Sekilas pria itu terlihat sangat angkuh. Dua orang wanita berdiri tak jauh dari meja makan. Keduanya mengenakan seragam kemeja berwarna biru dan celana panjang warna senada. Mereka adalah para ART di rumah ini. “Namanya Pak Aldo, semoga dia mau menerima kamu menggantikan babysitter yang akan cuti mulai hari ini, ayo, kita dekati!” ajak Heri melanjutkan langkah, Rinay mengikuti dengan hati berdebar. Dari kejauhan dia belum bisa melihat dengan jelas seperti apa bentuk wajah dan perawakan sang Bos, namun dia sudah bisa merasakan betapa kaku dan dinginnya sikap pria itu terhadap ART yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Dua pelayan yang berdiri tak jauh dari meja makan itu terlihat begitu patuh padanya. “Selamat pagi, Pak!” sapa Heri menghentikan langkah setelah jarak merek tinggal beberapa meter saja. Rinay juga menghentikan langkah. “Hem, kau menemukan babysitter pengganti itu?” jawab sang Bos, lalu balik bertanya. Matanya tetap fokus ke layar ponsel di tangannya, sedikitpun ta
“Namanya Deo, usianya baru tujuh bulan. Perkembangan fisiknya sangat lambat. Karena terpaksa berpisah dengan ibunya. Kamu tentu sudah tahu kalau Nyonya meninggal sebulan setelah melahirkan dia. ASI terpaksa diganti dengan susu formula. Entah karena susunya yang belum tepat, atau karena dia merasa kehilangan pelukan hangat ibunya. Sehingga pertumbuhan fisiknya sangat lambat. Tubuhnya juga sangat kurus seperti ini,” papar Suster Lina menerangkan kondisi sang putra majikan. Rinay mengangguk, sesekali menelan saliva. Rasa iba pada bayi itu seketika mengaduk hatinya. Deo terlihat seperti bayi yang kena gizi buruk. “Apakah kamu yakin bisa menggantikan saya selama seminggu ini untuk merawatnya?” tanya Suster Lina terdengar ragu. Rinay menoleh kepada Bik Yuni. Wanita itu mengangguk pasti. “Insya Allah saya bisa,” sahut Rinay akhirnya, meski sedikit ragu. Namun karena Bik Yuni begitu percaya padanya, tumbuh keberanian untuk meneruskan saja. “Baiklah. Nama kamu siapa?” “Saya Rinay,
“Bapak …?” Bik Yuni dan Suster Lina bergumam bersamaan. Wajah keduanya terlihat tegang. Hanya Rinay yang bersikap biasa saja. Suster Lina yang sudah melepas Deo, membuat Rinay lebih leluasa mengatur posisi bayi itu di dalam dekapannya. Mulut mungil bayi malang itu mulai menyedot kepala dot, pelan dia menghisap isinya. Begitu tenang dan perlahan. Sesekali dia seperti tersedak. Aldo melangkah masuk. “Bik, tolong carikan pasfhoto Nyonya! Mungkin saat bersih-bersih, Bibik pernah menemukannya! Saya butuh sekarang!” perintah Aldo kepada Bik Yuni. “Sepertinya saya pernah lihat di laci lemari hias Nyonya. Sebentar saya ambilkan!” Bik Yuni langsung bergerak menuju kamar utama. “Dan kamu, kenapa belum berangkat juga? Penggantimu sudah datang, kenapa masih menunda?” Aldo mengalihkan tatapannya kepada Suster Lina. “Eem, saya … saya merasa berat meninggalkan Den Deo, Pak. Saya khawatir dia tidak bisa mengurus Den Deo! Saya merasa tidak tenang.” Suster Lina berkata dengan nada penuh tekana
Aldo dilnda kebingungan. Selama ini, dia begitu percaya kepada sang perawat. Keselamatan putranya dia serahkan sepenuhnya ke tangan babysitter itu. Bahkan, di antara semua pekerjanya, hanya Lina yang mendapat tempat istimewa. Kepada yang lain dia tak pernah bersikap ramah, apalagi bersikap royal. Namun, kepada sang perawat, dia selalu bersikap ramah. Bahkan sangat royal. Apapun permintaan Lina, selalu dia turuti, karena baginya, nyawa Deo ada di tangan gadis itu. Setiap hari dia berkunjung ke kamar putranya, menyapa Lina dengan begitu ramah untuk menanyakan kondisi kesehatan Deo. Menayakan bagaimana perkembangan kesehatan anaknya, dan menanyakan apa saja yang dibutuhkan Lina agar betah menunggui putranya di kamar itu. Aldo begitu percaya dengan semua keterangan Lina, tanpa pernah mengecek sendiri. Bahkan luka radang di punggung putranya baru kali ini dia tahu. Dan menurut Lina itu terjadi barusan saja, karena Rinay memaksa mengeluarkan dari box-nya. Sedangkan menurut Rinay, luka i
“Maaf, Pak Aldo, saya sarankan dengan sangat agar bayi Bapak, kita rawat di rumah sakit. Saya akan buatkan surat rujukannya,” tukas Dokter Fredy mengagetkan semua yang ada di ruangan itu. “Apa? Anak saya …. Harus dirawat di rumah sakit? Separah itukah?” sergah Aldo dengan kedua mata membulat. Wajah tampan itu terlihat tegang. “Maaf, saya bahkan bisa saja menuntut Bapak karena lalai. Maaf, Pak Aldo, saya agak kasar,” sesal sang Dokter lagi. “Astaga! Jadi selama ini anak saya ….” geram Aldo menoleh kepada babysitternya. Perempuan itu mengkerut di tempatnya, wajahnya menunduk dengan jemari saling memilin. “Kau bilang anakku makin sehat, kau bilang perkembangan dan pertumbuhan anakku makin ada kemajuan, kau bilang anakku tak perlu diperiksakan kepada Dokter, kau bilang …. Kau bilang kau bisa aku andalkan! Kau bilang kau sangat ahli dan berpengalman mengurus seorang bayi yatim yang ditinggal mati oleh ibunya, kau bilaaaaang ….!” Tangan kekar Aldo melayang di udara, seperempat detik
Heri melajukan mobil majikannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Mereka harus segera tiba di rumah sakit yang telah dirujuk oleh Dr. Ferdy. Dia duduk sendirian di kabin depan mobil mewah itu. Sedangkan sang Bos dengan Rinay duduk di bangku dua. Rinay sangat kikuk saat berada di samping sang majikan. Apalagi sang Bos tak henti menatap ke arahnya. Tentu saja hendak menatap putra kesayangan yang saat ini berada di dalam dekapannya. Posisi kepala dan wajah sang putra tepat berada dan menempel di dadanya. Ya, di dada miliknya yang sedang montok-montoknya karena dia saat ini sedang hamil muda. Apalagi dia hanya menggunakan kaos putih yang agak ketat. Bukan karena sengaja memakai pakaian seperti itu, tetapi karena hanya itu yang paling layak yang dia punya saat ini. Bukan karena mesum, tak ada niat Aldo sedikitpun untuk sengaja menikmati pemandangan di sampingnya. Bahkan hingga detik ini, dia belum pernah menatap langsung wajah babysitter barunya itu. Dia hanya fokus memindai waj
Dengan berat hati Rinay mengikuti sang perawat menuju pintu ruangan. Begitu sampai di luar, pintu langsung ditutup, dan sang perawat kembali masuk ke dalam. Rinay termangu di depan pintu, mencoba mencari celah untuk bisa mengintip ke dalam ruangan. Aldo yang duduk di sebuah bangku panjang tak jauh dari pintu ruangan itu, hanya menatapnya sekilas. Tak ada niat di hatinya untuk memanggil Rinay, agar ikut duduk di bangku itu, di dekatnya. Pikiran masih sangat kacau. “Nay,” panggil seseorang mengagetkan wanita itu. “Eh, Mas Heri, kaget saya.” Rinay menepuk nepuk dengan pelan dadanya, seolah hendak menenangkan pacu jantungnya yang tiba-tiba lebih cepat karena kaget. “Kamu mudah kaget juga rupanya, ya! Maaf,” tutur Hery merasa bersalah. “Yuk, ikut aku!” ajaknya kemudian. “Ke mana?” Rinay menautkan kedua alis lebatnya. “Diperintahkan Pak Aldo untuk membeli beberapa setel pakaian untukmu, karena kamu dia minta menunggui Den Deo di rumah sakit ini!” “Be beli baju?” sergah Rinay
“Gimana sekarang keadaan anak kamu, Mas?” Tatiana bertanya penuh perhatian. “Sedang ditangani Dokter,” jawab Aldo lirih. “Mas Aldo nangis, ya? Suara Mas terdengar sengau. Aku turut prihatin ya, Mas!” “Terima kasih, tapi, dari mana kamu tahu kalau anakku gawat?” “Tante Reni nelpon aku, Mas. Dia sedang otw ke rumah sakit katanya. Tante terdengar panik banget.” “Ya, aku memang nelpon Mama. Syukurlah kalau dia sudah otw ke sini. Kalau enggak, aku enggak akan tenang ninggalin Deo hanya sama pembantu di rumah sakit ini.” “Pembantu? Bukannya kamu udah pecat Lina?” “Darimana kamu tahu, dia pasti ngdu ke kamu, ya?” “I-iya, e, enggak ngadu, sih, cuma ….” Suara Tatiana terdengar gugup. “Kamu, sih, aku minta kamu carikan babysitter yang bertanggung jawab danprofesional, kan? Tapi, yang kamu kirim malah perempuan psikopat itu. Jujur, aku kecewa sama kamu!” “Maaf, aku enggak tahu kalau dia bisa se ceroboh itu. Tapi, dia juga enggak sengaja, kan, Mas! Dia kira kondisi Deo enggak separah