"Kamu nggak bisa berbuat begini, Dara? Emangnya aku ini sampah yang bisa kamu daur ulang seenaknya? Tolong jangan hubungkan kematian nenek kamu dengan pernikahan kita. Aku sudah bilang sama kamu kalau aku mau berjuang dari awal sama kamu. Tapi Kenapa kamu berusaha untuk menendangku?" sentak Ansel tidak terima.Adara tidak ingin peduli. Kematian neneknya memang menjadi topik sensitif yang masih belum dia selesaikan. "Jangan usik aku kalau kamu masih mau tinggal di sini. Oh, ya, soal kantor kamu nggak perlu pusing. Aku bisa meng-handle semua urusan. Kamu kan bukan pemilik sesungguhnya.""Nggak bisa! Kalau aku diam di rumah, aku dan kamu akan semakin jauh. Aku tetap ingin bekerja di kantor. Lagipula kamu nggak bisa memecat direktur seenaknya."Adara menertawakan kesombongan Ansel yang baginya hanyalah gertak sambal. "Bilang aja kalau kamu mau harta nenek. Oke kalau kamu memang menginginkannya, aku akan memberikan tiga puluh persen untuk kamu atas semua kerja keras kamu."Ansel tidak tahu
"Tante jangan bicara sembarangan. Aku nggak pernah melakukan perjanjian apapun sama nenek apalagi sampai harus meminta warisan sebanyak itu. Kalaupun nenek melimpahkan banyak aset sama aku, itu berarti nenek percaya sama aku, Tante, bukan sama Mimi. Lagipula yang selama ini membantu nenek adalah aku bukannya Mimi. Bukan begitu, Mi?" tanya Adara pada Mimi yang sedari tadi hanya menunggu untuk bicara. Mimi mengakuinya. Dia juga tidak masalah berapapun yang akan dia dapatkan. "Ma, sudahlah. Aku nggak apa-apa. Jangan meributkan hal sepele begini. Kasihan nenek kalau nanti kita meributkan warisan. Lagian kak Dara benar kalau aku nggak pernah berjuang untuk mengembangkan usaha minimarket nenek. Aku cukup senang dengan apartemen yang aku dapatkan." Pikiran Mimi terlalu terbuka dan santai. Hal itulah yang membuat Marina kesal. "Kamu ini bukannya membela mama. Pokoknya mama nggak suka kamu direndahkan begini. Sama-sama cucu harusnya dapat bagian yang sama," ucap Marina pantang menyerah."Ma
"Siapa yang mau pulang sama kamu? Ngayal," tukas Adara sengit. Dia memasukkan barang-barangnya ke dalam tas agar bisa menyingkir dari sana. Belum juga Adara melarikan diri, Ansel sudah memegang tangannya agar dia tidak kabur. "Aku ke sini tadi naik taksi jadi aku perlu tumpangan ke rumah. Kalau kamu menolak Kamu sungguh keterlaluan. Kita kan satu rumah meskipun hubungan kita nggak terlalu baik tapi kamu harus tetap baik sama teman satu rumah kamu," pinta Ansel."Kamu bisa pulang lagi pakai taksi. Beres kan?""Malam-malam gini susah kalau cari taksi, Dara. Please, beri aku tumpangan kali ini saja. Aku sedang dalam kondisi yang gak terlalu fit. Kalau aku jatuh di jalan gimana?"Adara tidak mau repot-repot menilik muka Ansel karena dia yakin pria itu pasti berbohong. "Kalau kamu bisa jalan sampai sini itu tandanya kamu baik-baik saja. Pergilah! Jangan ikuti aku!"Ansel tetap mempertahankan genggaman tangannya pada lengan Adara. "Please! Hari ini aku benar-benar memohon sama kamu."Adar
"Gimana, Dok, keadaan suami saya?" tanya Adara pada pria yang mengenakan pakaian bebas karena jam kerjanya di rumah sakit sudah selesai."Hanya kelelahan dan banyak pikiran, Bu. Saya sudah meresepkan vitamin agar kondisinya semakin membaik. Nanti kalau infusnya sudah habis, bisa langsung dilepas. Atau kalau nanti Ibu kesulitan, bisa panggil saya lagi.""Baik, Dok. Terima kasih sudah mau datang malam-malam begini. Mari saya antar ke depan," ucap Adara sungkan. Dia berjalan mendahului sang dokter lalu mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih ketika mereka sudah sampai di pagar depan. Wanita itu kembali masuk untuk memeriksa keadaan Ansel. Namun langkahnya terhenti ketika di depan pintu kamar suaminya. Mungkin dia perlu membuat sesuatu. "Bubur?"Adara mengira membuat bubur semudah merebus air. Dia menuang beras ke dalam air mendidih yang ukurannya hampir sepanci penuh. Dia merebusnya hingga setengah matang lalu menambahkan potongan daun bawang dan garam dua sendok makan. "Apa segi
"Ah, maksudnya kamu datang hanya karena diundang? Bodoh atau gimana sih? Orang dia bilang kalau ingin ditemani sama istrinya bukan sama wanita lain," sentak Adara berani. Dia tidak mau lagi diinjak-injak oleh wanita itu. "Berikan Aku buktinya kalau memang benar suamiku yang mengundang kamu ke sini."Adara mengulurkan telapak tangannya ke depan, sikapnya menantang berusaha membalikkan keadaan. Beraninya wanita itu menginjak rumahnya dengan sikap yang seolah dia bukan siapa-siapa. Emma diam saja, tidak bisa berkutik. 'Mampus aku. Aku kan nggak punya bukti konkrit. Gimana ini? Aku harus mengarang cerita yang gimana lagi?' batinnya bingung. Melihat Emma yang hanya menggigit bibir bawahnya, membuat Adara yakin bahwa Emma hanya membohonginya. Tapi yang jadi pertanyaan dari mana dia tahu kalau Ansel sedang sakit?"Kamu nggak bisa memberikan bukti kan? Pergi kalau gitu. Daripada kamu semakin malu," ucap Adara lagi. Emma mendesis geram. Dia menghentakkan kakinya keras-keras sebelum pergi.
"Kamu tahu kamu nggak boleh begini, Sel. Aku bukan istri yang menginginkan kamu sebagai suami. Aku juga sudah bilang kalau kita sudah nggak punya hubungan yang lebih dari status suami istri," tegas Adara. Dia mencengkeram salah satu lengan Ansel karena tangan kanannya masih memegang piring berisi ayam bumbu kecap tersebut.Ansel semakin mengeratkan pelukannya. Dia tidak mungkin membiarkan Adara pergi darinya setelah apa yang Adara lakukan. Perhatian wanita itu lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya. "Aku tahu tapi aku menolak untuk melepaskan kamu. Berikan aku waktu agar aku bisa membuat kamu mengerti bahwa semuanya sudah berubah. Dari awal memang kita menikah atas dasar paksaan tapi sekarang aku mulai mencintaimu.""Cinta? Kamu lebih mirip anak SMA yang mendesak pacar kamu untuk tidur sama kamu," ucap Adara asal."Nggak masalah. Apapun yang kamu pikirkan, aku tetap menerimanya. Selagi kita bersama, aku ingin menggetarkan hati kamu, Dara. Cintai aku juga, please! Kamu mau hidup s
"BRENGSEK! KAMU MENYEBALKAN SEKALI. KENAPA SIH HARUS BERCANDA? NGGAK LUCU! AKU BENCI SAMA KAMU, ANSEL! BENAR-BENAR BENCI!" Teriak Adara kesal. Adara benar-benar takut setengah mati. Takut jika terjadi sesuatu pada Ansel. Setelah ditinggal pergi oleh Dianti, dia tidak ingin lagi melihat orang yang dekat dengannya tiba-tiba pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Rasanya penyesalan dalam dirinya teramat sulit untuk disingkirkan. Andai saja dia bisa memutar kembali waktu, dia ingin mengucapkan selamat tinggal dan memberikan kesan terbaik untuk neneknya. Ansel tidak pernah menyangka jika Adara akan semarah itu. Dia berusaha memeluk istrinya supaya tidak lagi berteriak histeris namun dia tidak berhasil. Tenaga Adara seolah lebih kuat dari dirinya. "Adara, stop! Maafkan Aku! Aku hanya bercanda tadi. Please, berhenti memukulku!" pinta Ansel."Brengsek! Kamu menyebalkan," Isak Adara. Tanpa sadar dia menghentikan pukulannya lalu terdiam dengan tangisan yang terus berdenging."Maaf. Please
Pemandangan yang sudah biasa ketika semalaman pasangan suami istri berebut untuk saling memuaskan, terlihat menenangkan. Apalagi ketika kaki-kaki Mereka terlihat di di bawah selimut, saling bertautan untuk menghangatkan satu sama lain. Di bawah selimut yang sama, di pelukan yang memabukkan, Adara dan Ansel tidak berniat untuk beranjak dari sana. Meskipun tenaga mereka harus kembali diisi untuk mengantisipasi hari yang panjang, mereka tidak peduli. Adara menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Ansel. Dia masih memejamkan mata. Di bawah sana, rasa ngilu memenuhi dirinya. Wanita itu tidak berniat menghalangi suaminya ketika mereka harus mengulangnya hingga tiga kali dalam semalam. Anggap saja Dia sedang menebus dosa atas kesalahannya beberapa minggu ini. "Jam berapa sih?" gumam Adara. Suaranya teredam oleh dada Ansel tapi Ansel masih bisa mendengarnya. "Jam enam. Kamu mau bangun atau enggak?""Em, tunggu sebentar," jawab Adara pelan."Atau kita libur saja hari ini? Kita kan nggak p