"Singkirkan celana dalam kamu! Main lempar sembarangan! Kamu pikir istrimu ini pembantu?"
Adara selalu naik darah setiap kali melihat sang suami berulah.Padahal matahari baru saja terbit tapi wanita itu harus menggunakan kekuatan suaranya sampai ke oktaf paling maksimal.Ansel memungut celana dalamnya yang tidak sengaja terlewat ketika dia membawanya masuk ke kamar. "Tinggal bawa apa susahnya sih?""Jelas susah. Sangat susah," komentar Adara. Wanita itu turun tergesa-gesa ke bawah, hampir tergelincir kalau dia tidak berpegangan pada tepian tangga."BUATIN SARAPAN!" teriak Ansel.Adara tidak menyahut. Dia mana peduli Ansel mau makan apa, yang jelas dia ingin buat nasi goreng. Seumur hidupnya, dia hanya pernah masak tiga kali. Nasi goreng, waktu neneknya memaksa. Kalau ditanya rasanya ya sudah pasti tidak ada enak-enaknya.Yang kedua dan ketiga kalinya hanya mie instan. Itu juga karena dia sangat ingin makan itu. Dianti paling tidak suka ada orang yang sering makan makanan instan, apapun jenisnya, jadi Adara harus buat sendiri meskipun pada akhirnya kelembekan.Adara melihat bumbu dapur yang disediakan di sana. Semuanya ada tapi wanita itu tidak ingin bersusah payah ria. Dia akhirnya menghaluskan bumbu dengan coper, padahal hanya cabai 3 biji, bawang merah dan putih masing-masing satu biji.Adara sudah membayangkan nasi gorengnya bakalan enak karena bau bumbu yang dihaluskan semerbak. Namun sayang, wanita itu harus menelan kesombongannya karena ketika Ansel mencicipinya, pria itu malah menabur garam di atasnya."Kamu masih mengantuk? Kalau asin masih mending, itu artinya kamu nggak lupa satu bumbu pun. Ini? Tanpa rasa," celoteh Ansel. Pria itu meskipun menjelek-jelekkan nasi goreng buatan Adara, dia tetap sanggup menghabiskan setengah piring.Setengah manyun, Adara menarik piringnya. "Ngomong nggak disaring. Heran. Kenapa nggak dilempar aja sekalian piringnya?""Malas. Nanti kalau piringnya pecah kan sayang. Ini kalau bukan karena lapar dan buru-buru, aku juga nggak mau makan," desis Ansel. Dia menyudahi suapannya lalu minum air putih."Kamu mirip orang yang lagi nyari keringat di malam hari. Ngapain aja sama pacar kamu sampai subuh baru pulang?"Gerakan tangan Ansel yang ingin mengambil jeruk terhenti, "Jangan bilang kamu menungguku?""Ogah!""Kamu mau tahu aku ngapain aja semalam?" goda Ansel."Nggak mau tauk!" Adara menyikat habis nasi goreng ala kadarnya yang benar-benar sesimple itu, kemudian menaruh piring kotor ke atas wastafel."Yakin? Enak loh. Gerak malam-malam bikin badan seger," ucap Ansel dengan senyum smirknya."Bodo amat!""Sayang sekali kita nggak bisa nyari keringat di malam hari. Kalau bisa, habis kamu sama aku!"Seketika Adara menoleh, "Awas, kalau berani!"Manik mata mereka saling tatap. Adara memperlihatkan kekesalan sementara sang suami hanya nyengir tidak jelas.Ansel yang lebih dulu bersuara, "Aku berani tapi hanya menghormati kontrak kita. Anggap saja selama dua tahun ini kita sedang melakukan kontrak kerja yang nggak boleh dilanggar ketentuannya. Sesama penghuni dilarang naksir!""Ish, amit-amit."Ansel terkekeh geli melihat muka konyol Adara. "Ingat ya? Jangan suka sama aku!""Pergilah! Melihat kamu aku jadi ingin muntah."Ansel tidak terpengaruh karena Adara selalu bisa membuat dia tertawa. Kalau dipikir-pikir, dia juga tidak tahu kenapa wanita itu selalu marah setiap kali melihatnya.Padahal waktu SMP Adara sangat welcome dengannya. Maklumlah karena mereka tinggal satu kompleks, satu sekolah dan satu jemputan bus sekolah. Mau tidak mau mereka lebih akrab.Sayangnya setelah mereka menginjak kelas dua SMA, wanita itu menjauh. Ketusnya minta ampun dan kasar. Ansel yang paling suka menggoda orang yang sikapnya begitu, malah semakin dibenci oleh Adara.Apalagi setelah mereka mengambil jurusan yang sama ketika kuliah dan sering berpapasan. Sifat Adara yang mulai dingin ditambah Ansel yang ogah mengurusi wanita dengan sifat seperti itu, akhirnya dia mulai mengikuti arus.Mereka jadi musuhan. Salah sedikit saja bisa jadi bumerang. Setelah dipikirkan lagi, Ansel perlu tahu kenapa mereka harus jadi musuh. Masih bebuyutan.°°°"Kamu ngapain pagi-pagi ke sini? Nggak mengurus suamimu?" tanya Dianti kesal melihat cucunya sudah datang pagi-pagi sekali. Dia saja baru membuka mata dan menghirup udara pagi yang sejuk."Ini sudah siang, Nek. Nenek saja yang baru bangun," ucap Adara. Dia menarik kursi di meja makan untuk menyantap sarapan keduanya sebelum berangkat ke kantor. Dia diminta Dianti untuk bekerja sebagai akuntan untuk mengurus keuangan.Salah satu kunci jadi bos yang tahu seluk beluk bisnis adalah menjadi akuntan sejati. Begitulah prinsip Dianti."Papa kamu baru pulang subuh tadi. Kamu mau bertemu?"Adara menggeleng dengan tegas. "Nanti saja.""Ambilkan itu!" pinta Dianti sembari menunjuk lalapan.Adara memberikannya dengan segera. Dia sendiri menuang nasi goreng yang penuh dengan penghijauan ke atas piringnya. Dia menggila begitu melihat piring cantiknya.Setelah dirasakan, wanita itu tidak segan-segan mengeluarkan suara desisan. "Ini baru makanan.""Melihat kamu makan dengan lahap, nenek rasa kamu memberi makan suamimu dengan nasi goreng asin.""Masih mending asin, Nek, hambar lebih tepatnya."Dianti tidak ragu lagi kalau Adara tidak pintar memasak. Tapi dia harus berbangga hati karena setidaknya dia masih mau berusaha. "Lebih baik gagal dari pada nggak bisa sama sekali. Lain kali coba kamu belajar lebih giat lagi supaya bisa menyenangkan hati suamimu."Adara tidak menyahut. Baginya lebih penting makan dari pada membahas masalah Ansel. Lagi pula pria itu pasti sedang bersenang-senang dengan pacarnya."Boleh aku tanya sesuatu, Nek?" tanya Adara. Dia menghentikan segala aktifitasnya."Tanya apa?""Kenapa nenek memilih Ansel? Apa nenek nggak tahu kalau beberapa tahun belakangan ini kamu nggak begitu dekat?""Siapa bilang nenek nggak tahu? Justru karena nenek tahu makanya nenek minta dia untuk menikahimu. Dari pada kamu menikah dengan pacar preman kamu itu?"Kali ini Adara benar-benar tersinggung. "Ben bukan preman, Nek.""Lalu apa namanya kalau bukan preman tapi kerjaannya cuma main motor, nongkrong nggak jelas, balap liar? Kalau nenek jadi kamu, nenek masih bisa bedain mana preman mana bukan." Ucapan Dianti terdengar kasar tapi kenyataannya begitu.Adara sudah tidak berminat untuk makan lagi. "Aku ke kantor dulu, Nek.""Ngambek?""Aku masih menghormati Nenek sebagai pengganti mama. Kalau bukan nenek yang minta, aku juga nggak mau nikah sama Ansel. Aku nggak cinta sama dia." Adara berdiri dengan muka masam."Belum cinta, Dara. Kalau kamu sudah hidup bersamanya beberapa Minggu, nenek yakin kamu akan jatuh cinta. Ansel anak yang baik, dia menyayangi orangtuanya. Kalau dia anak nakal, nenek nggak mungkin memintanya menikahimu."Adara tidak mau tahu dan tidak mau menjawab. Baginya Ansel hanyalah segudang masalah yang dia punya. Sudah lebih dari cukup kecerobohan pria itu di masa lalu yang membuat dia harus kehilangan kesempatan emas.Tanpa menunggu sang papa turun, Adara berlalu dari sana. Seharian di kantor tidak membuat hatinya damai. Justru menghadapi angka-angka yang rumit, malah semakin menambah beban hatinya.Apalagi ketika dia pulang ke rumahnya dan menemukan Ansel sedang makan buah semangka, amarahnya semakin meluap."Bisa nggak sih kalau buang biji semangka di tempat sampah? Susah banget dibilangin? Seenggaknya kalau otak kamu masih berfungsi, tolong dipakai yang benar!" tandas Adara kesal."Nanti aku beresin!"Ini bukan masalah nanti atau sekarang. Adara hanya tidak suka melihat Ansel. "Kenapa kamu mau menikah denganku? Kenapa kamu nggak tolak saja permintaan nenek? Bukannya kamu punya pacar? Tanpa kontrak pun harusnya kamu sudah bisa memutuskan bahwa kita nggak akan cocok. Kenapa pakai jalan rumit?""Hei, siapa yang memperumit? Bukannya kamu yang minta kita untuk menyetujuinya tapi dengan syarat kontrak sialan kamu itu? Kamu kira aku suka dijodohkan? Nggak! Aku punya pacar cantik, baik, manis dan punya banyak..,"Kalimat itu terhenti karena Ansel melihat Adara menangis. Baru kali ini dia melihat wanita itu menangisi keadaan. Saat dia datang melamar, tidak sekalipun dia terlihat murung.Refleks Ansel menghampiri Adara, memeluknya dan menepuk punggungnya dengan pelan. Sepersekian detik mereka masuk dalam atmosfer kesedihan. Tapi ...Dugh!"Berani peluk-peluk? Ingat kontrak!""Sialan! Milikku yang berharga. Auuu."°°°"Sakit?"Ansel mengumpat. Ingin rasanya dia melempar muka Adara dengan bantal sofa. "Nggak!""Oh, ya udah."Adara menghapus air matanya tanpa rasa bersalah. Dia menyeringai sebelum akhirnya naik ke kamarnya. Hatinya yang penuh sesak sedikit lebih lega karena proses pelampiasan tadi. Wanita itu mengunci pintu, melepaskan pakaiannya dan meluncur ke bathtub. Dia perlu membangun kepercayaan dirinya di depan Ansel. Dia tidak bisa memperlihatkan sisi dirinya yang lemah meskipun kenyataannya dia memang lemah tanpa neneknya.Dering ponselnya terdengar samar-samar. Adara keluar dari bathtub dengan memakai bathrobe putih bersih miliknya, lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Dilihatnya benda pipih itu bergetar dengan nama kontak tersayang di sana."Ben. Hai," sapanya dengan manja. Rambutnya yang tergerai basah tidak menghalanginya untuk duduk di tepi ranjang. Kakinya yang terjuntai saling bergesekan, persis seperti anak ABG yang sedang kasmaran."Kamu lupa padaku?""Nggak. Siapa yang bilang b
"Injak?" tanya Adara bingung. Apa yang dia injak? Tapi melihat suaminya menutupi bagian sensitif miliknya, akhirnya wanita itu sadar. "Sorry."Felicia menahan tawanya melihat muka Ansel yang tidak bersahabat sama sekali. Raut wajah wanita itu kembali normal saat Adara menoleh ke arahnya. "Lanjutkan saja. Mama mau tidur."Adara serta merta memburu Felicia, "Tunggu , Ma! Mama jangan salah paham." Dia lupa statusnya sekarang sebagai istri Ansel. Untuk apa mengatakannya?"Salah paham juga nggak masalah, Dara. Kalian suami istri bebas melakukan apapun. Lebih bagus lagi kalau sering-sering. Duh, kalau selucu ini mama yakin kalau anak kalian malah lebih lucu lagi. Sampai bertemu besok, Sayang. Tidur yang nyenyak," ucap Felicia penuh kepercayaan diri kalau akan ada sesuatu yang terjadi nanti malam. "Mereka pasti akan sibuk. Syukur banget aku pindahin sofanya. Kata Nenek Dianti emang harus begitu kalau mau punya cucu dalam sebulan. Aku harus berterimakasih nih," gumam Felicia senang sembari
Pasangan suami istri itu mendelik bersamaan ketika melihat Felicia ada di ambang pintu, berteriak dengan sangar."Itu ... Ma, kontrak sama orang nggak penting. Katanya bisnis tapi kok ada hasilnya," sungut Adara. Dia hanya mengarang bebas karena yang dia tahu Ansel punya bisnis yang tidak diketahui orangtuanya. Felicia beralih pada anaknya, "Kamu main bisnis apa lagi? Kamu nggak ingat kalau selalu gagal setiap kamu sok-sokan jadi pebisnis?""Iya, aku juga udah bilang begitu, Ma. Dia aja yang ngeyel," bela Adara lengannya bersedekap. Dia menyerang tepat di ulu hati Ansel. "Bukan begitu, Ma. Ini bisnis yang menguntungkan," desak Ansel. "Alah, untung apanya? Paling juga selalu rugi. Udah bagus kamu diberi pekerjaan oleh papa kamu. Harusnya kamu fokus saja pada pekerjaan itu. Jangan beralih ke bisnis lain. Atau kalau mau cari suasana baru, pegang bisnis nenek Dianti. Nenek sudah bicara sama mama kalau kamu boleh belajar memegang salah satu minimarketnya," jelas Felicia panjang lebar.
"Eng-nggak kok," gelagap Adara. Dia tidak menyangka lidahnya bisa bergoyang tidak jelas.Di luar dugaan Felicia tertawa, "Mama bercanda. Teman kamu ya? Kenapa nggak disuruh masuk?""Oh, iya, iya, Ma, teman. Dia agak pemalu. Kebetulan kami ada pembicaraan soal pekerjaan. Mama nggak berpikir yang bukan-bukan kan?" tanya Adara cemas. Ben harus aman dalam pengamatannya.Felicia mengelus bahu menantunya, "Nggak lah. Kenapa harus curiga sih? Mama lebih percaya sama kamu dari pada sama Ansel. Kamu nggak mau sarapan dulu?""Aku sarapan di luar aja, Ma. Aku pamit ke kantor dulu ya, Mam?" Adara mencium telapak tangan Felicia sebelum pergi. Dia melangkah terburu-buru ke bawah sambil melirik ke belakang karena takut Felicia membuntuti. "Kenapa kamu jemput ke sini?" tanya Adara sedikit kesal. Dia menerima uluran helm Ben padanya, "kan kita bisa ketemuan di gang depan atau dimana aja penting jangan di sini."Ben melirik Adara yang tidak juga memasang kaitan helmnya. Akhirnya dia turun tangan. Dari
"Brengsek!"Ansel tidak terima dipukul telak begitu. Dia balas memukul. Perseteruan yang memanas malah membuat sebagian karyawan ingin tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah."Stop!" Suara Adara rasanya kalah dari suara hantaman mereka. Kenapa mereka bisa berbuat kekanakan di depan kantor Dianti? Kalau sampai ada laporan masuk ke telinga neneknya, dia bisa habis.Satpam datang melerai, lebih tepatnya mereka menahan Ben agar tidak menyerang Ansel lagi. Siapa yang tidak kenal Ansel kalau Dianti sudah berkoar-koar di depan mereka? "Pak Ansel nggak apa-apa?" tanya salah satu satpam yang lebih muda. Ansel menghapus jejak darah di sudut bibirnya, "Nggak apa-apa, Pak.""Tolong, Pak! Jangan membuat keributan. Silahkan pergi dari sini," usir satpam lainnya pada Ben. Ben jelas tidak terima. Pasalnya dia yang paling berhak atas Adara. "Kamu nggak mau belain aku?"Adara tersudut. Dia tidak mungkin membela Ben yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya meskipun Ben adalah kekasihnya. Wanita itu
Seketika Adara memasukkan permukaan bibirnya ke dalam, mengapitnya erat. Dia bergumam sesuatu tapi tidak terdengar seperti ucapan. "Nggak paham," sungut Ansel.Adara menormalkan bibirnya setengah takut. Matanya memicing tajam, "Nggak bisa! Ini hanya untuk Ben.""Ya sudah."Blam!Ansel menutup pintunya dengan sedikit tekanan. Dia bermain tarik ulur. Dia sangat yakin kalau Adara tidak mungkin mau mengikuti kemauannya karena ego wanita itu yang tinggi.Justru itulah yang dicari Ansel. Dia sengaja membuat syarat sulit agar Adara tidak lagi menekannya. Ansel tidak mungkin minta maaf pada pria yang jelas-jelas bukan satu level dengannya."Ansel," panggil Adara."Berubah pikiran?"Lama diam lalu Adara mengetuk pintu itu lagi. "Ba-baiklah."Hah? Adara setuju? Ansel membuka pintunya lagi. "Kamu mau?"Muka merengut Adara, ketidakrelaannya terekam jelas di mata wanita itu. Dia mengulurkan salah satu handuknya pada Ansel. "Nanti setelah makan malam kita bicarakan lagi."°°°Suara dentingan sendo
"Ada apa, Dara? Kenapa muka kamu pucat?" tanya Dianti pelan. Dilihatnya muka Adara tidak kembali cerah setelah diam-diam melihat ponselnya. Makan malam mereka masih belum selesai. Pasangan suami istri yang berniat melakukan kerjasama dengan mereka tampaknya senang berbicara dengan Adara. Buktinya mereka tidak bisa membiarkan wanita muda itu untuk diam."Eng, nggak apa-apa, Nek. Aku boleh ke belakang sebentar?" tanya Adara. Mukanya pucat, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Dianti. Untuk sementara dia hanya harus mengkonfirmasi kabar itu benar atau tidak."Pergilah!"Adara meminta maaf pada tamu mereka lalu bergegas untuk ke luar dari meja pertemuan itu. Dia berjalan cepat, kecemasan melanda dirinya. Entah Ben atau Ansel yang dia khawatirkan, dia belum bisa menjelaskan.Setelah sampai ke area toilet, wanita itu tidak masuk. Dia hanya berdiri di lorong menuju toilet. "Halo, ini siapa?"Terdengar suara riuh di seberang sana. Adara bisa mendengar suara sirine ambulans yang memekakka
"Bikin jantungan kamu, Jo," rutuk Adara pelan. Gemuruh di dadanya membuat dia tidak bisa bernapas dengan benar. Jo mengisyaratkan padanya dengan kedipan mata, menandakan bahwa dia sedang dalam keadaan terpojok. Pria itu lalu berbalik tapi lengannya mencoba menghalangi tirai itu terbuka. "Iya, Nek."Dianti melirik tirai yang tertutup itu dengan kening mengerut, "Ini ponsel kamu?"Jo melihat benda di tangan Dianti dengan cermat. Dia langsung bisa mengenali ponsel siapa itu. "Oh iya, Nek. Saya cari dari tadi." Secepat kilat dia mengambil benda itu.Dianti menunjuk lantai persis di sampingnya, "Tadi jatuh. Kebetulan nenek lihat.""Terimakasih, Nek. Kalau bukan karena nenek, ponsel saya pasti sudah hilang." Jo mencoba bersikap normal meskipun dia tidak sanggup menahan kegugupannya. Dua orang di belakangnya benar-benar membuat dia mati kutu. Kenapa mereka harus berpelukan di tempat yang tidak seharusnya. Bagaimana kalau dia kalah selangkah tadi? Bisa-bisa hidupnya dan hidup Ben habis dalam