Cekalan tangan Andra di lengannya terasa begitu kencang. Hingga Alana merasakan sakit di sana. Tetapi itu tak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang hatinya derita saat ini. Alana tak bisa menyalahkan Andra atas kebencian yang dimiliki oleh lelaki itu padanya. Sebab pada dasarnya Andra memang tidak mengetahui apapun tentang semua yang terjadi di masa lalu mereka. Sosok Andra yang sekarang adalah hasil bentukan dari segala hasut kedua orang tuanya. Meski Alana berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya di depan Andra, namun akhirnya air mata itu luruh juga dengan begitu lancangnya. Ya. Alana menangis. Tetapi Andra hanya mendengus melihat mata bulat Alana yang telah basah. "Huh! Jangan pura-pura menampilkan wajah terlukamu di hadapanku, Alana. Aku sudah bukan lagi Andra yang bisa kamu tipu. Saat ini aku bukannya mau menyakitimu. Tapi aku hanya mau memberimu sebuah penawaran yang sangat menguntungkan." Andra berkata dengan setengah berbisik pada Alana yang masih tertahan di ba
"Berani-beraninya kamu memunculkan batang hidungmu lagi di depan anakku! Hah! Mana janji yang pernah kamu ucapkan. Bukankah sudah ku bilang jauhi Andra dan jangan pernah lagi mengganggu kehidupannya?!" sentak Nita berdesis penuh amarah.Intonasi suaranya terdengar mengintimidasi. Tetapi masih agak pelan. Alana mengerti, mungkin Nita tidak ingin Andra mendengar ucapannya. Hingga dalang dari kejadian delapan tahun lalu akan terkuak ke permukaan. "Maaf, Nyonya Nita yang terhormat. Aku ada di sini bukan untuk mengganggu kehidupan anak Anda. Tapi aku hanya sedang berusaha professional dalam bekerja. Saat ini, aku hanya melihat Pak Andra sebagai pimpinan perusahaan. Jadi Anda tidak usah khawatir. Aku tidak akan pernah merebutnya dari Anda!" Alana berkata dengan wajah santai. Namun suaranya terdengar tegas di telinga Nita. Hingga membuat amarah Nita semakin memuncak. Tangan Nita terkepal di kedua sisi. Kini ia menunjuk wajah Alana dengan penuh penekanan. "Aku tidak peduli! Perjanjian adal
Hari ini Alana mengantar Rehan ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Winarti sedang merasa kurang enak badan. Jadi Alana menyempatkan waktu untuk mengantar anaknya sebelum ia berangkat ke kantor.“Nah, Rehan. Sekarang kita sudah sampai. Kamu belajar yang rajin ya. Jadi anak yang baik sama guru dan teman-teman di sekolah,” Alana berpesan sembari berjongkok di depan Rehan. Sementara kedua tangannya hinggap di pundak bocah lelaki itu.“Iya, Ma. Rehan janji tidak akan nakal di sekolah. Rehan juga akan belajar yang rajin biar selalu dapat nilai seratus. Terus nanti Mama bangga deh sama Rehan!” sahut Rehan dengan penuh semangat. Membuat Alana mengangguk dan terkekeh pelan. Kini Alana bangkit berdiri sembari mengusap lembut puncak kepala anaknya itu.“Ya sudah. Kamu cepat masuk sana! Mama juga akan berangkat ke kantor.”Rehan mengangguk dan mencium punggung tangan Alana segera.“Mama hati-hati ya. Mama jangan terlalu capek kerjanya. Dah, Mama!” kata Rehan melambai pada Alana. Lalu s
“Sekali kamu melakukan kesalahan, artinya kamu tidak becus bekerja. Sekarang lebih baik kamu pergi ke meja kerjamu dan bekerjalah dengan benar!” lanjut Andra yang membuat Sherly mengerutkan keningnya tidak suka. “Apa, Ndra? Kamu menyuruh Alana datang ke ruangan ini hanya untuk dibentak-bentak sebentar, lalu menyuruhnya keluar dan bekerja seperti biasa? Kamu tidak berniat menghukum dia? Atau bahkan memecatnya sekalian. Biar dia kapok! Kalau cuma dibentak-bentak saja, Alana pasti akan keenakan!” Sherly menggerutu.Andra menyentak bolpoint di atas meja. “Diam kamu Sherly! Aku tidak minta pendapat kamu. Kalau kamu tidak suka, kamu juga boleh keluar dari sini!” tegas Andra. Dan Sherly hanya berdecak dalam hati sembari melemparkan tatapan sinis pada Alana yang masih berdiri di depannya. Setelah tak ada lagi yang bicara, netra Andra kembali melirik Alana. “Keluar Alana! Tolong bekerjalah dengan benar di perusahaanku!” pesan Andra penuh peringatan. Yang kemudian dijawab Alana dengan ang
Setelah jam makan siang selesai, Alana segera pergi dari pantry kantor dan melangkah menuju meja kerjanya. Saat itu, Andra juga keluar dari ruangannya dan langsung berdiri tegap dengan tubuh jangkungnya di hadapan Alana dengan tatapan dingin.Alana sontak bangkit. “Ada yang bisa aku bantu, Pak Andra?” tanyanya ragu.“Jika ada berkas penting atau apapun itu, taruh saja di atas meja kerjaku. Aku akan keluar sebentar. Sherly mengajakku makan siang di luar. Dan aku tidak mau waktuku diganggu!” tegas Andra dengan sengaja menekan nama Sherly agar terdengar jelas di telinga Alana. Hati Alana mencelos membayangkan bagaimana mantan suaminya yang masih sangat ia cintai itu, akan menikmati makan siang dengan wanita lain. Namun, Alana segera menyadarkan diri akan posisinya saat ini. “Baik, Pak Andra.” Setelahnya, Andra pun berlalu begitu saja dari hadapan Alana. Wanita itu hanya bisa memandang punggung kekar yang berjalan menjauhinya itu. Andai Alana tidak mempunyai urat malu, pasti A
Alana bergeming. Lidahnya tiba-tiba saja kaku dan bahkan tangannya sudah tak bersemangat menuangkan sayur itu ke dalam mangkuk. “Apa Andra sudah tahu tentang Rehan?” Winarti bertanya lagi saat Alana masih saja terdiam tanpa suara.Alana mengepalkan tangan yang memegang sendok sayur, sambil memejamkan mata menahan pedih, ia kemudian menggelengkan kepala. “Tidak, Bu. Andra tidak tahu tentang kehamilanku. Dia juga tidak tahu apapun tentang Rehan sampai sekarang. Bahkan, kedua orang tua Andra tahunya bayi yang dulu ku kandung itu sudah ku gugurkan sebelum lahir,” tutur Alana. Yang membuat Winarti memunculkan raut wajah penuh kelegaan. “Ah, syukurlah. Memang akan lebih baik seperti itu.” Winarti mengurut dadanya dengan sebelah tangan. Sekarang hatinya tenang sudah. Sementara Alana menatap Winarti dengan riak wajah yang sendu. Lalu Alana menerbitkan sebuah senyum yang dibuat-buat. “Maafkan ibu jika ibu lebih senang keberadaan Rehan tidak diketahui oleh Andra dan keluarganya.
Di sisi lain, Andra berdecak masuk ke dalam mobilnya. Ia menghempaskan pantatnya dengan kasar di kursi kemudi. Sebelum kemudian menjalankan mobil hitam metalik keluaran eropa itu untuk meninggalkan pelataran rumahnya yang membuatnya muak. “Lagi dan lagi kedua orang tuaku kembali mengungkit-ngungkit tentang Sherly. Apa mereka tidak tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan wanita itu. Hhh.. Papa dan Mama memang tidak pernah berubah. Sejak dulu yang ada di pikiran mereka hanya uang dan uang!” Andra menggertakan giginya penuh kekesalan. Sedang jemarinya mencengkeram kemudi dengan begitu kuat. Hingga buku-buku jarinya memutih. Andra tidak peduli pada bisnis besar yang dimiliki oleh Tuan Arwen yang mungkin akan menjadi miliknya jika ia mau menikahi Sherly. Yang Andra inginkan, adalah ia bisa melenyapkan nama Alana dari dalam pikirannya. Ya. Andra muak sekali saat Alana selalu mampir tanpa permisi di dalam mimpinya. Bayangan-bayangan manis saat mereka masih menikah dulu pun sa
“Ayahku, Danu,” jawab Rehan dan Andra manggut-manggut mendengarnya. “Danu? Om sangat yakin. Kamu pasti lebih mirip dengan ayah Danu. Hidungmu, matamu, bibirmu dan cara bicaramu juga pasti lebih mirip dengannya,” tebak Andra yang justru dibalas gelengan kepala oleh Rehan. “Tidak. Kata Mama, aku tidak mirip dengan ayah Danu sama sekali. Aku juga sering lihat foto aku sama ayah. Tapi kami tidak mirip.” Alis Andra terangkat sebelah begitu mendengar penuturan yang meluncur dari bibir mungil milik bocah kecil di depannya itu. “Oh iya. Berarti kamu mirip dengan Mama kamu. Kalau boleh Om tahu, siapa nama Mama kamu?” tanya Andra lagi. “Nama mama aku, Al—“ DREETT! DREETT! Ponsel Andra yang bergetar di balik saku celana bahannya, membuat mulut Rehan yang hendak mengucapkan nama Alana, kini terkatup kembali. Rehan memerhatikan Andra yang merogoh sakunya, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga kanan. “Iya, kenapa?” tanya Andra dingin saat tahu yang menelponnya adalah Alan