Share

Pertemuan (4)

Keesokan paginya, aku dijemput Ben. Kebetulan saat itu adalah weekend sehingga ia bisa menyempatkan waktunya untuk menjemputku.

Sesampainya di rumah, Tante Annette menyambut kami, "Hai, Milly. Sudah membaik?"

Baru saja sembuh, sudah harus berhadapan dengan wanita ini.

"Sudah, Ma," jawabku ragu.

"Terima kasih ya, Ben karena kamu selalu meluangkan waktu untuk menjaga Milly," ucapnya kepada Ben.

"Iya, Tante. Sama-sama. Aku mau izin bantuin Milly buat beresin barang-barangnya ya, Tan. Boleh?"

"Silahkan. Dengan senang hati."

Tante Annette mempersilahkan kami untuk masuk.

"Tante panggil pelayan dapur dulu, ya. Untuk nyiapin camilan buat kalian," lanjutnya.

Sementara Tante Annette berlalu meninggalkan aku dan Ben, kami naik ke lantai atas menuju kamarku.

"Kamar kamu masih sama kaya yang dulu?" tanya Ben.

"Iya."

Aku mempersilahkan Ben untuk masuk ke kamarku.

"Ternyata nggak berubah, ya ...." Ben mengelilingi kamarku yang berbentuk kubus berukuran 8x8 meter.

"Iya. Tapi ada beberapa hal yang berubah setelah kepergian Papa," sahutku sambil tersenyum pahit.

Ben menoleh ke arahku. Kami saling bertatapan.

"Permisi, Nona Milly. Saya bawa camilan yang Madam suruh," ucap salah seorang pelayan dapur di rumahku. Madam adalah sebutan Tante Annette di rumah ini. Para karyawan perusahaan dan pekerja di rumahku memanggilnya begitu.

Tangan pelayan itu memegang nampan yang berisi dua gelas jus jeruk dan dua potong kue Saskatoon Berry Pie. Camilan khas negaraku.

"Tolong letakkan di meja saya. Terima kasih ya."

Asisten itu mengangguk dan meletakan camilan kami, lalu permisi untuk kembali ke dapur.

"Mau makan dulu?"

"Boleh."

Aku dan Ben melahap pie kami masing-masing. Ben bertanya padaku tentang masa sekolahku. Aku bercerita apa adanya dan tidak ada yang spesial. Lalu kami kembali saling diam hingga pie kami habis.

"Mau langsung beresin barang-barang kamu?" tanya Ben.

"Nggak perlu. Nanti asisten rumah yang bakalan beresin. Aku kayaknya mau lanjut istirahat. Kamu mau lanjut apa abis ini?"

"Aku mungkin lanjut ke kantor."

"Kantor?"

"Iya."

"Untuk apa?"

"Mengurus pekerjaan. Ada meeting penting pagi ini."

"Oh ya? Ya sudah kamu langsung berangkat aja. Ini kan sudah siang. Tadi harusnya kamu nggak perlu bantuin aku bawain barang-barang," ujarku merasa tidak enak kepada Ben.

"Nggak pa-pa, Milly. Kan aku yang mau. Kalo gitu, aku pamit, ya. Kamu langsung istirahat," perintah Ben.

Tiba-tiba Tante Annette muncul, "Ben sudah mau pulang? Kenapa buru-buru?"

"Aku ada meeting, Tante. Maaf ya, Tan. Aku nggak bisa nemenin Milly lama-lama," jawab Ben.

"Iya, nggak pa-pa. Tadi Tante juga sudah telepon Mama kamu untuk membahas soal pernikahan kalian."

"Loh? Bukannya Milly baru sembuh? Kenapa buru-buru?" Aku bisa merasakan emosi tersembunyi dari Ben. Kenapa sih, wanita ini nggak mau sedikit bersabar dengan keegoisannya?

Tante Annette tersenyum kebingungan.

Aku langsung memotong pembicaraan mereka, "Hm ... Ben. Nanti kamu telat. Sebaiknya kamu cepat-cepat berangkat."

Ben mengangguk, "Kalau bisa, jangan nyetir sendirian dulu. Aku pamit," ucap Ben dan langsung berlalu meninggalkan kami.

"Hati-hati ya, Ben," Tante Annette melambaikan tangan kepada Ben.

Kini bebanku untuk menghadapi wanita ini dimulai.

"Aku tahu Tante udah punya jadwal untuk persiapan pernikahanku dengan Ben," ucapku setelah Ben sudah tak terlihat lagi.

Tante Annette menoleh dan tersenyum padaku, "Anak pintar,"

"Aku mau lihat jadwalnya."

"Tumben kamu tidak berontak."

"Emang aku bisa?"

"Bisa. Tapi tidak akan mengubah apa-apa."

Aku mendengus kesal.

"Aku mau istirahat. Sekarang aku mohon sama Tante untuk nggak ganggu aku dulu. Dengan begitu, aku akan turutin kemauan tante."

"Oke. Saya pun nggak mau membuang waktu untuk hal yang tidak penting. Jaga dirimu baik-baik demi keuntunganku!"

Wanita itu berlalu meninggalkanku. Rasanya ingin kubanting pintu kamar.

Entahlah. Aku yang awalnya merasa takut dan sedih karena mengetahui bahwa ia bukan ibuku, mendadak menjadi merasa kesal dan membencinya.

Aku tahu dia tidak memiliki seorang anak. Dan aku bukan anaknya. Bahkan ia pun membenci pernikahannya dengan Papa. Tapi mengapa hatinya sangat beku?

Dan ... mengapa aku menangis?

Mungkin rasanya tidak akan sesakit ini jika aku tidak menyayanginya yang bahkan tidak pernah peduli padaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status