Pertemuan keluarga sudah usai dan Raya langsung pulang bersama dengan nenek beserta anggota keluarga yang lain.
Merasakan kemarahan sepupunya yang diam saja selama perjalanan, Raya langsung kabur menghindar sesampainya mereka di rumah.
Baru ketika menjelang makan malam, Raya pergi ke dapur untuk membantu menyiapkan makan malam.
Namun, ternyata selama Raya menghindar, kemarahan Yarina belum padam.
“Oh, ternyata sembunyi di dapur?” Yarina tiba-tiba muncul. Baru mendengar suara Yarina saja batin Raya sudah merasa lelah.
Raya hanya menoleh ke arah dimana Yarina berdiri.
“Apa lihat-lihat, sudah merasa bangga ya, mau jadi istri orang cacat?” Yarina menarik lengan Raya dengan cengkeraman keras agar Raya berbalik ke arahnya hingga Raya mengernyit sakit.
Raya pun berbalik, dengan tanpa sadar mengacungkan pisau yang baru dia pakai memotong daging, sambil menatap mata Yarina.
Mengamati apa yang diacungkan Raya, Yarina memandang pisau itu dengan ngeri.
“Ada apa denganmu? Kesurupan?” bentak Yarina setelah pulih dari keterkejutannya. “Jangan hanya karena dipuji sedikit, kamu jadi sombong! Padahal cuma dipuji cantik sama orang cacat.” Yarina mendecih. “Jangan-jangan kamu benar-benar berpikir kalau kamu cantik!?”
Raya melirik Yarina yang sedang menegaskan kata “cantik” dengan begitu dekat di telinga Raya.
“Mana mungkin,” batin Raya. Ia tidak memiliki kepercayaan diri tinggi akibat selalu direndahkan oleh keluarganya sendiri.
Namun, sepintas Raya teringat ucapan Andro mengenai dirinya tadi. Meskipun tampak dominan dan menyeramkan, entah kenapa Raya berpikir bahwa Andro bukanlah orang jahat.
Dengan pikiran tersebut, tanpa sadar Raya tersenyum samar.
Namun, senyum tersebut dipandang sebagai hinaan di mata Yarina hingga membuatnya semakin tersulut emosi. Gadis kesayangan kelaurga Lazuardi tersebut mengepalkan tinjunya geram.
Tiba-tiba Yarina menampar tangan Raya hingga pisau yang dipegang Raya terjatuh ke lantai.
Belum sempat Raya pulih dari keterkejutannya, Yarina kemudian mendorong dada Raya keras, sampai Raya harus mundur beberapa langkah. Punggung Raya menabrak tembok di belakangnya, membuat Raya mengerang kesakitan.
Yarina kemudian mencengkeram kedua pipi Raya dengan satu tangan.
“Hei! Jangan berpikir kalau kamu itu Cinderella hanya karena kamu akan dinikahi orang kaya. Dia itu cacat! Ingat itu,” bentak Yarina. “Sekaya apa pun suamimu, dia tidak akan menjadi pewaris utama dan statusmu juga tidak akan pernah naik!”
Raya memegangi tangan Yarina yang sedang mencengkeram pipinya.
“Yarin, sakit,” erangnya lirih. Cengkeraman Yarina begitu kuat, hingga Raya tidak mampu melepaskannya.
Senyum jahat Yarina mengintimidasi Raya, “Jangan lupa kamu dilahirkan dari rahim yang wanita yang tidak jelas asal usulnya. Dari pernikahan yang tidak akan direstui oleh Nenek. Jadi, seumur hidupmu akan tetap hina!”
Air mata Raya menetes, entah karena kata-kata Yarina atau karena rasa sakit yang ia rasakan.
“Yarin!” Tiba-tiba teriakan terdengar dari belakang Yarina. “Lepaskan!”
Bibi Raya meraih tangan putrinya agar melepas cengkeramannya.
“Yarina, kontrol dirimu!”
Raya langsung meluruh jatuh. Dengan tatapan ketakutan, ia menatap Yarina yang masih mengatur napasnya. Dada sepupunya tersebut naik turun dan matanya berkilat marah.
“Seminggu lagi dia akan menikah. Kamu mau menyinggung calon suaminya itu? Kamu lupa dia menikah dengan siapa, hah!?”
Mendengar hal tersebut, Raya langsung merasa lega. Meskipun alasan bibinya jauh dari rasa sayang, paling tidak Raya tidak perlu menerima kekerasan dari sepupunya tersebut.
Yarina langsung membantah. “Tapi, Bu–”
Bibi Raya berdecak, kemudian berbalik. “Paling tidak, jangan lukai dia di bagian tubuhnya yang terlihat.
Wajah Raya kembali tampak ketakutan. Ia memegangi pipinya, kesakitan dan memang pada akhirnya cengkraman Yarina tadi meninggalkan bekas merah pada kedua pipinya.
Namun, melihat ekspresi kesakitan Raya, membuat Yarina semakin gemas karena menganggap semua itu drama.
Si sepupu itu langsung mencengkeram rambut Raya dan menariknya berdiri.
“Ah!” Raya refleks berteriak merasakan sakit sekaligus terkejut. Dia berusaha bangkit sambil merintih. Kedua tangannya memegang lengan Yarinya, berusaha melepaskan cengkeraman sepupunya itu dari rambutnya.
“Bangun!”
Air mata Raya kembali menetes lagi. Sebenarnya ia tak ingin menangis. Tapi entah kenapa air matanya keluar begitu saja. Mungkin sekali lagi karena rasa sakit yang ia alami.
Melihat Raya tak berdaya, bukannya kasihan. Yarina semakin menganggap Raya sedang bersandiwara.
“Jangan drama!” bentak Yarina. Ia menyentak rambut Raya, membuat gadis itu mengaduh. Tanpa sengaja, kukunya menggores kulit Yarina, membuat sepupunya itu berteriak marah.
“Beraninya kamu!” Yarina mendaratkan sebuah tamparan ke pipi Raya, membuat gadis itu mundur satu langkah sembari memegangi pipinya.
Seketika itu juga, Yarina meraih pergelangan tangan Raya, lalu ditariknya gadis itu dengan kasar agar mengikutinya.
“Aku tidak mau melihatmu!” teriak Yarina.
“Yarin, lepaskan…”
Raya berjuang melepaskan diri. Namun sekuat tenaga pula Yarina terus menyeret Raya, tak menghiraukan rengekannya. Mereka menuju gudang di belakang dapur rumah itu.
Saat hampir sampai, Raya menyadari apa yang akan Yarina lakukan, dia pun berusaha melawan meski sebenarnya dia tau ini semua percuma, melawan siapa pun di rumah ini adalah suatu hal yang sia-sia.
“Yarin, berhenti, jangan lakukan itu. Jangan kurung aku, Yarin!”
Yarina tak menghiraukan rengekan Raya. Ia menyentakkan tangan Raya dan mendorongnya masuk ke dalam gudang sebelum menguncinya. Tak lupa, ia membiarkan gudang tanpa penerangan.
Di dalam, tubuh Raya terjatuh setelah membentur tumpukan kursi hingga sekumpulan kursi tersebut menimpa kakinya, membuat Raya berteriak terkejut.
Namun, bahkan suara kursi yang rubuh dan teriakan Raya tidak membuat Yarina membuka pintu.
“Nikmati saja salam perpisahan dariku di rumah ini, Raya…”
“Yarin …,” gumam Raya dengan suara yang mulai melemah saat mulai menundukkan kepalanya dalam kesedihan.
Hati Raya begitu merasa lelah dengan keadaan seperti ini. Bertahun-tahun ia lalui tanpa kasih sayang dan perlakuan semena-mena dari keluarganya semenjak orangtuanya meninggal.
Air mata yang tak kuasa ia tahan lagi, kini telah membanjiri kelopak matanya. Membuat pandangannya buram.
Tak kuasa tenggelam dalam pilu, Raya menutup kedua matanya dan saat inilah, tiba-tiba satu sosok muncul dalam benaknya. Sosok dengan sorot mata tajam, yang membuat harinya menjadi lebih baik dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Apakah … pria itu bisa membantunya keluar dari neraka ini?
“Andromeda….”
Arin dan juga Samuel bergegas menuju rumah Cantika begitu pulang sekolah. Suasananya jauh berbeda dari sebelumnya, semua orang di sana terlihat sangat berduka."Nek, Cantika mana ya?" tanya Arin sambil memberi salam."Ada di dalam, sana ke kamarnya ya."Arin langsung menarik tangan Samuel untuk mengikuti langkahnya, mereka memasuki kamar Cantika dimana sosok itu terlihat sedang bersiap. mereka akan pergi ke gereja untuk Misa Arwah."Cantika?"Sosok itu langsung menoleh seketika, air matanya langsung turun begitu dia melihat Arin. Sosok yang lebih kecil itu langsung menangis dengan kuat saat Arin memeluknya. Mengungkapkan perasaanya yang sebenarnya. Cantika benar benar merasa tersakiti, kehilangan sosok yang selalu bersamanya, membesarkannya, dia kehilangannya saat itu juga.Dunianya terasa runtuh, bahkan Cantika tidak yakin dirinya bisa bertahan tanpa sosok itu."Hei, udah.... Inget loh, Mama kamu ada di tempat terbaik bersama dengan Tuhan," ucap Arin mencoba untuk menenagkan sahabatn
Gala kembali ke rumah setelah mengantarkan sang Pujaan Hati. Dia terdiam sejenak di ambang pintu, rasanya sangat sepi tanpa kedua orang tua dan juga adik adiknya yang selalu ribut."Hiks... Aku merindukan kalian," ucapnya dengan Satu Tetes air mata yang tidak sempat jatuh; Gala lebih dulu menyukainya. "Tapi... Rasanya tenang sekali, hehehe."BUK!"Astaga naga!" teriak Gala dengan spontan saat sebuah sendal melayang dan mengenai kepalanya, akan membuatnya kini tengah tertunduk di atas lantai.Belum juga memarahi sosok yang membuatnya terjatuh dia terlebih dulu melihat dua orang yang sedang kejar-kejaran. "Kembali ke sini, Alden, kau harus mandi," teriak Mentari sambil membawa ember dan gayung yang berisi air.Di belakang sana ada pelayan yang berusaha mengeringkan lantai supaya tidak ada yang terjatuh. Gala mengerjapkan matanya. "Apa yang terjadi?" tanya Gala pada sang pelayan."Mari saya bantu Anda berdiri, Tuan muda.""Berapa lama mereka seperti itu?""Sejak Tuan Alden pulang ke ruma
Galuh berjalan begitu saja melewati Gala dan gerombolannya, membuat Mentari menghela napas kemudian mengikuti sosok itu."Heh, kau mau kemana?!" teriak Gala pada sang adik."Masuk kelas.""Kenapa bersama dengannya?!""Kami sekelas!""Iya juga," gumam Gala baru mengingat.Yang mana membuat Cantika speechless dengan. Gala, tapi hal itu tidak mengurangi kekaguman Cantika terhadap sosok di depannya itu."Kapten, bisa kami Kembali ke kelas sekarang?""Ya, kembalilah ke kelas kalian, dan belajarlah dengan giat. Sudah sana.”Mereka yang ikut menghadang Galuh adalah pasukan basket, dimana Samuel yang memanggil mereka semua lewat Group Chat atas perintah Gala. Saat semuanya mulai bubar, di sana mulai tertinggal Gala yang masih menggenggam tangan Cantika, bersama dengan Samuel yang masih menatap heran pada pasangan baru itu."Lu ngapain masih di sana?" tanya Gala menyadari keberadaan Samuel."Lu jangan lupa, Gal, ada PR yang belum kelar. Cantika, bilang sama Gala buat berhenti nyontek sama gue
"Mommy dan Daddy akan ke Amerika sebentar, untuk menemani Oma sambil mengurus beberapa hal. Jaga baik baik adikmu ya. Dan jika butuh sesuatu, minta saja pada Samuel.""What the....," ucapan Gala terhenti tatkala dia mendapatkan tatapan tajam dari sang Mommy. "Kenapa Samuel?""Dia temanmu 'kan? Daddy tau dia bisa diandalkan, jadi Daddy memberinya upah untuk menjagamu." Andro bicara sambil memakai jasnya."Eoohh, dia itu lelet, Dad. Lagipula aku bisa sendiri.""Jangan seperti itu," ucap Raya dengan lembut, yang sontak membuat Gala bungkam. Mana bisa dia melawan bidadari kesayangannya. Jadi dia merentangkan tangannya dan memeluk sang Mommy. "Apa ini? nanti parfume Mommy menempel.""Hati hati dijalan ya, Mom. Jangan khawatirkan yang lain, adik adik akan aman bersama denganku."PLETAK! Andro melayangkan jitakan di kepala anaknya, membuat Gala mengaduh sambil melepaskan pelukannya. "Daddy ini kenapa?!""Pamitannya nanti, jangan lebay. Kau ini habis nonton apa semalam?""Film India," gumam G
Kenyataannya, mereka berdua hanya makan saat pulang sekolah saja. Selebihnya Gala kembali mengantarkan Cantika karena dirinya tiba-tiba ditelpon oleh sang pelatih untuk ke sekolah dan melakukan persiapan untuk pertandingan."Maaf ya, aku akan mengajakmu main lagi lain kali.""Jangan khawatir, aku baik baik saja," ucap Cantika yang masih berada di bangku belakang kuda besi tersebut.Sementara Gala tidak bisa menahan kekecewaannya terhadap diri sendiri. "Nanti malam aku akan menghubungimu, mengirimimu pesan. Oke?""Oke," ucap Cantika yang masih sedikit kikuk karena status diantara mereka kini tengah berubah.Yang mana pria yang sedang dia peluk saat ini adalah pacarnya. Astaga, rasanya Cantika ingin mati saja ketika mengingat Gala adalah pacaranya."Dan masalah Laura, jangan biarkan dia menggertakmu oke? Aku akan meminta pengacaraku untuk membereskannya.""Apa yang akan kau lakukan, Gala?" tanya Cantika khawatir."Tidak banyak, hanya membuatnya jera.""Jangan keterlaluan ya, dia bersika
Sesuai perkataannya, Cantika tidak bisa berangkat bersama dengan Gala, dia berangkat bersama sang Kakek dimana dia diajak terlebih dahulu untuk makan bubur di tempat kesukaan kakeknya sebelum mereka pergi ke sekolah."Apa kau menyukai Gala?" tanya sang Kakek tiba tiba."Hmm? Ya, aku menyukainya, Kakek.""Jangan setengah-setengah jika suka, gas terus jika memang benar benar suka padanya," ucap sang Kakek saat Cantika sedang memakan bubur.Membuatnya tersedak dan batuk beberapa kali. Cantika menatap ponselnya, dimana Gala terakhir menghubunginya tadi malam, dimana dia mengatakan akan menagih jawaban sepulang sekolah. Dia juga berkata akan terlambat datang ke sekolah karena ada urusan dengan Daddy nya."Sudah makannya?""Sudah, Kek.""Ayo berangkat, anak cantik harus rajin," ucap sang Kakek membayar makanannya sebelum kembali menaiki motor bebek. "Kakek pulangnya nanti agak malam, sampaikan sama Nenek ya. Kakek harus memilah barang barang untuk di museum.""Iya, Kek.""Lumayan, Pak Praka