Heri melajukan mobil majikannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Mereka harus segera tiba di rumah sakit yang telah dirujuk oleh Dr. Ferdy. Dia duduk sendirian di kabin depan mobil mewah itu. Sedangkan sang Bos dengan Rinay duduk di bangku dua. Rinay sangat kikuk saat berada di samping sang majikan. Apalagi sang Bos tak henti menatap ke arahnya. Tentu saja hendak menatap putra kesayangan yang saat ini berada di dalam dekapannya. Posisi kepala dan wajah sang putra tepat berada dan menempel di dadanya. Ya, di dada miliknya yang sedang montok-montoknya karena dia saat ini sedang hamil muda. Apalagi dia hanya menggunakan kaos putih yang agak ketat. Bukan karena sengaja memakai pakaian seperti itu, tetapi karena hanya itu yang paling layak yang dia punya saat ini. Bukan karena mesum, tak ada niat Aldo sedikitpun untuk sengaja menikmati pemandangan di sampingnya. Bahkan hingga detik ini, dia belum pernah menatap langsung wajah babysitter barunya itu. Dia hanya fokus memindai waj
Dengan berat hati Rinay mengikuti sang perawat menuju pintu ruangan. Begitu sampai di luar, pintu langsung ditutup, dan sang perawat kembali masuk ke dalam. Rinay termangu di depan pintu, mencoba mencari celah untuk bisa mengintip ke dalam ruangan. Aldo yang duduk di sebuah bangku panjang tak jauh dari pintu ruangan itu, hanya menatapnya sekilas. Tak ada niat di hatinya untuk memanggil Rinay, agar ikut duduk di bangku itu, di dekatnya. Pikiran masih sangat kacau. “Nay,” panggil seseorang mengagetkan wanita itu. “Eh, Mas Heri, kaget saya.” Rinay menepuk nepuk dengan pelan dadanya, seolah hendak menenangkan pacu jantungnya yang tiba-tiba lebih cepat karena kaget. “Kamu mudah kaget juga rupanya, ya! Maaf,” tutur Hery merasa bersalah. “Yuk, ikut aku!” ajaknya kemudian. “Ke mana?” Rinay menautkan kedua alis lebatnya. “Diperintahkan Pak Aldo untuk membeli beberapa setel pakaian untukmu, karena kamu dia minta menunggui Den Deo di rumah sakit ini!” “Be beli baju?” sergah Rinay
“Gimana sekarang keadaan anak kamu, Mas?” Tatiana bertanya penuh perhatian. “Sedang ditangani Dokter,” jawab Aldo lirih. “Mas Aldo nangis, ya? Suara Mas terdengar sengau. Aku turut prihatin ya, Mas!” “Terima kasih, tapi, dari mana kamu tahu kalau anakku gawat?” “Tante Reni nelpon aku, Mas. Dia sedang otw ke rumah sakit katanya. Tante terdengar panik banget.” “Ya, aku memang nelpon Mama. Syukurlah kalau dia sudah otw ke sini. Kalau enggak, aku enggak akan tenang ninggalin Deo hanya sama pembantu di rumah sakit ini.” “Pembantu? Bukannya kamu udah pecat Lina?” “Darimana kamu tahu, dia pasti ngdu ke kamu, ya?” “I-iya, e, enggak ngadu, sih, cuma ….” Suara Tatiana terdengar gugup. “Kamu, sih, aku minta kamu carikan babysitter yang bertanggung jawab danprofesional, kan? Tapi, yang kamu kirim malah perempuan psikopat itu. Jujur, aku kecewa sama kamu!” “Maaf, aku enggak tahu kalau dia bisa se ceroboh itu. Tapi, dia juga enggak sengaja, kan, Mas! Dia kira kondisi Deo enggak separah
“Tenang, Pak Aldo. Kami pasti akan mengusahakan yang terbaik buat putra Bapak. Tapi, maaf, kami harus berterus terang. Kondisi kesehatan putra Bapak sangat memprihatinkan. Putra Bapak mengalami komplikasi. Radang di punggungnya hanya luka luar, tapi yang di dalam jauh lebih parah.” “Anak saya kenapa, Dok! Cepat katakan! Jangan bertele-tele!” Aldo bangkit, menatap tajam Dr. Fredy. “Setelah kamu lakukan pemeriksaan intensif, kami mendiagnosa anak Bapak mengalami giji buruk, ada cairan sedikit di paru-paru, menyumbat saluran nafas, ada penyempitan di ….” “Cukup! Tidak usah Dokter sebutkan semua penyakit yang menggerogoti tubuh anakku! Aku perintahkan kalian selamatkan anakku! Berapapun biayanya aku tak peduli! Selamatkan anakku, Dokter! Selamatkan dia!” Aldo terduduk lemas kembali di kursinya. Kedua tangan meremas kasar rambut gondrong di kepalanya. Mata elang itu kembali basah. “Tentu, itu tugas kami, Pak Aldo. Bapak tenang, ya! Kami hanya ingin meminta persetujuan Bapak, kami a
“Kasihan Non Tatiana, punya suami enggak beres, gitu. Enggak tega rasanya saya.” Betapa Rinay ingin membantah kalimat empati Heri. Ingin dia jelaskan kalau Tatiana sebenarnya adalah wanita tak punya hati. Dia bahkan memaksa Bik Lastri, mertua laki-laki ini untuk membuat ramuan penggugur kandungan untuk Rinay. Tatiana adalah perempuan monster yang tak punya hati. Namun, Rinay tak bisa mengatakan itu semua sekarang. Rina, istri Heri, telah berpesan agar kehamilannya di rahasiakan dulu dari semua orang karena khawatir Rinay tak akan diterima bekerja di rumah Aldo kalau ketahuan sedang mengandung. “Non Tatiana itu wanita baik, Nay. Mungkin suaminya yang licik telah mempermainkn kalian berdua. Nyonya Reni juga sangat baik. Kamu tidak usah meragukan mereka. Ayo, balik ke sana! Siapa tahu Pak Aldo membutuhkanmu sekarang!” tukas Heri kemudian. “Bukan masalah baik atau tidaknya, Mas. Aku cuma khawatir, kalau Tatiana tau aku bekerja di sini, dia akan ngadu sama Mas Bagas, lalu melakukan
“Pembantu baru itu? Eh, iya, tadi ada perempuan yang mendekati mama saat masih di depan UGD. Katanya dia pembantu baru di rumah kamu. Tapi, kenapa dia tiba-tiba menghilang, ya? Mama enggak sadar kapan dia hilangnya, karen sibuk cerita dengan Tatiana.” Reni mencob mengingat kejadian tadi. “Jadi Mama sudah bertemu dengannya?” “Sudah. Katanya pembantu, tapi penampilannya tidak seperti pembantu. Dia pakai gaun, sederhana memnag, bukan gaun mahal. Tapi, apa pantas seorang pembantu pakai gaun saat bekerja? Mama sempat heran, tapi enggak enak kalau langsung mendikte dia di sat pertemuan pertama. Takut dia enggak betah.” Aldo diam. Keterangan ibunya jelas membuatnya bingung. Bukan karena Rinay memakai gaun. Kalau masalah gaun, justru dia yang menyuruh. Heri dia meminta mengantar wanita berbelanja tadi. Dia tak mau Rinay berpenampilan kampungan di rumah sakit besar ini. Tak ingin menjadi perhatian miring para dokter, perawat maupun pengunjung lain. Yang menjadi pikirannya adalah ken
Tiga hari dirawat di ruangan ICU, Deo menunjukkan kemajuan begitu pesat. Deo sudah mulai bisa bersuara. Saat dia mencari keberadaan Rinay, tangisnya sudah terdengar. Wajah kapasnya sudah berwarna. Tubuh kurus keringnya sudah mulai berisi. Deo, bayi malang itu sudah terlihat seperti bayi yang sebenarnya. Tak henti Aldo mengucap syukur. Mengucap terima kasih yang begitu besar kepada Rinay, meski di dalam hati saja. Ya, Aldo tak bersuara. Hari ini Deo dipindahkan ke ruang rawat. Aldo sengaja meminta ruang VIP eksekutif, bukan VIP biasa. Tak peduli berapa yang akan dia keluarkan. Baginya, nyawa sang putra adalah segala-galanya. “Mama nungguin Deo bareng pembantu itu, ya! Aku mau ke kantor hari ini. Aku sudah tenang sekarang meski harus meninggalkan Deo.” Aldo berpamitan pada ibunya. “Namanya Rinay, Al! Enggak sopan kalau kamu menyebutnya pembantu terus! Nanti dia tersinggung, lho!” Reni mencoba mengingatkan. Kini dia yakin, kalau putranya tak ada rasa kepada Rinay. Buhka
“Sayang, siapa yang mengirim pesan aneh, ini?” ulang Bagas meningikan volume suara. “Itu, itu tante aku. Kembaliin, sini, Mas!” Tangan Tatiana menggapai-gapai. Begitu khawatir kalau sampai membaca chat sebelum sebelumnya. “Tante? Kenapa aku tidak kenal? Tante seperti apa dia? Kenapa nama profilnya ‘Calon Mertua’?” Bagas menyipitkan kedua matanya, menuntut kejujuran dari mulut istrinya. “Itu cuma iseng, Mas! Kami memang suka bercanda, gitu. Dia juga manggil aku calon menantu. Cuma bercanda doang!” Tatiana berusaha menjawab sewajar mungkin. “Lalu, apa maksud pesannya ini? Cepat selesaikan pernikahanmu! Apa yang diselesaikan?” “Oh, itu … itu maksudnya anu ….” “Anu apa? Kenapa kamu gugup?” “Udahlah, Mas! Gitu aja jadi masalah, sih! Pagi pagi udah cari ribut!” “Kamu yang bikin masalah pagi-pagi! Pokoknya kamu harus jelaskan, apa maksud chat kalian ini! Pernikahan kita tidak ada masalah, Tian! Kenapa calon mertuamu ini bilang cepat selesaikan? Apa yang kalian rencanakan? Siapa sebe