"Yakin, Bu. Apa ibu mau menyeleksi lagi list awalnya?" tanya Dinda tidak mengerti. Kenapa raut wajah Adara berubah drastis setelah membaca listnya. Adara menggeleng ragu. "Tidak perlu. Jadwalkan saja kapan saya bisa bertemu mereka secara langsung. Saya sendiri yang akan menilai." Dia meminta Dinda untuk keluar dari ruangannya. Adara kembali menilik satu persatu lembaran tersebut. Lamat-lamat dia meneliti setiap detail data diri dan juga pengalaman kerja mereka. Anehnya semuanya baik. "Candra. Jangan pikir aku lupa apa yang sering kamu lakukan dulu," ketus Adara. Wanita itu masih ingat dengan jelas ketika dia menjajaki dunia sekolah menengah atas, Candra adalah salah satu orang yang membuat dia enggan masuk sekolah. Candrani Kurnia Meiga. Dia salah satu fans Ansel. Wanita yang kerap memakai bando berwarna merah itu lagaknya sudah mirip bos besar. Apalagi kalau menarik kerah Adara dengan seenaknya sembari melemparkan ancaman bahwa Ansel adalah miliknya. "Aku anggap kalian sedang me
"Gina.""Gina? Ibu nggak salah? Gina bukan pilihan terbaik untuk kantor ini. Kenapa ibu memilih dia?" tanya Candra kesal. Dia terang-terangan mengatakan bahwa sahabatnya itu tidak lebih pintar darinya. "Ibu pasti akan menyesal kalau tidak memilih saya."Gina memperlihatkan tatapan kesal tapi dia masih menahan dirinya. Dia tahu diri kalau Candra bukan tandingannya. Jauh di masa silam, dia sangat kesal dengan sikap Candra yang sok boss sekali. Hanya karena keluarga Candra mempunyai kekuasaan di atasnya bukan berarti dia bisa seenaknya memperlakukan orang lain dengan buruk. Termasuk pada Adara.Adara tersenyum simpul. Dia sama sekali tidak terpancing dengan ucapan Candra. "Ibu Candra? Saya akan berikan alasannya kenapa saya memilih Ibu Gina sebagai kandidat yang paling kuat.""Saya memang perlu tahu alasannya, Bu," jawab Candra. Nada bicaranya terdengar lebih sombong dari sebelumnya. Apa dia tidak berpikir jika Adara akan lebih tidak menyukainya dengan sikapnya yang menyebalkan itu?"Me
"Kamu kesambet dari mana sih tiba-tiba memeriksa akun media sosialku? Biasanya juga acuh," ucap Ansel sembari geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya. Adara tidak peduli suaminya bicara apa Yang jelas dia harus merevisi semua pengikut setia suaminya. Dia tidak mau kecolongan. Kalau perlu akun tersebut diubah menjadi private agar nantinya tidak ada orang seperti Candra yang masih mengejar-ngejar suaminya."Pokoknya aku nggak mau kamu membalas komentar apapun terutama dari cewek. Yang jelas aku nggak suka," ucap Adara dengan suara emosi tapi lebih dominan ke arah cemburu.Ansel sangat yakin ada sesuatu di kantor yang membuat istrinya tiba-tiba berubah posesif. Apakah ini ada kaitannya dengan pertanyaan Adara mengenai lamaran pekerjaan dari tiga wanita yang dulu menyukainya? Pasti Iya. Mana mungkin istrinya tiba-tiba berulah. "Terserah kamu saja. Aku juga jarang main sosmed," ucap Ansel santai. Dia membelokkan mobilnya ke arah cafe, "kita makan malam dulu di sini. Suka nggak sama
Gairah yang belum tersalurkan itu tidak lagi penting. Ansel buru-buru memakai piyamanya, lalu melompat turun dari tempat tidur. Adara mengikuti karena dia penasaran siapa yang sedang berusaha menakut-nakuti mereka?Adara berhenti pada anak tangga terakhir. Dia melihat dari kejauhan banyak pecahan kaca yang bertaburan di lantai. Sementara suaminya entah berada di mana. "Siapa yang melakukan ini?" tanya Adara lebih pada dirinya sendiri. Dia melangkah untuk menjadi suaminya tapi Ansel buru-buru masuk dan memperingatkannya untuk tidak kemana-mana."Banyak kaca. Aku bereskan dulu," ucap Ansel. Setengah berlari dia mengambil sapu dan wadahnya dari dapur. Perlahan dia menggeser pecahan kaca tersebut agar bisa masuk sepenuhnya ke dalam wadah.Adara cemas. Ini pertama kalinya mereka mendapat serangan. "Kamu tahu siapa orangnya?"Ansel menggeleng, "Aku cari di depan tapi nggak ada orang. Kamu tenang saja, aku udah minta satpam depan untuk melihat CCTV apakah ada orang yang mencurigakan. Kamu
Aneh! Ansel penasaran melihat kerumunan orang di depan kantor Adara. Ada apa? Pria itu menepikan mobilnya dan turun dengan segudang pertanyaan. Apa mungkin ada orang yang sengaja membuat onar?Barulah ketika dua orang agak menyingkir, dia bisa melihat wanita yang dia cintai dengan penampilan yang acak-acakan, tengah beradu tarikan dengan mantan pacarnya."Astaga, Dara!" pekik Ansel. Dia memburu wanitanya untuk melerai. "Apa-apaan sih?" Dengan ngos-ngosan Adara menunjuk Emma, "Dia yang mulai!""Sialan! Seenaknya saja bicara begitu. Kamu tuh yang mulai!" Emma menunjuk Adara tidak kalah sengitnya. Dia merapikan rambutnya yang terkena serangan tidak terduga. Meskipun di sekitar mereka banyak yang mendukung Adara, Emma tetap tidak mau mengalah. Apalagi Ansel yang mempertontonkan sikap lembutnya pada Adara semakin menambah emosi dirinya. "Bubar semua! Nggak ada yang perlu ditonton," tegas Ansel. Bukannya melerai mereka malah melihat aksi jambak-menjambak yang tidak seharusnya. Dia kembal
"Kenapa melamun, Sayang?" tanya Felicia sembari memberikan tepukan pelan. Tidak ada respon dari menantunya makanya dia sampai menepuk bahu wanita di sampingnya itu.Adara menggeleng pelan, "Nggak ada apa-apa, Ma.""Oh, ya sudah. Kirain Mama kamu kenapa-kenapa. Yuk, Mama kenalin sama Miss Ziva."Adara hampir tidak mempercayai penglihatannya. Kenapa dia harus bertemu lagi dengan wanita pengganggu itu? Siapa lagi kalau bukan Candra. Wanita yang secara terang-terangan menyukai suaminya, sibuk mengobrol dengan wanita yang bernama Ziva itu. Entah hubungan apa yang mereka miliki sampai terlihat seakrab itu. Felicia menyapa beberapa orang lalu berhenti di depan wanita yang memakai pakaian serba putih tersebut. Dia menggandeng lengan Adara untuk diperkenalkan padanya. "Miss, ini menantu yang saya ceritakan kemarin."Ziva yang mempunyai sikap lemah gemulai mulai memperhatikan Adara. "Hai, Sayang. Cantiknya. Perkenalkan saya Ziva, panggil saja seperti yang lain miss Ziva. Saya yakin kamu pasti
Setelah insiden mual karena makan masakan buatan Adara, wanita itu merasa bersalah. Pasalnya dia yakin kalau masakannya tidak seburuk itu. "Bu Adara ada masalah apa? Kenapa dari tadi Ibu diam saja? Apa ada pekerjaan yang tidak sesuai?" tanya Gina penasaran. Tanpa diminta dia menyuguhkan kopi untuk atasannya itu. Dia juga tidak langsung pergi, justru mempertanyakan sikap atasannya yang tiba-tiba pendiam.Adara masih mengetuk-ngetuk pulpen ke atas meja, sementara siku yang lain menopang dagunya. "Aku lagi bingung, Gin."Kalau Adara sudah menggunakan kalimat santai, Gina bisa menebak kalau Adara sedang membicarakan masalah pribadi bukannya masalah kantor. "Bingung kenapa?""Hem, aku udah ikut kursus masak dua kali Tapi masih belum bisa masak yang bener. Apa yang salah? Atau jangan-jangan Aku emang nggak bakat masak?" Pertanyaan itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri karena kedua mata Adara setuju pada permukaan meja yang mengkilap itu. "Oh, masalah dapur ya? Aku juga nggak bisa masa
"Nggak bisa, Pa. Aku nggak setuju kalau perusahaan kita diakuisisi sama perusahaan lain. Kita harus cari bantuan supaya kerugian yang disebabkan oleh sekretaris papa bisa tertutupi. Aku akan cari caranya," tegas Ansel. Pagi-pagi Papanya menelepon kalau mereka tidak punya alasan untuk mempertahankan perusahaan. Selagi ada orang yang mau menutup kerugian dan mengembangkan perusahaan sebagaimana mestinya, Jaka akan melepaskannya. Tapi tidak untuk Ansel. Dia tidak akan melepaskan usaha orang tuanya begitu saja tanpa melakukan sesuatu. "Tapi gimana caranya kita bisa dapat uang puluhan miliar dalam satu minggu?""Tenanglah, Pa. Aku akan coba tanya sama teman kuliahku dulu yang sekiranya punya bisnis besar. Aku yakin mereka pasti mempercayaiku," ucap Ansel meyakinkan."Oke, papa akan coba menunggu. Tapi, Papa harap kamu jangan kecewa seandainya kita harus melepaskan perusahaan."Ansel menghela nafas berat. "Oke." Dia menutup panggilannya dengan lelah. Semalaman dia tidak bisa tidur meskip