Semua orang yang hadir bisa merasakan bahwa Faye sedang mencari-cari kesalahan dalam teori Brielle. Namun, tidak ada yang membantahnya dan Madeline hanya tersenyum tanpa berkata apa pun.Brielle kembali ke kantor. Cherlina datang dengan membawa buah. "Brielle, ini buah yang kubeli pagi tadi. Mau coba?"Brielle meraih setangkai anggur. "Terima kasih.""Nggak usah sungkan, kita 'kan sesama rekan kerja!" Cherlina tersenyum. Dia benar-benar bodoh, dulu sempat menyinggung Brielle tanpa tahu siapa Brielle sebenarnya. Sekarang, dia hanya bisa menebalkan muka untuk mendekat.Siapa suruh Brielle punya suami seorang miliarder? Apalagi suaminya adalah investor terbesar di seluruh laboratorium. Selama Brielle mau, mungkin saja dia bisa memimpin seluruh tim.Akhir pekan pun dilalui Brielle dengan putrinya dalam suasana menyenangkan. Tanpa terasa, hari Senin tiba.Di lobi pengadilan negeri.Pukul 9.30 pagi, Brielle sudah tiba lebih dulu. Dia menunggu dengan sabar. Pukul 9.50 pagi, sosok Raka muncul
Rapat dimulai. Perwakilan dari berbagai cabang naik ke panggung untuk melaporkan hasil kerja. Raka duduk di kursi tengah barisan pertama, mendengarkan laporan satu per satu.Tak lama kemudian, giliran Jared naik ke panggung. Hasil penelitiannya membuat semua orang yang hadir terkagum-kagum. Perpaduan sempurna antara AI dan dunia medis jelas menjadi fokus masa depan semua pihak.Setelah tepuk tangan meriah bergema, Jared kembali ke tempat duduknya. Dia mencondongkan badan ke arah Brielle, berbisik, "Aku bisa meraih hasil hari ini tentu berkat Bu Brielle."Brielle hanya tersenyum rendah hati. "Itu berkat usaha kita bersama."Di tengah rapat, Brielle sempat ke kamar kecil. Saat keluar, dia berpapasan dengan Raka di koridor."Senin depan kamu ada waktu?" tanya Raka.Brielle awalnya berniat diam saja. Namun, Raka kembali berkata, "Untuk mengurus perceraian."Brielle langsung menjawab, "Ada."Itu adalah pertama kalinya dia merespons pertanyaan Raka dengan begitu cepat, seolah-olah takut Raka
"Menurutmu, ini permintaan yang wajar?" Brielle merapikan rambut panjangnya."Selama kamu menerimanya, itu bisa dianggap wajar. Tentu saja, kamu juga bisa menolak," timpal Farel.Brielle benar-benar tidak bisa memahami kenapa Raka harus membuat permintaan yang konyol seperti itu."Sebenarnya apa maksud dia?" Brielle menoleh pada Farel, berharap bisa mendapatkan jawaban.Farel tersenyum tipis, mendorong kacamatanya. "Kalau kamu mau mendengar, aku bisa bantu menganalisis pikiran Pak Raka."Brielle mengangguk mendengarkan."Mungkin Pak Raka sedang memberi dirinya kesempatan untuk rujuk suatu hari nanti."Rujuk? Seumur hidup, Brielle tak mungkin lagi kembali padanya.Farel menyerahkan sebuah pena kepada Brielle. "Kalau nggak ada masalah, silakan tanda tangan di sini. Setelah ini, aku akan menjadwalkan pertemuan dengan pengacara Pak Raka, supaya waktu perceraian bisa segera ditetapkan."Selesai menandatangani, Brielle berkata dengan penuh rasa syukur, "Maaf menyusahkanmu."Malam itu, Syahir
Brielle dan Syahira sedang duduk santai di kafe dekat situ. Saat itu, ponsel Brielle berdering. Dia melihat layar sebentar, lalu berkata kepada Syahira, "Telepon dari seniormu.""Cepat angkat! Bisa jadi ada kabar soal perceraianmu," ucap Syahira buru-buru.Brielle pun mengangkat. "Halo, Pak Farel.""Bu Brielle, ada waktu untuk bertemu?""Ada. Apa ada perkembangan soal perceraian?" tanya Brielle dengan tak sabar."Ya. Kalau kamu sempat, bisa datang ke kantor aku.""Oke. Aku lagi bersama Syahira, kami segera ke sana."Brielle dan Syahira bergegas ke tempat parkir. Syahira langsung menyalakan mobil, melaju menuju firma hukum tempat Farel bekerja.Begitu masuk ke ruangannya, Farel melirik sekilas pada Syahira. "Syahira, kamu tunggu sebentar di luar."Syahira memberi isyarat tangan "oke", lalu pergi ke ruang pantri sebelah.Brielle duduk di sofa, sementara Farel menatapnya sambil berucap, "Bu Brielle, Pak Raka berharap proses perceraian dilakukan lewat jalur normal, bukan lewat gugatan."Da
Syahira menarik tangan Brielle dan bertanya, "Itu mobilnya Raka ya?"Brielle menoleh ke belakang, melihat mobil yang mengikuti mereka, dan langsung mengenalinya sebagai mobil Raka. Dia menarik Syahira. "Jangan pedulikan dia."Syahira berjalan beberapa langkah, lalu kembali menoleh. "Dia jadi pengawalmu ya?""Eh, jadi perceraianmu sama dia sudah sampai tahap apa?" tanya Syahira dengan penasaran. Akhir-akhir ini dia juga sibuk mengurus beberapa kasus sampai kepalanya pusing."Seniormu bilang kemarin masih koordinasi dengan pihak pajak, juga lagi menghubungi lembaga penilai dan akuntan. Katanya prosedurnya sangat rumit," jelas Brielle.Syahira menepuk pundak Brielle. "Itu artinya, Raka serius mau bagi setengah hartanya ke kamu. Lumayan juga, dia cukup dermawan.""Tapi menurutku, dia cuma mau menunda-nunda perceraian.""Nggak usah buru-buru. Lagian kalian sudah pisah rumah juga. Tinggal tunggu seniorku yang bantu urus supaya kamu dapat keuntungan maksimal," kata Syahira menenangkan.Dia la
Madeline tersenyum. "Baiklah, kalian duduklah!"Raka pun berbalik kembali ke sisi Devina. Keduanya berjalan menuju kursi di baris ketiga. Saat itu, lampu perlahan meredup, pertunjukan dimulai.Opera berlangsung dengan sangat indah. Madeline menontonnya dengan penuh semangat, sementara Brielle agak gelisah. Dia hanya ingin cepat selesai agar bisa menjemput putrinya pulang.Setelah pertunjukan selesai, Brielle mengantar Madeline pulang, lalu langsung menuju rumah Keluarga Pramudita.Baru saja dia sampai, Raka juga sampai, berhenti tepat di belakangnya."Papa, Mama, kalian pulang bareng?" tanya Anya dengan wajah ceria. Sudah lama sekali dia tidak melihat orang tuanya masuk rumah bersama."Anya, waktunya pulang," ucap Brielle dengan lembut."Mama, malam ini aku boleh tidur sama Nenek nggak? Aku sudah lama sekali nggak tidur sama Nenek," pinta Anya sambil berkedip-kedip dengan mata besarnya.Brielle bisa bersikap keras kepada siapa pun, tetapi tidak pada putrinya. Dengan susah payah, dia be