Angin yang berembus lembut disertai matahari senja yang menyelinap dari celah pepohonan seakan mengantarkan kepergian Arya. Dari balkon kamar, Risa terus menatap mobil jeep yang membawa Arya menjauh, semakin menjauh hingga hilang dari pandangan. Suasana sepi mulai menyelimuti, hanya suara angin yang bergesekan dengan dedaunan menjadi nyanyian alam yang menemani kesendirian Risa. Ia tampak menghela napas dalam sambil mendudukan diri di sebuah kursi kayu. "Setidaknya, di sini aku bisa bernapas lega. Tidak ada lagi Tuan tua menyebalkan itu!" gerutu Risa. Rupanya, Risa masih merasa kesal dengan Bramantyo. Mungkin lebih tepatnya dendam dengan perlakuan menyebalkan lelaki itu terhadap dirinya. "Lihat saja, aku akan membuatmu malu, Bramantyo!" pekik Risa mencurahkan segala kekesalan di dalam hatinya tanpa khawatir ada seorang pun yang mendengarnya. Matahari semakin beranjak ke barat, angin pun berembus lebih kencang. Risa memeluk tubuhnya sendiri karena dingin yang seketika menyergapnya
"Mas, untuk malam ini saja bisakah kamu tinggal lebih lama?" Arya menghela napas dalam. Setelah memastikan pakaiannya rapi, dia berjalan dan menarik tubuh ramping Risa dalam dekapan hangat yang selalu membuat gadis itu candu. "Maaf, Risa. Untuk malam ini, aku harus kembali. Tapi, aku berjanji satu minggu lagi kita akan pergi ke Maldives dan menghabiskan waktu di sana. Hanya berdua! Kamu dan aku," bisik Arya lembut. "Janji?""Ya, aku berjanji," jawabnya sambil tersenyum. Arya pun pergi sedangkan Risa hanya mampu menatap lelaki itu menghilang dari balik pintu tanpa sanggup menahannya walau hanya sedetik saja. Kamar yang sempat hangat karena gelora asmara yang membara di antara mereka kini kembali dingin dan sunyi. "Ah, andai Mas Arya milikku seutuhnya," batin Risa penuh harap. Namun, akal pikirannya menolak. Mungkinkah bosnya itu dapat menjadi miliknya? Seketika, ia terbayang wajah istri bosnya dan juga sahabat baiknya."Nazwa, maafkan aku," lirih Risa.****[Risa, bisakah pagi i
Akibat insiden teh yang tertumpah itu, Nazwa bersikeras meminta sang suami untuk membelikan baju untuk Risa. Setelah menyetujui permintaanya, pasangan gelap ini pun segera menuju butik langganan para artis, istri pengusaha, dan para istri pejabat. Dulu, sebelum Nazwa jatuh sakit dan lumpuh. Hampir setiap minggu ia mengajak Risa untuk shopping di butik itu. Tapi, kini? Nazwa bahkan membiarkan suaminya pergi dengan Risa ke butik walaupun bersama supir dan juga asisten pribadi Arya di depan. Suasana di mobil terasa begitu canggung, tidak ada percakapan antara Risa ataupun Arya. Mereka tampak sibuk dengan ponselnya, dan hanya sesekali saling mencuri pandang. "Ayo, Risa!" ajak Arya sambil berjalan mendahului setelah mobil mereka tiba di halaman butik."Haruskan kita, ke sini?" Risa berbisik dan sesekali melirik ke dua penggangu di mobil depan, takut jika mereka mendengar ucapannya."Tidak usah cemas, tidak akan ada yang curiga," jawabnya tanpa menoleh. Dengan langkah lesu, Risa mengiku
"Geli, Mas Arya. Sudah cukup! Kita di kantor loh," tolak Risa saat Arya tiba-tiba memeluk dan menghujaninya dengan ciuman. Sekuat tenaga Risa mencoba untuk melepaskan diri dari dekapan Arya. Risa khawatir ada seseorang yang melihat mereka tengah bermesraan. "Sebentar saja, Risa. Aku mohon," ucapnya lirih dan terus memeluk dengan erat. Arya melepaskan pelukan, perlahan dia mengecup leher jenjang Risa hingga membuat desah lembut lolos dari bibir semerah delima itu. "Hanya kamu yang mampu menjadi peredam amarahku, Risa sayang," bisik Arya dengan napas yang menderu. Risa hampir terbuai dengan sentuhan demi sentuhan yang dirasakannya. "Mas, ah, kamu membuatku basah," desah Risa menggoda. Merasa keinginannya akan bersambut, dalam sekali ayun Arya mengangkat tubuh Risa dalam gendongannya. Dia menghempaskan tubuh sang kekasih ke sofa, dan membuat Risa berada dalam kungkungannya. Perlahan Arya membelai wajah cantik yang kini berada tepat di hadapannya, gairah Arya semakin tertantang sei
Nazwa masih belum percaya dengan kenyataan yang baru saja ia ketahui. Selama ini, dokter pribadi yang merawatnya adalah seorang dokter perempuan. Maka, saat Nazwa melihat Dika yang akan menggantikan Dokter Sarah membuat ia sedikit merasa canggung. "Sayang, aku ingin bicara kepada, Ayah," ungkap Nazwa dengan sorot mata sendu. "Untuk apa? Sudah tidak apa-apa. Ayah pasti tahu apa yang terbaik untuk, Putrinya," ungkap Arya sambil merebahkan tubuh ringkih Nazwa di ranjang. Arya menempatkan dirinya tepat di sebelah Nazwa, meskipun saat ini amarah hampir membakar sebagian hatinya. Namun, dia berusaha tetap tenang di hadapan Nazwa, dan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. "Tapi, apa kamu yakin?" tanya Nazwa ragu. "Kamu tahu kan bagaimana sifat, Ayah?"Nazwa terdiam, tentu saja ia tahu bagaimana sifat sang ayah yang jika telah memutuskan satu hal pantang sekali untuk kembali menarik keputusannya. "Maaf, jika mulai besok kehadiran, Kak Dika membuatmu tak nyaman," ucap Nazwa parau.
Berulang kali Risa menatap pantulan dirinya pada cermin. Mengenakan baju tidur transparan dengan belahan dada rendah membuatnya tampak begitu seksi, dan menggoda. Namun, Risa menyadari ada satu hal yang mengganjal di dalam hatinya. Risa terdiam. Selama satu tahun berkencan dengan Arya ini adalah kali pertamanya menginap di rumah itu dengan status kekasih bayangan Arya. Risa bimbang di antara dua pilihan, menyenangkan kekasihnya atau menghargai Nazwa yang pernah menjadi sahabat terbaiknya. "Wah, kamu seksi, Sayang.""Mas Arya!" pekik Risa, ia buru-buru berlari ke arah pintu. Menarik lengan Arya lalu mengunci pintu. Risa menatapnya selintas, lalu berbalik tak mengacuhkan Arya yang tampak bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya. "Hei, kemarilah."Namun, Risa tetap tak acuh terhadap Arya. Ia memilih untuk berjalan menuju jendela yang menghadap langsung ke arah taman. Arya tertawa melihat reaksi Risa yang tak seperti biasanya, "Kamu kelihatan kesal, ada apa?"Sesuatu yang lembut m
Nazwa mengatupkan mulutnya saat mendapati pemandangan yang cukup mengejutkan. Dika bersama Nazwa dalam satu kamar yang sama, terlebih Risa hanya mengenakan handuk membuat sebuah prasangka tersendiri dalam benak Nazwa. "Ma-maaf aku sudah mengganggu. Lanjutkan saja, dan jangan lupa tutup pintu kamar," ucap Nazwa sambil mengulum senyum, lalu memberikan isyarat kepada pelayannya untuk segera mendorong kursi rodanya menjauh. Dika berdecak, dia beralih menatap Risa yang masih saja tak sadarkan diri. Dengan kesal dia membopong tubuh Risa, dan merebahkannya di ranjang. "Bangunlah jalang, dan katakan dengan siapa kamu bercinta!" "Hei, siapa yang kamu sebut jalang?!" pekik seseorang dari ambang pintu. Dika menegakkan tubuh lalu menghadap ke arah sumber suara, dua pria yang sama-sama berparas tampan itu pun saling beradu pandangan. "Apa masalah Anda, Tuan?" tanya Dika sambil menelengkan kepala. "Apa yang sudah kamu lakukan, kepadanya?"Masih dengan tatapan sinis, Arya melangkah mendekati
Risa tersenyum sangat manis, tapi senyuman itu membuat Dika teramat sangat jijik. Dia terus mengumpat di dalam hati, terus merutuki kebodohannya yang dengan mudah masuk ke dalam drama yang diciptakan oleh Arya, dan Risa. "Wah, saya bahagia melihat pemandangan ini. Selamat untuk hubungan kalian," ucap Bramantyo sembari bangkit dari kursi lalu menepuk bahu Dika. Dika masih terdiam, dan saat Bramantyo sudah tak ada dalam jarak pandangannya dia langsung menghempaskan tangan Risa dari lengannya. "Nazwa, dengarkan saya, mereka telah bermain gila di belakangmu," ucap Dika sambil menggenggam tangan Nazwa. Nazwa terkesiap, ia menatap penuh tanya ke arah Arya. Melihat hal itu, Arya bergegas melepaskan genggaman tangan Dika. "Setelah menikmati malam panjang bersama, kamu tega fitnah kami? Apa kamu lupa bagaimana aku begitu kesakitan kamu paksa bercinta sepanjang malam?" ucap Risa lirih, bahkan ia pura-pura menangis. "Hei, jalang, apa yang kamu ucapkan!" pekik Dika, bahkan dia hampir menamp