Sekeluarnya dari perusahaan Andra, Alana berlari sambil mengusap air matanya.
Ucapan Andra begitu tajam, seperti sebilah pisau yang siap menusuk dadanya.
Semua hinaan, tuduhan, serta sikap ketus Andra padanya, telah mematahkan hati Alana.
Laki-laki itu sungguh menjelma menjadi sosok Andra yang berbeda. Alana tak lagi kenal dengan perangainya.
Begitu naik ke dalam minibus, segera Alana duduk menyandarkan punggungnya di kursi yang kosong.
Air mata kembali meluruh selaras dengan relung hatinya yang terasa diremas oleh tangan tak kasat mata.
'Kamu tidak tahu apapun, Ndra. Kamu tidak tahu apapun. Yang kamu tahu, hanya setiap kebohongan yang diumbar oleh kedua orang tua kamu tentang aku. Mereka berdua yang memaksaku pergi. Mereka lah yang paling berperan atas luka yang kamu derita delapan tahun yang lalu,' desah Alana dalam batinnya.
Manik matanya berlari keluar jendela, menatap pada jalanan yang tampak sedikit lenggang.
Kaca minibus sedikit terbuka, membuat rambut Alana yang tergerai indah bergerak tertiup angin.
Sayangnya, angin itu sama sekali tak menyejukan hati Alana yang memanas.
'Aku tak menyangka, mengapa Tuhan harus mempertemukan kita lagi, Ndra. Jujur aku tidak siap menerima setiap tatapan kebencian yang kamu lemparkan sama aku. Andra yang dulu ku kenal begitu lembut, sekarang sudah berubah. Meski aku senang melihat kamu sudah bisa berjalan lagi. Tapi hatiku perih, Ndra. Hatiku perih saat harus mendapat kebencian dari lelaki yang masih sangat aku cintai.'
Kini Alana menyandarkan kepalanya, mendongkak menatap pada atap bus dengan nyalang.
Hembusan napas lelah keluar dari mulutnya.
Kalau boleh jujur, Alana sangat merindukan Andra. Selama ini lelaki itu sering mampir dalam mimpinya.
Ketika berjumpa dengan Andra, ingin sekali rasanya ia memeluk Andra dengan erat.
Tetapi kemudian Alana sadar. Jika Andra yang sekarang sudah tak mampu lagi ia jangkau.
***
Hari ini adalah hari dimana Alana bekerja untuk yang pertama kalinya di perusahaan Andra.
Sengaja sekali Alana bangun lebih pagi dari biasanya, demi menghindari keterlambatan yang tidak ia inginkan.
Sebagaimana seorang sekretaris, Alana tampil rapi dengan blous berwarna peach serta bawahan rok span hitam selutut.
Rambutnya yang hitam lurus, dibiarkan tergerai namun tetap rapi.
"Bersiaplah, Alana! Kamu pasti bisa bekerja dengan benar. Meski Andra adalah mantan suami kamu, tapi kamu harus berusaha profesional dalam bekerja. Jika dia kembali merendahkanmu, maka kamu jangan memasukannya ke dalam hati. Anggap saja semua ucapan Andra hanya angin lalu. Kebenciannya tidak akan membuatmu rapuh!" Alana bermonolog. Memberi semangat pada dirinya sendiri.
Manik matanya melirik kearah pintu ruang kerja Andra yang tertutup rapat.
Hampir setengah jam Alana duduk di kursinya, tapi ia belum juga melihat batang hidung Andra.
Laki-laki itu belum tiba di kantor.
Namun, suara pintu lift yang berdenting terbuka, membuat pandangan Alana beralih ke sana.
Alana nyaris terperanjat, ia lalu berdiri dengan segera saat mendapati siapa yang baru saja keluar dari dalam lift itu.
Andra!
Tubuh tegap dan jangkungnya telah terbalut dengan stelan jas kerja berwarna hitam. Dipadu dengan kemeja putih, serta didukung dengan dasi abu yang menjuntai di depan badannya yang bidang.
Membuat penampilan seorang Andra tampak begitu nyaris sempurna.
Alana tersenyum miris dalam hati.
'Kamu memang selalu terlihat tampan, Ndra. Dulu dadamu itu adalah tempat dimana aku bersandar dengan nyaman. Tapi sekarang aku sudah tak bisa memilikinya lagi. Semua yang ada dalam diri kamu sudah bukan milikku.' batin Alana.
Kaki panjang milik Andra, melangkah lebar menuju ke ruang kerjanya.
Tentu saja Andra akan melewati meja Alana terlebih dahulu.
Sadar dengan posisinya yang hanya sekretaris Andra, Alana segera menundukan kepala seraya menyapa Andra selayaknya bawahan kepada boss-nya.
"Selamat pagi, Tuan Andra!"
Andra menghentikan langkahnya sejenak.
Hanya sejenak!
Karena selanjutnya, laki-laki itu kembali membawa kakinya pergi melanjutkan langkah.
Meninggalkan Alana begitu saja tanpa merasa perlu membalas sapaan wanita itu.
BRAK!
Alana menatap nanar pada pintu ruangan Andra yang merapat di hadapannya.
Alana lalu mendudukan dirinya kembali dengan lemas.
Hatinya mendesah mengingat sifat Andra yang terasa jauh berbeda dengan dulu.
Tapi kemudian Alana sadar.
Laki-laki itu bukan lagi Andra miliknya.
Mereka sudah tak saling memiliki, semenjak jemari Alana membubuhkan tanda tangan di atas surat cerai yang sudah memporakporandakan kebahagiaan mereka.
***
Setelah jam makan siang selesai, Alana diminta oleh Andra untuk mengantarkan sebuah berkas penting ke ruangannya.
Maka bergegas Alana pergi dari pantry kantor. Menyudahi makan siangnya yang belum tandas.
"Aku harus cepat mengantar berkas yang diminta Andra. Aku tidak ingin Andra marah dan menganggapku tidak becus bekerja." Alana meraih berkas yang sudah ia siapkan di atas meja, lalu kemudian tangannya mengetuk pintu ruang kerja Andra.
Tok! Tok! Tok!
Alana mengetuknya berkali-kali. Tapi ia tak mendengar sahutan dari dalam.
"Apa mungkin Andra tidak ada di ruangannya?" gumam Alana ragu.
Yang Alana tahu, Andra hanya menelponnya dan menyuruhnya mengantar sebuah berkas penting.
Itu saja!
"Ah, sudahlah. Sebaiknya aku buka saja pintunya. Mungkin Andra sedang keluar. Aku akan simpan berkasnya di atas meja kerja dia," kata Alana seraya mendorong pintu dan membentangkannya lebar-lebar.
"Aakhhh..."
Desahan mendadak yang didengar membuat Alana terhenyak mundur ke belakang.
Terlebih, saat matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuat ulu hatinya berdenyut.
Andra tidak sedang keluar. Laki-laki itu sedang duduk di kursi kerjanya.
Hanya saja, sambil memangku seorang wanita yang pakaian bagian atasnya berantakan.
Dan tadi Alana melihat Andra sedang bermesraan dengan wanita itu.
"Apa kamu tidak tahu cara mengetuk pintu, Alana!" bentak Andra dengan intonasi yang tinggi.
Suaranya terdengar kesal. Tapi Andra tetap memangku wanita itu.
"Ma-maaf, Tuan. Aku sudah mengetuk pintu dari tadi. Aku pikir Tuan Andra tidak ada di dalam ruangan," cicit Alana pelan dengan membelakangi Andra.
Sembari mendekap erat berkas di dadanya, Alana enggan menatap ke arah sana. Alana tidak mau hatinya terluka kian dalam.
Cukup sudah pemandangan tadi mematahkan hatinya hingga hancur berkeping-keping.
"Sepertinya sekretaris kamu itu tidak tahu sopan santun, sayang. Dapat darimana sih, dia?!"
Suara wanita itu terdengar sebal membuat Alana meremas jemarinya kuat. Wanita itu memanggil Andra dengan sebutan sayang?
Siapa sebenarnya dia bagi Andra? Hati Alana bertanya-tanya.
"Sekali lagi aku minta maaf. Aku hanya berniat mengantar berkas penting yang Anda minta." Alana membuka suara. Berharap ia bisa segera pergi dari sana. Hatinya yang sesak butuh bernafas lega.
"Kemarilah! Dan simpan saja di atas mejaku! Setelah itu, segera tinggalkan kami! Dan jangan lagi menggangguku jika tidak penting. Karena aku masih ingin menghabiskan waktu bersama calon tunanganku!" tegas Andra yang kata-katanya membungkam bibir Alana.
Deg!
Calon tunangan?
Yang seketika membuat Alana menelan ludahnya. Alana lalu menggigit bibir. Tentu saja ia mengerti dengan apa maksud dari perkataan Andra barusan. Andra mempertanyakan apakah ia sudah boleh menyentuh Alana lagi malam ini? Ya. Karena setelah kelahiran Alin, Andra sama sekali belum buka puasa. Ia berusaha menahannya hingga Alana siap.“Belum..” cicit Alana pelan. Membuat Andra menghela napasnya. “Jahitannya belum kering. Jadi kita belum bisa melakukannya malam ini,” dusta Alana pada Andra.Karena sebenarnya jahitanya sudah kering. Alana bahkan sudah siap jika Andra ingin menyentuhnya. Hanya saja, Alana sengaja mengerjai Andra.Alana sengaja membohongi Andra karena ia sudah mempersiapkan sebuah kejutan untuk suaminya itu.“Begitu ya? Ya sudah. Tidak apa-apa,” ucap Andra meskipun terdengar helaan pelan yang keluar dari mulutnya.Alana menangkup kedua tangan Andra yang masih memeluk perutnya.“Kamu ti
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa terasa kini usia Alin sudah memasuki bulan ketiga. Alin sudah pintar mengoceh dan mengemut tangannya sendiri. Kadang ia akan menjambak pelan rambut Andra dan Rehan saat Papa dan kakaknya itu menciumi wajahnya.“Alin! Sayang! Berapa kali Papa bilang, berhenti mengemuti tanganmu seperti ini. Tadi ‘kan sebelum berangkat ke taman, kamu sudah minum susu yang banyak dari Mama Alana. Perut kamu pasti sudah kenyang ‘kan? Jadi sekarang hentikan mengemut tangannya ya!” Andra menarik tangan Alin yang mengepal dan masuk ke dalam mulutnya.Andra tidak ingin Alin terbiasa melakukan itu. Tapi yang namanya bayi berusia tiga bulan. Tentu saja dia tidak akan mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Papanya.Berulang kali Andra menarik tangan Alin dari mulut mungilnya, berulang kali pula Alin tetap memasukan tangannya itu ke dalam mulut lagi.Hingga akhirnya Andra menyerah. Ia menghembuskan napasnya pelan.“B
Kening Alana berkerut menatap pada suaminya."Alindra?" ulang Alana.Dan Andra langsung mengangguk mantap."Ya. Alindra. Alindra Wijaya. Dia akan menjadi seorang perempuan yang kuat dan berhati lembut. Dia akan pintar dan berwawasan luas. Dia juga akan tumbuh menjadi orang yang penuh kasih sayang. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Alin!" ujar Andra menuturkan.Membuat Alana yang mendengarnya kini menarik kedua sudut bibirnya ke samping.Hingga membentuk sebuah senyuman."Alindra Wijaya? Aku setuju. Nama yang sangat indah," ucap Alana.Kemudian ia mengelus pipi mungil Alin yang masih sibuk menyusu--di dadanya."Hei, Alin! Ini Mama! Kata Papa, mulai sekarang nama kamu adalah Alin, ya. Nanti kamu akan bertemu dengan kakak Rehan. Juga dengan kedua nenek kamu. Kakak Rehan pasti akan senang saat melihat kamu yang secantik ini!" ujar Alana.Ya. Rehan adalah salah
“Emhh.. Maaf Pak Andra! Mr. Steve! Saya mau pamit ke kamar kecil dulu sebentar. Boleh?” tanya Vani dengan wajah sungkan.Yang kemudian langsung diangguki oleh Andra dan Mr. Steve.“Tentu saja boleh. Silakan Vani!”Vani mengangguk. Lalu ia bangkit berdiri sambil meraih ponselnya. Kaki Vani terus bergerak menjauhi meja itu. Lantas ia berhenti ketika berada di dekat kamar kecil.Vani segera saja mengangkat panggilan dari Nita.“Hallo Nyonya Nita! Mohon maaf saya baru mengangkat telpon Anda. Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Vani setelah menempelkan ponselnya di telinga kanan.‘Kenapa ponsel Andra tidak aktif? Sejak tadi saya menghubungi ponsel Andra sampai berpuluh-puluh kali. Tapi tidak satu pun yang tersambung. Jadi saya menghubungimu. Mana Andra?! Saya mau bicara dengannya?’ tanya Nita dari seberang telpon.Pertanyaan Nita itu seketika membuat Vani menggigit bibirnya. Ia tergugu dan
Sambil memegangi kepalanya dengan sebelah tangan, Andra menatap Alana dengan alis yang bertaut.“Kenapa kepalaku dijitak?” tanya Andra dengan memasang wajah sok polos.Alana berkaca pinggang di hadapannya. “Aku melakukan itu agar isi otak suamiku tetap waras. Ini sudah malam ‘kan? Kalau aku yang mandikan, bisa-bisa kita menghabiskan waktu berjam-jam di dalam kamar mandi itu. Karena aku sudah tahu betul dengan apa yang ada di dalam pikiranmu!” Alana berkata dengan tegas. Dan dagunya terangkat kearah Andra.Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, kemudian ia menghembuskan napasnya pelan. Lalu matanya menatap Alana lurus.“Hhh.. padahal aku sudah membelikanmu bunga. Tapi aku tidak mendapatkan balasan apa-apa,” gumam Andra pelan.Namun gumaman itu masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Alana. Hingga membuat kedua bola mata Alana melebar dan ia mendelik kearah suaminya.“Oh! Jadi kamu sengaja membe
Membuat Alana dan Rehan sama-sama tersenyum mendengarnya.“Oh iya. Apa PR-nya Rehan sudah selesai?” tanya Andra yang melemparkan tatapanya ke arah buku tulis milik Rehan.“Sudah, Pa. Kalau untuk PR-nya, aku sudah mengerjakannya tadi. Sekarang hanya tinggal belajar membaca saja. Karena besok ada tes membaca oleh Ibu Guru,” sahut Rehan menjawab. Dan Andra mengangguk-anggukan kepalanya.“Oh begitu. Baiklah. Berhubung sekarang Papa sudah pulang ke rumah. Jadi bagaimana kalau Papa saja yang membantu kamu belajar membaca? Kamu mau?” Andra menaruh tas kerjanya di atas tempat tidur Rehan. Kemudian ia bertanya pada bocah kecil itu.“Mau Pa! Rehan mau!” seru Rehan dengan senang. Sampai ia mengangkat kedua tangannya ke atas hingga Andra terkekeh menggeleng-gelengkan kepalanya.Namun Alana menatap Andra dengan mengerutkan keningnya.“Tapi, Andra. Kamu ‘kan baru pulang dari kantor. Pasti k
“Apa pensil warnanya sudah? Jangan sampai ada yang tertinggal, Rehan!” Alana sedang mengecek perlengkapan sekolah Rehan yang ada di tas anak itu.“Sudah Rehan masukan semuanya, Ma? Isi tasku sudah lengkap, ‘kan?” Rehan balas bertanya pada Alana yang duduk di tepi ranjang sambil meneliti isi tas anak lelakinya itu.Pagi ini Alana memang langsung mendatangi Rehan ke kamarnya. Hal yang selalu menjadi kebiasaan Alana. Ia selalu memeriksa PR Rehan dan isi tas bocah itu. Alana takut jika sampai ada yang tertinggal di rumah.Merasa semuanya sudah lengkap, Alana menganggukan kepalanya lalu ia memberikan tas itu kembali ke tangan Rehan.“Ternyata semuanya sudah lengkap. Kalau begitu kemarikan sisirnya. Biar Mama yang sisirkan rambut kamu!” pinta Alana menengadahkan tangannya pada Rehan.Namun Rehan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak usah, Ma. Rehan sudah besar sekarang. Mama tidak perlu lagi menyisiri rambut R
Malam ini, Andra sedang duduk di kursi yang terletak di balkon kamarnya. Tampak kaki kanannya tertumpang di kaki kiri. Dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya, Andra mengamati lamat-lamat buku-buku tebal yang ia pangku di atas—paha.Yang sedang Andra baca itu tentu saja sebuah buku bisnis.Ketika itu Rehan datang dengan membawa snack di tangannya. Bocah kecil itu melangkah mendekati Papanya yang langsung menoleh dan tersenyum begitu melihat Rehan.“Hei! Papa pikir kamu sudah tidur?” Andra tersenyum pada Rehan sembari melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas meja.“Belum, Pa. Rehan tidak bisa tidur.” Rehan kini menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di depan Andra.“Kenapa kamu tidak bisa tidur? Apa kamu sudah minum susu hangatnya dari Bik Sumi?” tanya Andra kemudian ia menaruh buku tebalnya juga di atas meja. Untuk bergabung dengan kacamatanya.Rehan mengangguk sebagai j
Kini Andra dan Alana sudah ada di mobil. Alana mengerutkan keningnya menatap kearah jendela di sampingnya, benaknya berpikir kemana Andra akan menjalankan mobilnya ini?Andra bilang, mereka akan pergi jalan-jalan. Tapi Andra belum memberitahunya kemana tujuan mereka sebenarnya.Sementara Andra sendiri tampak fokus menyetir sembari tatapannya tajam ke depan sana.“Andra!”“Hmm?” Andra berdeham, melirik sekilas kearah Alana yang duduk di sampingnya. Sebelum kemudian kembali memusatkan pandangannya ke jalanan.“Sebenarnya kamu mau bawa aku ke mana?” Alana tak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan hal itu. Ia sungguh penasaran.Tapi Andra hanya menahan senyumnya. Melihat Alana yang menatapnya dengan pandangan penuh tanya, membuat Andra merasa geli.“’Kan sudah ku bilang, kalau aku mau membawamu ke sebuah tempat yang akan membuatmu senang melihatnya. Karena it