Share

4 — Kontrak Apa Yang Kalian Maksud?

"Injak?" tanya Adara bingung. Apa yang dia injak? Tapi melihat suaminya menutupi bagian sensitif miliknya, akhirnya wanita itu sadar. "Sorry."

Felicia menahan tawanya melihat muka Ansel yang tidak bersahabat sama sekali. Raut wajah wanita itu kembali normal saat Adara menoleh ke arahnya. "Lanjutkan saja. Mama mau tidur."

Adara serta merta memburu Felicia, "Tunggu , Ma! Mama jangan salah paham." Dia lupa statusnya sekarang sebagai istri Ansel. Untuk apa mengatakannya?

"Salah paham juga nggak masalah, Dara. Kalian suami istri bebas melakukan apapun. Lebih bagus lagi kalau sering-sering. Duh, kalau selucu ini mama yakin kalau anak kalian malah lebih lucu lagi. Sampai bertemu besok, Sayang. Tidur yang nyenyak," ucap Felicia penuh kepercayaan diri kalau akan ada sesuatu yang terjadi nanti malam.

"Mereka pasti akan sibuk. Syukur banget aku pindahin sofanya. Kata Nenek Dianti emang harus begitu kalau mau punya cucu dalam sebulan. Aku harus berterimakasih nih," gumam Felicia senang sembari melangkah turun. Ternyata sering berkomunikasi dengan Dianti menambah panjang umurnya.

Adara menepuk jidatnya. "Masa aku lupa kalau aku udah nikah? Dara, Dara, pakai kata-kata norak lagi. Ketahuan nggak ya?" Wanita itu masuk kembali ke kamarnya dengan mulut meruncing kemana-mana.

"Minta maaf!" tuntut Ansel. Dia duduk di tepi ranjang masih menutupi sesuatu itu. Tatapannya sangat tajam dan tidak sabar.

"Sakit ya?" tanya Adara mencari tahu.

"Kamu kira enak?"

"Ya mana aku tahu."

Senyum smirk Ansel muncul bersamaan dengan berdirinya pria itu. "Biar aku tunjukkan sakitnya seperti apa."

Ansel menarik Adara hingga istrinya berbaring bersamanya. Dia melakukan posisi yang persis dilakukan Adara tadi, malah jaraknya tidak terlihat.

"Kamu mau apa?" tanya Adara khawatir. Kalau memang rasanya sesakit itu, bagaimana dia bisa mengatasinya?

"Duplikat," ucap Ansel tajam. "Atau kamu mau pilih yang lain? Kamu mau tangan, kepala atau mulut?"

"Jangan macam-macam ya! Di kontrak nggak ada yang beginian," ketus Adara yang berusaha mendorong musuh sekaligus partner menikahnya itu. Tapi Ansel tidak akan merelakan apa yang sudah dia dapatkan susah payah.

Memangnya mudah memeluk Adara? Kalau wanita itu sudah berontak bisa-bisa seluruh tubuhnya bakalan remuk. Sekali jalan langsung saja lakukan sesuatu. Lagi pula kalau wanita itu mengadu pada orangtuanya, mereka malah mendukung Ansel.

"Makanya, jangan nyerang duluan," sungut Ansel.

"Lepasin nggak? Aku teriak nih?"

"Teriak aja," tantang Ansel.

Adara sedang memikirkan seribu cara ketika ponsel suaminya berdering. Ansel ingin mengabaikan tapi dia mengurungkan niatnya. Dia berdiri bersamaan dengan umpatan istrinya.

Ansel mengacuhkan Adara. Melihat nama Emma di layar ponselnya, membuat dia segera beralih pada benda itu. "Iya, Beb."

[Bisa kamu kemari? Aku ingin ditemani]

"Tapi aku ada di rumah mama. Nanti mama curiga kalau aku pergi malam-malam."

Ansel duduk di tepian ranjang sembari melihat Adara yang beringsut ke sisi yang lain.

[Aku takut sendirian. Kamu tahu nggak kalau ada orang yang menguntitku setiap hari? Atau kamu nggak mau tahu lagi tentang masalahku? Gara-gara pernikahan bodoh itu kamu melupakanku?]

"Penguntit?" tanya Ansel cemas. Dia membuka lemarinya, mengambil jaket. Panggilan itu masih tersambung. "Aku ke sana sekarang. Kamu kunci pintu, jangan dibuka untuk siapapun. Nanti aku masuk sendiri."

[Terimakasih, Beb]

Sebelum Ansel meraih gagang pintu, Adara menghalangi. "Aku bukannya mau ikut campur masalah kamu dan Emma tapi kita di rumah mama. Mama kamu! Tante Felicia! Kalau mama tahu kamu pergi, apa dia nggak akan curiga?"

Ansel menyingkirkan Adara dari hadapannya. "Cari saja alasan yang tepat. Urgent soalnya. Aku nggak bisa meninggalkan Emma sendirian di saat genting begini." Pria itu keluar dari kamar tanpa memperdulikan Adara yang berusaha menahannya.

Adara yang tidak mau repot-repot memberikan alasan hanya berharap Felicia benar-benar sudah tidur. Jadi wanita itu tidak perlu membohongi mertuanya.

°°°

'Mampus! Suara siapa itu?' batin Adara. Dia baru ingin tidur tapi mendengar suara langkah kaki mendekat dia membuka matanya kembali. Suaranya terdengar seperti sandal rumahan yang bunyinya mirip mainan karet anak kecil.

"Ansel?" gumam Adara.

Tapi sepertinya bukan. Seingat Adara, Ansel tidak memakai sandal rumahan. Lalu siapa?

"Kalau ketahuan bisa gawat," gumam Adara panik. Pikirannya tertuju pada asisten rumah tangga mertuanya yang kebetulan lewat atau paling sial Felicia melakukan sidak malam.

Adara melihat jam dinding. Pukul dua belas malam tepat. Wanita itu memutar otaknya yang terlihat linglung. Secepat kilat tanpa menimbulkan suara, dia mengunci pintu dengan menarik kunci gesernya. Wanita itu berdiri di belakang pintu berniat mendengarkan.

Langkah kaki orang di luar sana makin dekat dan berhenti di depan pintu kamar yang Adara tempati. Tidak ada suara apapun. Apa yang dia lakukan?

'Apa mungkin hantu?' batin Adara takut. Tapi sekali lagi otaknya masih bisa dikondisikan. Hantu tidak mungkin kakinya bisa napak lantai apalagi ada bunyinya.

"Kok sepi." Akhirnya suara yang ditunggu muncul. Meskipun pelan tapi Adara yakin itu suara Felicia. Apa yang dilakukan mama mertuanya? Apa wanita itu ingin tahu apa yang dilakukan Adara dan Ansel semalaman?

Adara menahan gejolak ingin ke kamar mandinya. Dia mengutamakan keingintahuannya.

"Jangan-jangan Ansel pergi? Aku kok kayak dengar suara motor Ansel tadi ya?" gumam Felicia lagi. Sepelan apapun suaranya pasti akan terdengar berisik jika di malam hari.

Adara sudah berpikir ribuan kali untuk mengiyakan suara hatinya. Dia hanya ingin melindungi pernikahannya bukan melindungi Ansel.

"Argh, ya Tuhan Ansel," desah Adara menirukan suara yang pernah dia dengar. Kening wanita itu mengerut dalam. Malu rasanya mendengar suaranya sendiri apalagi ketahuan mendesah sendirian.

'Gila!'

"Eh, ada suara Dara. Jadi tadi belum masuk ya baru pemanasan?" Lagi-lagi Felicia menyuarakan isi kepalanya yang terdengar senang.

Kalau mau Felicia cepat pergi, Adara harus banyak berakting lagi. Wanita itu menahan gelinya karena harus mengeluarkan suara menjijikan itu. Berkat teman-teman Ben yang sering menonton film-film aneh, kepalannya jadi terkontaminasi.

"Ya Tuhan, apa ini?"

"Ansel, please."

Berselang dua menit, orang yang diduga Felicia tadi akhirnya pergi. Adara menghembuskan napas kasar dan kesal. "Awas kalau besok kamu nggak bisa pulang pagi-pagi, aku bakalan hajar kamu tanpa ampun."

Kalau hanya soal itu Adara tidak perlu khawatir. Yang perlu dikhawatirkannya hanyalah godaan sang mertua ketika sarapan besok. Lihat saja!

°°°

Adara berharap Ansel pulang pagi-pagi sekali bukannya saat matahari sudah di atas kepala. Tidakkah dia tahu kalau Adara perlu memutar otak untuk mencari alasan kenapa Ansel pergi?

"Loh, urusan pagi-pagi sekali tanpa ijin mama sama papa? Heran sama itu anak. Pengantin baru kok ya masih suka keluyuran. Nanti kalau dia pulang, bilang kalau mama mencarinya! Mama hajar dia," sungut Felicia marah.

Adara bersyukur karena seseorang mewakilinya untuk memarahi Ansel. Wanita itu harusnya kesal, mengamuk lebih tepatnya.

Tapi karena dia ada di satu tempat yang dilarang keras menunjukkan bahwa dia marah besar pada suami yang baru dia nikahi itu, akhirnya mulutnya terkunci rapat.

Hingga...

"Malam ini aku menginap lagi di rumah Emma. Tolong mengarang bebaslah agar mama nggak..,"

Sebelum ucapan itu selesai, barang-barang milik Ansel terlempar ke udara.

Pyar!!!

"Putuskan kontrak sialan itu!"

Tiga detik sebelum perang pecah, suara di pintu menghentikan mereka.

"Kontrak apa yang kalian maksud?"

°°°

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status