Dengan hati yang dipenuhi luka, Anne meraih seragam pelayan yang terjatuh di atas lantai. Ia menahan air matanya yang berharga.Anne mencoba kembali menyadarkan dirinya sendiri. Ia tidak boleh larut ke dalam kenikmatan sesaat yang tidak seharusnya.'Benar. Seperti inilah seharusnya aku diperlakukan,' batin Anne.Gaun mahal, heels, semua barang yang melekat ditubuh Anne, sudah ia tanggalkan. Ia menggantinya dengan seragam pelayan yang sudah usang.Elena masih menunggu. Ia ingin tahu, apakah Anne akan benar-benar kembali pada dirinya dulu yang sangat miskin atau akan berbalik membantahnya.Anne dan Elena, hubungan keduanya semakin memanas. Elena yang tidak siap dengan kecemburuannya, sedangkan Anne yang tidak ingin melewati batasannya.Keduanya memiliki pemikiran berbeda. Bertolak belakang antara ketakutan dan kebutuhan."Pakaian itu jauh lebih cocok untukmu," kata Elena sedikit mencibir Anne.Elena berbalik. Ia keluar dari ruang ganti tanpa menunggu jawaban atau bantahan dari mulut Ann
Saat ini, Mattew sangat marah dengan sikap Austin. Baginya, cara memperlakukan Anne kali ini sudah sangat keterlaluan.Bagaimana mungkin, seorang suami menatap hina pada istrinya sendiri? Bahkan ia seperti bisu dan lumpuh tanpa memberikan bantuan ketika semua menginjak harga diri Anne."Nona Anne, ayo pergi!" ucap Mattew sembari memegang lengan Anne. Jari Anne bahkan berdarah karena ia dipaksa memungut pecahan gelas menggunakan tangannya secara langsung."Tapi, pekerjaaan saya ...""Anda di sini sebagai tamu. Tidak layak Anda melakukan sesuatu yang bukan menjadi bagian Anda," ucap Mattew. "Jika mereka tidak bisa menghargai Anda, biar saya yang menghormati Anda, Nona," sambungnya."Kenapa saya harus mendengarkan Anda?" tanya Anne untuk meyakinkan pilihannya."Apa yang sedang Anda lakukan di sini? Apa Anda sedang mencari sebuah pengakuan?" ucap Mattew.Ucapannya terdengar sangat menohok. Menampar pikiran jernih Anne. Anne berdiri mengikuti gerakan Mattew.Anne membutuhkan pundak untukny
Austin kembali masuk ke dalam. Berusaha melupakan perasaan sesak yang tidak juga kunjung hilang dari hatinya.Austin membiarkan Anne pergi, tapi Anne memenuhi benak Austin. Bayangan-bayangan buruk melintas dengan keji."Austin!" Seorang pria paruh baya memanggilnya. "Austin!" teriak pria itu sembari membentak."Ah!" pekik Austin. Ia melangkahkan kakinya dengan pikiran kosong, sehingga tidak mendengar saat ada orang lain yang memanggilnya. "Ayah!" panggil Austin."Ayah tunggu di ruang kerja. Panggil Elena karena ada yang mau Ayah bicarakan dengan kalian," ucap Tuan Harold."Baik, Ayah."Austin baru sadar kalau Elena tidak ada di aula perjamuan. Acara sudah hampir selesai. Apa yang terjadi pada Anne seakan-akan tidak ada satu orang pun yang mengingatnya."Elena!" panggil Austin.Elena menoleh. "Austin," balas Elena."Ayah memanggil kita," ucap Elena."Kenapa tidak kau bawa Anne saja?" tanya Elena. "Bukankah kau baru saja mengejarnya?" imbuhnya dengan perasaan cemburu yang tidak lagi ia
Setitik luka, menghilangkan besarnya cinta. Membelah bahkan mencabik-cabik sampai titik habis airmata. Seorang wanita, menahan tangisnya. Ia dipaksa tersenyum oleh keadaan ketika melihat pria yang ia cintai, pria yang selama ini menjadi miliknya, bersanding dengan wanita lain. Langkah kakinya maju perlahan-lahan. Mendekati sepasang pengantin baru yang baru saja selesai menyapa para tamu. Ia menelan air liurnya. Menahan gejolak kecewa yang terus mengikis pertahanan diri.“Anne, aku titip Suamiku padamu,” ucapnya. Suaranya terdengar gemetar.“Kak Elena, aku—“ Mata Anne berkaca-kaca. Merasakan sentuhan lembut dari tangan Elena. Elena merupakan istri pertama dari Austin Harold. Austin menikah lagi dengan Anne atas permintaan Elena. Bahkan, Anne adalah
Suara hujan menyamarkan isak tangis Elena. Ia meringkuk, duduk di atas sofa merangkul lututnya. Matanya yang memerah menatap ke arah meja, memperhatikan foto pernikahan mereka beberapa tahun yang lalu. Pernikahan penuh cinta yang saat ini telah ternoda oleh pernikahan kedua.“Austin, aku kira hatiku kuat. Ternyata rasanya begitu sakit,” gumam Elena. Buliran airmata terus mengalir tanpa henti. Elena takut mendengar petir yang bergemuruh, tapi ia lebih takut kalau suatu saat ia tersingkir dari posisinya sebagai Nyonya Austin. Gelar yang selama ini ia jaga dengan sangat baik.“Elena!” Suara teriakan yang cukup keras, bersamaan dengan pintu yang dibuka kasar membuat Elena menoleh ke arah sumber suara. Pria yang seharusnya tidak menemuinya, datang dalam kead
Bibi Anh sedikit terkejut. Anne kembali dengan airmata yang membasahi pipinya. Ia berlari naik ke lantai atas. Isak tangisnya tidak bisa ia tahan. Merasa dirinya menjadi wanita terbodoh yang memiliki harapan. Harapannya yang selalu pupus dan membusuk dalam waktu yang terlalu singkat. Anne salah dalam memilih tempat untuk menenangkan diri. Ia malah masuk ke dalam kamar. Ternyata, kamar pengantinnya masih sama seperti semalam. Mengingatkan kembali akan posisinya yang tidak berarti. Bunga-bunga yang menghias indah, kelopak-kelopak yang bertebaran, masih utuh meski sudah layu. Sama seperti perasaan Anne saat ini.Hiks ... Hiks ... Hiks ... Anne menyandarkan punggungnya di daun pintu. Tangisnya tanpa suara. Hanya terdengar rintihan dari sisa-sisa bongkahan rasa.“Nyonya muda,
Anne menggigit bibirnya sendiri, melihat Austin yang sudah membelakanginya. Meninggalkannya seorang diri saat semua orang menatapnya dengan tatapan hina. Anne tidak kuasa menahan gejolak luka yang bertubi-tubi menghantamnya. Bisakah ia berbesar hati seperti Elena? Anne memutuskan untuk menghapus buliran cairan bening yang membasahi pipinya. Ia meninggalkan tempat yang sangat melukai hatinya. Posisinya serba salah di mata Austin. Padahal, Anne hanya ingin mendengar kata terima kasih, sayangnya yang Anne dapatkan tidak jauh dari kata kebencian. Anne merenung sembari duduk di dalam taksi. Menyandarkan kepalanya dan mengukir indah harapan baru di atas luka yang masih menganga.
Austin pergi dengan Elena tanpa mempedulikan apakah Anne akan kecewa atau tidak. Awalnya, Elena kepikiran dengan Anne tapi keramaian menghiburnya. Apalagi, Elena sedang berada di tengah-tengah keluarga yang mencintainya. Anne menunggu Austin. Ia tidak menyerah dan terus menunggu seperti orang bodoh. Tidak ada lagi bus malam. Anne sampa ketiduran di halte karena menunggu dan menunggu. Kakinya bahkan terluka karena mengenakan heels dengan ukuran yang tidak terlalu tinggi.“Nona!” Anne mengernyitkan keningnya. Ia merasa ada seseorang yang menyentuh bahu dan juga memanggilnya.“Austin!” pekik Anne.“Apa saya menge