Share

Pertemuan (3)

Aku berdiri menatap langit senja dari balik jendela ruanganku. Musim panas kali ini terasa indah. Ini sudah hari ke empat sejak pertama kali aku dirawat di sini. Ben masih selalu mendatangiku dengan alasan sekalian menjenguk karena ada urusan di sekitar rumah sakit. Ia mengunjungiku setiap hari dan membawakanku bermacam-macam makanan yang tentunya di bawah pengawasan Dokter.

Jam di dinding menunjukkan pukul 8.15 PM. Artinya lima belas menit lagi, Ben akan datang menjumpaiku. Aku sampai hafal jam besuk yang ia lakukan.

Aku merasa bosan. Sebetulnya aku sudah merasa sembuh. Bahkan aku sudah bisa berjalan mondar mandir tanpa pening di kepala.

Ketika aku mencoba melakukan gerakan pemanasan karena aku merasa ototku kaku, seseorang masuk ke dalam ruanganku dan memanggilku.

"Milly."

Ternyata itu adalah Ben. Tangan kirinya membawa paper bag. Dan tangan kanannya menggenggam sebuah buket bunga mawar berwarna putih.

"Eh, Ben. Tumben kamu datang lebih awal," sambutku.

"Begitu ya?"

"Iya."

"Kamu ngapain ngelakuin pemanasan gitu? Kamu belum pulih. Ayo tiduran lagi."

Aku menuruti perkataannya sementara Ben meletakan bingkisan itu.

"Aku bawain kamu tiramisu greentea cake, ucapnya sambil mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam cokelat."

Aku duduk manis memperhatikan Ben, "Kamu bawain aku makanan hampir setiap hari, Ben."

Ben menahan tangannya untuk membuka kotak yang berukuran sekitar 6 inci itu, "Kenapa? Kamu nggak suka, ya?"

"Eh, bukan, bukan ...." Aku menggerakan kedua tangan sebagai tanda bahwa aku menyangkalnya, "Aku cuma ngerasa nggak enak sama kamu," sambungku.

"Kalo soal itu, nggak perlu kamu pikirin."

Ben membuka kotak tersebut dan memberikannya padaku.

Kue itu telah membentuk menjadi potongan-potongan kecil. Bagian atasnya berwarna hijau, dan memiliki lapisan putih di dalamnya. Aku melahapnya tanpa ragu. Teksturnya sangat lembut.

"Ini enak banget!"

"Oh, ya?"

"Iya! Coba buka mulut kamu!"

Aku menyuapi sepotong kue itu kepada Ben. Namun Ben malah terdiam dan mengunyah kue itu dengan ragu.

"Nggak enak ya, Ben?" ucapku yang sedikit takut kalau ternyata Ben tidak menyukainya.

"Enak."

"Serius?"

Ben mengangguk. Dan wajahnya terlihat seperti ... gugup?

Bunga yang tergeletak di meja mengalihkan perhatianku, "Itu bunga buat siapa, Ben?"

Ben menoleh ke arah bunga dan meraihnya, "Oh ... ini dari Rose sahabat aku. Dia kasih aku ini," jawab Ben. Ia tak menjelaskan lebih detail.

Aku tak menyahut.

Aku baru tahu kalau Ben memiliki sahabat. Apalagi seorang perempuan. Apa Ben sudah berubah menjadi lebih terbuka dengan orang lain? Tapi, menurutku sikapnya masih sama saja seperti dulu. Diam dan datar.

Tiba-tiba aku sudah tidak bersemangat untuk memakan tiramisu greentea cake ini. Aku meletakkannya di atas meja, dan meminum segelas air.

"Kenapa nggak dihabiskan?" tanya Ben.

"Kenyang," jawabku yang menyembunyikan rasa malasku.

"Mau jalan-jalan sekitar sini? Siapa tahu kamu suntuk."

Ide bagus!

Ben seolah mengerti diriku. Aku memang merasa sangat bosan. Ingin segera keluar dari rumah sakit, namun aku juga tidak ingin pulang karena pasti akan bertemu Tante Annette.

Aku langsung mengiyakan tawaran Ben. Ia meminta sebuah kursi roda kepada Perawat. Menurutnya, aku harus duduk di sana sampai aku diperbolehkan untuk pulang.

Kalian lihat? Dia terkesan peduli padaku, kan? Tapi dia sangat tidak bisa ditebak!

Ben berjalan mendorong kursi rodaku perlahan melalui koridor rumah sakit, dan turun menggunakan lift ke lantai dasar. Ben terus berjalan membawaku ke taman yang berada di sebelah parking lot.

Sesampainya di taman, aku menghirup dalam-dalam udara segar yang sejuk. Langitnya sangat cantik. Angin sepoi menerpa poni dari rambut hitamku yang panjangnya sekitar sebahu. Aku sangat menyukai suasana ini. Tidak pernah aku merasa sedamai ini.

Ben memutuskan untuk membawaku duduk di bangku taman rumah sakit. Kurasa, ini waktu yang tepat untuk membahas soal pernikahan.

"Ben ..." panggilku.

"Iya?"

"Aku mau membahas soal pernikahan kita."

"Boleh," jawabnya singkat.

"Apa nggak masalah kamu nikah sama aku?"

"Kenapa kamu nanya begitu?"

"Ya ... kita dijodohkan."

"Lalu?"

"Jujur aku masih belum bisa terima perjodohan ini. Meski aku mengenal kamu dan kuanggap kamu sebagai kakakku sendiri, aku ragu sama perasaan aku," jelasku menunduk. Aku tidak bisa menatap mata Ben.

"Perasaan gimana maksudnya?"

"Cinta."

"Cinta?"

"Iya."

"Oh ...." Ben menghela napas, "Apa semua pernikahan harus dilandasi rasa cinta?"

"Maksudnya?"

"Jangan terlalu dipikirkan, Milly. Lagipula, aku yang seharusnya nanya begitu."

Ben meluruskan pandangannya ke depan, "Aku tahu kamu berharap pernikahan ini nggak pernah terjadi. Dan kamu juga tahu harapan kamu itu nggak akan pernah terjadi," sambungnya lagi.

Aku menghela napas. Kurasakan mataku menghangat karena genangan di dalamnya.

"Benar yang kamu bilang. Untuk apa aku memikirkan semua ini ketika orang-orang di sekitarku nggak pernah memikirkanku?"

Ben tidak membuka mulutnya lagi. Lalu suasananya menjadi dingin. Ia menyuruhku tak memikirkan dan bertingkah seolah tak ingin membebaniku. Tapi bahkan perjodohan ini telah memberikanku banyak beban. Aku senang dengan perlakuan Ben. Namun, belum tentu aku bisa mencintainya. Pertanyaan Ben tadi lebih terdengar seperti pernyataan. Tentang sebuah pernikahan yang terjadi tanpa landasan cinta sedikit membuatku miris. Betapa tragisnya hidupku yang tak mendapatkan cinta dari siapa pun.

Di tengah-tengah keheningan, sepasang suami istri mendatangi kami. Ternyata, itu adalah Tante Olive dan Om Jackson—orang tua Ben.

"Milly? Ben? Kalian sedang apa di sini?" ucap Tante Olive.

Ben bangkit dari duduknya, "Eh, Papa  Mama. Aku lagi nemenin Milly. Papa dan Mama kenapa ada di rumah sakit ini?"

"Loh, pertanyaan macam apa itu? Papa dan Mama jelas mau menjenguk calon menantu kami!" sahut Om Jackson sambil tersenyum ke arahku.

Telingaku kurang nyaman dengan perkataan itu.

Calon menantu.

"Hai Om, Tante. Apa kabar?" tanyaku tanpa menghiraukan perkataan Om Jackson.

"Baik. Seperti kelihatannya. Meski sudah di atas setengah abad, kami masih segar bugar, kok! Ya kan, Ma?" jawab Om Jackson.

"Papa ini, jaga sikap dong di depan Milly. Sudah tua nggak boleh banyak tingkah!" Tante Olive mencolek tangan Om Jackson.

Kami semua tertawa. Sedangkan Ben hanya tersenyum.

Keluarga ini terlihat hangat. Aku iri dengan Ben yang memiliki kedua orang tua yang lengkap dan mendukung apa pun yang dilakukan oleh Ben.

Kalau ada ranking untuk para Papa terbaik di dunia, mungkin Om Jackson akan menjadi urutan kedua setelah Papaku. Orang lain yang tak mengenal Om Jackson, mungkin akan mengira beliau adalah sosok yang tegas dan galak karena beberapa otot ditubuhnya memang belum menyusut.

Om Jackson mengelola perusahaan bidang furnishing terbaik dan terlaris yang kini diteruskan oleh Ben. Perusahaannya telah memiliki ratusan cabang diberbagai kota di negaraku ini. Bahkan hingga ke mancanegara. Beliau berusia 55 tahun. Kalau Papa masih hidup, usianya akan sama dengan Om Jackson. Mereka bersahabat sejak mereka duduk di bangku kuliah.

Sedangkan istrinya—yaitu Tante Olive—memiliki kebun dan toko bunga yang sukses. Usianya 5 tahun di atas Mama. Maksudku, Tante Annette. Dari segi sifat, mereka berdua sangat jauh berbeda. Bagai langit dan bumi.

Perlakuan Om Jackson dan Tante Olive pun sangat baik padaku meski aku bukan anak mereka. Mereka memperlakukanku lebih baik daripada perlakuan Tante Annette padaku.

Tiba-tiba aku rindu Papa. Akan tambah menyenangkan jika di sini ada Papa. Selera humor Papa dan kedua orang tua Ben sangat bagus. Namun mereka akan menjadi sangat serius ketika membahas tentang perusahaan mereka.

"Milly. Gimana keadaan kamu?" Pertanyaan Tante Olive membuyarkan pikiranku.

"Aku udah ngerasa nggak kenapa-kenapa, Tante. Tapi Ben bilang, aku tetap perlu istirahat sesuai perintah dokter," jawabku.

"Annette kemana? Apa dia sibuk sampai nggak bisa merawat kamu?"

Aku terkejut dan kebingungan menjawab pertanyaan Tante Olive, "Mama ... um ...."

"Bukankah sebaiknya kita ngobrol di dalam?" Ben mengusulkan.

Lagi-lagi Ben membantuku.

Terima kasih, Ben! batinku.

Akhirnya kami kembali ke ruang perawatanku. Di sana kami mengobrol banyak hal. Tentang Om Jackson yang mau pensiun, pengalaman Tante Olive berlibur bersama teman-temannya ke Seattle, dan juga hal-hal tentang Ben saat merantau ke luar kota untuk kuliah.

Ben cenderung diam dan hanya menimpali ketika ia rasa perlu. Selebihnya hanya tersenyum dan tertawa. Ekspresi yang baru aku lihat meski beberapa hari ini kami selalu bertemu.

Tak terasa malam tiba. Dokter mendatangiku untuk check-up dan mengatakan bahwa aku boleh kembali ke rumah esok hari.

Aku senang, namun aku benci karena harus kembali melihat Tante Annette lagi.

"Katanya aku perlu seminggu dirawat di sini, Dok?" tanyaku.

"Iya. Tadinya begitu. Tapi masa pemulihan kamu sangat cepat perkembangannya," jawab Dokter.

"Kenapa bisa?"

"Suasana hati yang baik bisa menjadi pengaruh yang besar untuk kesembuhan seseorang," Dokter itu tersenyum.

Benar kata Dokter. Suasana hatiku baik karena ada Ben. Ditambah lagi kehadiran kedua orang tuanya yang menepis rasa sepiku.

"Terima kasih banyak atas bantuannya, Dokter," ucap Om Jackson.

Dokter berlalu, disusul dengan Ben dan kedua orang tuanya yang berpamitan untuk pulang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status