Share

2 — Sialan! Milikku Yang Berharga

"Singkirkan celana dalam kamu! Main lempar sembarangan! Kamu pikir istrimu ini pembantu?"

Adara selalu naik darah setiap kali melihat sang suami berulah.

Padahal matahari baru saja terbit tapi wanita itu harus menggunakan kekuatan suaranya sampai ke oktaf paling maksimal.

Ansel memungut celana dalamnya yang tidak sengaja terlewat ketika dia membawanya masuk ke kamar. "Tinggal bawa apa susahnya sih?"

"Jelas susah. Sangat susah," komentar Adara. Wanita itu turun tergesa-gesa ke bawah, hampir tergelincir kalau dia tidak berpegangan pada tepian tangga.

"BUATIN SARAPAN!" teriak Ansel.

Adara tidak menyahut. Dia mana peduli Ansel mau makan apa, yang jelas dia ingin buat nasi goreng. Seumur hidupnya, dia hanya pernah masak tiga kali. Nasi goreng, waktu neneknya memaksa. Kalau ditanya rasanya ya sudah pasti tidak ada enak-enaknya.

Yang kedua dan ketiga kalinya hanya mie instan. Itu juga karena dia sangat ingin makan itu. Dianti paling tidak suka ada orang yang sering makan makanan instan, apapun jenisnya, jadi Adara harus buat sendiri meskipun pada akhirnya kelembekan.

Adara melihat bumbu dapur yang disediakan di sana. Semuanya ada tapi wanita itu tidak ingin bersusah payah ria. Dia akhirnya menghaluskan bumbu dengan coper, padahal hanya cabai 3 biji, bawang merah dan putih masing-masing satu biji.

Adara sudah membayangkan nasi gorengnya bakalan enak karena bau bumbu yang dihaluskan semerbak. Namun sayang, wanita itu harus menelan kesombongannya karena ketika Ansel mencicipinya, pria itu malah menabur garam di atasnya.

"Kamu masih mengantuk? Kalau asin masih mending, itu artinya kamu nggak lupa satu bumbu pun. Ini? Tanpa rasa," celoteh Ansel. Pria itu meskipun menjelek-jelekkan nasi goreng buatan Adara, dia tetap sanggup menghabiskan setengah piring.

Setengah manyun, Adara menarik piringnya. "Ngomong nggak disaring. Heran. Kenapa nggak dilempar aja sekalian piringnya?"

"Malas. Nanti kalau piringnya pecah kan sayang. Ini kalau bukan karena lapar dan buru-buru, aku juga nggak mau makan," desis Ansel. Dia menyudahi suapannya lalu minum air putih.

"Kamu mirip orang yang lagi nyari keringat di malam hari. Ngapain aja sama pacar kamu sampai subuh baru pulang?"

Gerakan tangan Ansel yang ingin mengambil jeruk terhenti, "Jangan bilang kamu menungguku?"

"Ogah!"

"Kamu mau tahu aku ngapain aja semalam?" goda Ansel.

"Nggak mau tauk!" Adara menyikat habis nasi goreng ala kadarnya yang benar-benar sesimple itu, kemudian menaruh piring kotor ke atas wastafel.

"Yakin? Enak loh. Gerak malam-malam bikin badan seger," ucap Ansel dengan senyum smirknya.

"Bodo amat!"

"Sayang sekali kita nggak bisa nyari keringat di malam hari. Kalau bisa, habis kamu sama aku!"

Seketika Adara menoleh, "Awas, kalau berani!"

Manik mata mereka saling tatap. Adara memperlihatkan kekesalan sementara sang suami hanya nyengir tidak jelas.

Ansel yang lebih dulu bersuara, "Aku berani tapi hanya menghormati kontrak kita. Anggap saja selama dua tahun ini kita sedang melakukan kontrak kerja yang nggak boleh dilanggar ketentuannya. Sesama penghuni dilarang naksir!"

"Ish, amit-amit."

Ansel terkekeh geli melihat muka konyol Adara. "Ingat ya? Jangan suka sama aku!"

"Pergilah! Melihat kamu aku jadi ingin muntah."

Ansel tidak terpengaruh karena Adara selalu bisa membuat dia tertawa. Kalau dipikir-pikir, dia juga tidak tahu kenapa wanita itu selalu marah setiap kali melihatnya.

Padahal waktu SMP Adara sangat welcome dengannya. Maklumlah karena mereka tinggal satu kompleks, satu sekolah dan satu jemputan bus sekolah. Mau tidak mau mereka lebih akrab.

Sayangnya setelah mereka menginjak kelas dua SMA, wanita itu menjauh. Ketusnya minta ampun dan kasar. Ansel yang paling suka menggoda orang yang sikapnya begitu, malah semakin dibenci oleh Adara.

Apalagi setelah mereka mengambil jurusan yang sama ketika kuliah dan sering berpapasan. Sifat Adara yang mulai dingin ditambah Ansel yang ogah mengurusi wanita dengan sifat seperti itu, akhirnya dia mulai mengikuti arus.

Mereka jadi musuhan. Salah sedikit saja bisa jadi bumerang. Setelah dipikirkan lagi, Ansel perlu tahu kenapa mereka harus jadi musuh. Masih bebuyutan.

°°°

"Kamu ngapain pagi-pagi ke sini? Nggak mengurus suamimu?" tanya Dianti kesal melihat cucunya sudah datang pagi-pagi sekali. Dia saja baru membuka mata dan menghirup udara pagi yang sejuk.

"Ini sudah siang, Nek. Nenek saja yang baru bangun," ucap Adara. Dia menarik kursi di meja makan untuk menyantap sarapan keduanya sebelum berangkat ke kantor. Dia diminta Dianti untuk bekerja sebagai akuntan untuk mengurus keuangan.

Salah satu kunci jadi bos yang tahu seluk beluk bisnis adalah menjadi akuntan sejati. Begitulah prinsip Dianti.

"Papa kamu baru pulang subuh tadi. Kamu mau bertemu?"

Adara menggeleng dengan tegas. "Nanti saja."

"Ambilkan itu!" pinta Dianti sembari menunjuk lalapan.

Adara memberikannya dengan segera. Dia sendiri menuang nasi goreng yang penuh dengan penghijauan ke atas piringnya. Dia menggila begitu melihat piring cantiknya.

Setelah dirasakan, wanita itu tidak segan-segan mengeluarkan suara desisan. "Ini baru makanan."

"Melihat kamu makan dengan lahap, nenek rasa kamu memberi makan suamimu dengan nasi goreng asin."

"Masih mending asin, Nek, hambar lebih tepatnya."

Dianti tidak ragu lagi kalau Adara tidak pintar memasak. Tapi dia harus berbangga hati karena setidaknya dia masih mau berusaha. "Lebih baik gagal dari pada nggak bisa sama sekali. Lain kali coba kamu belajar lebih giat lagi supaya bisa menyenangkan hati suamimu."

Adara tidak menyahut. Baginya lebih penting makan dari pada membahas masalah Ansel. Lagi pula pria itu pasti sedang bersenang-senang dengan pacarnya.

"Boleh aku tanya sesuatu, Nek?" tanya Adara. Dia menghentikan segala aktifitasnya.

"Tanya apa?"

"Kenapa nenek memilih Ansel? Apa nenek nggak tahu kalau beberapa tahun belakangan ini kamu nggak begitu dekat?"

"Siapa bilang nenek nggak tahu? Justru karena nenek tahu makanya nenek minta dia untuk menikahimu. Dari pada kamu menikah dengan pacar preman kamu itu?"

Kali ini Adara benar-benar tersinggung. "Ben bukan preman, Nek."

"Lalu apa namanya kalau bukan preman tapi kerjaannya cuma main motor, nongkrong nggak jelas, balap liar? Kalau nenek jadi kamu, nenek masih bisa bedain mana preman mana bukan." Ucapan Dianti terdengar kasar tapi kenyataannya begitu.

Adara sudah tidak berminat untuk makan lagi. "Aku ke kantor dulu, Nek."

"Ngambek?"

"Aku masih menghormati Nenek sebagai pengganti mama. Kalau bukan nenek yang minta, aku juga nggak mau nikah sama Ansel. Aku nggak cinta sama dia." Adara berdiri dengan muka masam.

"Belum cinta, Dara. Kalau kamu sudah hidup bersamanya beberapa Minggu, nenek yakin kamu akan jatuh cinta. Ansel anak yang baik, dia menyayangi orangtuanya. Kalau dia anak nakal, nenek nggak mungkin memintanya menikahimu."

Adara tidak mau tahu dan tidak mau menjawab. Baginya Ansel hanyalah segudang masalah yang dia punya. Sudah lebih dari cukup kecerobohan pria itu di masa lalu yang membuat dia harus kehilangan kesempatan emas.

Tanpa menunggu sang papa turun, Adara berlalu dari sana. Seharian di kantor tidak membuat hatinya damai. Justru menghadapi angka-angka yang rumit, malah semakin menambah beban hatinya.

Apalagi ketika dia pulang ke rumahnya dan menemukan Ansel sedang makan buah semangka, amarahnya semakin meluap.

"Bisa nggak sih kalau buang biji semangka di tempat sampah? Susah banget dibilangin? Seenggaknya kalau otak kamu masih berfungsi, tolong dipakai yang benar!" tandas Adara kesal.

"Nanti aku beresin!"

Ini bukan masalah nanti atau sekarang. Adara hanya tidak suka melihat Ansel. "Kenapa kamu mau menikah denganku? Kenapa kamu nggak tolak saja permintaan nenek? Bukannya kamu punya pacar? Tanpa kontrak pun harusnya kamu sudah bisa memutuskan bahwa kita nggak akan cocok. Kenapa pakai jalan rumit?"

"Hei, siapa yang memperumit? Bukannya kamu yang minta kita untuk menyetujuinya tapi dengan syarat kontrak sialan kamu itu? Kamu kira aku suka dijodohkan? Nggak! Aku punya pacar cantik, baik, manis dan punya banyak..,"

Kalimat itu terhenti karena Ansel melihat Adara menangis. Baru kali ini dia melihat wanita itu menangisi keadaan. Saat dia datang melamar, tidak sekalipun dia terlihat murung.

Refleks Ansel menghampiri Adara, memeluknya dan menepuk punggungnya dengan pelan. Sepersekian detik mereka masuk dalam atmosfer kesedihan. Tapi ...

Dugh!

"Berani peluk-peluk? Ingat kontrak!"

"Sialan! Milikku yang berharga. Auuu."

°°°

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status