"Pasti Sherly 'kan yang sudah memberitahu Mama tentang Alana yang bekerja di perusahaanku?" tebak Andra.
Tapi, Nita mengibaskan sebelah tangannya di udara. "Tidak penting Mama tahu dari siapa. Yang penting sekarang adalah kamu harus tendang dia dari perusahaan! Titik!" tegas Nita tak mau ada tawar-menawar.
Andra hanya mengusap wajah. Lalu menggeleng sebagai jawaban.
"Maaf, Ma. Aku tidak akan memecat Alana dari kantor."
Bola mata Nita membeliak mendengar ucapan Andra.
"Kenapa, Ndra? Kenapa kamu tidak bisa?" tuntut Nita penuh tanya.
"Karena aku sendiri yang sengaja mempekerjakan Alana. Aku hanya ingin sedikit bermain-main dengannya yang sudah menorehkan banyak luka dalam hidupku. Aku ingin membalas rasa sakit yang kualami delapan tahun yang lalu. Setelah aku puas, maka aku berjanji pada Mama, kalau aku akan memecatnya. Dan menendangnya keluar dari perusahaan seperti yang Mama minta," jelas Andra sedikit berbisik sambil menekankan suaranya.
Mulut Nita terbuka, tampak raut terkejut tergambar di wajahnya.
Jadi, Andra mempekerjakan Alana untuk balas dendam.
Di sisi lain Nita merasa senang melihat kebencian Andra pada mantan istrinya masih begitu dalam.
Tapi di sisi lain, Nita takut Andra akan jatuh hati lagi pada Alana jika mereka sering bertemu nyaris setiap hari.
"Sekarang Mama sudah tahu, 'kan. Jadi berhenti mendesakku untuk segera memecat Alana. Sebab aku belum puas bermain-main dengannya," tutup Andra yang setelah itu langsung menarik diri dari hadapan Nita.
Kaki panjangnya kini sudah begerak melangkah lebar menaiki tangga.
Setelah menutup pintu kamarnya dengan rapat, Andra melempar jasnya sembarang arah.
Kemudian ia melepas paksa dasi yang sejak pagi tadi terasa mencekik lehernya.
Kakinya melangkah tegas menuju sebuah laci yang terletak di samping kasur. Andra mengeluarkan selembar foto yang tersimpan di dalamnya. Netranya menatap foto itu dengan tatapan yang tajam dan sarat akan kebencian.
"Aku tidak akan pernah berhenti, sebelum aku bisa membalas semua rasa sakitku padamu, Alana! Wanita sepertimu tidak bisa dibiarkan begitu saja!" ucap Andra dengan gigi yang mengeletuk.
Jemarinya kian keras mencengkeram foto Alana yang sedang tersenyum dengan sangat cantik.
Meski sejujurnya, senyum itu masih mampu menggetarkan rasa rindu di dalam sanubarinya, tetapi Andra selalu menyangkal hal itu.
"Tidak! Aku tidak lagi mencintaimu! Wanita murahan sepertimu tidak pantas untuk dicintai! Kamu penghianat! Penghancur hidupku. Saat ini yang tersisa di hatiku untukmu hanya ada kebencian. Hanya kebencian, Alana! Kamu dengar itu, hah?! Aku sudah tidak mencintaimu! Aku akan membuat hidupmu hancur!" geram Andra seraya menegaskan dirinya sendiri.
Andra sungguh-sungguh menolak bahasa hatinya yang masih mengisyaratkan cinta pada Alana.
Bibir Andra mungkin beratus-ratus kali mengucapkan kata benci, namun hatinya masih mengiba pada wanita yang dulu pernah ia puja.
Sejujurnya, saat tadi Andra mengantar Alana pulang, ia sangat penasaran di mana wanita itu tinggal. Dengan siapakah? Apa masih dengan ibunya, atau Alana justru sudah memiliki kehidupan lain tanpa Andra tahu?
Bukan apa! Andra hanya ingin melihat sebahagia apa Alana tanpa dirinya?
Tapi rasa gengsinya yang terlalu dalam, membuat Andra mengurungkan niat untuk mengikuti Alana ke rumahnya.
***
Pagi ini, Alana dimarahi habis-habisan oleh Andra. Semua yang Alana lakukan selalu saja salah di mata lelaki itu.
Hingga Alana sendiri bingung, ia tak merasa telah berbuat kesalahan sedikitpun.
"Apa kamu tidak becus bekerja? Kenapa laporannya berantakan seperti ini? Aku menggajimu bukan untuk bermalas-malasan, Alana! Kamu tahu itu, 'kan?" kecam Andra marah sembari tangannya menunjuk-nunjuk wajah Alana yang semakin tertunduk di hadapannya.
"Maaf, Tuan. Tapi, bukan aku yang membuat laporan. Bukankah laporan itu dari bagian keuangan, dan aku hanya disuruh mengantarkannya pada Anda?"
"Oh. Kamu sudah berani membantahku, Alana? Aku tidak peduli mau siapapun yang sudah membuat laporan ini, yang jelas kamu yang salah. Karena kamu tidak berinisiatif memeriksa laporan itu terlebih dahulu sebelum mengantarnya ke meja kerjaku!" Andra makin meninggikan intonasi suaranya.
Membuat Alana mengerjap dan berjengkit di tempatnya.
"Hhh! Kamu hanya membuat waktuku terbuang sia-sia! Belum lagi pekerjaanku sedang sangat menumpuk. Kamu memang benar-benar tidak bisa diandalkan!"
Alana menahan napasnya saat mendengar kalimat terakhir yang Andra ucapkan.
Dirinya tak bisa diandalkan? Bukankah Alana sendiri sudah berusaha melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Ia melayani Andra selayaknya yang dilakukan oleh sekretaris pada bossnya.
Tetapi dirinya tetap saja salah di mata Andra. Entah apa yang membuat Andra sampai semarah ini. Atau mungkin mood lelaki itu memang sedang buruk.
"Karena ketidakbecusan kamu, kita jadi harus lembur malam ini!" kata Andra dengan sengit. "Sekarang cepat keluar dari ruanganku, Alana! Dan bekerjalah dengan benar. Kita tidak akan pulang sebelum pukul dua belas malam!" lanjut Andra dengan tegas.
Dan Alana hanya bisa menelan salivanya berat, lalu menganggukan pelan.
"Baik, Tuan. Aku permisi ke mejaku," pamit Alana menarik diri dari hadapan Andra.
Hanya senyap yang menjawab. Andra tetap menunduk menatap setumpuk berkas di atas mejanya, tanpa berniat menyahut Alana sama sekali.
Hingga Alana menutup pintu ruangannya, barulah Andra mengangkat kepala. Seketika sebelah ujung bibirnya melengkungkan senyum miring.
"Kita mulai siksaanmu, Alana! Hari-hariku tidak akan puas tanpa melihatmu menderita," gumam Andra menampilkan seringaiannya. Matanya menatap lurus pada pintu yang telah menelan tubuh ramping Alana.
"Huftt.. Jika aku lembur sampai jam dua belas malam, lalu bagaimana dengan Rehan? Dia pasti tak akan bisa tidur dan akan terus menungguku pulang." Alana mendesah lemah. Sembari jemarinya berkutat dengan keyboard di hadapannya. Tetapi benak Alana melayang memikirkan Rehan. Semoga saja anak semata wayangnya itu tidak akan menanti kepulangannya malam ini. Alana kembali memusatkan pikirannya pada setumpuk pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Hingga tanpa terasa, waktu terus bergulir dan jarum jam terus berputar. Alana menghela melirik kearah jam yang menempel di dinding kantor. "Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Setengah jam lagi pukul sepuluh malam, sebentar lagi aku harus mengantarkan kopi ke ruangan Andra," gumam Alana sembari melakukakan sedikit peregangan pada pinggang-pinggangnya yang malam ini terasa diremukkan. Setelah itu, tangan Alana kembali sibuk berjibaku dengan kertas-kertas dan komputer. Hingga suara ponselnya yang berdering, membuat Ala
“Danu!” pekik Alana. Dia terkejut melihat Danu yang telah berada di rumahnya. “Kapan kamu datang?” tanyanya lagi. Mendengar itu, Danu tersenyum sembari mengusap tengkuknya. Ia memang sengaja ingin membuat kejutan untuk Alana dan Rehan. Makanya datang tanpa ingin memberitahu. “Aku baru datang jam enam sore tadi. Aku memang sengaja, Alana. Aku ingin memberikan kejutan untuk Rehan. Aku sudah sangat merindukan bocah laki-lakiku ini. Dan sekarang aku senang bisa bertemu dengannya,” sahut Danu yang mengusap pelan rambut Rehan yang hitam legam. “Kamu habis lembur, Alana? Kok baru pulang jam segini?” tanya Danu dan Alana menjawab dengan anggukan pelan. “Ya. Aku habis lembur. Pekerjaanku di kantor sangat menumpuk, makanya harus segera diselesaikan malam ini juga,” jawab Alana. “Aku pikir Rehan sudah tidur. Tapi ternyata dia masih asyik bermain denganmu. Tapi tidak baik membiarkannya tidur terlalu larut, Danu. Rehan harus sekolah besok pagi.” Danu segera menepuk keningnya setelah mendeng
Tanpa menyadari kemarahan Andra yang semakin memuncak, Alana masuk ke dalam ruangan Andra untuk mengantar sebuah laporan. Dilihatnya lelaki itu tampak sedang sibuk berjibaku dengan setumpuk berkas yang selalu menghiasi mejanya. “Simpan saja di atas mejaku!” kata Andra dan Alana mengangguk pelan. Ditaruhnya laporan itu di atas meja kerja Andra. “Pak Andra juga ada jadwal meeting mingguan siang ini,” ucap Alana mengingatkan. “Hemm..” Alana menghela ketika tanggapan yang ia dapat hanyalah sebuah dehaman singkat. Tapi tak apa! Setidaknya itu lebih baik daripada sikap Andra yang berapi-api memarahinya seperti kemarin. Setelah itu, Alana pamit keluar dari ruangan Andra karena ia pun masih mempunyai pekerjaan yang harus diselesaikannya. Namun, baru saja kaki Alana akan melangkah menuju pintu, saat suara Andra memanggilnya. “Tunggu Alana!” Alana menghentikan langkah, lantas membalikan badannya menatap Andra. Lelaki itu bangkit berdiri dari kursinya. Kini kaki tegapnya melang
Cekalan tangan Andra di lengannya terasa begitu kencang. Hingga Alana merasakan sakit di sana. Tetapi itu tak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang hatinya derita saat ini. Alana tak bisa menyalahkan Andra atas kebencian yang dimiliki oleh lelaki itu padanya. Sebab pada dasarnya Andra memang tidak mengetahui apapun tentang semua yang terjadi di masa lalu mereka. Sosok Andra yang sekarang adalah hasil bentukan dari segala hasut kedua orang tuanya. Meski Alana berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya di depan Andra, namun akhirnya air mata itu luruh juga dengan begitu lancangnya. Ya. Alana menangis. Tetapi Andra hanya mendengus melihat mata bulat Alana yang telah basah. "Huh! Jangan pura-pura menampilkan wajah terlukamu di hadapanku, Alana. Aku sudah bukan lagi Andra yang bisa kamu tipu. Saat ini aku bukannya mau menyakitimu. Tapi aku hanya mau memberimu sebuah penawaran yang sangat menguntungkan." Andra berkata dengan setengah berbisik pada Alana yang masih tertahan di ba
"Berani-beraninya kamu memunculkan batang hidungmu lagi di depan anakku! Hah! Mana janji yang pernah kamu ucapkan. Bukankah sudah ku bilang jauhi Andra dan jangan pernah lagi mengganggu kehidupannya?!" sentak Nita berdesis penuh amarah.Intonasi suaranya terdengar mengintimidasi. Tetapi masih agak pelan. Alana mengerti, mungkin Nita tidak ingin Andra mendengar ucapannya. Hingga dalang dari kejadian delapan tahun lalu akan terkuak ke permukaan. "Maaf, Nyonya Nita yang terhormat. Aku ada di sini bukan untuk mengganggu kehidupan anak Anda. Tapi aku hanya sedang berusaha professional dalam bekerja. Saat ini, aku hanya melihat Pak Andra sebagai pimpinan perusahaan. Jadi Anda tidak usah khawatir. Aku tidak akan pernah merebutnya dari Anda!" Alana berkata dengan wajah santai. Namun suaranya terdengar tegas di telinga Nita. Hingga membuat amarah Nita semakin memuncak. Tangan Nita terkepal di kedua sisi. Kini ia menunjuk wajah Alana dengan penuh penekanan. "Aku tidak peduli! Perjanjian adal
Hari ini Alana mengantar Rehan ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Winarti sedang merasa kurang enak badan. Jadi Alana menyempatkan waktu untuk mengantar anaknya sebelum ia berangkat ke kantor.“Nah, Rehan. Sekarang kita sudah sampai. Kamu belajar yang rajin ya. Jadi anak yang baik sama guru dan teman-teman di sekolah,” Alana berpesan sembari berjongkok di depan Rehan. Sementara kedua tangannya hinggap di pundak bocah lelaki itu.“Iya, Ma. Rehan janji tidak akan nakal di sekolah. Rehan juga akan belajar yang rajin biar selalu dapat nilai seratus. Terus nanti Mama bangga deh sama Rehan!” sahut Rehan dengan penuh semangat. Membuat Alana mengangguk dan terkekeh pelan. Kini Alana bangkit berdiri sembari mengusap lembut puncak kepala anaknya itu.“Ya sudah. Kamu cepat masuk sana! Mama juga akan berangkat ke kantor.”Rehan mengangguk dan mencium punggung tangan Alana segera.“Mama hati-hati ya. Mama jangan terlalu capek kerjanya. Dah, Mama!” kata Rehan melambai pada Alana. Lalu s
“Sekali kamu melakukan kesalahan, artinya kamu tidak becus bekerja. Sekarang lebih baik kamu pergi ke meja kerjamu dan bekerjalah dengan benar!” lanjut Andra yang membuat Sherly mengerutkan keningnya tidak suka. “Apa, Ndra? Kamu menyuruh Alana datang ke ruangan ini hanya untuk dibentak-bentak sebentar, lalu menyuruhnya keluar dan bekerja seperti biasa? Kamu tidak berniat menghukum dia? Atau bahkan memecatnya sekalian. Biar dia kapok! Kalau cuma dibentak-bentak saja, Alana pasti akan keenakan!” Sherly menggerutu.Andra menyentak bolpoint di atas meja. “Diam kamu Sherly! Aku tidak minta pendapat kamu. Kalau kamu tidak suka, kamu juga boleh keluar dari sini!” tegas Andra. Dan Sherly hanya berdecak dalam hati sembari melemparkan tatapan sinis pada Alana yang masih berdiri di depannya. Setelah tak ada lagi yang bicara, netra Andra kembali melirik Alana. “Keluar Alana! Tolong bekerjalah dengan benar di perusahaanku!” pesan Andra penuh peringatan. Yang kemudian dijawab Alana dengan ang
Setelah jam makan siang selesai, Alana segera pergi dari pantry kantor dan melangkah menuju meja kerjanya. Saat itu, Andra juga keluar dari ruangannya dan langsung berdiri tegap dengan tubuh jangkungnya di hadapan Alana dengan tatapan dingin.Alana sontak bangkit. “Ada yang bisa aku bantu, Pak Andra?” tanyanya ragu.“Jika ada berkas penting atau apapun itu, taruh saja di atas meja kerjaku. Aku akan keluar sebentar. Sherly mengajakku makan siang di luar. Dan aku tidak mau waktuku diganggu!” tegas Andra dengan sengaja menekan nama Sherly agar terdengar jelas di telinga Alana. Hati Alana mencelos membayangkan bagaimana mantan suaminya yang masih sangat ia cintai itu, akan menikmati makan siang dengan wanita lain. Namun, Alana segera menyadarkan diri akan posisinya saat ini. “Baik, Pak Andra.” Setelahnya, Andra pun berlalu begitu saja dari hadapan Alana. Wanita itu hanya bisa memandang punggung kekar yang berjalan menjauhinya itu. Andai Alana tidak mempunyai urat malu, pasti A