"Injak?" tanya Adara bingung. Apa yang dia injak? Tapi melihat suaminya menutupi bagian sensitif miliknya, akhirnya wanita itu sadar. "Sorry."
Felicia menahan tawanya melihat muka Ansel yang tidak bersahabat sama sekali. Raut wajah wanita itu kembali normal saat Adara menoleh ke arahnya. "Lanjutkan saja. Mama mau tidur."Adara serta merta memburu Felicia, "Tunggu , Ma! Mama jangan salah paham." Dia lupa statusnya sekarang sebagai istri Ansel. Untuk apa mengatakannya?"Salah paham juga nggak masalah, Dara. Kalian suami istri bebas melakukan apapun. Lebih bagus lagi kalau sering-sering. Duh, kalau selucu ini mama yakin kalau anak kalian malah lebih lucu lagi. Sampai bertemu besok, Sayang. Tidur yang nyenyak," ucap Felicia penuh kepercayaan diri kalau akan ada sesuatu yang terjadi nanti malam."Mereka pasti akan sibuk. Syukur banget aku pindahin sofanya. Kata Nenek Dianti emang harus begitu kalau mau punya cucu dalam sebulan. Aku harus berterimakasih nih," gumam Felicia senang sembari melangkah turun. Ternyata sering berkomunikasi dengan Dianti menambah panjang umurnya.Adara menepuk jidatnya. "Masa aku lupa kalau aku udah nikah? Dara, Dara, pakai kata-kata norak lagi. Ketahuan nggak ya?" Wanita itu masuk kembali ke kamarnya dengan mulut meruncing kemana-mana."Minta maaf!" tuntut Ansel. Dia duduk di tepi ranjang masih menutupi sesuatu itu. Tatapannya sangat tajam dan tidak sabar."Sakit ya?" tanya Adara mencari tahu."Kamu kira enak?""Ya mana aku tahu."Senyum smirk Ansel muncul bersamaan dengan berdirinya pria itu. "Biar aku tunjukkan sakitnya seperti apa."Ansel menarik Adara hingga istrinya berbaring bersamanya. Dia melakukan posisi yang persis dilakukan Adara tadi, malah jaraknya tidak terlihat."Kamu mau apa?" tanya Adara khawatir. Kalau memang rasanya sesakit itu, bagaimana dia bisa mengatasinya?"Duplikat," ucap Ansel tajam. "Atau kamu mau pilih yang lain? Kamu mau tangan, kepala atau mulut?""Jangan macam-macam ya! Di kontrak nggak ada yang beginian," ketus Adara yang berusaha mendorong musuh sekaligus partner menikahnya itu. Tapi Ansel tidak akan merelakan apa yang sudah dia dapatkan susah payah.Memangnya mudah memeluk Adara? Kalau wanita itu sudah berontak bisa-bisa seluruh tubuhnya bakalan remuk. Sekali jalan langsung saja lakukan sesuatu. Lagi pula kalau wanita itu mengadu pada orangtuanya, mereka malah mendukung Ansel."Makanya, jangan nyerang duluan," sungut Ansel."Lepasin nggak? Aku teriak nih?""Teriak aja," tantang Ansel.Adara sedang memikirkan seribu cara ketika ponsel suaminya berdering. Ansel ingin mengabaikan tapi dia mengurungkan niatnya. Dia berdiri bersamaan dengan umpatan istrinya.Ansel mengacuhkan Adara. Melihat nama Emma di layar ponselnya, membuat dia segera beralih pada benda itu. "Iya, Beb."[Bisa kamu kemari? Aku ingin ditemani]"Tapi aku ada di rumah mama. Nanti mama curiga kalau aku pergi malam-malam."Ansel duduk di tepian ranjang sembari melihat Adara yang beringsut ke sisi yang lain.[Aku takut sendirian. Kamu tahu nggak kalau ada orang yang menguntitku setiap hari? Atau kamu nggak mau tahu lagi tentang masalahku? Gara-gara pernikahan bodoh itu kamu melupakanku?]"Penguntit?" tanya Ansel cemas. Dia membuka lemarinya, mengambil jaket. Panggilan itu masih tersambung. "Aku ke sana sekarang. Kamu kunci pintu, jangan dibuka untuk siapapun. Nanti aku masuk sendiri."[Terimakasih, Beb]Sebelum Ansel meraih gagang pintu, Adara menghalangi. "Aku bukannya mau ikut campur masalah kamu dan Emma tapi kita di rumah mama. Mama kamu! Tante Felicia! Kalau mama tahu kamu pergi, apa dia nggak akan curiga?"Ansel menyingkirkan Adara dari hadapannya. "Cari saja alasan yang tepat. Urgent soalnya. Aku nggak bisa meninggalkan Emma sendirian di saat genting begini." Pria itu keluar dari kamar tanpa memperdulikan Adara yang berusaha menahannya.Adara yang tidak mau repot-repot memberikan alasan hanya berharap Felicia benar-benar sudah tidur. Jadi wanita itu tidak perlu membohongi mertuanya.°°°'Mampus! Suara siapa itu?' batin Adara. Dia baru ingin tidur tapi mendengar suara langkah kaki mendekat dia membuka matanya kembali. Suaranya terdengar seperti sandal rumahan yang bunyinya mirip mainan karet anak kecil."Ansel?" gumam Adara.Tapi sepertinya bukan. Seingat Adara, Ansel tidak memakai sandal rumahan. Lalu siapa?"Kalau ketahuan bisa gawat," gumam Adara panik. Pikirannya tertuju pada asisten rumah tangga mertuanya yang kebetulan lewat atau paling sial Felicia melakukan sidak malam.Adara melihat jam dinding. Pukul dua belas malam tepat. Wanita itu memutar otaknya yang terlihat linglung. Secepat kilat tanpa menimbulkan suara, dia mengunci pintu dengan menarik kunci gesernya. Wanita itu berdiri di belakang pintu berniat mendengarkan.Langkah kaki orang di luar sana makin dekat dan berhenti di depan pintu kamar yang Adara tempati. Tidak ada suara apapun. Apa yang dia lakukan?'Apa mungkin hantu?' batin Adara takut. Tapi sekali lagi otaknya masih bisa dikondisikan. Hantu tidak mungkin kakinya bisa napak lantai apalagi ada bunyinya."Kok sepi." Akhirnya suara yang ditunggu muncul. Meskipun pelan tapi Adara yakin itu suara Felicia. Apa yang dilakukan mama mertuanya? Apa wanita itu ingin tahu apa yang dilakukan Adara dan Ansel semalaman?Adara menahan gejolak ingin ke kamar mandinya. Dia mengutamakan keingintahuannya."Jangan-jangan Ansel pergi? Aku kok kayak dengar suara motor Ansel tadi ya?" gumam Felicia lagi. Sepelan apapun suaranya pasti akan terdengar berisik jika di malam hari.Adara sudah berpikir ribuan kali untuk mengiyakan suara hatinya. Dia hanya ingin melindungi pernikahannya bukan melindungi Ansel."Argh, ya Tuhan Ansel," desah Adara menirukan suara yang pernah dia dengar. Kening wanita itu mengerut dalam. Malu rasanya mendengar suaranya sendiri apalagi ketahuan mendesah sendirian.'Gila!'"Eh, ada suara Dara. Jadi tadi belum masuk ya baru pemanasan?" Lagi-lagi Felicia menyuarakan isi kepalanya yang terdengar senang.Kalau mau Felicia cepat pergi, Adara harus banyak berakting lagi. Wanita itu menahan gelinya karena harus mengeluarkan suara menjijikan itu. Berkat teman-teman Ben yang sering menonton film-film aneh, kepalannya jadi terkontaminasi."Ya Tuhan, apa ini?""Ansel, please."Berselang dua menit, orang yang diduga Felicia tadi akhirnya pergi. Adara menghembuskan napas kasar dan kesal. "Awas kalau besok kamu nggak bisa pulang pagi-pagi, aku bakalan hajar kamu tanpa ampun."Kalau hanya soal itu Adara tidak perlu khawatir. Yang perlu dikhawatirkannya hanyalah godaan sang mertua ketika sarapan besok. Lihat saja!°°°Adara berharap Ansel pulang pagi-pagi sekali bukannya saat matahari sudah di atas kepala. Tidakkah dia tahu kalau Adara perlu memutar otak untuk mencari alasan kenapa Ansel pergi?"Loh, urusan pagi-pagi sekali tanpa ijin mama sama papa? Heran sama itu anak. Pengantin baru kok ya masih suka keluyuran. Nanti kalau dia pulang, bilang kalau mama mencarinya! Mama hajar dia," sungut Felicia marah.Adara bersyukur karena seseorang mewakilinya untuk memarahi Ansel. Wanita itu harusnya kesal, mengamuk lebih tepatnya.Tapi karena dia ada di satu tempat yang dilarang keras menunjukkan bahwa dia marah besar pada suami yang baru dia nikahi itu, akhirnya mulutnya terkunci rapat.Hingga..."Malam ini aku menginap lagi di rumah Emma. Tolong mengarang bebaslah agar mama nggak..,"Sebelum ucapan itu selesai, barang-barang milik Ansel terlempar ke udara.Pyar!!!"Putuskan kontrak sialan itu!"Tiga detik sebelum perang pecah, suara di pintu menghentikan mereka."Kontrak apa yang kalian maksud?"°°°Pasangan suami istri itu mendelik bersamaan ketika melihat Felicia ada di ambang pintu, berteriak dengan sangar."Itu ... Ma, kontrak sama orang nggak penting. Katanya bisnis tapi kok ada hasilnya," sungut Adara. Dia hanya mengarang bebas karena yang dia tahu Ansel punya bisnis yang tidak diketahui orangtuanya. Felicia beralih pada anaknya, "Kamu main bisnis apa lagi? Kamu nggak ingat kalau selalu gagal setiap kamu sok-sokan jadi pebisnis?""Iya, aku juga udah bilang begitu, Ma. Dia aja yang ngeyel," bela Adara lengannya bersedekap. Dia menyerang tepat di ulu hati Ansel. "Bukan begitu, Ma. Ini bisnis yang menguntungkan," desak Ansel. "Alah, untung apanya? Paling juga selalu rugi. Udah bagus kamu diberi pekerjaan oleh papa kamu. Harusnya kamu fokus saja pada pekerjaan itu. Jangan beralih ke bisnis lain. Atau kalau mau cari suasana baru, pegang bisnis nenek Dianti. Nenek sudah bicara sama mama kalau kamu boleh belajar memegang salah satu minimarketnya," jelas Felicia panjang lebar.
"Eng-nggak kok," gelagap Adara. Dia tidak menyangka lidahnya bisa bergoyang tidak jelas.Di luar dugaan Felicia tertawa, "Mama bercanda. Teman kamu ya? Kenapa nggak disuruh masuk?""Oh, iya, iya, Ma, teman. Dia agak pemalu. Kebetulan kami ada pembicaraan soal pekerjaan. Mama nggak berpikir yang bukan-bukan kan?" tanya Adara cemas. Ben harus aman dalam pengamatannya.Felicia mengelus bahu menantunya, "Nggak lah. Kenapa harus curiga sih? Mama lebih percaya sama kamu dari pada sama Ansel. Kamu nggak mau sarapan dulu?""Aku sarapan di luar aja, Ma. Aku pamit ke kantor dulu ya, Mam?" Adara mencium telapak tangan Felicia sebelum pergi. Dia melangkah terburu-buru ke bawah sambil melirik ke belakang karena takut Felicia membuntuti. "Kenapa kamu jemput ke sini?" tanya Adara sedikit kesal. Dia menerima uluran helm Ben padanya, "kan kita bisa ketemuan di gang depan atau dimana aja penting jangan di sini."Ben melirik Adara yang tidak juga memasang kaitan helmnya. Akhirnya dia turun tangan. Dari
"Brengsek!"Ansel tidak terima dipukul telak begitu. Dia balas memukul. Perseteruan yang memanas malah membuat sebagian karyawan ingin tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah."Stop!" Suara Adara rasanya kalah dari suara hantaman mereka. Kenapa mereka bisa berbuat kekanakan di depan kantor Dianti? Kalau sampai ada laporan masuk ke telinga neneknya, dia bisa habis.Satpam datang melerai, lebih tepatnya mereka menahan Ben agar tidak menyerang Ansel lagi. Siapa yang tidak kenal Ansel kalau Dianti sudah berkoar-koar di depan mereka? "Pak Ansel nggak apa-apa?" tanya salah satu satpam yang lebih muda. Ansel menghapus jejak darah di sudut bibirnya, "Nggak apa-apa, Pak.""Tolong, Pak! Jangan membuat keributan. Silahkan pergi dari sini," usir satpam lainnya pada Ben. Ben jelas tidak terima. Pasalnya dia yang paling berhak atas Adara. "Kamu nggak mau belain aku?"Adara tersudut. Dia tidak mungkin membela Ben yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya meskipun Ben adalah kekasihnya. Wanita itu
Seketika Adara memasukkan permukaan bibirnya ke dalam, mengapitnya erat. Dia bergumam sesuatu tapi tidak terdengar seperti ucapan. "Nggak paham," sungut Ansel.Adara menormalkan bibirnya setengah takut. Matanya memicing tajam, "Nggak bisa! Ini hanya untuk Ben.""Ya sudah."Blam!Ansel menutup pintunya dengan sedikit tekanan. Dia bermain tarik ulur. Dia sangat yakin kalau Adara tidak mungkin mau mengikuti kemauannya karena ego wanita itu yang tinggi.Justru itulah yang dicari Ansel. Dia sengaja membuat syarat sulit agar Adara tidak lagi menekannya. Ansel tidak mungkin minta maaf pada pria yang jelas-jelas bukan satu level dengannya."Ansel," panggil Adara."Berubah pikiran?"Lama diam lalu Adara mengetuk pintu itu lagi. "Ba-baiklah."Hah? Adara setuju? Ansel membuka pintunya lagi. "Kamu mau?"Muka merengut Adara, ketidakrelaannya terekam jelas di mata wanita itu. Dia mengulurkan salah satu handuknya pada Ansel. "Nanti setelah makan malam kita bicarakan lagi."°°°Suara dentingan sendo
"Ada apa, Dara? Kenapa muka kamu pucat?" tanya Dianti pelan. Dilihatnya muka Adara tidak kembali cerah setelah diam-diam melihat ponselnya. Makan malam mereka masih belum selesai. Pasangan suami istri yang berniat melakukan kerjasama dengan mereka tampaknya senang berbicara dengan Adara. Buktinya mereka tidak bisa membiarkan wanita muda itu untuk diam."Eng, nggak apa-apa, Nek. Aku boleh ke belakang sebentar?" tanya Adara. Mukanya pucat, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Dianti. Untuk sementara dia hanya harus mengkonfirmasi kabar itu benar atau tidak."Pergilah!"Adara meminta maaf pada tamu mereka lalu bergegas untuk ke luar dari meja pertemuan itu. Dia berjalan cepat, kecemasan melanda dirinya. Entah Ben atau Ansel yang dia khawatirkan, dia belum bisa menjelaskan.Setelah sampai ke area toilet, wanita itu tidak masuk. Dia hanya berdiri di lorong menuju toilet. "Halo, ini siapa?"Terdengar suara riuh di seberang sana. Adara bisa mendengar suara sirine ambulans yang memekakka
"Bikin jantungan kamu, Jo," rutuk Adara pelan. Gemuruh di dadanya membuat dia tidak bisa bernapas dengan benar. Jo mengisyaratkan padanya dengan kedipan mata, menandakan bahwa dia sedang dalam keadaan terpojok. Pria itu lalu berbalik tapi lengannya mencoba menghalangi tirai itu terbuka. "Iya, Nek."Dianti melirik tirai yang tertutup itu dengan kening mengerut, "Ini ponsel kamu?"Jo melihat benda di tangan Dianti dengan cermat. Dia langsung bisa mengenali ponsel siapa itu. "Oh iya, Nek. Saya cari dari tadi." Secepat kilat dia mengambil benda itu.Dianti menunjuk lantai persis di sampingnya, "Tadi jatuh. Kebetulan nenek lihat.""Terimakasih, Nek. Kalau bukan karena nenek, ponsel saya pasti sudah hilang." Jo mencoba bersikap normal meskipun dia tidak sanggup menahan kegugupannya. Dua orang di belakangnya benar-benar membuat dia mati kutu. Kenapa mereka harus berpelukan di tempat yang tidak seharusnya. Bagaimana kalau dia kalah selangkah tadi? Bisa-bisa hidupnya dan hidup Ben habis dalam
"Mulut kalau nggak tahu apa-apa itu jangan berisik! Asal kalau ngomong! Emang kamu dekat sama Ben sampai-sampai bisa mengatainya brengsek? Kamu pikir kamu nggak brengsek?" sungut Adara. Dia kesal bukan main. Selalu saja Ben yang jadi sasaran kemarahan Ansel.Adara tahu dulu Ben memang begitu, tapi sekarang prianya sudah banyak berubah. Andai semua orang bisa menghargai perubahannya sudah pasti sekarang yang jadi suaminya bukan Ansel. Ansel bergeming. Pukulan kecil itu tidak berarti apa-apa baginya tapi hatinya terluka. "Sudahlah. Aku nggak mau berantem."Pria itu berjalan gontai ke arah ranjang, menarik selimut tebalnya dan digelar di lantai tepat di samping ranjang. Bantal miliknya juga dibawa serta. Tanpa mengucap sepatah katapun dia membiarkan tubuhnya tenggelam dalam dinginnya lantai. Adara tidak berusaha menahan Ansel. Kemarahannya lebih mendominasi. Dia mencari selimut lain sebelum membaringkan tubuhnya. Pikirannya menggelayut kemana-mana tapi bukan tentang Ansel. Adara lebih
Adara tidak salah dengar kan? Ada angin apa Ansel mau mengorbankan waktunya untuk membuatkan nasi goreng untuk Ben? Jangan-jangan ada udang di balik kepalanya."Nggak! Kamu pikir aku nggak tahu niat kamu? Siapa yang tahu kalau kamu ngasih sesuatu di dalam makanannya nanti?" sungut Adara curiga.Ansel lelah dituduh. "Ya sudah kalau kamu nggak mau. Daah, aku mau pergi."Adara berpikir keras. Dia memang tidak percaya dengan Ansel tapi kalau dia menanganinya sendiri juga dia tidak bisa menjamin. Lagi pula dia belum tahu apa Ansel bisa masak atau tidak. Coba saja? "Tunggu!"Ansel berhenti, "Apa?" Nada bicaranya berlagak kasar tapi sebenarnya dia berusaha menahan geli. "Eng, itu, oke."Pria itu berbalik, "Apanya yang oke?""Katanya tadi mau bantuin?""Katanya tadi takut diracun?""Bukan begitu. Aku yakin kamu nggak mungkin tega melakukannya," ucap Adara pelan. Dia juga bingung harus menjawab bagaimana. "Anggap saja aku percaya sama kamu."Ansel menatap Adara penuh selidik. "Oke."Sebelum