"Aku membuat kesalahan, Dek.""Kesalahan apa, Mas?" tanyaku, tetapi Mas Ardi terdiam lagi.Dering ponsel Mas Ardi memecah keheningan di antara kami. Dia izin keluar kamar untuk menjawab panggilan telepon itu. Aku masih bertanya-tanya, kesalahan apakah yang telah Mas Ardi perbuat hingga posisinya sampai terancam? Tak lama kemudian, Mas Ardi kembali ke kamar dan mengambil jaket. Dia seperti terburu-buru. "Ke mana, Mas?" tanyaku ketika Mas Ardi mengambil kunci mobil."Sebentar, Dek! Aku ke luar dulu, ya?""Ke mana, Mas?""Ketemu teman aku, Dek. Katanya, teman aku ini punya solusi untuk masalahku ini.""Ya sudah, Mas. Hati-hati! Jangan ngebut dan fokus perhatikan jalanan! Jangan melamun!" nasihatku kepadanya. Aku takut Mas Ardi tidak konsentrasi pada kemudinya karena masalah yang ia alami."Iya, Dek. Kamu di rumah baik-baik, ya! Kalau kamu ngantuk dan aku belum pulang, kamu langsung tidur saja! Aku bawa kunci cadangan." "Ya, Mas."Aku rasa, masalah Mas Ardi benar-benar serius. Dia samp
Hari telah berganti. Mas Ardi tak lagi memikirkan tentang masalahnya itu. Ketika ditanya pun, Mas Ardi mengaku jika masalahnya sudah teratasi. Aku diminta untuk tidak mengungkitnya lagi karena khawatir mama dan papa akan tahu. Sebenarnya, aku masih penasaran masalah apa yang membuatnya sampai seperti itu. Namun, aku sudah berjanji untuk tidak menanyakannya lagi. Esok adalah hari ulang tahunku. Hari ini aku meminta Mas Ardi untuk menjemput ayah dan ibu. Jarak rumah kami cukup jauh. Jadi, aku meminta untuk menjemput mereka sekarang.Aku sudah berencana untuk mengadakan makan malam kecil saja. Hanya dihadiri oleh keluarga kami. Ayah, ibu, papa, mama, Mas Ardi dan aku. Kebetulan, aku dan Mas Ardi sama-sama anak tunggal. ***Setelah perjalanan jauh menjemput ayah dan ibu, aku segera membantu meletakkan barang-barang mereka di kamar tamu. Di rumah ini ada satu kamar kosong—khusus untuk tamu. Mama dan papa menyambut kedatangan orang tuaku dengan hangat. Mereka begitu senang dan terlihat sa
Malam yang ditunggu telah tiba. Sebelumnya aku sudah mengatakan kepada Mas Ardi jika aku mendapat pesan misterius. Mas Ardi mengatakan jika tidak mengenali nomor tersebut. Kami sama-sama mencurigai Alan, tetapi kami ingin membuktikannya nanti. Mas Ardi memastikan bahwa semua akan baik-baik saja. Mas Ardi menuntunku sambil menutup mataku. Rupanya, ada sebuah kejutan yang telah ia siapkan. Ketika Mas Ardi menurunkan tangannya, aku terkejut melihat pemandangan di depanku. Halaman belakang yang setiap harinya terlihat biasa saja, kini tampak luar biasa. Keluargaku mendekorasi halaman belakang menjadi sangat indah. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang untukku. Beberapa hidangan sudah tersaji di meja makan. Kami sudah berkumpul dan siap untuk menikmati makan malam, tetapi mama mencegahku. Kata mama, akan ada seseorang yang datang. Perasaanku menjadi tidak karuan. Pikiranku kembali teringat tentang pesan dari nomor misterius tersebut. "Siapa, Ma?" tanyaku."Ada. Pokoknya kamu
Suara petasan mengejutkan kami semua. Entah kejutan apa lagi yang mereka berikan. Semuanya menutup telinga karena terganggu dengan suara petasan itu, termasuk aku. "Mas, apa lagi ini? Kenapa harus pakai petasan?" tanyaku kepada Mas Ardi."Aku nggak tahu, Dek. Aku nggak ada nyiapin petasan," ujarnya bersamaan dengan berhentinya suara petasan tersebut. "Ardi, kenapa harus pakai petasan segala?" tanya mama dan papa yang sepertinya sangat terganggu."Loh, Ardi nggak nyiapin ini, Ma," jawab Mas Ardi."Terus siapa?" tanya papa bingung. "Kamu?" Mas Ardi mengira ini idenya Alan."Bukan," elak Alan sambil menggelengkan kepala cepat."Iya. Kami nggak punya rencana pakai petasan, kok," timpal Vina. "Terus siapa?" tanya mama bingung. Kami masih menatap satu sama lain. Suara tepukan tangan dari arah pintu membuat kami menoleh. Seorang pembawa kue tersebut berjalan sambil mendekati kami. Dia melepaskan topi dan maskernya yang membuat kami terkejut, terutama Mas Ardi."Leni!" Mas Ardi seperti t
"Apa? Katakan! Katakan biar semuanya jelas!" sentak ayah."Maafkan aku, tapi aku melakukan semua ini karena aku juga butuh keadilan. Aku juga butuh pertanggung jawaban. Aku tidak mau mengalah terus. Yang jelas, aku juga tidak mau anakku ini tidak mengenali papanya," tutur Leni sambil mengelus perutnya lagi. Duniaku seakan runtuh. Tubuhku yang sudah melemah kini semakin tak memiliki tenaga apapun. Aku terduduk sambil terus menatap perut Leni tak percaya. Dia telah mengandung darah daging suamiku."Apa maksudmu, Leni? Kamu jangan mengada-ngada!" ucap mama sambil melotot menatap Leni."Apa? Saya bicara apa adanya, loh. Saya bicara sesuai kenyataan, loh, Te. Saya memang hamil. Ini anaknya Mas Ardi. Ini cucu Tante," ucap Leni sambil menunjukkan perutnya yang masih rata. "Bohong kamu! Kamu sengaja ingin merusak rumah tangga anak saya dengan mengaku-ngaku seperti itu. Tidak mungkin itu anaknya Ardi," elak mama tak terima. Aku sudah tak sanggup lagi untuk ber
Kami sudah tiba di rumah Vina. Semuanya terdiam termasuk aku. Sepasang suami istri yang telah memberi tumpangan kepada kami juga tidak mengatakan apapun. Mereka duduk terdiam di hadapan kami. Mungkin saja mereka menunggu kami buka suara terlebih dahulu. Walau Alan adalah sahabat dekatku dulu, tetapi ia tak berani banyak bertanya. Mungkin ia memahami situasi yang sedang kualami saat ini. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan membawa minuman kepada kami. Vina meminta kami agar meminumnya. Aku meminta ibu agar minum terlebih dahulu agar bisa lebih tenang. Pelayan Vina menyajikan teh manis untuk kami. Namun, yang kurasakan seperti pahit. Bukan karena tehnya yang kurang manis, tetapi lidahku yang memang seperti orang sakit. Pahit dan tak mampu menelan apapun. Suasana hening untuk beberapa saat hingga akhirnya ayah buka suara. Ayah mengucapkan terima kasih kepada Alan dan Vina yang sudah mau membantu kami. Ayah juga meminta maaf karena telah merepotkan Alan
"Ardi, ibu memang memaafkanmu, tapi jujur ... ibu tidak ingin Lily kembali denganmu," timpal ibu tiba-tiba. "Ke–kenapa? Bukankah Ayah dan Ibu sudah memaafkan saya? Lily juga sudah memaafkan saya. Tolong beri saya satu kesempatan lagi untuk menjaga Lily dengan baik!" ucap Mas Ardi memohon."Kami memang sudah memaafkan kamu, tapi kamu juga harus ingat dengan benih yang sudah kamu tanam di rahim perempuan lain," ucap ayah. "Mas, kamu harus ingat dengan bayi yang dikandung oleh Leni. Dia adalah darah daging kamu. Walau aku sudah memaafkan kamu, bukan berarti aku memberimu ruang untuk kembali kepadaku. Jadi, tolong kamu nikahi Leni dan tinggalkan aku, Mas!" ucapku setegar mungkin. Mas Ardi menggeleng dan semakin erat menggenggam tanganku. Papa dan mama juga ikut membujukku, tetapi aku sudah yakin dengan keputusanku untuk berpisah. Lebih baik berpisah daripada harus dimadu. Aku tidak mau mengalami tekanan batin. Aku tak setegar wanita di luar sana ya
Aku melihat foto Lily yang masih tersimpan di ponsel. Kami sudah resmi bercerai. Sekarang aku adalah suami dari Leni—wanita yang mampu membuatku mabuk kepayang. Leni adalah cinta pertamaku. Aku tahu sifat Leni dan Lily tidaklah sama, tetapi aku mencintai keduanya. Semenjak menikah dengan Lily, aku kagum dengannya dan mulai mencintainya. Kami memang dijodohkan karena alasan utamanya adalah untuk membayar rasa bersalahku kepada keluarganya. Alasan kedua adalah agar mama dan papa bisa memisahkanku dari Leni. Lily sangat patuh kepada orang tuaku. Lily sangat sopan dan menyayangi papa dan mama. Tutur katanya sangat lembut. Menurutku, Lily adalah wanita tersabar yang pernah kukenal. Leni dan Lily sama cantiknya, tetapi Lily lebih muda dan segar. Walau usia Leni di atas Lily, tapi dia tak kalah menggoda. Leni mampu merawat dirinya dengan baik sehingga tampak awet muda dan sangat menggoda. Aku tahu Leni pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu. Namun, itu tak membua