Risa hampir saja membuka mata karena terkejut dengan perkataan Arya. Beruntung, ia masih mampu menahan diri meskipun degup jantungnya kini berdetak tak karuan. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan, Risa?" tanya Nazwa dengan raut wajah yang terlihat sangat cemas. "Apa kita perlu menghubungi, Dokter?" lanjut Nazwa cemas. Perlahan Arya merebahkan tubuh langsing Risa di ranjang, setelah itu dia membawa Nazwa keluar kamar. "Aku ingin bersama sahabatku, Sayang," protes Nazwa. Namun, Arya tak mengindahkan ucapan sang istri. Dia terus menjauh dari kamar yang kini ditempati Risa, dan membawa Nazwa untuk berbicara hanya berdua saja di taman. Nazwa menatap Arya dengan tatapan sendu, dan ia hampir saja menangis. "Aku hanya ingin bersama dengan dia," lirih Nazwa berucap. "Sayang, biarkan dia istirahat dan beri kesempatan, Risa untuk menenangkan diri," bujuk Arya sambil mensejajarkan tubuhnya dengan Nazwa. Arya menggenggam tangan Nazwa erat, tatapannya lembut dan seakan penuh cinta. Lagi-la
Ucapan Arya terus terngiang-ngiang bagaikan lagu yang diputar tanpa henti. Risa menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. "Kenapa dia membawaku ke sini? Apakah dia ingin membuatku tak nyaman berada di sini?" gumam Risa penuh tanya. Ia masih saja bergeming sambil bersandar pada bantalan ranjang. Entah sudah berapa lama ia berada di sana, dan sampai saat itu pun Arya sama sekali belum menemui dirinya. Pintu terbuka! Sosok wanita dengan seragam serba putih berjalan menghampiri. Ia tersenyum sambil menundukkan kepala. "Perkenalkan, saya Sari dan mulai hari ini, bersama beberapa bawahan saya yang lain akan melayani Anda dengan sepenuh hati," ungkap sang wanita mulai memperkenalkan diri. Risa mengerutkan kening sambil menyipitkan kedua matanya, "Tunggu! Apakah kalian pelayan baru di rumah ini?" tanya Risa penasaran. Sari mengangguk sambil tersenyum. "Sejak kapan kamu bekerja di sini? Sebelumya aku tak pernah melihat keberadaanmu.""Sejak tadi pagi, dan kami diberikan p
Suasana rumah mewah itu mulai sepi. Diam-diam Arya menyelinap keluar dari kamar setelah memastikan jika Nazwa sudah tertidur dengan pulas. Dengan langkah lebar-lebar dia bergegas menuju kamar di mana Risa berada. Namun, langkahnya terhenti saat dia melewati taman dan mendapati Risa tengah duduk seorang diri. Senyumnya merekah, didekatinya sang kekasih lalu duduk tepat di sampingnya. "Kenapa di sini?" Risa menoleh sesaat, lalu kembali fokus menatap langit malam yang sekelam hatinya. "Kenapa, Mas memberiku pelayan pribadi? Apa, Mas tak takut ada yang curiga?" ujar Risa, langsung melayangkan pertanyaan alih-alih menjawab pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan Arya. Wajah cantik itu terlihat sendu, meski tidak terlalu pucat tetap saja sisa-sisa ketakutan masih tampak nyata dari raut wajahnya. Arya menatap lekat wajah kekasihnya itu, ada desir hangat di dalam dadanya. "Nazwa sudah setuju, bahkan dia yang meminta aku untuk mencarikan pelayan pribadi untukmu.""Benarkah?!"Arya mengang
Aroma yang menggugah selera seketika menyeruak saat dua orang pelayan masuk ke dalam kamarnya dan membawa satu nampan penuh sarapan untuk Risa. Dengan malas ia mendudukan tubuh sambil bersandar pada bantalan ranjang. "Tubuhku rasanya lemas sekali," gumam Risa sambil merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Pergumulannya bersama Arya semalam benar-benar membuat Risa sangat kewalahan. Meskipun awalnya Risa menolak, tapi tetap saja ia tak bisa berkutik jika Arya sudah berada dalam satu kamar bersamanya. "Untuk pagi ini, Anda diminta sarapan di dalam kamar," ungkap salah satu pelayan sambil menyimpan nampan pada meja. Dahi Risa berkerut, "Siapa yang memberi, perintah?""Tuan Arya."Risa hanya mengangguk-angguk kecil, mengetahui siapa yang memberi perintah. "Baiklah, aku akan sarapan di sini. Tapi ada satu hal yang harus kalian lakukan.""Apa yang harus kami, lakukan?"Risa beranjak dari ranjang, berjalan menuju meja kemudian menuangkan kopi hangat ke dalam sebuah cangkir. Ia sempat m
"Rupanya kamu belum cukup mengenalku, Nazwa. Sejak dulu aku selalu begini jika tengah tertekan. Diam seorang diri, dan membiarkan semua rasa ketakutan yang membuatku depresi menguap dengan sendirinya." Risa beralibi. Satu kebohongan akan melahirkan kebohongan lainnya. Sama seperti yang tengah Risa lakukan. Ia terus berbohong banyak hal kepada Nazwa, dan sedikitpun tak merasa bersalah. "Maafkan aku, Risa. Karena aku, kamu jadi seperti ini," ucap Risa sendu. Rasa bersalah terus menghantui hari-hari Nazwa. Kadang, ia selalu menyalahkan dirinya karena menurut saja ketika sang ayah merekomendasikan Dika untuk merawatnya. Andai saja ia tahu sifat asli Dika sejak lama, bisa saja Nazwa menolak tegas keinginan ayahnya itu. "Sudahlah, Nazwa. Aku baik-baik saja," ungkap Risa sambil tersenyum. "Hmm, tapi. Apa kamu ingin keluar dari kamae?"Mata indah Risa berbinar, terus berdiam diri di kamar memang membuatnya bosan. "Apakah, Arya akan baik-baik saja? Aku takut dia akan murka kepadamu." Ris
Perjalanan asmara yang tak biasa. Semenjak mereka tinggal satu atap, banyak sekali hal yang terjadi. Tak jarang Risa merasa cemburu saat mengetahui apa yang dilakukan Arya tanpa sepengetahuan dirinya. Beruntung, para pelayan pribadinya sangat setia dan menurut menjadi mata-mata. "Apakah benar, Tuan Arya menemani Nazwa untuk terapi?" Pelayan itu mengangguk, Risa mendengkus kesal. Seharusnya pada hari itu dirinya bersama Arya akan pergi ke villa. Namun, rencana hanya tinggal rencana. Secara mendadak Nazwa merengek meminta Arya menemani dirinya. Seharian mood Risa hancur. Ia menanti dengan setia di depan rumah, berharap Arya segera kembali. Namun, setelah menunggu cukup lama tak ada tanda-tanda kepulangan mereka. Risa lemas, ia pun bangkit dari kursi. Namun, baru saja melangkah deru mesin mobil membuat ia kembali berbalik. Wajahnya berseri, karena ia menganggap jika itu adalah Arya. "Akhirnya kalian kembali," ungkap Risa dengan perasaan yang bahagia. Ia berbalik, tapi senyumannya lu
Tubuhnya masih saja terpaku. Semesta seakan berhenti berputar saat mengetahui jika Bramantyo memintanya untuk bertemu. "Aku harus bagaimana, sekarang?" batin Risa mulai was-was. "Tuan Bramantyo tidak memiliki banyak waktu luang. Beliau berharap, Anda segera menemuinya!" ungkap seseorang yang berada di balik pintu kamarnya. Masih dengan perasaan yang tak karuan. Mau tidak mau, ia harus segera menemui lelaki yang penuh dengan kharisma tersebut. "Baiklah, tenang-tenang," gumamnya sambil menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Setelah memastikan jika penampilannya terlihat sopan, ia bergegas keluar kamar. Ia berjalan sambil meremas jari-jemarinya guna mengusir rasa gugup yang mendera. Suasana di ruang makan terasa lebih berbeda jika Bramantyo berada di sana. Suasana yang biasa ceria karena celotehan serta keramahan Nazwa. Kini berubah menjadi sebaliknya. Tegang, dan terasa lebih suram. "Selamat siang, Tuan Bramantyo," sapa Risa sambil tersenyum dan membungkukka
Tatapan Risa tak lepas dari selembar kertas yang tertulis nominal rupiah yang tak sedikit. Napasnya menderu, menahan luapan amarah di dalam hatinya. "Jika kurang, kamu bisa meminta lagi," ungkap Bramantyo sambil beranjak dari kursinya. "Maksudnya apa ini? Sungguh, saya tidak mengerti."Bramantyo berhenti melangkah. Dia memutar tubuh dan mensejajarkan diri dengan sosok wanita yang dulu pernah dianggap sebagai anak. "Kamu tidak perlu mengerti, cukup pergi tinggalkan, Nazwa dan Arya. Suaminya!" tegas Bramantyo dengan tatapan tajam. Udara seakan menghilang, dadanya seketika terasa sesak. Sebuah pikiran buruk pun terus terbayang-bayang dalam benak Risa."Apakah mungkin, Tuan Bramantyo tahu segalanya tentangku?" gumam Risa bermonolog. Hatinya benar-benar riuh saat itu. Bahkan, ia terus menyebutkan na Arya dan Nazwa secara bergantian di dalam hatinya."Maaf, tapi saya tidak bisa pergi meninggalkan sahabat saya seorang diri. Tolong ambil kembali ini!" tegas Risa, sambil menyerahkan kemba