Share

5 — Pacar Gelap Kamu?

Pasangan suami istri itu mendelik bersamaan ketika melihat Felicia ada di ambang pintu, berteriak dengan sangar.

"Itu ... Ma, kontrak sama orang nggak penting. Katanya bisnis tapi kok ada hasilnya," sungut Adara. Dia hanya mengarang bebas karena yang dia tahu Ansel punya bisnis yang tidak diketahui orangtuanya.

Felicia beralih pada anaknya, "Kamu main bisnis apa lagi? Kamu nggak ingat kalau selalu gagal setiap kamu sok-sokan jadi pebisnis?"

"Iya, aku juga udah bilang begitu, Ma. Dia aja yang ngeyel," bela Adara lengannya bersedekap. Dia menyerang tepat di ulu hati Ansel.

"Bukan begitu, Ma. Ini bisnis yang menguntungkan," desak Ansel.

"Alah, untung apanya? Paling juga selalu rugi. Udah bagus kamu diberi pekerjaan oleh papa kamu. Harusnya kamu fokus saja pada pekerjaan itu. Jangan beralih ke bisnis lain. Atau kalau mau cari suasana baru, pegang bisnis nenek Dianti. Nenek sudah bicara sama mama kalau kamu boleh belajar memegang salah satu minimarketnya," jelas Felicia panjang lebar.

Ansel tidak bisa banyak bicara karena dua wanita itu tidak mau membiarkan dia mencari alasan yang masuk akal.

"Sudah. Pokoknya mama nggak mau dengar soal bisnis itu lagi. Kasihan Adara kalau kalian bertengkar hanya karena masalah sepele. Malam ini kalian harus baikan. Lanjutkan seperti kemarin malam. Mama nggak sengaja menguping aktivitas panas kalian. Mama jadi ingin muda lagi," ucap Felicia cengengesan. Wanita itu menutup pintunya, meninggalkan anak dan menantunya.

Ansel melupakan masalah kontrak itu karena rasa penasarannya dengan penjelasan Felicia. "Maksud mama dengan aktivitas panas apa?"

"Bukan apa-apa." Adara berjongkok untuk memungut pecahan parfum yang dia banting tadi. Kalau terkena kaki bisa masuk rumah sakit nanti. Lagi pula dia juga malu harus bicara jujur.

"Biarkan saja. Nanti biar Mbak yang beresin," sela Ansel. "Lebih baik kamu jelaskan. Kamu main sama siapa sampai mama bicara begitu? Aku kan nggak ada di sini. Dari mana mama bisa mendengar hal-hal yang nggak penting begitu?"

"Katanya kamu minta aku buat cari alasan. Aku hanya bisa pakai otakku untuk berpikir. Kenapa kamu protes sih? Harusnya ... duh," pekik Adara ketika dia terkena ujung benda lancip itu. Dia ingin menyesap cairan merahnya dari pada meluber kemana-mana, tapi Ansel lebih dulu mengambil tisu.

Dengan jari telunjuknya dia menahan dahi Adara agar tidak main sedot. "Jorok!"

"Biarin."

Ansel memaksa wanita itu untuk duduk. "Katanya pakai otak tapi kok dibilangin nggak paham? Aku bilang kan biarkan saja nanti mbak yang beresin. Batu banget."

Tepian ranjang itu agak meleyot ketika Ansel dan Adara duduk di atasnya. Mereka fokus pada satu titik.

"Kamu nggak pura-pura mengeluarkan suara menjijikan itu kan?" tuduh Ansel curiga. Aktivitas panas yang ada di otaknya hanyalah tentang hubungan suami istri. Dia dan Emma hampir terlewat batas kalau masing-masing dari mereka tidak menahan diri. Selebihnya mereka tidak lagi mau ada di satu kamar yang sama.

"Nggaklah. Gila apa?"

"Yakin? Dari mana kamu dapat suara begitu?"

"Internet banyak," alibi Adara. Mukanya berubah merah.

"Internet udah nggak bisa diakses lagi tanpa link khusus. Jangan bohong! Coba ulang lagi apa yang kamu katakan semalam. Aku jadi penasaran," desak Ansel. Melihat muka merah Adara, dia jadi semakin ingin menggodanya.

Adara menarik tangannya menjauh. "Nggak tahulah. Males. Sana! Katanya mau pergi?"

"Nggak jadi. Nanti kamu bikin suara yang aneh-aneh. Kalau disuruh praktik beneran gimana? Mau?" goda Ansel. Dia bangkit, "aku ambil sapu dulu. Jangan main sentuh!"

Setelah pria itu pergi, Adara memaki dirinya sendiri. "Bodoh! Udah dibilangin ide begituan nggak cocok sama kamu. Untung Ansel nggak denger. Kalau denger, kamu pasti malu sampai beberapa bulan ke depan. Bisa-bisanya. Duh, bodohnya aku. Kenapa mama pakai bilang segala sih?"

Di luar pintu, Ansel terkikik geli mendengar umpatan Adara. "Lain kali aku pasang perekam di kamar."

°°°

"Iya, Ben. Kenapa?" tanya Adara. Dia melakukan video call dengan Ben karena pria itu tiba-tiba ingin melihatnya. Padahal sudah pukul sembilan malam dan waktunya untuk istirahat.

"Besok free nggak?"

"Aku kerja. Kenapa? Mau bertemu?"

"Iya, pulang kerja ya?" tanya Ben memastikan.

Adara mengangguk cepat. Dia tidak pernah menolak jika diajak bertemu dengan kekasihnya. "Aku ... Ansel apa-apaan sih? Kembaliin!" Teriakan Adara menggema di kamar itu karena Ansel tiba-tiba merebut ponselnya.

Ansel mematikan panggilan itu, "Kamu sadar nggak? Belahan dada kamu kelihatan banget. Ngapain sih pakai piyama begitu? Mau disangka sudah melakukan malam pertama?"

Refleks Adara menunduk. Benar saja. Satu kancingnya terlepas makanya terlihat seperti dia sengaja memperlihatkan miliknya. Dia secepat mungkin mengancingkannya lagi.

"Bicara baik-baik kan bisa?" sungut Adara. Dia mengambil ponselnya lagi dan mengirim pesan pada Ben. Alasan bahwa dia harus tidur karena mereka menginap di rumah orangtua Ansel.

Ansel tidak peduli. Dia menarik selimut untuk masuk ke dalamnya. "Dari pada tanpa sadar aku memasukkan tanganku ke sana nanti malam. Kamu nggak tahu kan kalau aku sering melakukan sesuatu yang aneh kalau sedang tidur?"

Spontan Adara memeluk tubuhnya sendiri. "Kalau begitu aku tidur di lantai dari pada disentuh sama kamu."

"Jangan ngawur! Kamu mau tetap di sini atau aku pergi ke rumah Emma?" tantang Ansel.

Dua pilihan yang sulit. Adara terpaksa memilih satu pilihan yang mengharuskan mereka tidur di ranjang yang sama. Wanita itu memasang pembatas guling di antara mereka. "Jangan terlewat batas!"

"Denda seratus ribu ya kalau besok pagi ketahuan melewati batas?"

"Oke. Siapa takut?"

°°°

Adara melewatkan moment dimana Ansel berusaha menggeser kakinya agar melewati batas yang sudah ditentukan. Keisengan pria itu tidak terkendali karena si wanita sendiri sulit untuk membedakan mana dunia mimpi atau dunia nyata.

Kalau sudah tidur, Adara jarang sekali bisa bangun tiba-tiba kecuali sudah waktunya bangun. Dasar kebo!

Cekrek!

Satu potret sudah tersimpan rapi di dalam album fotonya. Ansel meringis senang. "Kena kamu!" Lalu dia segera mandi karena Emma memintanya untuk menjemput. Rencananya mereka akan berjalan-jalan sebelum Ansel mulai rutin bekerja di kantor manajemen Nenek Dianti.

Ketika Ansel keluar kamar mandi, rupanya Adara sudah bangun. Otaknya belum terkoneksi dengan benar, makanya dia hanya diam melihat Ansel berjalan dengan pameran dada di depannya.

Baru setelah lima detik Ansel bolak-balik, Adara baru berteriak histeris.

"PAKAI BAJU!"

"Ambilin!" titah sang suami. Dia sibuk mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. "Warna putih."

Dress code yang diminta Emma adalah warna putih. Kalau wanita itu tidak dituruti bisa-bisa mereka batal pergi.

"Males." Adara mengacuhkan permintaan Ansel, malah turun dari ranjang untuk ke kamar mandi. Mukanya kusut. Entah kenapa kelopak matanya enggan membuka. Gara-gara semalaman dia mendengar Ansel mendengkur, dia jadi tidak bisa tidur.

Pukul dua pagi dia baru bisa tidur karena bantal itu berhasil meredam suara menggelegar di sampingnya. Adara tidak ingat apa-apa lagi. Semoga dia tidak melanggar aturan yang membuat dia harus membayar.

Tok tok tok!

"APA?" teriak Adara.

"Seratus ribu jangan lupa!"

"HAH? NGAPAIN AKU HARUS MEMBERIMU UANG?"

"Melanggar batas. Ingat?"

Adara memicingkan matanya sesaat sembari melihat cerminan wajahnya yang baru menggosok gigi. "AKU? MANA MUNGKIN! KAMU KALI!"

"Ngomongnya nggak perlu ngegas bisa nggak? Masih pagi nih! Nanti aku kirim buktinya. Aku pergi dulu. Ada janji sama Emma. Kalau mama tanya jawabannya hanya satu. Ansel sedang sibuk belajar bisnis," ucap Ansel menggurui.

"BODO AMAT!"

°°°

"Masa aku bisa melanggar batas? Seingatku tadi waktu bangun kakiku—astaga, aku lupa aturan itu," gumam Adara kesal ketika melihat foto dirinya yang sedang tidur, lalu kaki kanannya melewati batas. Tidak hanya satu sentimeter tapi tiga puluh sentimeter. "Rugi aku!"

°°°

"Adara, ada yang jemput!" Felicia mengetuk pintu kamar anaknya dengan bingung. Pagi tadi dia melihat Ansel keluar rumah mengendap-endap. Lalu sekarang Adara dijemput oleh seseorang di depan pagar. Meskipun tidak turun dari motor tapi Felicia yakin kalau itu pria.

Ceklek!

"Siapa, Ma?"

"Nggak tahu. Kata Pak satpam kamu ada yang nungguin. Mama nggak lihat sih siapa tapi sepertinya laki-laki. Kamu janjian sama siapa? Pacar gelap kamu?"

Ben nekat datang?

°°°

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status