Pasangan suami istri itu mendelik bersamaan ketika melihat Felicia ada di ambang pintu, berteriak dengan sangar.
"Itu ... Ma, kontrak sama orang nggak penting. Katanya bisnis tapi kok ada hasilnya," sungut Adara. Dia hanya mengarang bebas karena yang dia tahu Ansel punya bisnis yang tidak diketahui orangtuanya.Felicia beralih pada anaknya, "Kamu main bisnis apa lagi? Kamu nggak ingat kalau selalu gagal setiap kamu sok-sokan jadi pebisnis?""Iya, aku juga udah bilang begitu, Ma. Dia aja yang ngeyel," bela Adara lengannya bersedekap. Dia menyerang tepat di ulu hati Ansel."Bukan begitu, Ma. Ini bisnis yang menguntungkan," desak Ansel."Alah, untung apanya? Paling juga selalu rugi. Udah bagus kamu diberi pekerjaan oleh papa kamu. Harusnya kamu fokus saja pada pekerjaan itu. Jangan beralih ke bisnis lain. Atau kalau mau cari suasana baru, pegang bisnis nenek Dianti. Nenek sudah bicara sama mama kalau kamu boleh belajar memegang salah satu minimarketnya," jelas Felicia panjang lebar.Ansel tidak bisa banyak bicara karena dua wanita itu tidak mau membiarkan dia mencari alasan yang masuk akal."Sudah. Pokoknya mama nggak mau dengar soal bisnis itu lagi. Kasihan Adara kalau kalian bertengkar hanya karena masalah sepele. Malam ini kalian harus baikan. Lanjutkan seperti kemarin malam. Mama nggak sengaja menguping aktivitas panas kalian. Mama jadi ingin muda lagi," ucap Felicia cengengesan. Wanita itu menutup pintunya, meninggalkan anak dan menantunya.Ansel melupakan masalah kontrak itu karena rasa penasarannya dengan penjelasan Felicia. "Maksud mama dengan aktivitas panas apa?""Bukan apa-apa." Adara berjongkok untuk memungut pecahan parfum yang dia banting tadi. Kalau terkena kaki bisa masuk rumah sakit nanti. Lagi pula dia juga malu harus bicara jujur."Biarkan saja. Nanti biar Mbak yang beresin," sela Ansel. "Lebih baik kamu jelaskan. Kamu main sama siapa sampai mama bicara begitu? Aku kan nggak ada di sini. Dari mana mama bisa mendengar hal-hal yang nggak penting begitu?""Katanya kamu minta aku buat cari alasan. Aku hanya bisa pakai otakku untuk berpikir. Kenapa kamu protes sih? Harusnya ... duh," pekik Adara ketika dia terkena ujung benda lancip itu. Dia ingin menyesap cairan merahnya dari pada meluber kemana-mana, tapi Ansel lebih dulu mengambil tisu.Dengan jari telunjuknya dia menahan dahi Adara agar tidak main sedot. "Jorok!""Biarin."Ansel memaksa wanita itu untuk duduk. "Katanya pakai otak tapi kok dibilangin nggak paham? Aku bilang kan biarkan saja nanti mbak yang beresin. Batu banget."Tepian ranjang itu agak meleyot ketika Ansel dan Adara duduk di atasnya. Mereka fokus pada satu titik."Kamu nggak pura-pura mengeluarkan suara menjijikan itu kan?" tuduh Ansel curiga. Aktivitas panas yang ada di otaknya hanyalah tentang hubungan suami istri. Dia dan Emma hampir terlewat batas kalau masing-masing dari mereka tidak menahan diri. Selebihnya mereka tidak lagi mau ada di satu kamar yang sama."Nggaklah. Gila apa?""Yakin? Dari mana kamu dapat suara begitu?""Internet banyak," alibi Adara. Mukanya berubah merah."Internet udah nggak bisa diakses lagi tanpa link khusus. Jangan bohong! Coba ulang lagi apa yang kamu katakan semalam. Aku jadi penasaran," desak Ansel. Melihat muka merah Adara, dia jadi semakin ingin menggodanya.Adara menarik tangannya menjauh. "Nggak tahulah. Males. Sana! Katanya mau pergi?""Nggak jadi. Nanti kamu bikin suara yang aneh-aneh. Kalau disuruh praktik beneran gimana? Mau?" goda Ansel. Dia bangkit, "aku ambil sapu dulu. Jangan main sentuh!"Setelah pria itu pergi, Adara memaki dirinya sendiri. "Bodoh! Udah dibilangin ide begituan nggak cocok sama kamu. Untung Ansel nggak denger. Kalau denger, kamu pasti malu sampai beberapa bulan ke depan. Bisa-bisanya. Duh, bodohnya aku. Kenapa mama pakai bilang segala sih?"Di luar pintu, Ansel terkikik geli mendengar umpatan Adara. "Lain kali aku pasang perekam di kamar."°°°"Iya, Ben. Kenapa?" tanya Adara. Dia melakukan video call dengan Ben karena pria itu tiba-tiba ingin melihatnya. Padahal sudah pukul sembilan malam dan waktunya untuk istirahat."Besok free nggak?""Aku kerja. Kenapa? Mau bertemu?""Iya, pulang kerja ya?" tanya Ben memastikan.Adara mengangguk cepat. Dia tidak pernah menolak jika diajak bertemu dengan kekasihnya. "Aku ... Ansel apa-apaan sih? Kembaliin!" Teriakan Adara menggema di kamar itu karena Ansel tiba-tiba merebut ponselnya.Ansel mematikan panggilan itu, "Kamu sadar nggak? Belahan dada kamu kelihatan banget. Ngapain sih pakai piyama begitu? Mau disangka sudah melakukan malam pertama?"Refleks Adara menunduk. Benar saja. Satu kancingnya terlepas makanya terlihat seperti dia sengaja memperlihatkan miliknya. Dia secepat mungkin mengancingkannya lagi."Bicara baik-baik kan bisa?" sungut Adara. Dia mengambil ponselnya lagi dan mengirim pesan pada Ben. Alasan bahwa dia harus tidur karena mereka menginap di rumah orangtua Ansel.Ansel tidak peduli. Dia menarik selimut untuk masuk ke dalamnya. "Dari pada tanpa sadar aku memasukkan tanganku ke sana nanti malam. Kamu nggak tahu kan kalau aku sering melakukan sesuatu yang aneh kalau sedang tidur?"Spontan Adara memeluk tubuhnya sendiri. "Kalau begitu aku tidur di lantai dari pada disentuh sama kamu.""Jangan ngawur! Kamu mau tetap di sini atau aku pergi ke rumah Emma?" tantang Ansel.Dua pilihan yang sulit. Adara terpaksa memilih satu pilihan yang mengharuskan mereka tidur di ranjang yang sama. Wanita itu memasang pembatas guling di antara mereka. "Jangan terlewat batas!""Denda seratus ribu ya kalau besok pagi ketahuan melewati batas?""Oke. Siapa takut?"°°°Adara melewatkan moment dimana Ansel berusaha menggeser kakinya agar melewati batas yang sudah ditentukan. Keisengan pria itu tidak terkendali karena si wanita sendiri sulit untuk membedakan mana dunia mimpi atau dunia nyata.Kalau sudah tidur, Adara jarang sekali bisa bangun tiba-tiba kecuali sudah waktunya bangun. Dasar kebo!Cekrek!Satu potret sudah tersimpan rapi di dalam album fotonya. Ansel meringis senang. "Kena kamu!" Lalu dia segera mandi karena Emma memintanya untuk menjemput. Rencananya mereka akan berjalan-jalan sebelum Ansel mulai rutin bekerja di kantor manajemen Nenek Dianti.Ketika Ansel keluar kamar mandi, rupanya Adara sudah bangun. Otaknya belum terkoneksi dengan benar, makanya dia hanya diam melihat Ansel berjalan dengan pameran dada di depannya.Baru setelah lima detik Ansel bolak-balik, Adara baru berteriak histeris."PAKAI BAJU!""Ambilin!" titah sang suami. Dia sibuk mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. "Warna putih."Dress code yang diminta Emma adalah warna putih. Kalau wanita itu tidak dituruti bisa-bisa mereka batal pergi."Males." Adara mengacuhkan permintaan Ansel, malah turun dari ranjang untuk ke kamar mandi. Mukanya kusut. Entah kenapa kelopak matanya enggan membuka. Gara-gara semalaman dia mendengar Ansel mendengkur, dia jadi tidak bisa tidur.Pukul dua pagi dia baru bisa tidur karena bantal itu berhasil meredam suara menggelegar di sampingnya. Adara tidak ingat apa-apa lagi. Semoga dia tidak melanggar aturan yang membuat dia harus membayar.Tok tok tok!"APA?" teriak Adara."Seratus ribu jangan lupa!""HAH? NGAPAIN AKU HARUS MEMBERIMU UANG?""Melanggar batas. Ingat?"Adara memicingkan matanya sesaat sembari melihat cerminan wajahnya yang baru menggosok gigi. "AKU? MANA MUNGKIN! KAMU KALI!""Ngomongnya nggak perlu ngegas bisa nggak? Masih pagi nih! Nanti aku kirim buktinya. Aku pergi dulu. Ada janji sama Emma. Kalau mama tanya jawabannya hanya satu. Ansel sedang sibuk belajar bisnis," ucap Ansel menggurui."BODO AMAT!"°°°"Masa aku bisa melanggar batas? Seingatku tadi waktu bangun kakiku—astaga, aku lupa aturan itu," gumam Adara kesal ketika melihat foto dirinya yang sedang tidur, lalu kaki kanannya melewati batas. Tidak hanya satu sentimeter tapi tiga puluh sentimeter. "Rugi aku!"°°°"Adara, ada yang jemput!" Felicia mengetuk pintu kamar anaknya dengan bingung. Pagi tadi dia melihat Ansel keluar rumah mengendap-endap. Lalu sekarang Adara dijemput oleh seseorang di depan pagar. Meskipun tidak turun dari motor tapi Felicia yakin kalau itu pria.Ceklek!"Siapa, Ma?""Nggak tahu. Kata Pak satpam kamu ada yang nungguin. Mama nggak lihat sih siapa tapi sepertinya laki-laki. Kamu janjian sama siapa? Pacar gelap kamu?"Ben nekat datang?°°°"Mas, saya mau barang yang ini tapi jangan yang dipajang di etalase ya? Tolong pilihkan yang paling bagus dan nanti kirimkan saja ke alamat yang akan saya berikan. Pokoknya harus yang sesuai yang saya mau ya, Mas?" ucap Adara pada pelayan toko pria yang melayani dirinya. Wanita itu datang ke sebuah pusat elektronik dan perlengkapan rumah tangga terbesar di kotanya untuk melihat apakah dia bisa membeli sesuatu yang berharga untuk kado pernikahan Emma. Tentu saja suaminya ikut serta karena suaminya harus terus mengawasi apa yang dilakukan oleh Adara. Daripada nanti kelelahan lagi, bisa-bisa dia bingung sendiri.Pelayan pria yang memiliki name tag Putra itu mengangguk pelan. "Siap, Mbak. Kami akan memberikan barang terbaru yang ada di gudang kami. Silakan ikut saya ke bagian pembayaran sekaligus kami ingin mencatat alamat yang dituju.""Baik, Mas."Adara menyeret suaminya untuk segera mengikuti pelayan tersebut. Dia sangat antusias dalam memilih barang-barang. Buktinya lebih dari satu
Rencana liburan ke Cappadocia harus dibatalkan karena kondisi Adara tiba-tiba melemah. Mungkin karena efek kelelahan seharian beraktivitas. "Harusnya kemarin aku nggak ikut kelas memasak dulu ya, Mas? Jadinya kan sekarang aku harus bedrest," ucap Adara lemah. Dokter menyarankan dia untuk istirahat beberapa minggu ke depan agar kondisi kehamilannya menjadi lebih baik. Meskipun dia mendapatkan suplemen penguat kehamilan dan juga vitamin, dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya. "Nggak apa-apa, Sayang. Nggak perlu disesali begitu. Lagi pula kalau kita jalan-jalan ke luar negeri kalau kamu sudah punya baby malah lebih bagus," ujar Ansel sembari mengusap puncak kepala istrinya. Dari kemarin mood Adara benar-benar tidak bisa diprediksi. Terkadang senang lalu tiba-tiba menjadi sedih. Sejauh ini mood yang paling dominan adalah kesedihan. "Tapi gimana tiket pesawat kita, Mas? Kalau di cancel juga belum tentu bisa.""Kalau masalah itu aku punya solusinya."Adara menatap suaminya dengan ser
"Iya," jawab Emma santai. Seakan apa yang dilakukan itu benar, dia hanya mengangkat bahunya, "tapi itu semua sudah berlalu. Aku akan memberikan rekaman aslinya agar kita nggak punya hubungan lagi. Aku udah malas berbuat iseng sama kalian. Lagi pula aku pernah berterima kasih sama kamu waktu itu kan? Sama seperti waktu itu, aku juga tulus minta maaf sekarang.""Kamu serius?" ejek Adara. "Serius.""Kalau begitu, aku minta ucapan permintaan maaf secara resmi melalui video. Ayo!" tarik Adara dengan susah payah. Mereka keluar dari kerumunan orang-orang untuk menyingkir ke tempat yang lebih sepi. Ansel mengikuti langkah istrinya dengan bersusah payah. Dia tidak bisa melerai karena wajah Adara seakan menginginkan dukungan. Langkahnya melambat pada anak tangga menuju lantai dua. Tempat riskan yang harus dilalui dengan hati-hati oleh ibu hamil adalah tangga. Jangan sampai terjatuh ataupun terpeleset! Tapi posisinya sekarang Adara sedang menarik Emma. Bagaimana kalau Emma menyakiti Adara den
"Kamu sih, Mas. Kita terlambat kan?" dumel Adara kesal. Mereka baru sampai ke tempat acara setelah menghindari macet yang tidak kunjung habis. Wanita itu terus saja memperlihatkan kekesalannya karena suaminya malah dengan santainya meminta maaf. "Yang punya acara kan keluarga kita, Mas. Harusnya datang lebih awal dong bukannya malah telat begini.""Sayang, nggak papa lah telat sedikit. Pasti mereka juga tahu kalau jalanan macet," sergah Ansel. Dia berusaha menenangkan hati istrinya dengan memeluk pinggang berisi itu dengan erat sembari membawanya masuk. Rumah keluarga Marina di dekorasi secara sederhana. Mereka tidak menyewa gedung atau ballroom hotel demi kenyamanan bersama. Konsep menikah secara diam-diam yang sesungguhnya adalah seperti ini. Tapi mereka tetap menggunakan jasa wo dan juga waiters yang siap melayani mereka. "Masuk, Dara. Kenapa baru datang?" ujar Felicia.Adara melirik suaminya dengan kesal. Mertuanya saja datang lebih awal kenapa mereka malah terlambat? "Taukk tuh
"Terima kasih," ucap Candra singkat. hanya itu dan tidak ada kata-kata lain yang diucapkan oleh wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit itu. "Untuk apa?" tanya Adara bingung. Tiba-tiba datang tentu saja tidak hanya mengucapkan terima kasih. "Untuk ya itu pokoknya soal mama. Pernikahanku dibatalkan dan aku boleh memilih calon suami yang aku suka. Makanya aku datang kemari untuk Ya begitulah pokoknya. Intinya aku sudah balas budi. Satu lagi, ini," ucap Candra yang kemudian memberikan sekotak perhiasan pada Adara. "Ini dari koleksi terbaru buatanku dan belum launching di Indonesia. Jadi kamu orang pertama yang memilikinya.""Kalau mendesain perhiasan?" tanya Adara penasaran. Tidak ada pembicaraan mengenai ini dari Gina waktu itu. "Kupikir kamu hanya menjalankan bisnis orang tua kamu.""Aku nggak sebodoh itu kali. Nih! Terima! Pokoknya aku nggak mau ada kata balas budi lagi. Aku sudah membalasnya," tegas Candra. Dia menarik tangan Adara agar segera menerima pemberiannya. "Ini eksl
"Selamat ya," ucap Adara senang. Apa usahanya berhasil? "Ini gara-gara kakak kan?"Melihat senyum dikulum Adara, Mimi yakin kalau Adara pelaku utamanya. "Maaf ya, Mi," ucap Adara sungguh-sungguh. "Sebenarnya kakak cuma mau dia bertanggungjawab. Maksudnya bukan bertanggungjawab menikahi kamu tapi seenggaknya meminta maaf atas apa yang dia lakukan."Mimi mengerti dengan tujuan Adara, tapi dia belum siap menikah. "Aku masih muda, Kak. Gimana kalau aku hamil disaat aku belum siap untuk mempunyai bayi?""Kakak tahu kalau kesiapan mental itu penting. Hanya saja kamu akan dewasa pada waktunya," jelas Adara bijak. "Kalau kamu nggak ada kerjaan, gimana kalau ikut ke rumah Tante Felicia? Kita obrolin di sana."Mimi seharusnya sudah ada di kantor sekarang. "Sebentar saja ya, Kak? Soalnya aku ada pekerjaan.""Iya. Naik mobil sendiri-sendiri?"Mimi mengangguk."Baiklah."°°°Adara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mimi. Dia sama sekali tidak mengira kalau Carlo akan datang dan membawa nama
"Oh, jangan mengumpat!* canda Ansel. Dia tidak perlu bersikap kasar karena mereka sedang berada di tempat umum. Tujuannya menyetujui usulan Roy untuk bertemu di cafe itu semata-mata hanya untuk kemenangannya. Roy mengumpat pelan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau pria di depannya itu membuatnya sebagai umpan. Dia berdiri, "Kayaknya aku nggak perlu ada di sini. Silakan selesaikan urusan kalian.""Hei, jangan pergi!" tukas Ansel tenang. "Kamu juga bersalah di sini karena sudah mengancam Mimi dan membahayakan calon bayiku.""Apa maksud kamu dengan calon bayi kamu? Apa jangan-jangan Mimi menikah sama kamu?" tuduh Roy. Mau tidak mau dia kembali duduk untuk membahas masalah mereka. Tidak ada lagi kata-kata sopan yang diucapkan karena atmosfer diantara mereka sudah memanas. Lagi pula tidak ada urusan bisnis yang perlu mereka bicarakan. "Oh, jadi kamu mendatangiku untuk meminta pertanggungjawaban berupa uang? Hei, kamu pikir aku bisa kamu bodohi? Jangan-jangan kamu yang sudah menghamili
Dua wanita yang masing-masing memperlihatkan ekspresi yang berbeda, kini duduk berhadapan saling menatap ke arah lain. Adara yang sudah sedikit memahami apa yang dikatakan oleh Mimi, merasa ini saat yang tepat untuk mempertanyakan. "Siapa yang berbuat itu sama kamu?" tanya Adara pelan, tidak bermaksud menghardik juga tidak menuntut jawaban. Mimi mulai mengarahkan pandangannya pada Adara. "Carlo.""Siapa dia?"Helaan nafas berat lebih terdengar ringkih menjawab pertanyaan itu di awal. "Pria yang aku temui di pesta ulang tahun teman sesama model. Aku benar-benar berada di bawah pengaruh alkohol, Kak. Kalau secara sadar aku nggak mungkin melakukannya. Aku masih perawan, siapa yang mau memberikannya pada sembarang orang."Adara memahaminya. "Lalu? Apa dia tanggung jawab?"Mimi menggeleng lesu, "Jangankan tanggung jawab, Sampai detik ini aku dan dia nggak pernah bertemu lagi.""Lalu kenapa kamu bisa takut hamil? Apa sudah ada tanda-tanda?"Mimi menerawang ke arah dinding yang berusaha un
Adara merasa Haikal bersikap aneh. "Em, aku bicara dengan suami dulu ya. Soalnya kan nggak mungkin aku pergi tanpa ijin dari suami."Perubahan wajah Haikal terlihat jelas. Kesal, marah dan tidak suka. Kenapa? "Oh, aku aja yang minta ijin sama suami kamu. Mana kontaknya?"Kenapa Haikal seperti memaksa? Padahal niat Adara mengatakannya hanya untuk menghindar dari ajakan makan malamnya. Adara bergerak kebingungan. Apa yang harus dia katakan agar Haikal mengerti. "Em, kalau sekarang kayaknya nggak bisa deh. Nanti saja aku minta ijin secara langsung. Kalau udah nggak ada yang perlu diomongin, aku mau pamit dulu."Haikal menyentuh pergelangan tangan Adara tanpa pikir panjang. "Tunggu dulu!"Adara menarik lengannya tanpa berniat menyakiti hati pria itu. "Ada apa?""Gimana caranya kamu ngasih tau aku kalau kita nggak tukeran nomor?"Benar juga. Adara bahkan tidak ingat kalau mereka perlu melakukannya. Tapi, dia tidak berniat memberikan nomornya pada orang asing. 'Ayo, Adara, coba pikirkan c