap satu malam.
"Semakin kamu menurutiku, semakin cepat semuanya diselesaikan.."
"Sudahlah Lana, menyerahlah!"
Hatinya berkali-kali bersuara.
Dengan mata terpejam, Lana pasrah. Ia hanya bisa diam saat Dipta, sang suami, mulai menjamah semua yang ia miliki. Semuanya!
Tangis Lana pecah dalam badai dan hujan.
Gerakan Dipta semakin liar.
Dia memacu tubuhnya di atas tubuh Lana--mencari kenikmatan-kenikmatan duniawi.
"Aku tidak menyangka, wanita sepertimu memeiliki kenikmatan yang luar biasa!" geramnya.
Dalam hitungan menit, kedua mata Dipta terpejam.
Mengembara dalam dunia mimpi yang panjang.
Dipta seakan terpuaskan hasratnya oleh Lana, wanita lugu yang baru ia kenal hari itu juga.
Di sisi lain, Lana menangis.
Lengkap sudah penderitaannya dalam satu hari.
Harga dirinya telah terinjak-injak dengan atas nama kemiskinan harta dan jabatan. Dia merasa sangat murahan!
"Bapak, ibuk.. Maafkan anakmu!" batinnya pedih.
Hanya saja, suara di kepalanya malah semakin menjadi-jadi.
"Ingatlah Lana, kamu wanita murahan!"
"TIDAAAKKKK!" Lana membungkam mulutnya sendiri agar Dipta tidak terbangun.Untungnya, hujan makin deras dan menyamarkan tangisannya.
Namun, itu juga pertanda bahwa tak ada celah untuk sembunyi dari guyurannya malam ini.
***
"Diptaaa!"
Teriakan yang diiringi derap langkah kaki begitu jelas terdengar.
Membuat Lana yang masih berselimut tebal tak mendengar suaranya dentuman langkah kaki dari luar.
Sementara dalam lelapnya tidur, Dipta sedikit mendapatkan kesadaran. Bunyi langkah kaki itu terasa sangat ia kenal.
"Diptaaa...."
Suara panggilan itu kembali terdengar samar-samar.
Kedua mata Dipta terbuka. Ia baru sadar jika ada seseorang yang lain yang kini berada di pelukannya.
Tetapi, bukan sosok yang biasa bersamanya.
Tangan Dipta segera melepaskan tubuh yang berada di dekatnya itu. Dipta segera bangkit dan tidak memperdulikannya lagi.
"Alinaaa?"
Suara Dipta menyahut dari dalam kamar lantai satu.
Tak diduga langkah kaki itu secepat elang yang menyambar anak ayam yang sendirian.
BRAAAAKKK!
Pintu kamar terbuka dengan sangat keras.
Dipta masih berusaha mengancingkan kemejanya dan menatap langsung ke arah pintu kamar yang terbuka.
"Siapa dia?"
Sorot mata itu terkejut hingga ingin menjerit sekeras-kerasnya.
Pandangan Dipta dan Alina mengarah pada Lana yang masih baru membuka mata.
Tanpa pikir panjang, Dipta langsung memeluk Alina yang masih belum bisa mencerna apa yang ia lihat. "Tenang Alina..."
Lana sendiri juga bingung dengan situasi ini.
Hanya saja, kepalanya mendadak sakit.
"Tuan, kepalaku sakit..." Gadis itu memegang kepalanya--berharap pertolongan dari "sang suami".
Sementara itu Lana yang tinggal di kamarnya masih merasa semuanya adalah mimpi.Hati Lana kini merasa tak nyaman, saat tak lama setelah kepergian Dipta, Bima sudah berdiri di depan pintu kamarnya."Lana?"Kenapa harus dia yang sekarang ada di sini? Kenapa?Saat sosok itu mendekat, semakin Lana merasa tidak nyaman.Tanpa dia bisa cegah, kini Bima sudah duduk di ranjangnya.Apa ini maksudnya? Kenapa dia berani sekali ke sini."Lana?"Ia masih pura-pura lemah dan tak kuasa merespon."Kamu cepat sembuh ya, Lan?" Belaian tangan itu mulai menjamah rambutnya yang hitam legam.Ia mulai risih."Ah..." Hanya itu yang kali ini bisa Lana ucapkan."Kamu kenapa?"Bima masih belum bisa meninggalkan wanita yang ia cintai sendirian."Aku... tidur dulu!"Ini adalah sebuah kode bahwa Lana tak ingin diganggu untuk sekarang. Ada kecewa yang kini muncul di hati Bima.Sebegitu bencinya kah Lana pada dirinya? Sehingga dia bahkan tak mau menghirup udara di ruangan yang sama!?**Beberapa hari tubuhnya memang
Setelah Dipta keluar kamar, Alina menelpon seseorang."Dipta sudah pergi. Awasi terus! Kalau sampai dia ke rumah gundik itu, lapor aku dan besok akan segera aku tindak lanjuti!" Ancamnya.Dia tak merelakan kalau suaminya terperangkap lagi dengan wanita yang telah melahirkan anak untuk Dipta.Bisa saja ia pura-pura sakit untuk mendapatkan simpati banyak orang. Dalih dan cara kaum menengah ke bawah, di mata Alina... itu adalah hal yang dilakukan orang yang tak sanggup bersaing dengan cara sehat.**"Kamu ke sini lagi?" Bibi kaget karena Bima datang di tengah malam. Padahal tadi sore ia sudah menjenguk Lana."Iya. Aku tadi sempat pulang tapi tidak bisa tidur. Aku ingat Lana terus, Bi."Ucapnya sambil melepaskan jaketnya."Suhunya masih belum turun ya, Bi?" Bima mendekati ke kamar Lana namun pintunya dalam keadaan ditutup."Ya begitulah. Tadi sudah diinfus oleh tim medis. Aku kasihan karena dia masih sangat sedikit makannya, Bim.""Apa perlu aku suapi?" Bima menawarkan diri."Oh, tidak
"Sudah, jangan bicara tanpa bukti!"Tak lama setelah itu, pemuda itu mengeluarkan beberapa tangkapan layar tentang perbincangan Bibinya dengan nomor tak dikenal."LIHAT INI!"Seketika dia tak bisa bicara.Bibinya diam seribu bahasa! Apalagi terlihat bukti transferan selama beberapa kali serta jumlah nominal uang yang dikirimkan ke rekening sang Bibi."Apa maksud semua ini?" Bima memberontak.Jiwanya terasa dikhianati padahal selama ini dia sudah berkorban dan berbuat banyak untuk Lana dan keluarga.Ini sama sekali tidak adil.Bima tidak terima. "Bima, aku bisa jelaskan!" Bibi mulai beralasan setelah tertangkap basah!"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Bi. Aku sudah tahu siapa Bibi sebenarnya dan terus terang aku kecewa dengan yang Bibi lakukan di belakangku!" Bima terus mencerca wanita yang di depannya itu."Aku melakukan ini semua demi kebaikan kalian berdua! Lana sudah cukup dibuat menderita oleh keluargamu, Bim. Juragan Sabri sudah terlalu... menyiksa lahir batin. Lalu, apa k
Sesampainya di tempat kerja, Lana masih bisa menata kursi-kursi kafe dan mejanya. Bahkan masih sempat mengepel seluruh lantai interior. Giliran dia mau membersihkan kaca jendela luar, pandangannya tiba-tiba gelap.Tangannya yang tadi meraih beberapa tempat tinggi, kini sudah lemah terkulai dan mencari-cari pegangan.Dia tahu kakinya tak cukup kuat lagi menopang.Dan akhirnyaa...Lana ambruk dan tidak ingat lagi kejadian setelahnya!Tubuh Lana masih terbujur di tempat istirahat karyawan. Dia tak mau menggunakan cuti tahunannya karena ini baru masuk bulan ke tiga dia bekerja."Tubuhmu demam, Lan!" Ucap Pak Farel. Bosnya merasa hutang budi karena pernah diselamatkan oleh Lana dan Dipta saat dia kambuh penyakitnya."Pak, saya belum...belum selesai membersihkan kaca-kaca!" Lana teringat pekerjaannya yang belum usai.Soal urusan tanggung jawab pekerjaan, dia memang cukup bisa diandalkan."Iya, semua sudah beres. Teman-teman kamu baik, jangan mikir kerjaan dulu. Tubuh kamu perlu istirahat d
"HEY, resletingmu belum benar itu!"Seketika Dipta menutup telponnya karena mendengar Bima mengingatkannya. Benar saja, resleting itu masih terbuka.Oh Tuhan!Kini dia tak bisa berpikir jernih. Bayangan Lana masih saja membuatnya tak bisa bertindak layaknya manusia normal.Lana telah menghapuskan rasa dahaga yang selama ini ia miliki. Ajaibnya, memang hanya Lana yang bisa memenuhi rasa itu bagi Dipta. Bukan lagi Alina.Untuk sementara waktu, ia harus melupakan ini sejenak karena ada hal penting yang harus ia selesaikan.Farel dan keluarganya sudah menunggunya.**Sibuk mengejar karir barunya sebagai pekerja di kafe milik Farel, Lana baru merasakan kelelahan yang luar biasa saat malam menjelang.Paginya, seperti biasa dia harus datang ke rumah Dipta untuk menyusui anaknya.Suatu hari, Lana sudah di ambang batas kekuatannya. Fisiknya kelelahan dan akhirnya dia pun jatuh sakit.Badannya panas demam.
Dia memang terlihat sangat lelah. Sengaja lelaki itu membiarkan Lana tertidur."Aku merindukanmu, Lana." Bisik Dipta."Bagaimana kondisi Farel, Nak?" Suara seorang wanita mengagetkan Dipta yang sedang menikmati situasi romantis dengan Lana."Oh, Tante?" Dipta yang awalnya berniat membelai Lana, harus mengurungkan niatnya kembali.Tapi dia juga tidak bisa bangkit untuk berdiri dan menyalami Mama dari Farel."Farel sudah stabil. Tadi sempat diperiksa oleh dokter juga, katanya tidak ada luka yang serius. Hanya ada benturan ringan di lengan kanannya. Itu saja.""Syukurlah..." Mama Farel tampak lega dan disusul oleh Papa serta beberapa orang lain.Ada adik laki-laki Farel juga."Lho, Kak Dipta, siapa cewek ini?" Tanya sang adik yang baru saja datang menyusul sang Mama."Ini... dia karyawan Farel." Jawab Dipta sedikit gugup."Begitu ya? Tapi... kenapa dia sampai bersandar di bahumu?" Selidik adik Farel."Ta