"Sakit?"
Ansel mengumpat. Ingin rasanya dia melempar muka Adara dengan bantal sofa. "Nggak!""Oh, ya udah."Adara menghapus air matanya tanpa rasa bersalah. Dia menyeringai sebelum akhirnya naik ke kamarnya. Hatinya yang penuh sesak sedikit lebih lega karena proses pelampiasan tadi.Wanita itu mengunci pintu, melepaskan pakaiannya dan meluncur ke bathtub. Dia perlu membangun kepercayaan dirinya di depan Ansel. Dia tidak bisa memperlihatkan sisi dirinya yang lemah meskipun kenyataannya dia memang lemah tanpa neneknya.Dering ponselnya terdengar samar-samar. Adara keluar dari bathtub dengan memakai bathrobe putih bersih miliknya, lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Dilihatnya benda pipih itu bergetar dengan nama kontak tersayang di sana."Ben. Hai," sapanya dengan manja. Rambutnya yang tergerai basah tidak menghalanginya untuk duduk di tepi ranjang. Kakinya yang terjuntai saling bergesekan, persis seperti anak ABG yang sedang kasmaran."Kamu lupa padaku?""Nggak. Siapa yang bilang begitu?""Kenapa kamu nggak telepon?" tanya Ben dengan suara merajuk. Tumben."Aku baru beres pindahan, Ben. Nenek menyiapkan rumah dan aku perlu memindahkan barang-barangku. Hari ini aku mulai bekerja lagi dan baru pulang.""Video call mau?"Adara mendelik. Dia hanya memakai bathrobe, mana mungkin diperlihatkan pada Ben. "Nanti saja ya? Mukaku sedang kucel. Setelah mandi, aku telepon kamu.""Padahal aku merindukanmu.""Aku juga, Ben.""Apa ... malam pertama kemarin ... kalian melakukannya?"Adara terkekeh geli, "Bukannya sudah aku katakan kalau kami menikah hanya sebatas kontrak? Lagi pula dia punya pacar dan aku juga punya kamu. Aku nggak mungkin melakukannya. Kamu percaya kan sama aku?""Aku percaya tapi nggak sama Ansel. Begitu juga dia pria, Dara," desis Ben."Kami beda kamar.""Oh, baguslah."Barulah Ben merasa lebih tenang ketika Adara mengatakannya. Tapi wejangan lainnya kembali diucapkan, "Kamu ingat kan kalau aku menunggu kamu? Aku akan mencoba membuktikan sama nenek kamu kalau aku yang terbaik untukmu, Dara. Aku sudah dapat pekerjaan. Kamu tenang saja ya? Selama kamu bisa menjaga hati, aku juga bisa melakukannya."Jantung Adara bergemuruh. Janji manis yang mereka ucapkan sebelum dia memutuskan untuk menikah selalu berhasil membuatnga tersipu."Aku tetap setia sama kamu. Pernikahanku hanya sekedar untuk menenangkan nenek. Selebihnya aku masih tetap milikmu.""Terimakasih, Sayang.""Aku yang harusnya berterima kasih."°°°"Ayo!" ucap Ansel. Dia sudah siap untuk mengunjungi orangtuanya. Semalam mamanya merengek ingin mereka menginap untuk formalitas penyambutan menantu. Ansel tidak keberatan karena undangan itu adalah berkah baginya. Untuk seharian nanti dia tidak perlu makan masakan Adara yang hampir tidak bisa dibilang makanan manusia."Iya. Nih! Angkut kopernya," titah sang istri. Tangan kirinya sudah penuh dengan tas kecilnya ditambah topi yang entah digunakan atau tidak."Kita menginap hanya semalam, Dara!""Aku tahu. Kenapa?""Ini kopernya harus ya bawa yang segede ini?" tanya Ansel speechless.Adara mulai kesal, "Ribut melulu! Tinggal bawa apa susahnya? Lagi pula perlengkapan wanita jauh lebih banyak dari pada pria. Ada lotion, parfum, sabun, selimut kesayangan, baju dan masih banyak lagi kalau aku harus jelaskan satu-satu."Ansel garuk-garuk kepala. "Punyaku ada kan?"Bibir Adara meruncing, dahinya berkerut. "Ish, siapa yang mau bawain barang kamu? Packing sendiri dong.""Ya Tuhan. Kamu istriku atau bukan sih? Anggaplah kita hanya menikah kontrak tapi kamu nggak perlu memberitahu semua orang. Sikap kamu ini bisa dilihat oleh orangtuaku, Dara. Please! Aku sudah berjanji untuk jadi suami yang baik dengan melamar kamu.""Kamu yang berjanji kenapa aku yang repot? Kalau kamu nggak mau pergi, oke, aku balik tidur lagi. Lagian juga aku nggak maksa untuk pergi," ancam Adara. Dia bersiap untuk berbalik tapi sang suami menahannya. "Apa?"Ansel mengisi paru-parunya dengan udara bersih, lalu mengembangkan senyumannya. "Nggak masalah. Aku punya banyak pakaian di sana. Kita berangkat saja.""Nah, gitu dong. Jangan bikin pusing!"'Kamu yang bikin pusing, Dara, kamuuuu' batin Ansel kesal.°°°Rumah orangtua Ansel tentu saja satu kompleks dengan rumah Dianti. Adara akan bergantian menginap di sana untuk menjaga keseimbangan perhatian antara dua keluarga.Kopernya sudah diangkut ke dalam rumah. Orangtua Ansel menyambut Adara dengan pelukan menghangatkan. Jujur, Adara sudah menganggap wanita bernama Felicia itu orangtua kandungnya.Hubungan Adara dan Ansel boleh renggang, tapi Felicia tidak pernah lupa memberikan kue atau makanan kalau sedang membuat lebih. Ayah Ansel -Jaka- juga sama baiknya. Malah dibanding ayah kandung Adara, Jaka lebih banyak menyapa Adara jika bertemu."Duh, menantu mama yang cantik sudah datang. Masuk, Sayang!" sambut Felicia dengan pelukan yang tidak pernah terasa berbeda. Baik Ansel ataupun Adara memiliki ruang tersendiri dalam hatinya."Mama baik kan?""Baik. Kamu gimana? Kerepotan nggak mengurus Ansel?"Dua wanita itu melangkah ke ruang duduk, menyapa sofa dengan pantat mereka."Bukan lagi merepotkan. Sangat merepotkan, Tan," adu Adara. Muka memelasnya terlihat menggemaskan."Dia emang agak manja. Apalagi kalau sudah sibuk bekerja, dia bisa seharian minta diperhatikan. Yang sabar ya, Dara? Mama yakin Ansel akan berubah," ucap Felicia.Entah punya pemikiran apa sampai Ansel tiba-tiba nimbrung dalam pembicaraan para wanita itu. Dia mendaratkan pantatnya di samping Adara, memeluk istrinya dari belakang.Tentu saja Adara sempat berjengit karena tidak terbiasa dengan tingkah Ansel. Pelukan itu ingin dia lepas tapi Adara masih bisa berpikir panjang."Aku akan berubah," janji Ansel. Lengannya yang membungkus tubuh berisi Adara mulai nyaman. Tidak ada sentuhan yang tidak semestinya karena pria itu menjaga telapak tangannya agar jauh dari milik istrinya. "Tolong pahami aku ya?"Desahan napas Ansel menggelitik telinga Adara. Wanita itu mulai tidak nyaman. Dia sedang menyusun rencana untuk membalas dendam nanti tapi malah Ansel menundukkan kepalanya hingga menyentuh bahu wanita itu.'Ya Tuhan, dia ngapain sih?' batin Adara memberontak.Felicia memandangi sikap manis Ansel dengan senang. "Kalau gini dilihat kan enak. Mama siapkan makanan dulu ya? Kalian ngobrol-ngobrol saja. Dara kalau mau jalan-jalan di halaman boleh. Nanti biar Ansel yang temani."Adara mengangguk cepat. Setelah sang mertua pergi, wanita itu refleks mencubit lengan Ansel agar melepaskannya. Tapi yang namanya Ansel malah berusaha menggodanya.Dagunya masih ada di atas bahu Adara, mengusik kenyamanan. "Pergi nggak?""Aku kira kamu bakal nyerang aku dari depan.""Lepas, Ansel! Aku nggak bisa napas."Adara meronta. Dia punya ide untuk menyikut perut Ansel tapi pria itu buru-buru melepaskannya. "Sialan!""Eh, ini rumah orang tuaku yang tidak lain dan tidak bukan adalah mertuamu. Jangan mengumpat! Ayo, mana sopan santunnya!" ucap Ansel bijak. Dia berdiri dengan gaya bosnya.Adara menahan diri sembari mengatur napasnya. "Lain kali habis kamu!""Ooo tentu tidak. Aku akan selalu membuat kamu tertawa, Istriku!""Tertawa? Hah! Lucu sekali!" Adara memilih untuk pergi membantu Felicia di dapur dari pada mengoceh dengan Ansel.°°°Setelah makan malam dengan keluarga lengkap, pasangan suami istri itu memasuki kamar yang dulunya adalah milik Ansel. Semua cat, perabotan sudah diganti dengan yang baru. Ansel sudah tidak mengenali kamarnya lagi kecuali gantungan lampu yang dia beli dari gajinya sendiri yang masih terpasang di sana."Sofanya hilang," gumam Adara. Perasaan tadi dia melihat sofa berwarna hitam dia pojok sana, tapi sekarang tidak ada. "Coba kamu tanya mama. Ditaruh dimana sofanya kok tiba-tiba hilang."Ansel tidak merespon. Dia lelah seharian ini. Pria itu sudah berbaring di ranjangnya."Ansel."Tidak ada jawaban."Ansel."Kesal karena tidak bisa berteriak, Adara menggunakan kakinya untuk membangunkan Ansel. "Bangun! Sofanya nggak ada. Aku tidur dimana kalau begini?""Apa sih?" gumam Ansel tidak kentara. Matanya benar-benar sulit untuk dibuka."Aku tidur dimana?""Kamar lain.""Nanti orangtuamu tahu kalau kita nggak sungguh-sungguh menikah."Ansel menepuk sisi kosong di sampingnya tanpa mengatakan apapun."Nggak mau! Nanti kita melakukan sesuatu. Ansel, bangun! Minta sofa sama mama! Ansel! Ansel! Woii!"Srett!Percuma kalau banyak bicara. Ansel bertindak cepat dengan menarik Adara untuk berbaring. Sayangnya mereka malah berhimpitan di atas ranjang. Oh, Tuhan!"Kamu gila?" sungut Adara sembari memukul. Dipukul begitu tentu saja kesadaran Ansel kembali. Pria itu mengirim sinyal agar Adara diam kalau tidak mau kena masalah."Ngapain berisik?""Lepas!"Ansel malah iseng menggodanya dengan berpura-pura memonyongkan bibirnya. Adara mendelik, dia sudah menaikkan lengannya untuk menghempaskan mulut sialan itu tapi...Ceklek!"Ups, maaf. Mama salah masuk. Lanjutkan saja!""Mama jangan salah paham!" ucap Adara yang kemudian menarik dirinya untuk berdiri. Namun sayang, gerakannya terlalu cepat membuat sang suami mengerang kesakitan."ADARA! APA YANG BARU KAMU INJAK?"°°°"Injak?" tanya Adara bingung. Apa yang dia injak? Tapi melihat suaminya menutupi bagian sensitif miliknya, akhirnya wanita itu sadar. "Sorry."Felicia menahan tawanya melihat muka Ansel yang tidak bersahabat sama sekali. Raut wajah wanita itu kembali normal saat Adara menoleh ke arahnya. "Lanjutkan saja. Mama mau tidur."Adara serta merta memburu Felicia, "Tunggu , Ma! Mama jangan salah paham." Dia lupa statusnya sekarang sebagai istri Ansel. Untuk apa mengatakannya?"Salah paham juga nggak masalah, Dara. Kalian suami istri bebas melakukan apapun. Lebih bagus lagi kalau sering-sering. Duh, kalau selucu ini mama yakin kalau anak kalian malah lebih lucu lagi. Sampai bertemu besok, Sayang. Tidur yang nyenyak," ucap Felicia penuh kepercayaan diri kalau akan ada sesuatu yang terjadi nanti malam. "Mereka pasti akan sibuk. Syukur banget aku pindahin sofanya. Kata Nenek Dianti emang harus begitu kalau mau punya cucu dalam sebulan. Aku harus berterimakasih nih," gumam Felicia senang sembari
Pasangan suami istri itu mendelik bersamaan ketika melihat Felicia ada di ambang pintu, berteriak dengan sangar."Itu ... Ma, kontrak sama orang nggak penting. Katanya bisnis tapi kok ada hasilnya," sungut Adara. Dia hanya mengarang bebas karena yang dia tahu Ansel punya bisnis yang tidak diketahui orangtuanya. Felicia beralih pada anaknya, "Kamu main bisnis apa lagi? Kamu nggak ingat kalau selalu gagal setiap kamu sok-sokan jadi pebisnis?""Iya, aku juga udah bilang begitu, Ma. Dia aja yang ngeyel," bela Adara lengannya bersedekap. Dia menyerang tepat di ulu hati Ansel. "Bukan begitu, Ma. Ini bisnis yang menguntungkan," desak Ansel. "Alah, untung apanya? Paling juga selalu rugi. Udah bagus kamu diberi pekerjaan oleh papa kamu. Harusnya kamu fokus saja pada pekerjaan itu. Jangan beralih ke bisnis lain. Atau kalau mau cari suasana baru, pegang bisnis nenek Dianti. Nenek sudah bicara sama mama kalau kamu boleh belajar memegang salah satu minimarketnya," jelas Felicia panjang lebar.
"Eng-nggak kok," gelagap Adara. Dia tidak menyangka lidahnya bisa bergoyang tidak jelas.Di luar dugaan Felicia tertawa, "Mama bercanda. Teman kamu ya? Kenapa nggak disuruh masuk?""Oh, iya, iya, Ma, teman. Dia agak pemalu. Kebetulan kami ada pembicaraan soal pekerjaan. Mama nggak berpikir yang bukan-bukan kan?" tanya Adara cemas. Ben harus aman dalam pengamatannya.Felicia mengelus bahu menantunya, "Nggak lah. Kenapa harus curiga sih? Mama lebih percaya sama kamu dari pada sama Ansel. Kamu nggak mau sarapan dulu?""Aku sarapan di luar aja, Ma. Aku pamit ke kantor dulu ya, Mam?" Adara mencium telapak tangan Felicia sebelum pergi. Dia melangkah terburu-buru ke bawah sambil melirik ke belakang karena takut Felicia membuntuti. "Kenapa kamu jemput ke sini?" tanya Adara sedikit kesal. Dia menerima uluran helm Ben padanya, "kan kita bisa ketemuan di gang depan atau dimana aja penting jangan di sini."Ben melirik Adara yang tidak juga memasang kaitan helmnya. Akhirnya dia turun tangan. Dari
"Brengsek!"Ansel tidak terima dipukul telak begitu. Dia balas memukul. Perseteruan yang memanas malah membuat sebagian karyawan ingin tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah."Stop!" Suara Adara rasanya kalah dari suara hantaman mereka. Kenapa mereka bisa berbuat kekanakan di depan kantor Dianti? Kalau sampai ada laporan masuk ke telinga neneknya, dia bisa habis.Satpam datang melerai, lebih tepatnya mereka menahan Ben agar tidak menyerang Ansel lagi. Siapa yang tidak kenal Ansel kalau Dianti sudah berkoar-koar di depan mereka? "Pak Ansel nggak apa-apa?" tanya salah satu satpam yang lebih muda. Ansel menghapus jejak darah di sudut bibirnya, "Nggak apa-apa, Pak.""Tolong, Pak! Jangan membuat keributan. Silahkan pergi dari sini," usir satpam lainnya pada Ben. Ben jelas tidak terima. Pasalnya dia yang paling berhak atas Adara. "Kamu nggak mau belain aku?"Adara tersudut. Dia tidak mungkin membela Ben yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya meskipun Ben adalah kekasihnya. Wanita itu
Seketika Adara memasukkan permukaan bibirnya ke dalam, mengapitnya erat. Dia bergumam sesuatu tapi tidak terdengar seperti ucapan. "Nggak paham," sungut Ansel.Adara menormalkan bibirnya setengah takut. Matanya memicing tajam, "Nggak bisa! Ini hanya untuk Ben.""Ya sudah."Blam!Ansel menutup pintunya dengan sedikit tekanan. Dia bermain tarik ulur. Dia sangat yakin kalau Adara tidak mungkin mau mengikuti kemauannya karena ego wanita itu yang tinggi.Justru itulah yang dicari Ansel. Dia sengaja membuat syarat sulit agar Adara tidak lagi menekannya. Ansel tidak mungkin minta maaf pada pria yang jelas-jelas bukan satu level dengannya."Ansel," panggil Adara."Berubah pikiran?"Lama diam lalu Adara mengetuk pintu itu lagi. "Ba-baiklah."Hah? Adara setuju? Ansel membuka pintunya lagi. "Kamu mau?"Muka merengut Adara, ketidakrelaannya terekam jelas di mata wanita itu. Dia mengulurkan salah satu handuknya pada Ansel. "Nanti setelah makan malam kita bicarakan lagi."°°°Suara dentingan sendo
"Ada apa, Dara? Kenapa muka kamu pucat?" tanya Dianti pelan. Dilihatnya muka Adara tidak kembali cerah setelah diam-diam melihat ponselnya. Makan malam mereka masih belum selesai. Pasangan suami istri yang berniat melakukan kerjasama dengan mereka tampaknya senang berbicara dengan Adara. Buktinya mereka tidak bisa membiarkan wanita muda itu untuk diam."Eng, nggak apa-apa, Nek. Aku boleh ke belakang sebentar?" tanya Adara. Mukanya pucat, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Dianti. Untuk sementara dia hanya harus mengkonfirmasi kabar itu benar atau tidak."Pergilah!"Adara meminta maaf pada tamu mereka lalu bergegas untuk ke luar dari meja pertemuan itu. Dia berjalan cepat, kecemasan melanda dirinya. Entah Ben atau Ansel yang dia khawatirkan, dia belum bisa menjelaskan.Setelah sampai ke area toilet, wanita itu tidak masuk. Dia hanya berdiri di lorong menuju toilet. "Halo, ini siapa?"Terdengar suara riuh di seberang sana. Adara bisa mendengar suara sirine ambulans yang memekakka
"Bikin jantungan kamu, Jo," rutuk Adara pelan. Gemuruh di dadanya membuat dia tidak bisa bernapas dengan benar. Jo mengisyaratkan padanya dengan kedipan mata, menandakan bahwa dia sedang dalam keadaan terpojok. Pria itu lalu berbalik tapi lengannya mencoba menghalangi tirai itu terbuka. "Iya, Nek."Dianti melirik tirai yang tertutup itu dengan kening mengerut, "Ini ponsel kamu?"Jo melihat benda di tangan Dianti dengan cermat. Dia langsung bisa mengenali ponsel siapa itu. "Oh iya, Nek. Saya cari dari tadi." Secepat kilat dia mengambil benda itu.Dianti menunjuk lantai persis di sampingnya, "Tadi jatuh. Kebetulan nenek lihat.""Terimakasih, Nek. Kalau bukan karena nenek, ponsel saya pasti sudah hilang." Jo mencoba bersikap normal meskipun dia tidak sanggup menahan kegugupannya. Dua orang di belakangnya benar-benar membuat dia mati kutu. Kenapa mereka harus berpelukan di tempat yang tidak seharusnya. Bagaimana kalau dia kalah selangkah tadi? Bisa-bisa hidupnya dan hidup Ben habis dalam
"Mulut kalau nggak tahu apa-apa itu jangan berisik! Asal kalau ngomong! Emang kamu dekat sama Ben sampai-sampai bisa mengatainya brengsek? Kamu pikir kamu nggak brengsek?" sungut Adara. Dia kesal bukan main. Selalu saja Ben yang jadi sasaran kemarahan Ansel.Adara tahu dulu Ben memang begitu, tapi sekarang prianya sudah banyak berubah. Andai semua orang bisa menghargai perubahannya sudah pasti sekarang yang jadi suaminya bukan Ansel. Ansel bergeming. Pukulan kecil itu tidak berarti apa-apa baginya tapi hatinya terluka. "Sudahlah. Aku nggak mau berantem."Pria itu berjalan gontai ke arah ranjang, menarik selimut tebalnya dan digelar di lantai tepat di samping ranjang. Bantal miliknya juga dibawa serta. Tanpa mengucap sepatah katapun dia membiarkan tubuhnya tenggelam dalam dinginnya lantai. Adara tidak berusaha menahan Ansel. Kemarahannya lebih mendominasi. Dia mencari selimut lain sebelum membaringkan tubuhnya. Pikirannya menggelayut kemana-mana tapi bukan tentang Ansel. Adara lebih